Kamis, 29 Januari 2009

Pengamat: Fatwa Itu untuk Mendulang Suara Partai

PELITA

Pengamat: Fatwa Itu untuk Mendulang Suara Partai


Keuskupan Agung Semarang Sepakat MUI


Jakarta, Pelita
Langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan Golput (memilih untuk tidak memilih) dinilai tidak hanya untuk mencegah terjadinya Golput, tetapi alat partai untuk mendulang suara.

Fatwa ini akan digunakan oleh setiap orang yang merasa dirugikan kalau pemilihnya makin kecil. Mereka tahu bahwa ini adalah alat. Kalau tidak menguntungkan mereka, maka fatwa ini akan dipakai untuk menambah suara kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesa, Ray Rangkuti, di Jakarta, Rabu (28/1).

Ditanya apakah fatwa haram Golput akan digunakan calon incumbent, Ray mengatakan kalau dilihat secara psikologi, 20 persen suara sudah milik Megawati dari yang dilihat total pemilih sejak 1999, 2004 dan sekarang. Sedangkan Partai Demokrat yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono perolehan suaranya mengalami fluktuasi.
Jadi dalam konteks ini tergantung kalau suara dia besar tanpa fatwa , fatwa itu tidak masalah, dia (SBY) diamkan saja. Tapi kalau tanpa fatwa suara SBY turun, dia akan pakai juga. Dia akan bilang, hei ingat umat Islam ini wajib memilih, pilih yang paling darurat, ungkapnya.

Sementara terkait dengan pelaksanaan pemilu legislatif, Ray menjelaskan secara histori, pertama kali yang meminta agar MUI mengeluarkan fatwa haram Golput adalah Hidayat Nur Wahid (PKS). Setelah MUI mengeluarkan fatwa, kemudian reaksi yang bergembira dengan fatwa ini adalah PPP, PKS dan KPU.

Kalau dilihat dari itu, mungkin, secara langsung atau tidak, tiga komponen ini yang paling diuntungkan, katanya.

Partai menengah

Di sisi lain, lanjut Ray, pada Pemilu 2009 mendatang terdapat massa mengambang (swing voter) yang besarnya hingga mencapai 45 persen. Pada tahun 2004, swing voter itu sendiri masuk ke Parpol menengah, seperti PKS, PPP dan PAN yang sekarang ketiganya tidak menuai prestasi yang bagus.

Kalau ada fatwa, dugaan saya swing voter ini akan kembali ke basis dimana risiko untuk memilih partai yang darurat itu, ya partai menengah. Artinya swing voter menunggu, kalau sampai tidak ada keputusan politik/partai yang sesuai dengan aspirasi mereka, potensi Golput akan tinggi, paparnya.

Pada bagian lain, Ray menilai tindakan MUI sebagai bentuk kelucuan. Ini kelucuan MUI saja. Mereka urus ilir tanpa urus hulunya. Jadi saya melihatnya hanya sebuah kelucuan. Kasihan MUI itu dan kalau lama-lama jadi bahan tertawaan orang karena yang mereka urusi adalah yang sudah selesai diurus orang lain, ujarnya.

Ray juga menilai MUI telah bertindak inkonsisten dalam mengambil dasar hukum keputusan fatwa haram Golput. Dalam keputusannya, MUI menggunakan logika bahwa tidak boleh ada kekosongan pemerintah, oleh karena itu umat Islam wajib menggunakan hak pilihnya. MUI juga menyatakan kalau tidak ada satupun pemimpin yang amanah, maka pilihlah yang terburuk diantara yang terburuk.

Padahal, kata Ray, jika MUI membaca UUD 45 dengan tegas dikatakan bahwa pemerintahan RI tidak boleh kosong. Di dalam UUD 45 tersebut juga sudah dilakukan bagaimana cara-cara mengisi kekosongan itu, yakni dengan cara melanjutkan kekuasaan yang ada dengan cara melanjutkann kekuasaan yang ada yang ditetapkan MPR.

Kedua, apabila Capres dan Wapres mengundurkan diri, akan diambilalih oleh Menko Polkam sehingga kekosongan itu tidak dikenal oleh konstitusi dan demokrasi.
Jadi dari mana asalnya kalau terjadi kekosongan kekuasaan. Karena itu fatwa MUI itu kontradiktif, serta menghadap-hadapkan kembali ajaran Islam dengan demokrasi di segi yang lain, tandasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pernah melontarkan himbauan agar tidak mengkait-kaitkan masalah Golput dengan masalah agama (fiqih). Pasalnya, menyelesaikan masalah golput cukup dilakukan dengan memberikan pendidikan politik ataupun himbau mengenai pentingnya menggunakan hak pilih.

Keuskupan Agung dukung

Sementara itu dari Semarang, Jawa Tengah, Keuskupan Agung Semarang menyatakan sepakat dengan fatwa haram terkait tidak disalurkannya hak suara pada pemilihan umum (Golput) yang dikeluarkan oleh MUI.

Kami sepakat bahwa menyalurkan hak pilih adalah lebih baik dari pada Golput, meskipun Golput juga merupakan hak dari setiap pemilih, kata Ketua Penghubung Karya Kerosulan Kemasyarakatan Keuskupan Agung (PK4A) Semarang Rm R Sugihartanto Pr di Semarang, Rabu (28/1).

Sugihartanto seperti dilansir Antara mengatakan, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi di antaranya, PK4A terus melakukan sosialisasi kepada umat nasrani melalui khotbah atau dengan mengumpulkan para pemimpin agama, dewan, dan pastor paroki. Kita sudah melakukan sosialisasi ke gereja-gereja di Jawa Tengah dan Yogyakarta, katanya.

Ia menjelaskan, dalam sosialisasi tentang demokrasi hingga tata cara pemberian suara sah dalam Pemilu 2009 tersebut pihaknya juga melibatkan KPU Jawa Tengah. Soal sosialisasi tata cara pemberian suara yang sah dalam Pemilu pascakeluarnya putusan MK, sampai sekarang masih belum jelas, katanya.

Sugihartanto menambahkan, upaya sosialisasi tersebut salah satunya untuk mencerdaskan pemilih dan wujud peran serta umat beragama. Kami tidak pernah menganjurkan untuk Golput, katanya.(ay)

Tidak ada komentar: