Minggu, 28 Desember 2008

Ubah gaya model kampanye di suara terbanyak

BERITA UTAMA

27 Desember 2008
UU Pemilu Tak Perlu Direvisi

* Ferry: Cukup dengan Peraturan KPU


JAKARTA - Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tidak perlu diubah menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penggunaan suara terbanyak untuk menentukan calon anggota legislatif (caleg) terpilih. Pemerintah juga tidak perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu).

”Cukup dengan Peraturan KPU. Karena Pasal 214 yang dibatalkan adalah tentang penentuan calon terpilih, sehingga tidak memerlukan pengaturan karena semuanya sudah cukup jelas,” kata mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, kemarin.

Dia menjelaskan, Pasal 214 tersebut hanya mengatur tentang penentuan calon terpilih, setelah tahap penentuan perolehan kursi masing-masing partai. Diharapkan, dalam Peraturan KPU nanti juga memuat beberapa yang sifatnya antisipatif.

”Misalnya bagaimana menentukan jika terdapat calon dengan suara yang sama persis. Hal yang juga penting adalah dalam RUU Susduk, pengaturan pergantian antar-waktu (PAW), penentuannya harus berdasar suara terbanyak,” tambahnya.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti melihat, akibat langsung dari putusan MK justru mengingatkan para caleg mengubah gaya kampanyenya. Dari gaya kampanye penonjolan parpol dan ”kampanye kosong” menuju kampanye individual dan substantif.

Sebab, kata dia, caleg sebagai indvidu harus lebih terlihat daripada parpol. ”Lebih dari itu, isi kampanye juga tidak boleh kosong, seperti ucapan selamat hari raya, mohon doa restu, dan sebagainya. Kampanye harus ke arah pemaparan visi dan misi serta program,” katanya.

Dengan demikian, lanjutnya, pemilih memiliki alasan kuat, rasional, dan objektif untuk memilih caleg. Keuntungan lain bagi caleg adalah dapat menjadi khas di antara pesaing. ”Baik secara internal parpol maupun antar-parpol,” tandasnya.


Di tempat terpisah, Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mempertanyakan apakah MK mempunyai kewenangan untuk menentukan sistem pemilu. ”Dengan demikian menurut saya keputusan itu sudah menjungkirbalikkan mekanisme sistem proporsional dalam pemilu sebagaimana UU yang sudah diputuskan,” katanya.

Dia menjelaskan, keputusan DPR dan pemerintah yang menentukan UU pemilu dan parpol belum ditetapkan dalam sistem distrik murni di mana ada kedaulatan rakyat pemilih dan kedaulatan partai yang menetapkan calegnya.
”Harusnya keduanya dihormati. Bukan masalah kami takut dengan menggunakan suara terbanyak. Ketentuan bertahap sebagaimana diatur UU kan sudah maju dengan 30 persen suara minimal,” ujarnya.

Dia mempersoalkan MK dan KPU yang bisa menafsirkan setiap ayat dan pasal maka tidak pernah bisa selesai. UU tersebut satu paket dengan UU yang lain. ”Paket UU Pemilu, Parpol, Pilpres, dan Susduk.”

Karena itu PDI-P akan secepatnya mengambil sikap mencermati keputusan MK tersebut. ”Putusan MK terhadap salah satu pasal dalam UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Legislatif menyangkut penentuan suara terbanyak dengan mengesampingkan nomor urut yang ditentukan oleh parpol merupakan putusan melampaui kewenangan yang diberikan UU,” kata Tjahjo.

Menurutnya, kedudukan MK tidak bertindak untuk keadilan atau court of justice, melainkan salah satunya untuk memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan adanya pertentangan antara norma dalam sebuah UU dengan UUD atau sebagai court of law.

”Tidak tepat putusan itu apabila kita memperhatikan UUD 45 pada pasal 22 E (3) yang menyebutkan untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol dengan sistemnya termasuk nomor urut ditentukan batasan persentasenya sendiri kecuali untuk memilih anggota DPD yang bersifat perseorangan tanpa keterlibatan parpol.”
Celah Hukum
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay berpendapat, putusan MK itu masih menyisakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan caleg dan partai politik.

Dikatakan, celah hukum tersebut adalah aturan yang tertuang dalam Bab XV Pasal 218 ayat (3) UU No 10 Tahun 2008 tentang penggantian calon terpilih, di mana disebutkan bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten dapat diganti dengan calon dari daftar calon tetap partai politik peserta pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan parpol yang bersangkutan.

”Jadi, aturan ini jelas menyebutkan bahwa urusan penetapan calon pengganti merupakan kewenangan mutlak dari parpol. Inilah celah hukum yang bisa dilakukan untuk mengakali suara terbanyak melalui penggantian caleg terpilih dan PAW,” katanya di Jakarta, kemarin.

Namun, lanjut Hadar, untuk melakukan hal tersebut tentu harus memenuhi syarat-syarat seperti caleg peraih suara terbanyak meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak memenuhi syarat menjadi caleg karena tersangkut tindak pidana pemilu.

Menurut dia, yang paling mengkhawatirkan adalah bila di lingkup internal parpol terdapat kesepakatan kuota perolehan suara dalam pembagian kursi legislatif. Artinya, ada batas persentase perolehan suara yang harus dipenuhi caleg peraih suara terbanyak, dan bila tidak memenuhi maka kursi tersebut akan diserahkan pada caleg pengganti berdasarkan nomor urut.

”Karena penggantian caleg terpilih dan PAW wewenang mutlak parpol, maka tidak ada pihak yang bisa memengaruhi termasuk pimpinan DPR dan KPU yang hanya bertugas melakukan verifikasi atas prosedur PAW,” ujarnya.

Meskipun demikian, KPU dapat melakukan antisipasi dengan mengeluarkan peraturan KPU tentang penggantian caleg terpilih dengan menegaskan bahwa penggantian caleg terpilih dan PAW harus tetap berdasarkan perolehan suara terbanyak. Konsekuensinya, akan ada parpol yang tidak menerima karena tugas KPU memang hanya mematuhi UU, bukan mengatur parpol.

”Tapi nanti akan terbuka dan ketahuan sendiri mana parpol yang akal-akalan atau ngotot mempertahankan nomor urut karena ada kepentingan yang terganggu,” tandas Hadar.

Hal berbeda disampaikan pakar hukum tata negara Prof Muladi. Menurut dia, tidak ada celah hukum yang dapat memberi peluang caleg dan parpol untuk memanipulasi penentuan caleg terpilih.

Menurutnya, manipulasi penentuan caleg terpilih untuk mengakomodasi nomor urut akan melanggar hukum dan caleg yang meraih suara terbanyak dapat melakukan gugatan karena memiliki dasar hukum kuat dan konstitusional. ”Jadi, putusan MK dapat dijadikan perlindungan bagi caleg yang meraih suara terbanyak, dan partai tidak bisa mengatur hal tersebut karena pasti akan kalah bila di pengadilan,” katanya.(J22,H28,di-49)
© 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved

Tidak ada komentar: