Kamis, 29 Januari 2009

Potensi Jual-Beli Suara Meningkat

SEPUTAR INDONESIA

Potensi Jual-Beli Suara Meningkat
Thursday, 29 January 2009

POTENSI penyelewengan dan jual-beli suara dalam Pemilu 2009 mendatang diperkirakan meningkat tajam dibandingkan Pemilu 2004.


Peningkatan potensi penyelewengan dan jual-beli suara ini disebabkan penggunaan mekanisme suara terbanyak. Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti mengatakan,dengan mekanisme ini maka akan terjadi persaingan bebas antarcalon anggota legislatif (caleg).

”Dengan suara terbanyak tidak mudah bagi elite untuk bersaing dengan caleg populis dari kalangan artis,”ungkap Ray dalam diskusi publik dengan tema ”Antisipasi Potensi Pelanggaran Pemilu 2009,Belajar dari Pengalaman Pemilu 1999 dan 2004” di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Karena itu, para caleg akan berupaya semaksimal mungkin untuk memperoleh kemenangan.

Menanggapi hal ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nur Hidayat Sardini menyatakan sudah menyiapkan antisipasi sejak dini terjadinya penyimpangan dan jual-beli suara.”Kami telah menggandeng 11 lembaga pemantau,forum rektor,dan kelompok gereja di Papua.Ini untuk memaksimalkan pengawasan,”ungkapnya. (dian widiyanarko)

Pengamat: Fatwa Itu untuk Mendulang Suara Partai

PELITA

Pengamat: Fatwa Itu untuk Mendulang Suara Partai


Keuskupan Agung Semarang Sepakat MUI


Jakarta, Pelita
Langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan Golput (memilih untuk tidak memilih) dinilai tidak hanya untuk mencegah terjadinya Golput, tetapi alat partai untuk mendulang suara.

Fatwa ini akan digunakan oleh setiap orang yang merasa dirugikan kalau pemilihnya makin kecil. Mereka tahu bahwa ini adalah alat. Kalau tidak menguntungkan mereka, maka fatwa ini akan dipakai untuk menambah suara kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesa, Ray Rangkuti, di Jakarta, Rabu (28/1).

Ditanya apakah fatwa haram Golput akan digunakan calon incumbent, Ray mengatakan kalau dilihat secara psikologi, 20 persen suara sudah milik Megawati dari yang dilihat total pemilih sejak 1999, 2004 dan sekarang. Sedangkan Partai Demokrat yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono perolehan suaranya mengalami fluktuasi.
Jadi dalam konteks ini tergantung kalau suara dia besar tanpa fatwa , fatwa itu tidak masalah, dia (SBY) diamkan saja. Tapi kalau tanpa fatwa suara SBY turun, dia akan pakai juga. Dia akan bilang, hei ingat umat Islam ini wajib memilih, pilih yang paling darurat, ungkapnya.

Sementara terkait dengan pelaksanaan pemilu legislatif, Ray menjelaskan secara histori, pertama kali yang meminta agar MUI mengeluarkan fatwa haram Golput adalah Hidayat Nur Wahid (PKS). Setelah MUI mengeluarkan fatwa, kemudian reaksi yang bergembira dengan fatwa ini adalah PPP, PKS dan KPU.

Kalau dilihat dari itu, mungkin, secara langsung atau tidak, tiga komponen ini yang paling diuntungkan, katanya.

Partai menengah

Di sisi lain, lanjut Ray, pada Pemilu 2009 mendatang terdapat massa mengambang (swing voter) yang besarnya hingga mencapai 45 persen. Pada tahun 2004, swing voter itu sendiri masuk ke Parpol menengah, seperti PKS, PPP dan PAN yang sekarang ketiganya tidak menuai prestasi yang bagus.

Kalau ada fatwa, dugaan saya swing voter ini akan kembali ke basis dimana risiko untuk memilih partai yang darurat itu, ya partai menengah. Artinya swing voter menunggu, kalau sampai tidak ada keputusan politik/partai yang sesuai dengan aspirasi mereka, potensi Golput akan tinggi, paparnya.

Pada bagian lain, Ray menilai tindakan MUI sebagai bentuk kelucuan. Ini kelucuan MUI saja. Mereka urus ilir tanpa urus hulunya. Jadi saya melihatnya hanya sebuah kelucuan. Kasihan MUI itu dan kalau lama-lama jadi bahan tertawaan orang karena yang mereka urusi adalah yang sudah selesai diurus orang lain, ujarnya.

Ray juga menilai MUI telah bertindak inkonsisten dalam mengambil dasar hukum keputusan fatwa haram Golput. Dalam keputusannya, MUI menggunakan logika bahwa tidak boleh ada kekosongan pemerintah, oleh karena itu umat Islam wajib menggunakan hak pilihnya. MUI juga menyatakan kalau tidak ada satupun pemimpin yang amanah, maka pilihlah yang terburuk diantara yang terburuk.

Padahal, kata Ray, jika MUI membaca UUD 45 dengan tegas dikatakan bahwa pemerintahan RI tidak boleh kosong. Di dalam UUD 45 tersebut juga sudah dilakukan bagaimana cara-cara mengisi kekosongan itu, yakni dengan cara melanjutkan kekuasaan yang ada dengan cara melanjutkann kekuasaan yang ada yang ditetapkan MPR.

Kedua, apabila Capres dan Wapres mengundurkan diri, akan diambilalih oleh Menko Polkam sehingga kekosongan itu tidak dikenal oleh konstitusi dan demokrasi.
Jadi dari mana asalnya kalau terjadi kekosongan kekuasaan. Karena itu fatwa MUI itu kontradiktif, serta menghadap-hadapkan kembali ajaran Islam dengan demokrasi di segi yang lain, tandasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pernah melontarkan himbauan agar tidak mengkait-kaitkan masalah Golput dengan masalah agama (fiqih). Pasalnya, menyelesaikan masalah golput cukup dilakukan dengan memberikan pendidikan politik ataupun himbau mengenai pentingnya menggunakan hak pilih.

Keuskupan Agung dukung

Sementara itu dari Semarang, Jawa Tengah, Keuskupan Agung Semarang menyatakan sepakat dengan fatwa haram terkait tidak disalurkannya hak suara pada pemilihan umum (Golput) yang dikeluarkan oleh MUI.

Kami sepakat bahwa menyalurkan hak pilih adalah lebih baik dari pada Golput, meskipun Golput juga merupakan hak dari setiap pemilih, kata Ketua Penghubung Karya Kerosulan Kemasyarakatan Keuskupan Agung (PK4A) Semarang Rm R Sugihartanto Pr di Semarang, Rabu (28/1).

Sugihartanto seperti dilansir Antara mengatakan, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi di antaranya, PK4A terus melakukan sosialisasi kepada umat nasrani melalui khotbah atau dengan mengumpulkan para pemimpin agama, dewan, dan pastor paroki. Kita sudah melakukan sosialisasi ke gereja-gereja di Jawa Tengah dan Yogyakarta, katanya.

Ia menjelaskan, dalam sosialisasi tentang demokrasi hingga tata cara pemberian suara sah dalam Pemilu 2009 tersebut pihaknya juga melibatkan KPU Jawa Tengah. Soal sosialisasi tata cara pemberian suara yang sah dalam Pemilu pascakeluarnya putusan MK, sampai sekarang masih belum jelas, katanya.

Sugihartanto menambahkan, upaya sosialisasi tersebut salah satunya untuk mencerdaskan pemilih dan wujud peran serta umat beragama. Kami tidak pernah menganjurkan untuk Golput, katanya.(ay)

Rabu, 28 Januari 2009

Lima: Tertibkan Lembaga Survei


INILAH.COM

Politik
28/01/2009 - 09:22
Lima: Tertibkan Lembaga Survei

Raden Trimutia Hatta

Ray Rangkuti
(inilah.com/Raya Abdulah)

INILAH.COM, Jakarta - Maraknya lembaga survei yang bermunculan menjelang Pemilu 2009 dianggap telah membuat bingung masyarakat. Lembaga survei memang tidak perlu diatur, namun alangkah lebih baiknya bila lembaga survei yang juga berfungsi sebagai tim sukses kandidat tertentu ditertibkan.

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti saat berbincang dengan INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (28/1). Menurutnya, bila tidak ditertibkan, lembaga survei 'jadi-jadian' itu dapat menggangu proses berjalannya demokrasi di Indonesia.

"Kita perlu mengawasi lembaga yang melakukan kerja survei, tapi saat bersamaan juga menjadi konsultan politik atau bahkan bukan hanya sekedar tim sukses kandidat terntentu. Yang seperti inilah yang perlu diatur," katanya.

Namun, lebih lanjut dia menjelaskan, hal itu hanya perlu diatur oleh kode etik saja tanpa campur tangan KPU yang mengharuskan akreditasi ataupun izin.

"Jadi kita semua dan masyarakat secara umum yang perlu mengawasinya, apa metodologi yang digunakan benar atau tidak. Kedua, apakah lembaga itu melanggar kode etik yang berlaku atau tidak," katanya.

Selain itu, Ray juga mendorong agar lembaga survei wajib mengumumkan siapa sumber dana mereka kepada publik. "Atau kalau memang tidak ingin diketahui siapa yang ada di belakangnya, maka lembaga suvei tidak perlu mengumumkan hasil surveinya kepada publik. Dan hal ini perlu dimasukan dalam kode etik," pungkasnya. [mut/nuz]

SBY Manfaatkan Fatwa Haram Golput Pada Pilpres

MyRMNews.Com

SBY Manfaatkan Fatwa Haram Golput Pada Pilpres


Rabu, 28 Januari 2009, 22:52:45 WIB

Laporan: Zul Sikumbang

Jakarta, myRMnews. Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai, keluarnya fatwa haram Golput akan dimanfaatkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertarungannya dengan Megawati Soekarnoputri. Pasalnya, PDIP ataupun Megawati telah memiliki pemilih fanatik sebesar 20 persen dari jumlah total pemilih.

"Ya, tergantung, kalau suara dia (SBY) besar tanpa fatwa haram golput , fatwa itu tidak masalah, dia diamkan saja. Tapi kalau tanpa fatwa tersebut, suara SBY turun, dia akan pakai juga. Dia akan bilang, hei, ingat umat Islam ini wajib memilih, pilih yang paling darurat," kata Ray, Jakarta, Rabu (28/1).

Sedangkan dari sisi partai politik, fatwa haram golput Majelis Ulama Indonesia ini menguntungkan beberapa partai politik papan tengah seperti PPP, PKS, PAN. Sebab ketiga partai ini mengharapkan swing voters untuk mendongkrak perolehan suara mereka.

"Kan ada historis dan reaksi. Historisnya, pertama kali yang minta ini kan Hidayat Nurwahid. Yang bergembira dengan fatwa ini adalah PPP, PKS dan KPU. Kalau dilihat dari itu, mungkin, secara langsung atau tidak, tiga komponen ini yang diuntungkan. Yang lain tidak ya, seperti PDIP, Golkar," ungkap Ray.

Ia menilai keputusan MUI adalah keputusan yang inkonsisten dan kontradiktif. Logika MUI itu katanya, adalah tidak boleh ada kekosongan pemerintah, oleh karena itu umat Islam wajib menggunakan hak pilihnya. Alasan lain MUI adalah kalau tidak ada satupun pemimpin yang amanah, maka pilihlah yang terburuk diantara yang terburuk ?
"Kalau MUI baca UUD 45 dengan tegas dikatakan bahwa pemerintahan RI tidak boleh kosong, sudah dilakukan cara-cara untuk mengisi kekosongan itu dengan melanjutkan kekuasaan yang ada yang ditetapkan MPR. Kedua, bila presiden dan wakil presiden mengundurkan diri, akan diambil alih oleh Menko Polkam sehingga kekosongan itu tidak dikenal oleh konstitusi dan demokrasi. Jadi dari mana asalnya kalau terjadi kekosongan kekuasaan," ungkap Ray.

Ray juga menilai, fatwa haram soal golput adalah suatu kelucuan yang dibuat MUI sendiri. MUI mengurus ilir tanpa mengurus hulunya.

"Saya melihatnya hanya sebuah kelucuan. Kasihan MUI itu dan kalau lama-lama jadi bahan tertawaan orang karena yang mereka urusi adalah yang sudah selesai diurus orang lain," tandasnya. [zul]

Lima Tolak Fatwa Golput MUI

okezone.com

1/27/2009 12:09 PM Local Time

Lima Tolak Fatwa Golput MUI

JAKARTA - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal golongan putih (golput) yang melakukan sidang Ijtima di Padang Panjang, Sumatera Barat, semakin ditentang banyak pihak. Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) fatwa yang mewajibkan umat Islam menggunakan hak pilihnya.

"Lima menolak keras fatwa golput sebagai haram," tegas Direktur Lima Ray Rangkuti, di Jakarta, Senin (26/1/2009).

Ray menilai tidak perlu ada fatwa yang melarang golput atau mewajibkan memilih. Karena hal itu seolah mengadu agama dengan demokrasi.

"Fatwa ini menghadapkan ajaran Islam dengan demokrasi yang kita anut," ujarnya.

Ray menilai fatwa tersebut bernada membela kepentingan kelompom elitis. Dia juga menilai fatwa tersebut tidak memihak masyarakat kelas kecil yang sering dirugikan politisi.

"Mereka (MUI) juga harus sadar bahwa definisi Golput itu tidak remeh," tegasnya.

Saat ada usulan dikeluarkan fatwa haram, Ray juga sudah mengeluarkan penolakannya. Sebab hal tersebut tidak logis dan terdengar aneh. Dia berpendapat sebaiknya tindakan goput dibiarkan saja.

"Bukan saja karena itu hak, tapi juga karena itu suatu kritik," tandasnya.

Ray Rangkuti: Capres RI 2009 Tidak Ada yang Ideal

WEB UIN, Syarif Hidayatullah, Ciputat

Ray Rangkuti: Capres RI 2009 Tidak Ada yang Ideal

Reporter: Akhwani Subkhi



Gedung FITK, UINJKT Online – Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menilai, sejumlah calon presiden yang akan maju pada Pemilu 2009 mendatang tidak ada ideal. Mereka tidak menawarkan visi apapun kecuali visi pribadi atau golongannya. Visi besar untuk membangun bangsa ini tidak mereka tawarkan. “Menurut saya calon presiden belum ada yang ideal dan cocok,” kata Ray ketika menjadi pembicara seminar nasional bertajuk Mencari Sosok Pemimpin Ideal 2009, di Gedung FITK, Selasa (27/1).



Pemimpin yang ideal, menurut Ray, yaitu mereka dapat melakukan negosiasi ulang perusahaan-perusahaan asing yang menguasai asset nasional seperti Freeport, Exxon Mobil dan lainnya. Selain itu, Capres yang ideal juga harus berani meminta pemotongan hutang luar negeri, bahkan bila perlu tidak membayarnya sama sekali. “Presiden mendatang harus menjaga kemandirian jati diri atau budaya bangsanya,” tegas alumni Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Jakarta ini.



Ray menilai calon presiden yang sudah beredar di masyarakat merupakan orang-orang yang akan menjual bangsa ini. Mereka merupakan generasi yang pola pikirnya pendek dan berasal dari proses manja, bukan karena pertarungan. “Pemimpin itu harus bisa mewujudkan keadilan, kesejahteraan sosial dan pemerataan,” tegasnya.



Ia mengingatkan, jika masyarakat tidak ingin terjerembab pada lubang yang sama, maka dalam Pemilu mendatang jangan sampai salah memilih presiden. “Sekali salah memilih dampaknya kita akan menderita selama lima tahun ke depan,” imbaunya.



Sementara itu, Ketua Umum KAMMI Daerah Jakarta Nouval Abuzar menawarkan, jika pada Pemilu mendatang tidak ada calon yang ideal, lebih baik memilih yang telah teruji di pemerintahan sekarang. “Kalau tidak ada yang ideal, pilih yang sama juga tidak apa-apa,” katanya.



Nouval sendiri mensyaratkan, pemimpin mendatang harus visioner, memiliki gagasan besar, dan integritas moral. [Nif/Ed]

PDIP Gaet Sultan Cuma Taktik


INILAH.COM

Politik
28/01/2009 - 12:43

PDIP Gaet Sultan Cuma Taktik

Vina Nurul Iklima

INILAH.COM, Jakarta - Kian kencang disebut-sebut jadi cawapres Mega, Sultan jangan 'kepedean'. PDIP menggaet Sultan adalah taktik formalitas semata.

"Belum tentu, itu hanya formalitas saja. Ini taktik supaya Sultan tidak ke mana-mana, biar tidak diambil orang," kata direktur eksekutif LIMA Ray Rangkuti kepada INILAH.COM, Jakarta Rabu (28/1).

Ray mengaku khawatir Sultan hanya dijadikan isu baru oleh PDIP. Oleh sebab itu, tim sukses Sultan harus hati-hati mengambil langkah.

"Tim sukses Sultan jangan terlalu membawa Sultan ke Mega," kata dia.

Sebab, dengan menggriring Sultan ke Mega bukan serta merta menjadi jaminan Sultan orang kedua Mega. Sementara Sultan sendiri pun pihak ketiga di antara Mega dan SBY, yakni mencalonkan diri sebagai presiden.

"Jadi itu (bakal cawapres Mega) semacam ikut saja dulu, belum serius. Tapi nanti pada saatnya Sultan juga tidak bisa mikir-mikir, dia ikut siapa saja," papar Ray.

Ray mengatakan manuver Mega-Sultan bisa mematikan kelompok dan parpol. "Mereka adalah Golkar atau SBY," pungkasnya. [ikl/ana]

Berlomba Bongkar Pasang Duet Capres

INILAH.COM

Pemilu 2009
31/10/2008 - 07:36

Berlomba Bongkar Pasang Duet Capres

R Ferdian Andi R


INILAH.COM, Jakarta – Pengesahan UU Pilpres dipastikan akan mendorong koalisi antarparpol demi merebut kursi RI-1. Survei politik memperkirakan akan muncul tiga pasangan calon presiden dalam Pemilu 2009. Siapa 'kuda hitam' yang bakal mampu menandingi SBY dan Megawati?

UU Pilpres menyepakati syarat pencalonan presiden-wakil presiden 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional.

Selama ini, berdasarkan hasil survei maupun tren dukungan, dua kandidat yang beredar kuat adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Dengan postur UU Pilpres yang disahkan DPR, Rabu (29/10), akan ada satu calon lagi yang bakal menyodok. Bukan tak mungkin, dia adalah kuda hitam sekaligus satria piningit.

Menurut Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, dengan syarat UU, membuka peluang munculnya tiga pasang calon pada Pemilu 2009 mendatang.

“Ketentuan ini membuka peluang munculnya capres ketiga. Capres pertama dan kedua adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Sukarnoputri,” ujar Denny di Jakarta, Kamis (30/10) ketika melansir hasil survei nasional calon presiden yang digelar oleh LSI.

Hal ini pun diyakini Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso. Menurut dia paling banyak empat pasangan capres-wapres yang bakal maju dalam Pilpres 2009. “Feeling saya, tiga pasangan calon. Paling banyak empat, tapi agak berat,'' katanya seusai pengesdahan UU Pilpres di gedung DPR.

Selain hanya akan memunculkan tiga pasangan capres, imbuh Priyo, diyakini dengan format persyaratan pengajuan capres-wapres hanya akan terjadi satu putaran pilpres.

Dalam survei LSI, terdapat lima tokoh potensial yang dapat mengisi ‘lowongan’ capres ketiga setelah SBY dan Megawati. Di urutan pertama ada Ketua Umum DPP Hanura Wiranto yang mencapai popularitas 20,2%, Gubernur DIY Sultan HB X sebesar 15,1%, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto sebesar 11,9%, dan Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir mencapi 2,4%.

Dari survei yang dilaksanakan sepanjang September di 33 provinsi dengan melibatkan 1.200 orang responden, SBY dan Megawati masih tetap merupakan dua kandidat terkuat. Selain itu, keduanya juga mengendalikan partai politik papan atas yang diprediksi akan mendominasi Pemilu 2009.

Nominator capres tersebut bisa saja tidak saling berhadap-hadapan satu sama lainnya. Sangat terbuka kelima figur tersebut membentuk koalisi alternatif untuk menyodok SBY maupun Megawati Soekarnoputri. “Sultan dan Prabowo bisa menjadi representasi koalisi alternatif. Sultan sosok negawaran, sedangkan Prabowo adalah sosok yang tegas,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Bima Arya Sugiarto.

Meski demikian, kelima nominator capres alternatif tersebut bisa saja tidak harus menjadi RI-1. Sangat terbuka kelima nominator capres unggulan untuk capres alternatif dapat menjadi pendamping di dua kekuatan besar, baik SBY maupun Megawati Soekarnoputri.

Partai Golkar, misalnya, memiliki pijakan pada arus internal partai. Dalam hal ini, mereka berniat menduetkan kembali Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla dengan SBY menjadi pilihan terbaik. JK maupun Partai Golkar dapat relatif aman dalam Pilpres 2009.

Capres alternatif yang direpresentasikan lima nominator tersebut secara teknis koalisi, jelas bukanlah usaha yang mudah, baik dari sisi personal antar kandidat, maupun teknis pembentukan pemerintahan yang kuat. Kondisi ini jelas berbeda apa yang terjadi baik di figur Megawati maupun SBY yang didukung dengan kekuatan partai yang tak kecil.

Oleh karena itu, dalam pandangan Direktur Ekskeutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, parpol harus mulai mengatur kode etik dan tata cara koalisi secara internal. Menurut Ray, koalisi harus terbentuk dengan benang merah visi-misi yang sama antar partai politik.

“Harus ada irisan visi dan misi. Jadi koalisi tidak hanya untuk presiden atau wapres,” ujarnya kepada INILAH.COM, Kamis (30/10) di Jakarta.

Selain itu, Ray mengusulkan, capres yang diajukan harus berpijak pada perolehan dalam pemilu legislatif dengan perolehan kursi parlemen terbanyak. “Ini juga mengarah kepada pengaturan jatah kursi kabinet yang tetap berpijak pada perolehan suara pemilu legislatif,” katanya.

Tampaknya menemukan siapa ‘satrio piningit’ dalam Pemilu 2009 bukanlah pekerjaan mudah. Selain hampir mayoritas parpol menentukan arah koalisi maupun pengajuan capres-wapres pasca pemilu legislatif. Namun setidaknya lima nominator versi LSI segera melakukan komunikasi politik untuk menyamakan visi-misi. [I4]

Aroma Suap di Balik Fatwa MUI

Politik
27/01/2009 - 13:44

Aroma Suap di Balik Fatwa MUI

R Ferdian Andi R


INILAH.COM, Jakarta – Fatwa haram Majelis Ulama Indonesia menuai kontroversi. Ada rumor, fatwa wajib memilih pemimpin ideal atas pesanan pihak tertentu. MUI membantahnya. Mereka menegaskan tak ada suap dalam fatwa tersebut.

Rumor yang berkembang membuat MUI seperti bermain api dalam mengeluaran fatwa soal Pemilu. Fatwa yang dihasilkan dari kesepakatan ulama di Padang Panjang, Sumatera Barat, itu tercium memiliki aroma suap.

Suap? Betulkah MUI bisa disuap? Tak ada yang pasti. Tapi, rilis hasil survei Transperanscy International Indonesia (TII) menyebutkan MUI berada di 10 besar indeks suap terhadap 15 institusi publik.

Mantan Ketua Majelis Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin membantah tudingan itu. Dia menegaskan, pihaknya sama sekali tidak menerima suap dari siapapun atas munculnya fatwa atas kewajiban memilih pemimpin yang ideal.

“Siapa yang menyuap? Kalaupun potensi suap, itu dari partai Islam yang katanya diuntungkan dari fatwa MUI. Tapi mana ada partai Islam yang banyak duit, yang banyak duit justru di partai sekuler,” katanya kepada INILAH.COM, Selasa (27/1) menjawab tudingan fatwa MUI terkait dengan pesanan oleh pihak tertentu.

Ma’ruf Amin yang saat ini juga menjabat sebagai Rois Mustasyar DPP PKNU ini menegaskan, munculnya fatwa wajib memilih pemimpin ideal dilandasai atas pro-kontra yang muncul di tengah masyarakat. “Kami tidak ujug-ujug mengeluarkan fatwa, tapi karena adanya wacana publik yang berkembang. Semua kelompok hadir, baik partai politik maupun ormas. Bahkan ulama bukan dari partai Islam juga sepakat,” tandas Ma’ruf.

Fatwa MUI terkait pemilu, memang relatif menggunakan bahasa moderat. Tak ada satupun kalimat yang menegaskan bahwa memilih untuk menjadi golongan putih berstatus hukum haram. Namun, fatwa MUI menyebutkan, memilih pemimpin yang muslim, jujur, amanah, cerdas, dan memperjuangkan aspirasi umat Islam, adalah wajib.

Selain itu, MUI juga menyebutkan, jika memilih yang tidak seperti kriteria tersebut atau tidak memilih sama sekali, padahal pemimpin seperti itu ada, makanya hukum haram. Artinya, memilih menjadi golongan putih pun, bisa masuk pagar haram.

Penegasan serupa disampaikan Wakil Sekertaris Komisi Fatwa MUI Asroun Niam Sholeh. Menurut dia, fatwa MUI sama sekali tidak terjebak pada wilayah politik praktis. Justru sebaliknya, imbuh alumnus MAPK Jember ini, fatwa MUI sebagai implementasi dari tanggung jawab politik keulamaan. “Secara umum tidak ada perdebatan, karena pembahasan fatwa MUI terkait pemilu tidak menjurus politicking,” katanya di Padang, Selasa (27/1).

Fatwa MUI ini seperti memiliki dua mata pisau. Di satu sisi, pihak tertentu merasa terbantu dengan fatwa MUI. Namun di sisi lain, beberapa pihak menilai fatwa MUI justru menjadi masalah baru di tengah apatisme publik terhadap proses pemilu.

Ketua KPU A Hafiz Anshary menyambut positif munculnya fatwa MUI terkait dengan memilih pemimpin yang ideal. Menurut dia, fatwa MUI dapat menggerakkan masyarakat untuk sadar hukum. “Mudah-mudahan angka golput menurun,” katanya, Selasa (27/1). Dia mengaku hingga saat ini KPU belum memplenokan fatwa MUI untuk menjadi instrumen sosialisasi pemilu.

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menilai, hakikatnya fatwa wajib memilih dan anjuran golput, dua-duanya tidak memiliki makna penting dan tidak diperlukan. Namun, imbuh mantan anggota KPU ini, fatwa wajib memilih jauh lebih bertanggung jawab daripada anjuran golput.

Respon lainnya muncul dari Dierketur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti. Menurut dia, fatwa MUI tentang wajib memilih dalam pemilu sama saja mempertentangkan ajaran Islam dengan demokrasi yang dianut di Indonesia. “Kami menolak keras fatwa MUI. Ini memperhadapkan ajaran Islam dengan demokrasi yang kita anut,” cetus alumnus IAIN Syarfi Hidayatullah Jakarta ini.

Hal senada disampaikan oleh Derketur Eksekutif Center for Elecetroal Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay. Menurut dia, posisi orang tidak memilih dalam pemilu memiliki banyak sebab. Yang terbesar karena persoalan teknis-administrasi. “Fatwa ini akan menjadi masalah di lapangan. Orang yang ingin mematuhi fatwa ini akan memaksa petugas KPPS. Padahal namanya tidak masuk di Daftar Pemilih Tetap (DPT),” tegasnya seraya mengingatkan, memilih dalam pemilu adalah menyangkut kesadaran politik, bukan dengan cara pemaksaan. [I4]

Ijtima Ulama KPU Hargai Fatwa MUI tentang Golput

KOMPAS

Ijtima Ulama
KPU Hargai Fatwa MUI tentang Golput


Rabu, 28 Januari 2009

Jakarta, Kompas - Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan golput atau orang yang sengaja tak memakai hak pilihnya dihargai oleh Komisi Pemilihan Umum. Namun, fatwa itu tidak akan menyurutkan sosialisasi Pemilu 2009.

Anggota KPU, Abdul Aziz, di Jakarta, Selasa (27/1), menuturkan, upaya masyarakat mana pun untuk meningkatkan kesadaran berpolitik patut dihargai. Walau bisa jadi meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pemilu 2009, KPU tetap harus menggiatkan sosialisasi kepada calon pemilih.

”Tentu fatwa itu tak membuat kami berleha-leha. Dengan atau tanpa fatwa, KPU tetap berupaya meningkatkan kinerja,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyebutkan, dalam konteks memilih sebagai hak, fatwa mengharamkan golput tak perlu dikeluarkan MUI. Dengan fatwa itu, memilih berubah dari hak menjadi kewajiban warga negara.

Secara terpisah, anggota KPU, Andi Nurpati, optimistis tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu 2009 akan meningkat pascakeluarnya fatwa MUI. Imbasnya, bagi umat Islam, menggunakan hak pilih adalah ibadah. Rendahnya partisipasi berpengaruh pada legitimasi hasil pemilu.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pun mendukung penuh ijtima (kesepakatan) MUI yang menyatakan umat Islam wajib menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Bagi PPP, adanya pemimpin itu wajib hukumnya sebab bila tidak ada pemimpin akan timbul anarki/kekacauan.

”Pemilu adalah satu-satunya sarana yang disepakati bersama, yang menjadi prasyarat untuk mendapatkan pemimpin,” ujar Ketua Fraksi PPP DPR Lukman Hakim Saefuddin, Selasa. Oleh karena itu, tak memilih pemimpin dengan sengaja hukumnya menjadi haram karena dapat menimbulkan anarki.

Dinilai berlebihan


Direktur Lingkar Masyarakat Madani Ray Rangkuti dan Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi di Jakarta, secara terpisah, menilai fatwa MUI itu berlebihan. Dasar pengambilan hukum dan kekhawatiran MUI sebenarnya diantisipasi dalam sistem demokrasi sehingga tidak akan ada kekosongan pimpinan.

Ray menilai fatwa MUI itu menguliti kulit bukan substansi. ”Kasihan kita melihat MUI jadi tertawaan orang,” ujarnya.

Hendardi menuturkan pula, ”Fatwa MUI bukan hukum positif yang mengikat publik, termasuk umat Islam, karena hanya bersifat imbauan atau pendapat kolektif ulama. MUI juga tak memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan publik,” lanjutnya. Namun, diakuinya, fatwa itu bisa menimbulkan keresahan di kalangan umat. (dik/mam/tra)

Senin, 26 Januari 2009

Fatma MUI : Golput Haram

Innaa li al-Allahi wa innaa ilaihi rojiuun

Minggu, 25 Januari 2009

Perppu Akan Ubah Pasal UU Pemilu

PIKIRAN RAKYAT

Perppu Akan Ubah Pasal UU Pemilu

Sabtu, 03 Januari 2009


JAKARTA, (PRLM).- Direktur Nasional Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Nasional Ray Rangkuti mengatakan rencana Presiden untuk menerbitkan Perppu atas tata cara pemberian suara dapat mengubah pasal-pasal lainnya di UU Pemilu. Perppu itu diminta oleh KPU guna mengatasi kemungkinan adanya pemberian suara yang salah akibat memberi tanda dua kali atau lebih.

Ray mengatakan , penerbitan perppu tersebut akan mengubah setidaknya pasal 153 ayat (1) yang menyatakan bahwa “pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara”. Dan pada ayat (2) yang menyatakan bahwa pemberian tanda satu kali itu pada dasarnya bertujuan untuk “memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan, dan efesien dalam penyelenggaraan pemilu.

Menurut Ray, perppu itu akan menghilangkan banyak pasal dan ayat dalam UU no. 10 tahun 2008. Terhitung perppu tersebut akan menghapuskan 3 (tiga) pasal dan 2 (dua) ayat serta 1 (satu) hurup. "Persoalannya hingga sekarang tak terdengar penjelasan yang konprehensip dari KPU maupun pemerintah tentang 1). Hal ihwal genting yang menjadi dasar penerbitan perppu. Dan 2). Cara lain yang lebih memungkinkan KPU dan pemerintah untuk menghindari adanya perppu dengan penghapusan pasal-pasal dan ayat-ayat dalam UU yang begitu banyak dan besar," katanya. (A-130/A-147)***

MK`s ruling may reduce women`s parliamentary seats

ANTARA

12/26/08 05:06

MK`s ruling may reduce women`s parliamentary seats


By Andi Abdussalam

Jakarta, (ANTARA News) - The widely welcomed Constitutional Court (MK)`s ruling this week which annulled article 214 of law on election is feared to hamper the fulfillment of women`s 30 percent seat quota in parliament.

The Constitutional Court ruled on Tuesday that seats in the country`s legislatures would go to the candidates who secured the most votes. The MK annulled article 214, which stipulated that seats were to be distributed to candidates based on their numerical order.

The United Development Party (PPP), which basically accepts the MK ruling, said it would affect the fulfillment of women`s quota in parliament.

"We initially hope that by putting in advance in the list the number of many female candidates, women would have more chances to be elected members of national and regional legislatures," said Lukman Hakim Saefudin, chairman of the PPP faction in the House of Representatives (DPR).

The MK`s decision will require the General Elections Commission (KPU) to implement the system where national and regional legislative seats are to be distributed to candidates who secure the most votes.

According to Saefudin, the new ruling will automatically affect political parties` intention in placing their female candidates in the top of their numerical order list.

"Now, all candidates have equal chance to win, no matter whether they are placed in the first numerical order, in the middle or in the bottom of the list. Therefore, PPP is no longer motivated to place female candidates based on numerical order," said Saefudin.

With this system, female candidates who are placed in advance based on the numeral order no longer have chances to reap votes from candidates ranked in the bottom of the list.

"Female candidates must also work hard if they want to win a seat in parliament," Saefudin said.

He said that with the change in the system, PPP will also change its strategy in the coming elections. The legislative election is scheduled on April 9, 2009.

"The new ruling will likely change PPP strategy because so far PPP has been accustomed to the numerical order system," Saefudin said.

In the meantime, the Women Defenders for Pancasila Democracy Movement (GPPDP) has voiced its protest against the MK`s ruling.

Yudha Irlang, member of the Working Group for Female Representation of the GPPDP, said MK through its decision has negated women`s struggle for their representation in parliament.

"The Constitutional Court ruling is questionable. It has discouraged women`s struggle," Irlang, who was accompanied by the Indonesian Women`s Coalition Secretary General Masruchah, said.

She said that the annulment of Article 214, Law No. 10/2008 on Legislative Elections negated the substance of other articles in the same law which stipulated the representation of women in parliament.

Irlang said the law on legislative election had been endorsed by the House of Representatives and the government, where the system to be adopted was a proportional system that could tolerate a specific action for the sake women`s representation.

The distribution of seats based on the collection of most votes is feared to spoil democracy. It is feared that candidates with enough fund sources would use money politics and approach voters.

Ray Rangkuti, director of non-governmental organization (LIMA), said that the MK decision was feared to lead parties to be involved "vote transactions".

"It is quite possible for candidates, particularly those who feel themselves not so popular, to involve in votes transactions," he said on the sidelines of a discussion forum in Jakarta on Wednesday.

Therefore, he said, the Elections Supervisory Board (Bawaslu) and the public at large should keep an eye on the possibility of vote transaction practices. "The election committee at the district level is a place prone to money politics," Rangkuti said.

In the meantime, Masruchah was of the view that the MK`s ruling was adversely contradictory to the constitution. She said that Law No.10/ 2008 on Legislative Elections had accommodated the representation of 30 percent women in parliament.

The law required that one of each three legislative candidates must be female. With the new stipulation that seats are to be distributed to candidates who secured the most votes, instead of to those listed in advance based on numerical order, the regulation on the female representative would be meaningless, according to Masruchah.

KPU chairman Hafiz Anshary said however that the MK decision would not affect women`s quota in parliament.

"The MK ruling will not change the quota of women in parliament but the votes they would secure will depend on the voters` choices," he said.

Abdul Hafiz Anshary at his office said that the KPU would issue a draft regulation on legislative candidacy following the Constitutional Court`s decision.

"The court`s decision as a legal product has to be upheld. The KPU will implement the decision by issuing a draft regulation on legislative candidacy. It is now still under deliberation," he said.(*)

COPYRIGHT © 2008



Copyright © 2008 ANTARA

UNDANGAN UJI PUBLIK VISI, MISI, PROGRAM CALEG AKTIVIS

UNDANGAN UJI PUBLIK


Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Nasional

dan Center for Indonesian Regional and Urban Studies (CIRUS)



mengundang kawan-kawan, saudara/i untuk hadir serta dalam acara " Uji Publik Visi, Misi dan Program Caleg Aktivis dan Kaum Muda", pada :



Hari/tanggal : Minggu, 1 Februari 2009



Jam : 10.00-13.00



Tempat : Rumah Makan Koetaradja, Jalan Senen Raya No 10 (seberang hotel OASIS AMIR), Senen, Jakarta Pusat



Acara : Uji Publik Visi, Misi dan Program Caleg Aktivis dan Kaum Muda



Bersama : 1. Budiman Soedjatmiko (Caleg DPR RI PDI-P, Dapil Jawa Tengah VIII)

2. Sarbini (Caleg DPR RI Partai Demokrat, Dapil Banten III)

3. Rama Pratama (Caleg DPR RI PKS, dapil DKI Jakarta I (2)

4. Iwan Dwi Laksono (Caleg PKB)

5. Wanda Hamidah (Caleg PAN DPRD, Jakarta Selatan)

6. Boston Manurung (Caleg DPR RI PPI, Jabar I)

6. Dita Indah Sari (Caleg PBR)*





Demikian undangan ini kami buat, atas partisipasinya, kami ucapkan banyak terima kasih.





Jakarta, 24 Januari 2009





Ray Rangkuti (Dir. Lingkar Madani untuk Indonesia)

Andrinof Chaniago (Cirus)

Sabtu, 24 Januari 2009

Penyelenggaraan Pemilu Belum Siap, KPU Banyak Berwacana

BERITABARU.COM

Penyelenggaraan Pemilu Belum Siap, KPU Banyak Berwacana

Sabtu, 10/01/2009 16:02 WIB

beritabaru.com/dw

Jakarta, beritabaru.com - Pemilu calon legislatif 2009 tinggal 89 hari lagi, namun banyak pihak yang masih meragukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat menyelenggarakan pemilu dengan baik. Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti bahkan mengajak masyarakat Indonesia memanjatkan doa agar Pemilu 2009 dapat terselenggara.

Bukan tanpa alasan, Ray menilai, secara keseluruhan justru dilapangan persiapan pelaksanaan pemilu belum maksimal, meski KPU mengklaim persiapan sudah mencapai 80 persen,"Jadi kita tinggal berdoa saja bahwa pemilu 2009 dapat berjalan saja, kalau sukses rasanya tidak mungkin," ujar Ray dalam diskusi dengan tema Pemilu Tinggal 3 Bulan Lagi di Jakarta, Sabtu (10/1).

Ada tiga hal menurut Ray yang bisa menjadi hambatan dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Pertama yaitu konsolidasi internal KPU yang tidak baik kepada anggota KPU di bawah dan ke sekertariat.

Kedua, soal sosialisasi yang masih sulit dilakukan karena hingga Januari ini peraturannya belum jelas, "Soal contreng atau mencoblos masih menjadi perdebatan dikalangan mereka," tambahnya.

Ketiga, lanjut Ray, terkait keputusan-keputusan soal perpu tentang pemilu itu sendiri. Hingga kini setidaknya ada empat perpu yang diajukan belum selesai.

Ray berharap Komisi II DPR RI dapat memangil sekertariat KPU untuk mencari tahu pola hubungan antara sekertariat dengan KPU, karena, menurutnya, kalau dirunut kembali persoalan-persoalan atau keteledoran KPU banyak bersumber dari sekertariat.

"Misalnya penyebutan jumlah partai yang masuk, soal DPT masih banyak informasi yang tumpang tindih. Kasus penguncian media center juga menunjukan situasi didalam yang belum berjalan baik," pungkasnya.

Wacana

Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan berpendapat KPU justru masih berkutat dengan konsep wacana yang dapat menggangu kinerja KPU sendiri ketimbang melaksanakan tugasnya sebagai public relation pelaksanaan Pemilu.

"KPU jangan berkutat pada persoalan NPWP dan membahas putusan MK tentang suara terbanyak. Putusan itu kan sudah selesai, jangan diperpanjang.Yang belakangan wacana tentang Perpres untuk penunjukan langsung (perusahaan pencetakan surat suara)," ujar Ferry.

Ferry meminta KPU seharusnya fokus pada tiga hal utama saja yaitu logistik dan pendistribusian surat suara, sosialisasi serta konsolidasi pelaksanaan sampai tingkat KPPS, "Itu tugas utama KPU sebagai PR pemilu," imbuhnya.

Sependapat dengan Ferry, Pengamat Politik dari LIPI, Lili Romli masih optimis KPU dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga penyelenggara pemilu asal serius menjalankan tiga tugas utama yang disebut diatas, "Hentikan wacana yang tidak perlu. KPU cukup jalankan tugasnya," ujarnya.

Sementara Anggota Bawaslu, Bambang Eka Cahyo, menyayangkan sikap KPU yang tidak transparan kepada pihaknya maupun kepada publik terkait persiapan-persiapan yang telah dilakukan KPU, "Sampai detik ini kita belum mendapat informasi sedikitpun tentang pengadaan (logistik pemilu).Saya khawatir pelaksanaan pemilu di Indonesia tidak akan serentak," ujarnya.

Meski dilahirkan dengan UU yang sama, Bawaslu merasa tidak pernah didengarkan baik kritik maupun masukan-masukan yang disampaikan ke KPU terkait pelaksanaan pemilu. Padahal, lanjut Bambang, faktanya banyak hal-hal penting yang justru belum dilakukan KPU.

"Masukan dan kritikan kita tidak pernah direspon, saya khawatir pemilu tahun ini tidak akan berjalan dengan baik. Kami (Bawaslu) seperti kekasih tidak dianggap," tuturnya. (San/Nda)

Janggal, Kasus Tifatul Akan Dihentikan

BERITA BARU.COM

Janggal, Kasus Tifatul Akan Dihentikan

Aryananda, Kurnia Illahi
Selasa, 20/01/2009 18:59 WIB

beritabaru.com/kurnia
Jakarta, beritabaru.com - Rencana pihak kepolisian untuk menghentikan kasus pelanggaran pemilu yang dilakukan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring dinilai janggal.

"Harus ada alasannya apakah data atau bukti yang dimiliki tidak cukup. Kalau tidak ada alasan itu ya tidak bisa," ujar Ray Rangkuti Direktur Lingkar Madani (Lima) saat dihubungi beritabaru.com di Jakarta, Selasa (20/1).

Menurut aktivis yang pernah mencalonkan diri sebagai anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) itu kejanggalan langkah Polri ini disebabkan karena terlalu cepatnya Polisi menetapkan Tifatul sebagai tersangka kemudian ditutup kembali kasusnya.

"Harusnya kalau dianggap belum cukup data atau bukti yang cukup, waktu itu dipanggil dulu sebagai saksi jangan langsung tersangka," ujar Ray.

Namun, untuk memperjelas kondisinya, Ray mengaku akan menunggu pernyataan resmi dari kepolisian terlebih dahulu, "Kita tidak menduga, makanya kita tunggu pernyataan resmi polisi," pungkasnya.

Sementara, Ketua Bawaslu, Nur Hidayat Satiri, menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan untuk soal penyidikan memang pihak kepolisian, sehingga Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tidak bisa intervensi dalam hal itu.

"Ya saya harus jelaskan dulu soal kewenangan Panwaslu itu adalah menindaklanjuti temuan dan laporan kepada KPU pelanggaran administrasi pemilu dan pidana pemilu kepada penyidik. Kemudian mau diapakan, merekalah yang punya kewenangan," jelas Nur Hidayat saat dihubungi pada kesempatan terpisah.

Menurut Nur, hal tersebut telah diatur dalam UU No 10/2008, dimana semua permasalahan pelanggaran Pemilu harus diawali dengan bukti penemuan awal.

Namun, lanjut Nur, seharusnya kalau memang polisi belum menemukan bukti, dari awal laporan Panwaslu tersebut seyogyanya ditolak saja.

Senada dengan Ray, Nur pun menyatakan pihaknya juga akan menunggu pernyataan resmi kepolisian sebelum menyikapi masalah tersebut.

Siang tadi, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Zulkarnaen mengatakan pihaknya tengah melakukan pertimbangan apakah akan melanjutkan atau menghentikan kasus Tifatul.

"Besok ketetapannya. Hari ini baru pertimbangkan saja," kata Zulkarnain.

Dalam pernyataannya Zulkarnain memberikan sinyalemen bahwa kasus tersebut akan dihentikan atas dasar pemeriksaan saksi ahli Dr Rudi Satrio yang dilakukan Jumat (16/1).

"Dia (Rudi) menjelaskan itu belum bisa dikategorikan kampanye sesuai UU No 10/2008 tentang Pemilu sehingga penyidik pertimbangkan untuk hentikan penyidikan," jelasnya.

Menurut Rudi, seperti dikatakan Zulkarnain, apa yang telah dilakukan massa PKS dalam demo menolak agresi Israel tersebut belum termasuk definisi kampanye, dimana salah satu definisinya ada pembacaan visi dan misi.

"Di situ tidak ada. Cuma bawa bendera. Tidak ada visi misi," jelasnya.

Dalam rekaman pun, diungkap Zulkarnain, tidak terlihat kalau massa PKS melanggar tindak pidana Pemilu, karena tidak ada kata visi dan misi.

Atas laporan Panwaslu sebelumnya yang menyatakan ada penyebutan visi dan misi dalam unjuk rasa tersebut, Zulkarnain hanya berujar, "Panwaslu juga hanya 'katanya'."

Yudhoyono-Kalla Diimbau Berbagi Tugas

SINAR HARAPAN

Sabtu, 24 Januari 2009

Yudhoyono-Kalla Diimbau Berbagi Tugas



Jakarta – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menunjukkan kepemimpinan yang tidak kompak. Sebab, di saat bersamaan keduanya melakukan kunjungan ke daerah. Ini memperlihatkan keduanya bersaing untuk kampanye.
”Ini tidak menunjukkan leadership yang kompak. Ini tidak boleh terjadi. Mereka kan cuma berdua, seharusnya bikin kesepakatan mengatur jadwal keluar kota,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit saat dihubungi SH di Jakarta, Sabtu (24/1).

Dalam sepekan ini, Presiden Yudhoyono melakukan kunjungan ke daerah, seperti Batam, Papua, dan Bali. Namun, di saat bersamaan, Wapres Jusuf Kalla berkunjung ke Yogyakarta dan Jawa Timur.

Menurut Arbi, sebenarnya Presiden dan Wapres harus berbagi tugas. Jika salah satu pergi ke luar kota, yang satunya harus tetap berada di kantor (Jakarta) untuk memastikan bahwa tugas pemerintahan terus berjalan. Jika kantor sampai kosong, Arbi mengkhawatirkan tugas pemerintahan bisa terganggu dan para menteri akan sulit berkoordinasi dengan atasan.

Harus Cermat

Arbi mengakui, kepergian Presiden dan Wapres keluar kota dalam waktu yang bersamaan, jelas memperlihatkan bahwa mereka berdua bersaing melakukan kampanye. Namun harus diingat, jika mereka berkampanye harus dilakukan sesuai UU, yaitu mengajukan cuti.
Direktur Lingkar Masyarakat Madani (Lima) Ray Rangkuti di Jakarta, Sabtu (24/1), mengatakan, belakangan ini banyak politisi yang menjadi pejabat negara, berkeliling dari daerah ke daerah dengan alasan menjalankan tugas negara. Namun, di sela-sela kunjungan ke daerah itu, mereka umumnya juga melakukan acara konsolidasi partai menjelang pemilu.

Untuk itu, kata Ray, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus secara cermat mengawasi berbagai pelanggaran yang dilakukan pejabat negara dalam berkampanye.

Gagasan KPU Soal Keterwakilan Perempuan Dinilai Nekat

DETIK.COM

Sabtu, 24/01/2009 00:34 WIB

Gagasan KPU Soal Keterwakilan Perempuan Dinilai Nekat

Ken Yunita - detikPemilu



Jakarta - Komisi Pemiliha Umum (KPU) bersepakat setiap tiga kursi DPR/DPRD yang diperoleh suatu parpol di sebuah daerah pemilihan (dapil) akan diberikan kepada caleg perempuan. Keputusan itu dinilasi sangat nekat.

"Itu jelas akan mengundang berbagai kontroversi dan perdebatan. Mungkin akan digugat ke Mahkamah Agung (MA)," kata Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti dalam rilisnya, Sabtu (24/1/2009).

Jika ini terjadi, kata Ray, konsenstrasi KPU akan terpecah. Akibatnya, bukan tidak mungkin pelaksanaan Pemilu 2009 menjadi tidak maksimal.

Karena itu, LIMA menolak dengan tegas kesepakatan KPU tersebut. Meski harus diakui keputusan MK meminggirkan salah satu jiwa UU No 10 tahun 2008. Yakni adanya keinginan yang kuat untuk memberi kesempatan
kepada perempuan berkiprah dalam politik.

"Tentu saja, kita tak dapat mengabaikan hal itu. Harus ada upaya yang keras dan dengan kemauan yang kuat dari berbagai pihak untuk mencari solusi bagi terakmodasinya prinsip affirmative action yang dimaksud. Tentu semau cara dan pikiran yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan prinsip dan peraturan kenegaraan yang lain," kata Ray.

Oleh karena itu LIMA mengusulkan partai politik melakukan moratorium politik parpol dalam bentuk kerelaan parpol untuk menyerahkan suara perolehan parpol, bukan caleg dari parpol, diserahan kepada caleg perempuan yang memperoleh suara terbanyak dalam parpol yang memperoleh kursi di dapil tersebut. Dalam ide ini, sama sekali tidak dibutuhkan perubahan apapun kecuali kesepakan parpol.

"Tidak pula perlu menunggu terlalu lama karena tak perlu ada yang dibuat sebagai dasar hukum. Lebih dari itu, moratorium ini tidak melanggar ketentuan apapun dalam UU yang sesuia dengan keputusan MK," tegas Ray. ( ken / gah )

KPU Dianggap Nekat

REPUBLIKA

Sabtu, 24 Januari 2009

KPU Dianggap Nekat
Kursi ketiga caleg perempuan disarankan diatur internal parpol saja.


JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai bertindak nekat kalau menerapkan kursi ketiga hanya berdasarkan peraturan KPU. Langkah KPU akan memunculkan kontroversi yang akan mengganggu kinerja mereka untuk menyelesaikan persiapan pemilu.

''Keputusan tersebut jelas akan mengundang berbagai kontroversi dan perdebatan. Bahkan, mungkin akan mengundang gugatan kepada Mahkamah Agung (MA),'' kata Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, kepada Republika, Jumat (23/1).

Kesepakatan KPU dalam rapat pleno atas ketentuan kursi ketiga bagi caleg perempuan merupakan suatu keputusan yang sangat nekat. Apalagi, kalau KPU benar-benar menerapkannya tanpa payung hukum peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

''Sekalipun niat KPU ini amat mulia, tetapi mestinya cara yang ditempuh tidak dengan jalan nekat-nekatan,'' kata Ray.

Dipaparkannya, ketentuan Pasal 53 dan 55 ayat (2) Undang-Undang No 10 Tahun 2008 hanya berkenaan dengan penyertaan perempuan dalam pencalegan, bukan dalam kemenangan. Tidak tepat bila KPU memaknai itu untuk ketetapan pemenangan perempuan.

Tata cara penetapan kemenangan calon terpilih, menurut Ray, mutlak harus diatur oleh undang-undang. Tidak bisa diatur dengan ketentuan di bawahnya. ''Penetapan calon terpilih harus diatur denmgan undang-undang, bukan peraturan KPU,'' paparnya.

Kenekatan KPU, kata dia, akan memberi efek kemungkinan adanya intervensi langsung KPU. Padahal, sebagai penyelenggara pemilu, KPU punya kewenangan yang ditentukan dan dibatasi undang-undang.

Ray khawatir bahwa langkah seperti ini akan menggejala bila tak ada satu ketentuan tegas terhadap kenekatan KPU ini. Lebih dari itu, tindakan KPU dapat menimbulkan kekisruhan sistem ketatanegaraan.

Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay, menyarankan ketentuan afirmasi perempuan dikembalikan saja ke parpol. Jika diserahkan ke parpol, menurut Hadar, akan bisa meminimalisasi konflik.

''Selain itu, bisa menunjukkan parpol mana saja yang memiliki komitmen terhadap keterwakilan perempuan,'' kata Hadar. Parpol memiliki kewenangan untuk membuat kesepakatan dengan calegnya dalam menempatkan caleg terpilih.

Dicontohkannya, parpol bisa membuat komitmen dengan calegnya untuk memberikan persentase suara kepada caleg perempuan. Caranya, dengan membuat kesepakatan bahwa 10 hingga 20 persen suara diberikan untuk caleg perempuan.

Pengaturan afirmasi perempuan tetap harus berpegang kepada prinsip suara terbanyak. Parpol tetap berwenang untuk menarik caleg terpilih, asalkan ada kesediaan caleg itu untuk mengundurkan diri. Kesediaan itu muncul jika parpol dan caleg membuat komitmen.

Berdasarkan Pasal 218 Undang-Undang Pemilu, caleg yang meraih suara terbanyak tidak bisa ditetapkan sebagai caleg terpilih jika yang bersangkutan meninggal dunia, tidak lagi memenuhi syarat sebagai caleg terpilih, mengundurkan diri, dan tersangkut kasus pidana pemilu. ''Caleg terpilih laki-laki yang berada di urutan ketiga harus mengundurkan diri atas kesepakatan dengan parpol,'' katanya.

Siap bahas
Mantan wakil ketua Pansus RUU Pemilu, Yasonna H Laoly (Fraksi PDIP), mengatakan, usulan Hadar Gumay tetap akan menimbulkan konflik. Menurutnya, sulit dicapai kesepakatan di tingkat parpol untuk memberikan kursi ketiga bagi perempuan.

Laoly mengatakan, DPR siap untuk mempercepat pembahasan perppu bersama pemerintah. Karena itu, lanjutnya, KPU sebaiknya tetap menunggu keputusan atas usulan dikeluarkannya perppu kursi ketiga. ''Bisa celaka jika penetapan (caleg terpilih) diatur oleh peraturan KPU,'' ungkap dia. dwo/ikh

Jumat, 23 Januari 2009

Jadwal Pilpres Terlalu Ketat Berisiko Tinggi

KOMPAS.COM

Jadwal Pilpres Terlalu Ketat Berisiko Tinggi


Jumat, 23 Januari 2009 | 20:00 WIB

JAKARTA, JUMAT — Sejumlah pihak mengapresiasi telah disepakatinya jadwal pemilihan umum presiden dan wakil presiden dalam rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemarin. Seperti diwartakan, jadwal yang disepakati adalah 8 Juli 2009 dan jika pemilu harus berjalan dua putaran maka jadwal putaran kedua adalah 8 September 2009.

Namun, kesepakatan itu harus segera ditetapkan untuk kemudian dijalankan secara konsisten dan ketat sehingga tidak ada lagi kelalaian yang dapat berakibat fatal. Pernyataan itu disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow, Jumat (23/1).

"Ada dua hal yang berpotensi mengganggu jadwal yaitu soal logistik dan sengketa pemilu. Dalam hal pertama, KPU terkesan lamban. Hal itu sangat mengkhawatirkan lantaran dapat mengakibatkan seluruh proses hingga pemilu presiden dan wakil presiden juga tertunda," ujar Jeirry.

Selain itu, terkait sengketa yang mungkin muncul, Jeirry meminta KPU bisa mencari cara untuk mengantisipasi kemungkinan seperti itu. Jadwal pemilu presiden dan wakil presiden bisa terganggu jika Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya merekomendasikan pemilihan suara ulang, baik pemilu legislatif maupun eksekutif.

"Semua kemungkinan seperti itu harus bisa sejak awal diantisipasi oleh KPU," tambah Jeirry.

Sementara dalam kesempatan terpisah, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, menilai jadwal yang ketat seperti itu, jeda tiga bulan antara putaran pertama dan kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, memang sudah sesuai ketentuan undang-undang, tetapi sangat berisiko dan riskan.

Berisiko apabila terjadi jadwal pemilu legislatif molor dari jadwal yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan begitu penetapan jadwal pemilu presiden dan wakil presiden yang ketat seperti itu harus berkonsekuensi, KPU harus dapat memastikan tidak ada keterlambatan atau penundaan apa pun, baik disebabkan faktor internal maupun eksternal.

"Faktor luar seperti adanya kerusuhan atau bencana alam sementara faktor internal akibat manajemen dan kinerja KPU bermasalah, koordinasi antarlini yang lemah, atau karena adanya anggota KPU yang terlibat suatu skandal, dan banyak hal lagi," ujar Ray.


DWA

Pengamat: KPU Nekat Terapkan "Zipper System

KOMPAS.COM

Pengamat: KPU Nekat Terapkan "Zipper System"

Jumat, 23 Januari 2009 | 20:18 WIB

JAKARTA, JUMAT — Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap sedang melakukan perbuatan nekat, terkait kesepakatan dalam rapat pleno tentang ketentuan zipper system. Keputusan tersebut menetapkan setiap tiga kursi DPR/DPRD yang diperoleh suatu partai politik di sebuah daerah pemilihan (dapil) akan diberikan kepada perempuan yang akan ditetapkan dengan peraturan KPU.

"Keputusan itu jelas akan mengundang berbagai kontroversi dan perdebatan. Bahkan, mungkin akan mengundang gugatan kepada Mahkamah Agung (MA). Dengan begitu, kontroversi ini setidaknya akan melahirkan kesibukan baru KPU, yang kini sudah tersedot perhatian dan konsentrasinya dalam melaksanakan teknis pemilu," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, Jumat (23/1).

Kenekatan pandangan KPU ini, lanjut Ray, didasarkan pada tafsiran mereka atas prinsip affirmatife action bagi 30 persen kursi di DPR dalam UU No 10 Tahun 2008. Kenyataannya, MK tidak membatalkan Pasal 53 UU No 10 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dan Pasal 55 Ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 tentang di dalam daftar bakal calon, dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.

Atas dasar inilah, KPU dianggap nekat menetapkan sistem baru, memberi satu kursi kepada calon perempuan dari 3 kursi yang diperoleh parpol dalam satu dapil.

"Sekalipun niat KPU ini amat mulia, tetapi mestinya cara yang ditempuh tidak dengan jalan nekat-nekatan. Sebab, tafsiran KPU atas Pasal 53 dan 55 Ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 tidak dengan sendirinya memberi kewenangan bagi mereka mengubah sistem pemenangan calon terpilih. Bila kembali dibaca secara teliti, Pasal 53 dan 55 Ayat (2) hanya mengatur tentang keharusan partai politik untuk memuat 30 persen dari caleg mereka di setiap dapil merupakan wakil dari perempuan yang disusun dalam bentuk setiap tiga calon harus terdapat satu di antaranya adalah perempuan," ujar Ray.

"Jelas, pengaturan ini hanya berkenaan dengan penyertaan perempuan dalam pencalegan bukan dalam kemenangan. Jadi agak membingungkan bila KPU langsung melompat pada ketetapan pemenangan perempuan. Jika dilihat dalam susunan UU, tata cara penetapan kemenangan calon terpilih mutlak harus diatur oleh UU, bukan oleh ketentuan di bawahnya. Dengan begitu, tata cara penetapan calon terpilih mestinya harus diatur oleh UU bukan oleh peraturan KPU," sambung Ray lagi.

Sementara pengaturan yang diperkenankan dibuat oleh KPU, imbuhnya, sebagaimana tercantum dalam UU No 22 Tahun 2007 tentang Parpol, hanyalah pengaturan terkait dengan penyusun, penetapan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 8 Ayat 1c), mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan (Pasal 8 Ayat 1d), menerbitkan Keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya (Pasal 8 Ayat 1 j) atau menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap partai politik (Pasal 8 Ayat 1 k).

Bila ada peraturan yang dibuat oleh KPU yang terkait dengan subtansi UU, lazimnya langsung dinyatakan oleh UU bahwa untuk seterusnya hal yang dimaksud akan diatur di dalam peraturan KPU (lihat misalnya Pasal 210 UU No 10 Tahun 2008).

"Kenekatan KPU ini secara langsung akan memberi efek dimungkinkannya adanya intervensi langsung KPU sebagai penyelenggara pemilu dengan kewenangan yang ditentukan dan terbatas terhadap pembentukan sistem pemilu yang sudah semestinya ditetapkan dalam UU. Kenekatan ini jelas akan menggejala bila tak ada satu ketentuan tegas. Menimbulkan kekisruhan sistem ketatanegaraan kita di mana materi subtansi UU dapat diatur hanya melalui ketetapan KPU. Suasana akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan sistem pemilu," paparnya.

Sebab, dalam perjalanannya UU Pemilu telah mengalami berbagai koreksi baik akibat keputusan MK, keluarnya Perppu dan Perpres, dan kini pengaturan subtansi UU oleh KPU. Jelas kekacauan seperti ini memperlihatkan karut-marut sistem ketatanegaraan kita.

Dengan seluruh dasar pertimbangan tersebut, maka LIMA Nasional menolak dengan tegas kesepakatan KPU untuk menerbitkan ketentuan penerapan metode bahwa setiap 3 kursi perolehan parpol dalam dapil, satu di antaranya diserahkan kepada perempuan.


Rachmat Hidayat
Sumber : Persda Network

PERNYATAAN SIKAP TENTANG KEPUTUSAN KPU ATAS AFF ACTION

PERNYATAAN SIKAP LINGKAR MADANI UNTUK INDONESIA

TENTANG KENEKATAN KPU MENETAPKAN AFFIRMATIVE ACTION PEREMPUAN





Kesepakatan KPU dalam rapat pleno tentang ketentuan bahwa dalam setiap tiga kursi DPR/DPRD yang diperoleh suatu partai politik di sebuah daerah pemilihan (dapil) akan diberikan kepada perempuan yang akan ditetapkan dengan peraturan KPU merupakan suatu keputusan yang sangat nekat.




Keputusan tersebut jelas akan mengundang berbagai kontroversi dan perdebatan. Lebih dari bahkan mungkin akan mengundang gugatan kepada Mahkamah Agung. Dengan begitu, kontroversi ini setidaknya akan melahirkan kesibukan baru KPU, yang pada umumnya telah sangat tersedot perhatian dan konsentrasinya dalam melaksanakan tehnis pemilu.




Kenekatan pandangan KPU ini didasarkan pada tafsiran mereka atas prinsip affirmatif ection bagi 30% kursi di DPR dalam UU No 10 tahun 2008. KPU juga menyebut bahwa kenyataannya Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan pasal 53 UU No 10 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan dan pasal 55 ayat (2) UU No 10 tahun 2008 tentang di dalam daftar bakal calon, dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Dengan tiga asumsi dasar ini, KPU nekat menetapkan sistem baru : memberi satu kursi kepada calon perempuan dari 3 kursi yang diperoleh parpol dalam satu dapil.




Sekalipun niat KPU ini amat mulia, tetapi mestinya cara yang ditempuh tidak dengan jalan nekat-nekatan. Sebab :




1. tafsiran KPU atas pasal 53 dan 55 ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 tidak dengan sendirinya memberi kewenangan bagi mereka mengubah sistem pemenangan calon terpilih. Bila kembali dibaca secara teliti, pasal 53 dan 55 ayat (2) hanya mengatur tentang keharusan partai politik untuk memuat 30% dari caleg mereka disetiap dapil merupakan wakil dari perempuan yang disusun dalam bentuk setiap tiga calon harus terdapat satu diantaranya adalah perempuan. Jelas pengaturan ini hanya berkenaan dengan penyertaan perempuan dalam pencalegan bukan dalam kemenangan. Jadi agak membingungkan bila KPU langsung melompat pada ketetapan pemenangan perempuan.




2. Jika dilihat dalam susunan UU, tata cara penetapan kemenangan calon terpilih mutlak harus diatur oleh UU, bukan oleh ketentuan di bawahnya. Dengan begitu, tata cara penetapan calon terpilih mestinya harus diatur oleh UU bukan oleh peraturan KPU. Sementara pengaturan yang diperkenankan dibuat oleh KPU, sebagaimana tercantum dalam UU No 22 Tahun 2007 tentang Parpol, hanyalah pengaturan yang terkait dengan penyusun dan penetapan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan (pasal 8 ayat (1c), mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan (pasal 8 ayat (1d), menerbitkan Keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya (pasal 8 ayat (1 j) atau menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap partai politik (pasal 8 ayat 1 k). Bilapun ada peraturan yang dibuat oleh KPU yang terkait dengan subtansi UU, lazimnya hal tersebut langsung dinyatakan oleh UU bahwa untuk seterusnya hal yang dimaksud akan diatur di dalam peraturan KPU (lihat misalnya pasal 210 UU No 10 Tahun 2008).


3. Kenekatan KPU ini secara langsung akan memberi efek dimungkinkannya adanya intervensi langsung KPU sebagai penyelenggara pemilu dengan kewenangan yang ditentukan dan terbatas terhadap pembetukan sistem pemilu yang sudah semestinya ditetapkan dalam UU. Kenekatan-kenekatan seperti ini jelas akan menggejala bila tak ada satu ketentuan tegas terhadap kenekatan KPU ini. Lebih dari itu, akan dapat menimbulkan kekisruhan sistem ketatanegaraan kita di mana materi subtansi UU dapat diatur hanya melalui ketetapan KPU. Selaitu itu, suasana ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan sistem pemilu. Sebab, dalam perjalanannya UU pemilu telah mengalami berbagai koreksi baik akibat keputusan MK, keluarnya perppu dan perpres, dan kini pengaturan subtansi UU oleh KPU. Jelas kekacauan seperti ini memperlihatkan carut marut sistem ketatanegaraan kita.


4. Dengan seluruh dasar pertimbangan tersebut, maka LIMA Nasional menolak dengan tegas kesepakatan KPU untuk menerbitkan ketentuan penerapan metode bahwa setiap 3 kursi perolehan parpol dalam dapil, satu diantaranya diserahkan kepada perempuan.


5. Memang harus diakui bahwa keputusan MK meminggirkan salah satu jiwa UU No 10 tahun 2008. Yakni adanya keinginan yang kuat untuk memberi kesempatan kepada perempuan berkiprah dalam politik. Tentu saja, kita tak dapat mengabaikan hal itu. Harus ada upaya yang keras dan dengan kemauan yang kuat dari berbagai pihak untuk mencari solusi bagi terakmodasinya prinsip affirmative action yang dimaksud. Tentu semau cara dan pikiran yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan prinsip dan peraturan kenegaraan yang lain. Oleh karena Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Nasional mengusulkan agar partai politik melakukan MORATORIUM POLITIK PARTAI POLITIK dalam bentuk kerelaan parpol untuk menyerahkan suara perolehan parpol, bukan caleg dari parpol, diserahan kepada caleg perempuan yang memperoleh suara terbanyak dalam parpol yang memperoleh kursi di dapil tersebut. Dalam ide ini, sama sekali tidak dibutuhkan perubahan apapun kecuali kesepakan parpol. Tidak pula perlu menunggu terlalu lama karena tak perlu ada yang dibuat sebagai dasar hukum. Lebih dari itu, moratorium ini tidak melanggar ketentuan apapun dalam UU yang sesuia dengan keputusan MK.




Demikian pernyataan sikap ini kami buat. Atas perhatian dan partisipasinya, kami ucapkan banyak terima kasih.







Jakarta, 23 Januari 2009







Ray Rangkuti

Direktur

Kamis, 22 Januari 2009

Tifatul Masih Tersangka

TRIBUN TIMUR

Tifatul Masih Tersangka
Kamis, 22 Januari 2009 | 23:36 WITA

Jakarta, Tribun - Presiden PKS Tifatul Sembiring ternyata belum bisa bernafas lega. Hingga Rabu (21/1) ia masih berstatus sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran kampanye pada 2 Januari lalu. Ia dilaporkan Panwaslu DKI ke kepolisian.


Tifatul dinilai melanggar UU Pemilu No 10 tahun 2008 dengan ancaman pidana satu tahun penjara. Humas DPP PKS, Mabruri, Rabu (21/1), mengaku heran dengan sikap Polda Metro Jaya yang menyatakan tidak ada SP3 (penghentian perkara) dalam kasus ini.

"Kami terus berkonsultasi dengan tim hukum untuk meneliti pernyataan terakhir pihak Polda Metro Jaya. Ini ada kejanggalan karena kemarin sudah menyatakan akan dihentikan, tapi sekarang dilanjutkan kembali. Kami akan secepatnya bersikap sambil mempelajari fakta-fakta hukum," katanya.

Ia menyatakan, kasus ini terkesan sarat intervensi dengan kepentingan-kepentingan elit tertentu. "Kasus yang kami (PKS) alami ini di politisasi. Sangat jelas sekali mengesankan adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu," katanya.

Saat dimintai komentarnya, Ketua Panwaslu Pusat, Nur Hidayat Sardini, justru yang merasa aneh jika kasus ini dihentikan ditengah jalan .

"Kalau memang kasus itu tidak memenuhi unsur pelanggaran, kenapa laporan itu diterima pada awalnya? Kenapa tidak langsung ditolak saja. Ini, kan sama saja memalukan institusi kami (Panawaslu) yang bekerja berdasar undang-udang. Tugas kami memberikan fakta-fakta pelanggaran yang kemudian ditindaklanjuti oleh penyidik," kata Nur Hidayat.

Sehari sebelumnya, Polri sudah menyatakan akan menghentikan kasus ini. Hal ini kemudian ditanggapi sumringah oleh mantan Presiden PKS yang kini menjabat sebagai Ketua MPR, Hidayat Nurwahid. Ia kepada para wartawan di gedung DPR kemudian menyatakan, partainya tidak perlu menuntut balik panwaslu.

"Lebih baik dimaafkan saja, tidak perlu menuntut balik. Sejak awal saya menyatakan tidak ada unsur pembuktiaan jika PKS telah melakukan kampanye terselubung dalam demo solidaritas untuk Palestina pada 2 Januari 2009. Saya berharap, Panwaslu bisa bekerja secara profesional dalam hal ini," kata Hidayat Nurwahid.

Namun, permintaan Hidayat tak diamini oleh petinggi PKS lainnya, Ketua Fraksi PKS DPR, Mahfudz Siddiq. Ia tegas menyatakan akan menuntut balik Panwaslu DKI karena dianggap melanggar prosedur dalam melaporkan partainya ke Polda Metro Jaya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menyayangkan bila Polri menghentikan kasus ini.Ray mengungkapkan, bila benar kasus ini dihentikan, maka sama saja Polri dan Panwaslu sengaja dipermalukan dan akan ditertawakan oleh publik.

"Kalau memang kemudian Polri memutuskan melakukan penghentian penyelidikan terhadap PKS, ini tentu menjadi tanda tanya besar. Menjadi aneh, kalau kasus PKS dihentikan tiba-tiba begitu saja," kata Ray Rangkuti kepada Persda Network, Rabu (21/1).

Namun, permintaan Hidayat tak diamini oleh petinggi PKS lainnya, Ketua Fraksi PKS DPR, Mahfudz Siddiq. Ia tegas menyatakan akan menuntut balik Panwaslu DKI karena dianggap melanggar prosedur dalam melaporkan partainya ke Polda Metro Jaya.(Persda Network/yat/lim)


Polisi Masih Kumpulkan Bukti
POLDA metro Jaya terus melengkapi bukti-bukti dugaan kampanye terselubung yang dilakukan calon presiden (Capres) dari PKS tersebut.

Kepala Bagian (Kabag) Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Zulkarnain, usai melakukan pertemuan dengan pejabat Polda Metro Jaya, mengatakan, dengan sisa waktu yang ada penyisik akan terus dan berusaha melengkapi bukti-bukti dugaan kampanye terselubung tersebut.

Menurutnya, waktu penyidikan berakhir 28 Januari mendatang. Itu karena perhitungan 14 hari masa proses penyidikan hingga diketahui kepastian nasib perkara tersebut dihitung sesuai dengan hari kerja yang berlaku.

"14 hari yang dimaksud itu bukan sekarang ini (Rabu,Red). Karena hari Sabtu dan Minggu tidak dihitung, sebab bukan termasuk hari kerja. Jadi terakhirnya proses penyidikan, pada Rabu mendatang," terangnya.

Ia berharap panwaslu juga membantu jajaran kepolisian untuk menambah bukti dukung terkait dugaan kampanye terselubung itu.

Ketua Panwaslu DKI, Ramdhansyah, yang dihubungi terpisah, mengharapkan jajaran kepolisian untuk bekerja lebih giat lagi dan banyak kreasi dalam memproses kasus yang menimpa presiden PKS tersebut.

"Kalau bukti-bukti yang telah kami sampaikan dianggap kurang, tentunya penyidik harus lebih banyak kreasi dan bekerja lebih giat lagi untuk memanfaatkan waktu yang ada," pintanya.(Persda network/coi/lim)

Stop Sidik Tifatul, Preseden Buruk

INILAH.COM

Politik
22/01/2009 - 05:38

Stop Sidik Tifatul, Preseden Buruk
Djibril Muhammad

INILAH.COM, Jakarta - Polda Metro mempertimbangkan menghentikan penyidikan kasus pelanggaran pidana pemilu dengan tersangka Presiden PKS Tifatul Sembiring. Jika langkah itu dilakukan, kredibilitas Panwaslu sebagai lembaga pengawas dan kepolisian akan rendah di mata masyarakat.


"Jika benar polisi ingin menghentikan kasus ini, panwaslu akan menurun kredibilitasnya di mata publik. Kalau benar artinya kepolisian dan panwaslu melakukan tindakan sembrono. Itu bahaya," jelas Direkur eksekuif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti kepada INILAH.COM, Jakarta, Rabu (21/1) malam.


Menurut mantan sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) ini, masyarakat nantinya akan menilai tidak adanya kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Khususnya kepada panwaslu dan kepolisian.


Ray menambahkan, jika benar penyidikan kasus Tifatul itu dihentikan, maka akan menjadi preseden buruk. Sebab parpol lain akan dapat berkilah. "Dalam kasus ini saya menghimbau agar panwaslu melakukan instropeksi," ujarnya.


Meski begitu, lanjut Ray, seharusnya penyidik mengumumkan alasan jika ingin menghentkan kasus tersebut. Jika karena alasan tidak lengkap, polisi bisa meminta kepada panwaslu untuk melengkapi berkas pelanggaran pidana pemilu yang dilakukan Tifatul tersebut.


"Menimbulkan tanda tanya besar. Kalau bukti lemah kenapa diterima oleh polisi. Yang parah langsung ditetapkan sebagai tersagka. Aneh juga," kata Ray.


Ray menjelaskan, memang agak sukar untuk mendefinisikan kampanye secara tepat. Karena kampanye merupakan satu kesatuan, yang tidak bisa dipisahkan hanya dengan menampilkan atribut partai. Atau dengan menampilkan visi dan misi.


"Kalau definisi secara baku akan menutup ruang kampanye. Itu pasti akan terbentuk sendiri secara alami. Kalau mau jujur banyak terjadi pelanggaran pemilu di daerah-daerah," bebernya. [jib/nng]

Senin, 19 Januari 2009

LIPUTAN KHUSUS Ray Rangkuti Nuansa Barter di Balik Perppu


SINAR HARAPAN

LIPUTAN KHUSUS

Ray Rangkuti
Ada Nuansa Barter di Balik Perppu



Ibarat lagu Menghitung Hari dari biduan kondang Krisdayanti, pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) legislatif pun boleh dibilang tinggal menghitung hari saja. Namun, meski pemilu tinggal delapan puluh hari lagi, Komisi Pemi-lihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu belum secara pasti memutuskan cara penandaan yang sah pada surat suara.

Direktur Lingkar Madani (Lima) untuk Indonesia Ray Rangkuti menilai, nuansa barter peraturan lebih kental dalam rencana pembuatan Perppu ini. Lagi pula, pemerintah dalam hal ini sepertinya mendesak KPU. Berikut wawancara SH dengan Ray Rangkuti.

Bagaimana Anda melihat rencana pembuatan Perppu centang dua kali?
Dalam salah satu diskusi di televisi, anggota KPU I Gusti Putu Artha mengatakan, peraturan Perppu soal rencana centang dua kali ini atas desakan pemerintah. Pemerintah meminta Perppu dan kemudian KPU bersama rapat pimpinan DPR menyetujui hal ini. Dan di tengah soal itu, berkembang juga permintaan untuk Perppu yang lain. Akhirnya berkembang usulan Perppu lain. Jadi kalau dilihat yang terjadi, Perppu itu keinginan pemerintah, yang menjadi pertanyaan ada apa dengan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono-red) sehingga meminta Perppu ini diberlakukan?

Sebenarnya, perlu atau tidak Perppu ini untuk mengantisipasi banyaknya golput akibat salah memberikan tanda?
Perppu tanda centang itu sebenarnya tidak perlu. Terkait masalah itu sebenarnya yang perlu dilakukan KPU adalah menformat desain surat suara sehingga mengakomodasi ketetapan undang-undang, dan masyarakat disahkan mencentang sekali. Kalau surat suara diubah, otomatis Perppu itu tidak dibutuhkan lagi. Anehnya, kemudian KPU menjadi ragu untuk memutuskan surat suara. Ini menunjukkan ada sesuatu yang terjadi sehingga KPU rela mengikuti keinginan pemerintah untuk membuat Perppu.

Perppu ini memang atas permintaan pemerintah, apakah KPU harus selalu diikuti?
KPU Tentu saja dilarang keras membiarkan dirinya diintervensi pihak mana pun. Tetapi, karena ketidakmampuan, akhirnya dia berlindung di bawah payung Perppu.

Pemilu tinggal beberapa hari lagi, apakah perubahan ini akan membingungkan masyarakat?
Selama ini KPU mensosialisasikan centang cukup sekali. Bahkan, bila Perppu diubah, tetap disosialisasikan centang sekali, walaupun bila ada centang dua kali tetap dianggap sah. Jika ini terjadi maka sama saja KPU telah melakukan kebohongan publik, menutupi kebenaran undang-undang. Di situ menariknya, kalau Perppu itu dikeluarkan, ternyata KPU menyatakan mensosialisasikan tetap sekali. Kami akan mempersiapkan gugatan, karena itu membohongi peraturan.

Bukankah tinggal mensosialisasikan perubahan?
Centang satu kali atau dua kali itu tidak masalah. Tetapi yang menjadi masalah, rencana Perppu itu atas permintaan presiden. Kemudian, pada saat bersamaan KPU sepertinya membarter pasal centang ini dengan pasal-pasal lain, sehingga keluarlah usulan Perppu terkait banyak hal lagi. Dalam suasana barter itulah keputusan dibuat. Sebenarnya ada apa ini? Sangat masalah kalau pemerintah mengintervensi KPU. (vidi vici)







Copyright © Sinar Harapan 2008

Minggu, 18 Januari 2009

Pejabat Jangan Pakai Fasilitas Negara

PIKIRAN RAKYAT

Pejabat Jangan Pakai Fasilitas Negara
Minggu, 18 Januari 2009

JAKARTA, (PRLM).- Pejabat negara maupun daerah yang akan melakukan kampanye untuk Pemilu 2009 harus benar-benar tidak menggunakan fasilitas negara. Untuk itu perlu sanksi yang keras terhadap para pejabat yang menyalahgunakannya.

Hal itu diungkapkan Ketua Nasional Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti ketika dihubungi "PRLM" di Jakarta, Minggu (18/1).

"Fasilitas negara bukan untuk satu golongan saja. Sehingga semua pihak harus mengawasi hal itu," kata Ray.

Seperti diketahui, Pemerintah akan melakukan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah (PP) tentang kampanye pejabat. Beberapa butir krusial antara lain kampanye pejabat negara untuk setingkat menteri yang mengajukan diri sebagai calon presiden (capres) atau wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 maka harus mengundurkan diri.

Sedangkan untuk pejabat negara yang merupakan representasi dari pejabat daerah seperti gubernur, wagub, bupati, wabup, walikota, wakil wali, kalau dia yang mengajukan diri sebagai capres atau cawapres harus dinonaktifkan dari jabatannya.

Ray menilai, PP itu akan membuat semakin leluasa bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon incumbent dalam Pemilu 2009 mendatang. Dengan adanya PP itu, kata Ray, maka tim Presiden Yudhoyono akan semakin solid untuk berkonsentrasi melakukan persiapan untuk Pemilu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009.

"Dengan PP ini, artinya Presiden Yudhoyono sudah siap berkonsentrasi dalam Pilpres 2009. PP ini pun berancang-ancang untuk merantai menteri-menteri kabinet, mana yang akan maju dan mana yang tidak," kata Ray.

Namun Ray mengatakan tidak ada perubahan signifikan dalam kabinet Indonesia bersatu jika nantinya PP itu diterbitkan. Alasannya, pimpinan parpol yang menjadi menteri itu hanya dua orang saja yakni Menteri Koperasi dan UKM Surya Dharma Ali (Partai Persatuan Pembangunan) dan M.S. Kaban (Partai Bulan Bintang).

Seperti diketahui, pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang tata cara kampanye bagi pejabat negara. Hal itu dilakukan karena UU yang ada berbeda, sehingga PP Nomor 9 Tahun 2004 akan diselaraskan.

Namun sesuai UU yang baru, pejabat negara ditentukan hanya sehari dalam seminggu. "Dengan demikian, diluar hari libur maka ketentuan itu akan berlaku," kata Menteri Dalam Negeri Mardiyanto di Kantor Presiden, Jumat (16/1) lalu.

Untuk incumbent yang mencalonkan diri, Mendagri menyatakan akan ada penegasan-penegasan. Misalnya, presiden dan wapres yang mencalonkan diri tetap memperoleh hak-haknya seperti dalam hal keamanan dan kesehatan. "Cutinya juga sama. Sedangkan hal-hal lain akan diatur oleh Komisi Pemilihan Umum," katanya.

Mantan Ketua Panitia Khusus Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Ferry Mursyidan Baldan menjelaskan perlu ada pengaturan yang jelas jika incumbent baik presiden maupun wakil presiden berkampanye untuk Pilpres 2009. "Intinya, tugas negara tidak terlantar. roda pemerintahan tetap berjalan, dan tidak menggunakan fasilitas negara. (A-130/A-26)

Soal Wacana Kursi Ketiga untuk Perempuan

HARIAN FAJAR

Lima Usulkan Moratorium Politik
(19 Jan 2009)

Soal Wacana Kursi Ketiga untuk Perempuan

JAKARTA--Semangat Komisi Pemilihan Umum mempertahankan affirmative action dengan memasukkan dalam peraturan KPU bahwa satu dari tiga caleg terpilih harus perempuan bakal mendapat banyak rintangan. Pasalnya, KPU tidak memiliki kewenangan regulasi seperti itu."Bicara substansi, saya setuju agar affirmative action tidak hilang begitu saja dari UU," ujar Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) kepada Fajar, Minggu 18 Januari.

Hanya saja, kata dia, kalau pengaturan seperti itu mau dimasukkan dalam peraturan KPU, itu sudah menyalahi. Alasannya, KPU tidak memiliki kewenangan regulasi. "Kalau itu mau dimasukkan dalam peraturan, itu sudah regulasi. Kewenangan KPU tidak sampai di situ, karena itu sudah terlalu tinggi," ujarnya.

Yang bisa dilakukan, kata Ray Rangkuti menyarankan, bisa dilakukan moratorium politik. Caranya, dengan meminta semua parpol untuk mengikrarkan di hadapan KPU agar affirmative action itu harus tetap dilakukan.

"Kalau mau langsung dilakukan, itu kan tidak fair. Masa perempuan tidak menang mau dipaksakan menang. Unsur pertandingannya tidak ada," urainya. Karena itu, yang bisa dilakukan adalah moratorium politik itu tadi. Jalannya, bisa dengan semua suara parpol (yang mencoblos tanda gambar partai) diberikan ke perempuan untuk dongkrak perolehan suaranya. Suara parpol itu bisa diberikan kepada perempuan yang memiliki perolehan suara paling banyak.

Ketua DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum mengatakan, pada Pemilu 2009, yang dibutuhkan caleg perempuan bukan zipper system. Akan tetapi dukungan konkret. Alasan Anas, keputusan MK sudah sangat jelas bahwa harus suara terbanyak. Karena itu, zipper system tidak bisa diadopsi.

"Dengan demikian, KPU belum bisa mewajibkan satu dari tiga calon terpilih adalah perempuan. Yang bisa baru sebatas zipper system untuk penyusunan daftar caleg karena memang sudah diatur definitif," ujarnya.

Karena itu, Anas menyarankan, caleg perempuan harus mendapat dukungan dan perhatian. Cara paling baik untuk merealisasikannya adalah memberikan dukungan nyata dalam kampanye pemenangan di dapil.

"Partai juga perlu menyediakan alokasi logistik kampanye yang lebih besar dan lebih khusus kepada caleg perempuan," tambah mantan Ketua PB HMI ini. Selain itu, para aktivis perempuan juga perlu memberikan dukungan berupa tim asistensi dan tim sukses kepada caleg-caleg perempuan. Kalau memang tidak bisa semua, bisa dipilih yang memungkinkan menjadi caleg terpilih, karena kualitas dan popularitasnya.

"Jadi perhatian khusus di lapangan inilah yang lebih konkret. Bukan mengintroduksi aturan baru zipper system," tandasnya. Di Makassar, sejumlah caleg perempuan mendukung upaya KPU untuk mengusulkan Perpu terkait suara ketiga untuk perempuan. Politisi perempuan PDK, Hj Indriani Radjab mengatakan regulasi khusus untuk perolehan kursi perempuan sangat diperlukan dalam mendorong kuota perempuan di parlemen hasil pemilu legislatif mendatang. (har)

Caleg bersuara sama cenderung diputuskan dengan sebaran suara.

REPUBLIKA, Sabtu, 27 Desember 2008

PAW Harus Suara Terbanyak
Caleg bersuara sama cenderung diputuskan dengan sebaran suara.

JAKARTA -- Sejumlah pertanyaan masih muncul pascaturunnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak. Salah satunya adalah jika ada caleg yang meraih suara sama, sementara kursi yang diperebutkan tinggal satu atau hanya satu.

Pasal 214 huruf c UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif menyatakan penentuan kursi di antara dua caleg yang meraih suara sama, diputuskan dengan nomor urut, yaitu jatuh kepada nomor urut kecil. Tapi, MK pada selasa (23/12) menyatakan Pasal 214 ini bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Abdul Hafiz Anshary; mantan ketua Pansus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan; dan Direktur Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay, menilai penentuannya sebaiknya dengan persebaran suara yang diraih caleg.

Misalnya, kata Hafiz, caleg A yang meraih suara 1.000 suara dari 10 TPS, sementara caleg B meraih suara 1.000 dari suara tujuh TPS. Maka, kursinya jatuh kepada caleg A. ''Tapi, ini masih pendapat pribadi saya, belum diplenokan,'' katanya.

Hadar mengatakan, ''Paling bagus, pakai sebaran saja. Tentu, KPU harus menyiapkan data dengan sangat baik.''

Tapi, selain persebaran, Ferry Mursyidan mengusulkan penentuan caleg bersuara sama ini mengakomodasi semangat diskriminasi positif (affirmative action) di UU Pemilu. ''Jika terdapat jumlah suara yang sama, jika salah satunya adalah perempuan, maka ditetapkan calon perempuan yang meraih kursi,'' katanya.

PAW
Ferry juga mengusulkan agar proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR/DPRD juga ditentukan dengan suara terbanyak. Dia meminta ketentuan tersebut langsung dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Susunan dan Kedudukan (Susduk) DPR, DPD, dan DPRD yang kini sedang dibahas di DPR.

Selama ini, penentuan pengganti antarwaktu setelah seorang caleg di-PAW atau di-recall, ditentukan berdasarkan nomor urut. Tapi, setelah ketentuan penentuan caleg terpilih sudah berdasarkan suara terbanyak, Ferry mengatakan, ''Pengaturan PAW, penentuannya harus berdasar suara terbanyak.''

Gaya kampanye
Sementara itu, pascaturunnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat caleg terpilih ditentukan sepenuhnya dengan suara terbanyak, partai dan caleg dinilai perlu berubah. Apalagi, suara yang diberikan dengan mencoblos tanda gambar partai saja tak akan berperan dalam menentukan caleg terpilih.

Karena hanya suara yang mencoblos tanda gambar partai sekaligus nama caleg yang akan diperhitungkan dalam penentuan caleg terpilih (lihat boks), Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, mengatakan, ''Penting mengingatkan agar para caleg mengubah gaya kampanye mereka.''

Ray menilai para caleg harus berkampanye lebih individual dan substantif. ''Agar pemilih memiliki alasan kuat dan rasional untuk memilih calon,'' kata Ray. Kampanye seperti ini, kata Ray, akan membuat setiap caleg menjadi khas dibanding caleg lain--baik dengan saingan dari internal maupun dari eksternal parpol.

Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla, telah menginstruksikan para calegnya, sejak pendaftaran caleg, untuk melakukan kampanye individual, dari orang ke orang. ''Rakyat akan memilih siapa calon yang mempunyai prestasi dan track record yang baik. Itu makna dari suara terbanyak.''

Kalla membantah bahwa pemberlakuan suara terbanyak mematikan mesin politik partai. ''Mesin politik pada dasarnya tetap jalan, tapi dengan suara terbanyak itu akan lebih agresif lagi,'' katanya.

Hadar Gumay menilai keliru anggapan pemberlakuan suara terbanyak untuk menentukan caleg akan melemahkan partai. ''Kelembagaan partai itu kan berbasis konstituen. Jadi, ini justru semakin menguatkan partai. Tinggal Partai menata diri, katanya. ann/dwo/run/wed

Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara Bisa Tak Efektif

Strategi Kampanye SBY
Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara Bisa Tak Efektif

Senen, 19 Januari 2009 |

Jakarta, Kompas - Aturan tentang menteri yang akan berkampanye untuk pencalonannya sebagai presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri merupakan bagian dari hak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatur para pembantunya di kabinet.

Bahkan, aturan yang akan dimuat dalam peraturan pemerintah tentang tata cara kampanye pejabat negara itu merupakan strategi Presiden Yudhoyono yang piawai membentuk citra.

Demikian pendapat peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego, seusai diskusi di kawasan Pakubuwono, Jakarta, Sabtu (17/1).

”Kan dengan adanya PP itu, masyarakat bisa melihat, ’Oh, ternyata Presiden ada giginya juga’,” kata Indria Samego.

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto justru mempertanyakan patokan seseorang menjadi calon presiden atau wakil presiden. Secara formal, seseorang dinyatakan menjadi calon anggota legislatif saat sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Tentu, demikian halnya dengan capres dan cawapres Didik menyarankan agar dibuat ukuran yang jelas mengenai pencalonan.

Tak ingin disaingi

Selain itu, Didik juga mengkritisi aturan ”mengundurkan diri” bagi menteri yang berkampanye sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.

”Hal-hal yang menyangkut mundurnya menteri dari jabatan ditentukan secara resmi dalam level undang-undang. Jika hanya melalui peraturan pemerintah, kesannya Yudhoyono tidak ingin disaingi oleh menterinya dalam pemilu presiden,” ujar Didik.

Secara terpisah, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Wahidah Suaib, mengatakan, ketentuan cuti pejabat negara untuk berkampanye yang dimuat dalam peraturan pemerintah mengenai tata cara kampanye pejabat negara bisa tak efektif. Batasan cuti kampanye sehari dalam seminggu bagi pejabat negara tidak menutup kemungkinan para pejabat negara melakukan perjalanan dinas diselingi dengan kegiatan kampanye.

Menurut Wahidah Suaib, ketentuan lebih detail mengenai pengaturan kampanye oleh pejabat negara mesti ditunggu. Semakin dekat pelaksanaan Pemilu 2009, pendekatan terhadap rakyat semakin digiatkan.

Tanpa pengawasan ketat dan penerapan sanksi yang tegas, para petinggi parpol yang menjadi pejabat negara bisa menyalahgunakan fasilitas negara untuk kegiatan kampanyenya. Dengan peluang penyalahgunaan fasilitas negara yang tetap besar, Bawaslu meminta kepada aparat pengawas pemilu di daerah mencermati setiap kegiatan pejabat negara. ”Bukan rahasia, kalau kunjungan kerja ke daerah, sore atau malam harinya konsolidasi partai,” kata Wahidah.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti menilai ketentuan pengaturan kampanye pejabat memang terlalu lamban terbit. Alhasil, fakta kampanye terselubung oleh para menteri sudah lama berlangsung.

Ray mengimbuhkan bahwa ketentuan soal iklan kampanye menteri yang mestinya diatur lebih ketat. Banyak menteri yang beriklan dengan dana negara yang pada ujungnya merupakan kampanye diri. (idr/dik)

Jumat, 16 Januari 2009

Suara terbanyak suburkan money politic

Imingi Rp 10 M, PAN Tak Beretika


Politik

16/01/2009 - 08:15

Imingi Rp 10 M, PAN Tak Beretika

Abdullah Mubarok



INILAH.COM, Jakarta - Untuk menyemangati setiap calegnya, PAN berjanji akan memberikan uang yang berjumlah Rp 10 M. Langkah partai berlambang matahari itu dinilai tidak sesuai dengan demokrasi Indonesia dalam membangun kehidupan politik yang baik.


"Secara definitif hal itu bukan politik uang. Itu tidak bisa dibenarkan karena tidak sesuai dengan etika berpolitik. PAN menganggap Pileg seperti perlombaan atlet," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti kepada INILAH.COM, Jakarta, Jumat (16/1).


Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir mengatakan apabila DPRD tingkat II berhasil memperoleh suara melebihi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), maka akan mendapatkan bonus Rp 250 juta. Untuk DPRD tingkat I diberikan hadiah Rp 1 M, sedangkan DPR RI sebesar Rp 2,5 M.


Janji yang diungkapkan oleh SB sapaan akrab Soetrisno Bachir ini bertujuan untuk memberikan gairah kepada setiap caleg dalam berkampanye.


Jauh lebih baik, lanjut Ray, uang Rp 10 M itu digelontorkan sebelum Pileg. Duit tersebut bisa digunakan untuk membesarkan nama partai bernomor urut 9 itu dengan pengadaan program-program yang menarik simpati masyarakat.


"Kalau calegnya tidak punya uang untuk berkampanye bagaimana? Ini bisa menurunkan citra PAN juga," ujarnya.


Diberikan bonus atau tidak, imbuh Ray, setiap caleg pasti berusaha untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Hal ini disebabkan sistem suara terbanyak yang memang mengharuskan caleg terjun ke tengah masyarakat untuk mendapatkan dukungan suara.


"Langkah ini membangun budaya seseorang bekerja berdasarkan iming-iming. Padahal kalau caleg PAN terpilih jadi anggota dewan kan juga mendapatkan uang," paparnya. [bar]

Rabu, 14 Januari 2009

Dipertanyakan, Rencana Pendaftaran Lagi Pemilih

SUARA PEMBARUAN

14 Januari 2009

Dipertanyakan, Rencana Pendaftaran Lagi Pemilih

[JAKARTA] Wacana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuka kembali pendaftaran pemilih melalui payung hukum peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dinilai sangat berbahaya bagi pelaksanaan pemilu. Tidak ada kepastian jadwal dan kepastian hukum jika daftar pemilih diubah, sehingga pelaksanaan pemilu terancam gagal.

Karena itu, KPU diminta untuk tidak mengubah daftar pemilih tetap (DPT), meski menghilangkan hak pilih beberapa orang. Pasalnya, waktu pendaftaran sebagai pemilih saat pengumuman daftar pemilih sementara (DPS) hingga DPT, sangat panjang dan cukup waktu untuk penduduk usia pemilih mendaftarkan dirinya sebagai pemilih.

Pandangan itu diungkapkan Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, dan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo kepada SP di Jakarta, Selasa (13/1).

"Wacana KPU untuk membuka kembali pendaftaran pemilih melalui Perppu, amat berbahaya. Kita akan masuk dalam satu pelaksanaan pemilu, di mana pendaftaran pemilunya banyak diubah oleh perppu," kata Ray.

Sedangkan, menurut Bambang, jika KPU membuka peluang untuk perubahan DPT, hingga hari pelaksanaan pemilu, 9 April 2009, DPT itu terus berubah. Pasalnya, teknis verifikasi data pemilih memang memungkinkan ada pemilih yang tidak terdaftar. Bisa saja, saat petugas mengunjungi rumah penduduk, saat itu penduduk tersebut tidak berada di rumah.

Dia meminta agar KPU tidak mengubah DPT tersebut, karena angkanya merupakan dasar bagi partai politik untuk menghitung jumlah konstituen mereka di suatu daerah pemilihan dan berapa banyak suara yang akan mereka peroleh dari dapil tersebut. Angka DPT itu juga dipakai sebagai dasar untuk pencetakan surat suara, sehingga tidak ada jaminan surat suara dapat dicetak tepat waktu jika ada perubahan DPT.


Belum Terdaftar

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menjelaskan, usulan adanya perppu pemuktahiran data pemilih karena beberapa daerah dan partai politik melaporkan ada penduduk yang belum terdaftar. "Kami menambahkan, kalau benar ada warga negara yang belum terdaftar. Bila ada payung hukumnya, silakan mendaftar," katanya.

Dikatakan, idealnya warga yang belum terdaftar dapat mendaftarkan diri ke KPU. Namun, bisa saja petugas pemungutan suara (PPS) mendatangi rumah warga untuk mendaftar, karena ruang lingkup mereka hanya setingkat desa.

Namun, anggota KPU Abdul Aziz mengatakan, jika ada payung hukum untuk pendaftaran pemilih kembali, data yang digunakan adalah data DPS. Jadi, penduduk yang terdaftar di DPS, namun tidak masuk dalam DPT, dapat melaporkan ke petugas. Jadi, tidak akan ada pendaftaran pemilih baru.

Anggota KPU Andi Nurpati menjelaskan, toleransi waktu jika perppu pemuktahiran data pemilih itu disetujui, yakni satu minggu sebelum pencetakan surat suara atau setidaknya akhir Januari dan awal Februari 2009 ini.

Tujuan utamanya adalah memberikan hak bagi warga yang seharusnya terdaftar sebagai pemilih untuk masuk dalam daftar pemilih. Sejauh ini, KPU provinsi memang sudah menyiapkan beberapa data warga yang melaporkan bahwa mereka belum terdaftar.

"Sudah ada yang datang ke KPU dan oleh mereka dicatat, tapi tidak bisa dimasukkan dalam daftar pemilih tetap. Sebab, tahapan DPT itu sudah lewat. Tapi, data mereka sudah ada" katanya. [L-10]

Selasa, 13 Januari 2009

Pemutakhiran Ganggu Persiapan Pemilu

REPUBLIKA

Selasa, 13 Januari 2009 pukul 10:53:00

Pemutakhiran Ganggu Persiapan Pemilu

JAKARTA-- Keinginan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuka lagi pendaftaran pemilih akan mengganggu persiapan pemilu. Penambahan jumlah pemilih di Daftar Pemilih Tetap (DPT) makin menyulitkan KPU di daerah, yang sebelumnya sudah menerima DPT resmi dari KPU pusat.

Hal tersebut disampaikan Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, di Jakarta, Senin (12/1). ''Pembukaan pendaftaran DPT akan membuat persiapan pemilu ini menjadi kacau,'' kata Ray, Senin (12/1). Ray bisa memahami langkah itu dilakukan KPU, dengan maksud memberi kesempatan masyarakat untuk menjadi pemilih. Tapi, di sisi lain, langkah KPU ini akan menjadi bumerang bagi KPU, yang mengubah DPT hasil keputusannya sendiri.

Pemutakhiran DPT secara teknis akan sangat menyulitkan. Terlebih, menurut Ray, jumlah surat suara ditentukan berdasarkan DPT yang ada sekarang. Jika ada penambahan pemilih dalam DPT, lanjutnya, hal itu akan mengubah persiapan yang saat ini sudah dilakukan oleh KPU, khususnya KPU yang ada di daerah.

''Jika perppu untuk pemutakhiran DPT ini dilakukan, konsistensi KPU patut dipertanyakan,'' kata Ray. Ditambahkannya, KPU tetap harus berpegang pada keputusan yang telah dibuatnya. Pengajuan perppu menunjukkan KPU ragu terhadap DPT yang ada sekarang. ''Saya menyarankan KPU tetap berpegang pada DPT yang ada saat ini.''

Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary, mengatakan, pemutakhiran DPT dapat memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memilih. ''Ini (pemutakhiran DPT) lebih tepatnya disebut update jumlah pemilih,'' kata Hafiz.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) atas Pemutakhiran DPT, jelas Hafiz, sudah diusulkan kepada pemerintah. ''Usulannya bersama dengan perppu audit dana kampanye dan pemberian tanda dua kali dalam pemberian suara. Itu ada dalam satu perppu,'' kata Hafiz.

Mengenai teknis pelaksanaan perppu pemutakhiran DPT itu di lapangan, Hafiz menjelaskan, panitia pemungutan suara (PPS) bisa kembali memeriksa warga di daerahnya yang belum masuk dalam DPT. ''Wilayah dalam satu PPS itu kan tidak terlalu luas. Jika PPS melihat ada warga yang belum ada dalam DPT, bisa langsung didaftarkan,'' kata Hafiz. Alternatif lain, masyarakat yang belum merasa terdaftar dalam DPT bisa mendatangi PPS menjelang pemungutan suara.

DPT Buruk
Mantan wakil ketua KPU, Ramlan Surbakti, menganggap, tidak ada salahnya DPT diperbaiki. Namun, harus dibuat batas waktunya. ''Hanya, efektif atau tidak dikembalikan ke KPU. Saya meragukan efektivitasnya,'' kata Ramlan.Permintaan perppu DPT dari KPU, kata Ramlan, merupakan pengakuan implisit KPU atas buruknya kinerja mereka dalam hal pemutakhiran data pemilih. Padahal, KPU sudah melakukan perpanjangan dan perubahan DPT.

Mantan wakil ketua Pansus RUU Pemilu, Laoly Yasona, mengatakan, Komisi II DPR harus segera memanggil KPU. Laoly mengakui, data di lapangan masih banyak pemilih yang tak terdaftar. Termasuk yang seharusnya tidak terdaftar malah tercantum di DPT.''Hanya saja harus diwaspadai, jangan sampai perbaikan DPT justru sarat manipulasi,'' kata Laoly, Senin (12/1).

Buruknya DPT, kata Laoly, tidak bisa dilepaskan dari buruknya daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4), yang diserahkan pemerintah kepada KPU. Selain itu, KPU juga tidak punya cukup kompetensi melaksanakan amanat UU.

Manajer Program Pemilu National Democratic Insitute (NDI), Anastasia Soeryadinata, mengatakan, dalam audit yang melibatkan 7.800 responden, NDI juga menemukan 10,9 persen nama yang terdapat dalam daftar pemilih tidak lagi bertempat tinggal di alamat tersebut, baik secara permanen maupun dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, ada 3,3 persen nama yang tidak seharusnya tercantum, ternyata masih tercantum di DPS.
ann/ikh