Jumat, 23 Oktober 2009

Prabowo Lebih Baik Pilih Oposisi

DETIK YOKYAKARTA





Prabowo Lebih Baik Pilih Oposisi


Ditulis pada: Senin, 28 September 2009


Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, di Jakarta, Senin, mengatakan kalau Prabowo Subianto menerima tawaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjadi Menteri Dalam Negeri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II maka hal itu bisa membunuh karir politik Prabowo. “Saya katakan kalau pak Prabowo terima tawaran itu, saya yakin karir politiknya akan segera hancur,” kata Ray.

Ray mengatakan hal ini untuk mengomentari isu seputar Presiden SBY yang menawarkan Prabowo Subianto duduk di kursi Menteri Dalam Negeri di KIB Jilid II. “Saya tambahkan posisi ini sebenarnya tidak layak bagi Prabowo. Posisi ini terlalu kecil buat dia,” komentar Ray.

Menurut Ray pada Pemilu 2009 kemarin sebenarnya Partai Gerindra yang didirikan Prabowo sudah mulai mendapat tempat di masyarakat. Hal ini dibuktikan Partai Gerindra masuk dalam 10 besar partai yang lolos parlementary treshold.

Menurut Ray hal ini menandakan bahwa sebenarnya figur Prabowo sebagai penyelamat bangsa sudah ada di hati masyarakat Indonesia.”Saya sarankan pak Prabowo agar jangan mau menerima tawaran itu. Lebih baik beroposisi saja dan menunggu peluang jadi Presiden RI di 2014 nanti,” lanjut Ray.

Isu yang berkembang saat ini memang sepertinya Presiden SBY sedikit was-was kalau Partai Gerindra mengambil posisi opsisi dalam pemerintahannya di lima tahun ke depan. Oleh karena itu dia menawarkan posisi Menteri Dalam Negeri kepada Prabowo sebagai pimpinan partai Gerindra agar bisa meredam kritikan partai itu terhadap kebijakan pemerintah nanti.(*Edy/z)

Lambat Menyikapi Penetapan sebagai Caleg Terpilih

SUARA PEMBARUAN DAILY


4 Menteri Tak Kesatria


4 Ooktober 2009


Lambat Menyikapi Penetapan sebagai Caleg Terpilih



[JAKARTA] Sikap empat menteri, yakni Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menneg Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Menneg Pembangunan Daerah Tertinggal Lukman Edy, serta Menneg Pemberdayaan Aparatur Negara Taufik Effendi, yang belum memutuskan apakah tetap menjadi menteri atau menjadi caleg terpilih, dianggap tidak kesatria.

Mereka dianggap oportunis, karena menunggu sinyal dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden terpilih, apakah kembali dipercaya menjadi menteri, sebelum memutuskan pilihan atas karier politik masing- masing.

Keempatnya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah ditetapkan menjadi caleg terpilih periode 2009-2014. Jero Wacik dan Taufik Effendi menjadi caleg dari Partai Demokrat, Suryadharma dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta Lukman Edy dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Demikian penilaian pengamat politik, masing-masing Ray Rangkuti, Herdi Sahrasad, dan Andrinof Chaniago, secara terpisah, di Jakarta, Jumat (4/9). "Mereka harus merelakan salah satu posisi dan tegas dengan keputusannya, menjadi wakil rakyat atau tetap menjadi menteri," kata Ray.

Sikap menunggu tersebut, lanjutnya, mencerminkan rasa takut kehilangan jabatan dan kekuasaan. "Mereka dilema, karena jika membatalkan keterpilihannya di DPR dan tidak terpilih sebagai menteri, mereka akan rugi dua kali lipat. Namun, jika tetap menjadi anggota DPR, konsekuensinya harus mundur dari jabatan menteri dan belum tentu bisa memperoleh lagi jabatan tersebut pada periode mendatang," ujar Ray.

Senada dengan itu, Herdi Sahrasad menambahkan, selain dicap oportunis, keempat menteri tersebut tidak gentle dan elegan dalam berpolitik. "Mereka masih mengandalkan politik dua kaki, agar tetap bisa mengambil keuntungan. Ini merupakan preseden dan contoh yang buruk. Mereka tidak bisa meletakkan teladan berpolitik bagi bangsa ini," kata Herdi.

Sikap itu tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi rakyat. "Masyarakat dan elemen-elemen civil society lainnya memang masih bisa bersabar hingga batas waktu yang diberikan KPU," sambungnya.

Sementara itu Andrinof mengatakan bahwa empat menteri yang belum bisa memutuskan tersebut sangat takut kehilangan kekuasaan dan jabatan mereka. "Sekalipun keputusan tersebut masih dalam proses, sebaiknya mereka berani untuk memberi pilihan yang juga berarti pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat. Kalau sudah bosan jadi menteri, mereka boleh mundur dengan baik dan meletakan jabatannya sehingga bisa bekerja di Senayan," kata Andrinof.

Sebagai informasi, sebenarnya ada enam menteri yang kini duduk di Kabinet Indonesia Bersatu dan menjadi caleg terpilih. Dua di antaranya, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi (Partai Demokrat) dan Menneg Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault (Partai Keadilan Sejahtera) mundur dari caleg.

Terserah Menteri

Terkait hal tersebut, parpol menyerahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan, apakah memilih menjadi menteri atau menjadi anggota DPR. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Achmad Mubarok menjelaskan, partainya hanya meneruskan surat dari KPU kepada dua kadernya yang masih menjadi menteri namun juga menjadi caleg terpilih. Selanjutnya mereka sendiri yang memutuskan, apakah mengundurkan diri dari caleg terpilih atau dari kabinet.

Dia mengimbau, agar Taufik Effendi dan Jero Wacik tidak perlu terlalu lama menentukan sikap, atau menunggu sinyal dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), apakah akan dipercaya menjadi menteri pada kabinet baru mendatang. "Saya kira, nggak bisa tunggu dari Pak SBY. Keputusan masing-masing saja. Nasib dibuat sendiri-sendiri," tegasnya.

Senada dengan itu, Sekjen DPP PPP Irgan Chaerul Mahfiz menjelaskan, keputusan untuk memilih menjadi caleg terpilih atau tetap menjadi menteri, sepenuhnya berpulang pada Suryadharma Ali, yang saat ini juga menjabat Ketua Umum DPP PPP.

Dia menegaskan, apapun pilihan Suryadharma, adalah yang terbaik bagi partainya. Meski demikian, DPP PPP segera menggelar pertemuan untuk membahas surat dari KPU. Sebab, jika Suryadharma memilih mundur dari caleg terpilih DPR, PPP harus menyiapkan penggantinya.

Pendapat berbeda disampaikan Ketua DPP PKB, Effendi Choirie. Dia menilai, sikap KPU yang meminta kader partai untuk memilih menjadi menteri atau caleg terpilih, ibarat mempertaruhkan karier seseorang yang tengah duduk di kursi pemerintahan.

Menurut Effendi, KPU seharusnya bisa lebih fleksibel mengimplementasikan ketentuan Pasal 50 ayat (1) huruf m UU 10/2008 tersebut. Seseorang dianggap rangkap jabatan menteri dan anggota DPR seharusnya diperhitungkan sejak terbentuknya pemerintahan baru pada 20 Oktober mendatang. Sebab, saat ini menteri hanya tinggal melanjutkan sisa masa pemerintahan.

Surati Parpol

Sebelumnya, anggota KPU Andi Nurpati mengungkapkan, pihaknya menyurati parpol yang kadernya duduk di kabinet sekaligus menjadi caleg terpilih periode 2009-2014, untuk menentukan sikap. Surat permintaan telah dilayangkan kepada Partai Demokrat, PKB, dan PPP.

Andi mengingatkan, batas waktu penentuan sikap adalah pada 9 September 2009, atau 21 hari menjelang pelantikan anggota DPR periode 2009-2014 pada 1 Oktober 2009.

UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 50 ayat (1) huruf m menegaskan, bakal calon anggota DPR dan DPRD bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.

Meskipun demikian, Andi mengungkapkan, dalam UU Pemilu tidak ada sanksi yang diberikan jika caleg terpilih tetap merangkap jabatan.

Dia menjelaskan, batas waktu 21 hari tersebut mengingat mekanisme penggantian caleg terpilih batas waktunya adalah 20 hari setelah penetapan caleg terpilih, yang jatuh pada 10 September 2009.

Secara terpisah, anggota KPU I Gusti Putu Artha menegaskan, jika ada menteri yang belum menentukan sikap hingga batas waktu 9 September 2009, KPU tidak akan menerbitkan SK pelantikannya sebagai anggota DPR. [EMS/C-5/ A-21/C-4/J-11/L-10]

Last modified: 4/9/09

Lambat Menyikapi Penetapan sebagai Caleg Terpilih

SUARA PEMBARUAN DAILY


4 Menteri Tak Kesatria


4 Ooktober 2009


Lambat Menyikapi Penetapan sebagai Caleg Terpilih



[JAKARTA] Sikap empat menteri, yakni Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menneg Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Menneg Pembangunan Daerah Tertinggal Lukman Edy, serta Menneg Pemberdayaan Aparatur Negara Taufik Effendi, yang belum memutuskan apakah tetap menjadi menteri atau menjadi caleg terpilih, dianggap tidak kesatria.

Mereka dianggap oportunis, karena menunggu sinyal dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden terpilih, apakah kembali dipercaya menjadi menteri, sebelum memutuskan pilihan atas karier politik masing- masing.

Keempatnya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah ditetapkan menjadi caleg terpilih periode 2009-2014. Jero Wacik dan Taufik Effendi menjadi caleg dari Partai Demokrat, Suryadharma dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta Lukman Edy dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Demikian penilaian pengamat politik, masing-masing Ray Rangkuti, Herdi Sahrasad, dan Andrinof Chaniago, secara terpisah, di Jakarta, Jumat (4/9). "Mereka harus merelakan salah satu posisi dan tegas dengan keputusannya, menjadi wakil rakyat atau tetap menjadi menteri," kata Ray.

Sikap menunggu tersebut, lanjutnya, mencerminkan rasa takut kehilangan jabatan dan kekuasaan. "Mereka dilema, karena jika membatalkan keterpilihannya di DPR dan tidak terpilih sebagai menteri, mereka akan rugi dua kali lipat. Namun, jika tetap menjadi anggota DPR, konsekuensinya harus mundur dari jabatan menteri dan belum tentu bisa memperoleh lagi jabatan tersebut pada periode mendatang," ujar Ray.

Senada dengan itu, Herdi Sahrasad menambahkan, selain dicap oportunis, keempat menteri tersebut tidak gentle dan elegan dalam berpolitik. "Mereka masih mengandalkan politik dua kaki, agar tetap bisa mengambil keuntungan. Ini merupakan preseden dan contoh yang buruk. Mereka tidak bisa meletakkan teladan berpolitik bagi bangsa ini," kata Herdi.

Sikap itu tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi rakyat. "Masyarakat dan elemen-elemen civil society lainnya memang masih bisa bersabar hingga batas waktu yang diberikan KPU," sambungnya.

Sementara itu Andrinof mengatakan bahwa empat menteri yang belum bisa memutuskan tersebut sangat takut kehilangan kekuasaan dan jabatan mereka. "Sekalipun keputusan tersebut masih dalam proses, sebaiknya mereka berani untuk memberi pilihan yang juga berarti pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat. Kalau sudah bosan jadi menteri, mereka boleh mundur dengan baik dan meletakan jabatannya sehingga bisa bekerja di Senayan," kata Andrinof.

Sebagai informasi, sebenarnya ada enam menteri yang kini duduk di Kabinet Indonesia Bersatu dan menjadi caleg terpilih. Dua di antaranya, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi (Partai Demokrat) dan Menneg Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault (Partai Keadilan Sejahtera) mundur dari caleg.

Terserah Menteri

Terkait hal tersebut, parpol menyerahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan, apakah memilih menjadi menteri atau menjadi anggota DPR. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Achmad Mubarok menjelaskan, partainya hanya meneruskan surat dari KPU kepada dua kadernya yang masih menjadi menteri namun juga menjadi caleg terpilih. Selanjutnya mereka sendiri yang memutuskan, apakah mengundurkan diri dari caleg terpilih atau dari kabinet.

Dia mengimbau, agar Taufik Effendi dan Jero Wacik tidak perlu terlalu lama menentukan sikap, atau menunggu sinyal dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), apakah akan dipercaya menjadi menteri pada kabinet baru mendatang. "Saya kira, nggak bisa tunggu dari Pak SBY. Keputusan masing-masing saja. Nasib dibuat sendiri-sendiri," tegasnya.

Senada dengan itu, Sekjen DPP PPP Irgan Chaerul Mahfiz menjelaskan, keputusan untuk memilih menjadi caleg terpilih atau tetap menjadi menteri, sepenuhnya berpulang pada Suryadharma Ali, yang saat ini juga menjabat Ketua Umum DPP PPP.

Dia menegaskan, apapun pilihan Suryadharma, adalah yang terbaik bagi partainya. Meski demikian, DPP PPP segera menggelar pertemuan untuk membahas surat dari KPU. Sebab, jika Suryadharma memilih mundur dari caleg terpilih DPR, PPP harus menyiapkan penggantinya.

Pendapat berbeda disampaikan Ketua DPP PKB, Effendi Choirie. Dia menilai, sikap KPU yang meminta kader partai untuk memilih menjadi menteri atau caleg terpilih, ibarat mempertaruhkan karier seseorang yang tengah duduk di kursi pemerintahan.

Menurut Effendi, KPU seharusnya bisa lebih fleksibel mengimplementasikan ketentuan Pasal 50 ayat (1) huruf m UU 10/2008 tersebut. Seseorang dianggap rangkap jabatan menteri dan anggota DPR seharusnya diperhitungkan sejak terbentuknya pemerintahan baru pada 20 Oktober mendatang. Sebab, saat ini menteri hanya tinggal melanjutkan sisa masa pemerintahan.

Surati Parpol

Sebelumnya, anggota KPU Andi Nurpati mengungkapkan, pihaknya menyurati parpol yang kadernya duduk di kabinet sekaligus menjadi caleg terpilih periode 2009-2014, untuk menentukan sikap. Surat permintaan telah dilayangkan kepada Partai Demokrat, PKB, dan PPP.

Andi mengingatkan, batas waktu penentuan sikap adalah pada 9 September 2009, atau 21 hari menjelang pelantikan anggota DPR periode 2009-2014 pada 1 Oktober 2009.

UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 50 ayat (1) huruf m menegaskan, bakal calon anggota DPR dan DPRD bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.

Meskipun demikian, Andi mengungkapkan, dalam UU Pemilu tidak ada sanksi yang diberikan jika caleg terpilih tetap merangkap jabatan.

Dia menjelaskan, batas waktu 21 hari tersebut mengingat mekanisme penggantian caleg terpilih batas waktunya adalah 20 hari setelah penetapan caleg terpilih, yang jatuh pada 10 September 2009.

Secara terpisah, anggota KPU I Gusti Putu Artha menegaskan, jika ada menteri yang belum menentukan sikap hingga batas waktu 9 September 2009, KPU tidak akan menerbitkan SK pelantikannya sebagai anggota DPR. [EMS/C-5/ A-21/C-4/J-11/L-10]

Last modified: 4/9/09

Mimpi Dipanggil SBY

SUARA KARYA


Mimpi Dipanggil SBY

Diterbitkan pada 12 Oktober 2009 oleh Nurmimi

Namanya mimpi, ya syah-syah saja kan, siapapun boleh saja bermimpi dan siap-siap menjalankan tugas sebagai pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan mulai memanggil para calon menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II pada Jumat (16/10). Kabinet baru pemerintahan periode 2009-2014 menurut rencana akan diumumkan SBY pada 21 Oktober 2009.

Sementara itu, sejumlah nama tokoh Partai Golkar disebut-sebut layak bergabung dalam pemerintahan SBY-Boediono, seperti HR Agung Laksono, Theo L Sambuaga, Muladi, dan sebagainya.

Hal itu dikemukakan Ketua Bidang Umum DPP Partai Golkar 2009-2015 Rully Chairul Azwar, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, dan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, secara terpisah, di Jakarta, kemarin.

“Yang jelas, saya ingin sampaikan, dalam minggu depan ini sudah akan mulai, Jumat lah,” kata Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa usai rapat di kediaman SBY di Puri Cikeas Indah, Bogor, Jawa Barat, Minggu (12/10).

Hatta menyebutkan, saat ini Presiden SBY telah selesai melakukan seleksi terhadap lebih dari seratus nama yang dicalonkan menjadi menteri dalam kabinet mendatang. Setelah itu akan dilakukan seleksi terhadap nama-nama yang dianggap layak.

Boediono, sebagai wakil presiden terpilih, menurut Hatta, juga memiliki andil dalam menentukan calon menteri dalam kabinet mendatang. “Kalau dilihat Pak Boediono sering kemari (Cikeas-Red), saya tidak usah menjawab, sudah bisa terjawab sendiri,” ujarnya.

Mekanisme pemanggilan calon, kata Hatta, bisa melalui telepon dari dirinya atau dari Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. “Itu Pak Presiden dengan hak prerogatifnya akan melihat siapa saja yang kira-kira memenuhi kriteria yang diinginkan oleh Presiden untuk menduduki pos-pos tertentu. Nah, kalau sudah tentu tinggal komunikasi hubungi orangnya. Ya bisa saya yang menghubungi, bisa Pak Sudi, tidak ada masalah kalau sudah menghubungi,” ujarnya.

Hatta tidak bersedia menjelaskan tentang komposisi struktur kabinet mendatang seperti perbandingan menteri asal partai politik dan profesional, maupun apakah partai yang selama ini beroposisi dengan pemerintah akan dimasukkan ke dalam kabinet.

Ia hanya mengatakan, menteri yang terpilih harus mau menandatangani pakta integritas dan kontrak politik yang sudah selesai disusun.

Pakta integritas itu antara lain mengatur pencegahan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan korupsi dalam proyek pengadaan di departemen yang dipimpin oleh menteri bersangkutan.

Bersamaan dengan pakta integritas tersebut, SBY sebagai presiden terpilih periode 2009-2014 juga sudah menyelesaikan kontrak politik berisi aturan main dengan partai koalisi dan program seratus hari pertama pemerintahan mendatang.

Kabinet baru pemerintahan periode 2009-2014 menurut rencana akan diumumkan SBY pada 21 Oktober 2009. Hatta mengatakan, jumlah menteri dalam kabinet baru mendatang sesuai UU Kementerian Negara tidak akan melebihi 34, di luar pejabat setingkat menteri seperti Kapolri, Panglima TNI, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dan Sekretaris Kabinet.

Sementara itu, Ketua Bidang Umum DPP Partai Golkar 2009-2015, Rully Chairul Azwar, mengatakan, Partai Golkar memiliki banyak kader potensial untuk masuk dalam kabinet mendatang.

“Golkar memiliki kader yang berkualitas untuk bisa menjalankan tugas dalam pemerintahan mendatang. Kita serahkan saja kepada Presiden untuk memilihnya,” kata Rully di Jakarta, Minggu.

Dia menyebutkan, sejauh ini belum ada kader yang dimintai atau mendapat panggilan secara resmi oleh Presiden. Untuk itu, semuanya akan tergantung pada Presiden sendiri.

“Masih belum ada yang mendapatkan pendekatan secara khusus. Namun, tentunya sudah ada banyak beredar nama kader Golkar yang kemungkinan masuk dalam kabinet mendatang,” ujarnya.

Menurut dia, apabila ada kader Golkar yang diminta masuk dalam kabinet, maka secara organisasi akan meminta persetujuan dari Ketua Umum DPP Partai Golkar terlebih dahulu. “Setelah mendapatkan izin, baru bisa melakukan tugas untuk mengabdikannya di dalam kabinet,” ucapnya.

Meski demikian, menurut Rully, besar kemungkinan jika kader Golkar masuk dalam kabinet, posisi politik Partai Golkar akan menyesuaikan dengan keberadaan kadernya yang ada di kabinet. Namun, kata dia, sikap kritis, objektif, dan proporsional akan tetap dijunjung tinggi.

“Di Indonesia tidak dikenal oposisi. Partai Golkar pun pernah menjalaninya pada awal era reformasi yang lalu, dengan masuk dalam kabinet meski tidak memiliki kekuatan yang cukup signifikan,” katanya.

Tiga kader Golkar diperkirakan masih akan menduduki jabatan menteri pada pemerintahan Presiden SBY mendatang. Menurut Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti di Jakarta, Minggu (11/10), terdapat sejumlah nama yang akan dipilih SBY di dalam kabinet mendatang. Di antaranya Gubernur Lemhannas Muladi. Selain itu, ada pula nama-nama dari kalangan kader senior.

Dia menilai, saat ini banyak kader-kader Golkar termasuk dari kalangan mudanya yang memiliki kemampuan untuk masuk dalam kabinet.

Menurut Ray, pemilihan nama-nama figur yang akan menduduki jabatan menteri kemungkinan tidak hanya berdasarkan faktor partai politik, tetapi juga unsur individual. (*)

Penghilangan Ayat Bentuk Kriminal, Harus Dibawa ke Pengadilan

DETIK.COM


2009-10-14 12:54:49


Penghilangan Ayat Bentuk Kriminal, Harus Dibawa ke Pengadilan


Jakarta -
Satu ayat dari pasal 113 UU Kesehatan yang berkaitan dengan zat adiktif dikorupsi setelah disahkan pada 14 September lalu. Siapapun pihak yang 'menghilangkan' ayat tersebut harus diusut tuntas karena persoalan ini sudah masuk ranah kriminal.

"Itu bentuk kriminal betul itu, efeknya itu adalah kehancuran satu bangunan sistem yang sebelumnya telah dirancang oleh UU," kata Direktur LIMA Ray Rangkuti.

Hal itu disampaikan dia usai pernyataan sikap dari Masyarakat Oposisi Indonesia soal kriminalisasi aktivis gerakan pro demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan antikorupsi di Omah Sendok, Jalan Empu Sendok, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (14/10/2009).

Ray mengatakan, orang atau pihak yang menghilangkan ayat 2 pasal 113 tersebut harus diselidiki hingga tuntas. Bahkan, sudah seharusnya kasus tersebut dibawa ke pengadilan.

"Saya setuju orang yang menghilangkan itu diselidiki, dicari, bahkan kalau bisa diadili," katanya.

Pengamat asal Mandailing Natal itu mengatakan, seharusnya tidak ada alasan pasal tersebut tidak tercantum dalam UU Kesehatan. Apalagi jika alasannya hanya lupa.

"Kenapa bisa lupa? Ini kan dibantu dengan peralatan yang canggih. Padahal zaman Yunani kuno saja belum ada peralatan canggih tidak ada yang hilang," katanya.

"Ini untungnya ketahuan. Jangan-jangan UU yang lain juga ada yang hilang ayat-ayatnya," lanjut pria pemilik nama lengkap Ahmad Fauzi itu.

Ayat 2 pasal 113 UU Kesehatan dilaporkan menghilang saat diserahkan ke Sekretariat Negara. Korupsi ayat itu ketahuan karena ayat di bagian penjelasan terlupa dihapus. Setelah diributkan, ayat itu telah kembali ke posisi semula.

Ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan itu berbunyi, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya".

(ken/iy)

Proses Seleksi Anggota KPU di DPR Sangat Buruk

ANTARA

Nasional | Sabtu, 11/04/2009 14:17 WIB


Proses Seleksi Anggota KPU di DPR Sangat Buruk


Jakarta, (ANTARA) - Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai banyak pihak buruk di banding KPU untuk Pemilu 2004 mencerminkan buruknya proses seleksi di DPR RI.

"Kinerja KPU buruk mencerminkan proses seleksi calon anggota KPU di DPR RI yang buruk," kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Almuzzammil Yusuf di Jakarta, Sabtu.

Dia mengatakan, buruknya kinerja KPU selain mencerminkan buruknya proses seleksi di DPR, juga mencerminkan buruknya proses seleksi di pemerintah. "Karena anggota KPU adalah hasil dari dua saringan, yaitu pemerintah dan di DPR," katanya.

Dia menyatakan, pemerintah dan DPR harus melakukan introspeksi dan memperbaiki sistem penyaringan tersebut. "Ini akan menjadi solusi yang konkrit. Bukan saja terhadap seleksi anggota KPU, tetapi juga seleksi terhadap seluruh pejabat negara lainnya yang berlangsung di DPR," katanya.

Anggota Fraksi PKS DPR RI periode 2004-2009 yang mencalonkan lagi dari Dapil Provinsi Lampung ini mengatakan, kelemahan penyaringan tersebut sangat mudah diduga pangkalnya, yaitu adanya kepentingan sempit, di pihak pemerintah maupun fraksi-fraksi partai di DPR.

"(Dalam proses seleksi), mereka (pemerintah dan fraksi-fraksi parpol di DPR) menginginkan orang-orang yang bisa 'dekat' dengan kepentigannya, lebih daripada pertimbangan memilih orang-orang yang mampu dan berkualitas, sekalipun resikonya pejabat terpilih tidak dekat dengan 'faksi' pemerintah maupun fraksi-fraksi di DPR," katanya.

Untuk masa mendatang, kata Almuzzammil Yusuf yang juga Anggota Komisi I DPR RI mengatakan, perlu dirumuskan adanya Tata Tertib (Tatib) DPR terkait proses seleksi pejabat negara.

"Ketika calon-calon pejabat lembaga negara tersebut telah resmi diputuskan sebagai calon untuk diseleksi di DPR, maka calon tersebut dan anggota DPR, terutama komisi terkait, hanya diizinkan bertemu dan berbicara di forum resmi rapat komisi di DPR," katanya.

Pelanggaran terhadap hal ini dikenakan sanksi, baik terhadap anggota DPR maupun terhadap calon tersebut. "Ini adalah bagian dari upaya untuk mengurangi seleksi-seleksi pejabat negara di DPR yang dipenuhi dunia lobi, yang akhirnya mengalahkan forum resmi di DPR," katanya.

Dalam kaitan ini, DPR bisa bekerjasama dengan pihak terkait, misalnya Forum Rektor dengan mengundangnya (minimal sebagai peninjau) pada seleksi pejabat negara di DPR.

"Fungsi Forum Rektor itu untuk memberi 'second opinion' terhadap kualitas para calon setelah proses seleksi berlangsung dan sebelum pengambilan keputusan oleh komisi di DPR," katanya.

Langkah ini juga penting untuk mengurangi subyektivitas politik fraksi-fraksi di DPR.

Namun demikian, kata Muzzammil, sesungguhnya kuncinya pada seleksi di pemerintah. Kalau hasil seleksi pemerintah adalah orang-orang terbaik, maka selemah apapun seleksi di DPR yang akan terpilih adalah orang-orang yang terbaik.

Sebaliknya, kalau hasil seleksi pemerintah yang diserahkan ke DPR adalah orang-orang yang buruk, maka DPR maksimal hanya bisa memilih "yang terbaik dari yang terburuk".

Ketakutan parpol

Buruknya proses seleksi di DPR juga diakui Anggota Fraksi PPP DPR Lena Maryana Mukti dalam keterangan pers di Press Room DPR/MPR Jakarta, saat berlangsung kampanye terbuka.

Dia mengungkapkan, dalam menyeleksi calon anggota Bawaslu, sebenarnya ada calon yang dinilai lebih pantas untuk ditetapkan sebagai anggota Bawaslu. Tetapi fraksi-fraksi di DPR tidak memilih atau menetapkan calon yang lebih baik itu tanpa alasan jelas.

Dia mengungkapkan, waktu itu saat menyeleksi calon Anggota Bawaslu, DPR menyeleksi beberapa nama, termasuk Ray Rangkuti (Lingkar Madani). Bahkan, Ray Rangkuti termasuk memperoleh penilaian tertinggi dari seluruh fraksi.

Ray Rangkuti dinilai memiliki pengalaman dalam aktivitas pemantauan Pemilu 1997, 1999 dan 2004 melalui Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Untuk Pemilu 1997, KIPP yang waktu itu dipelopori sejumlah tokoh, termasuk Adnan Buyung Nasution dan Mulyana W Kusuma.

Dengan pengalaman itu, fraksi-fraksi mengakui, Ray Rangkuti lebih layak menjadi Anggota Bawaslu. Tetapi, kata Lena Maryana, di akhir keputusan penetapan calon Anggota Bawaslu, fraksi-fraksi di DPR tidak meloloskan Ray Rangkuti.

"Fraksi-fraksi parpol ketakutan kalau Ray Rangkuti di Bawaslu pengawasan pemilu akan lebih berkualitas dan penyelenggaraan pemilu akan lebih baik karena Bawaslu bekerja maksimal dan efektif. Parpol-parpol tidak siap dengan pemilu yang lebih baik," katanya dalam keterangan pers yang juga dihadiri Ray Rangkuti yang (waktu itu)memakaui kopiah.

Mengingat buruknya proses seleksi di DPR (terkait fakta dalam seleksi anggota Bawaslu), Lena Maryana dalam keterangan pers ini secara bergurau menyarankan, jika Ray Rangkuti akan mengikuti seleksi lembaga-lembaga tertentu di DPR, maka sebaiknya memakai nama Ahmad Fauzi.

Sebelumnya, dalam papan pengumuman di Press Room DPR/MPR mengenai rencana Lena Maryana dan Ray Rangkuti menyampaikan keterangan pers tersebut, tertulis Ahmad Fauzi, bukan Ray Rangkuti.(*)

Kriminalisasi Aktivis Dilakukan Sistematis

JPNN


Rabu, 14 Oktober 2009 , 17:57:00


Kriminalisasi Aktivis Dilakukan Sistematis


JAKARTA -- Masyarakat Oposisi Indonesia (MOI), gabungan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak kriminalisasi terhadap aktivis gerakan pro demokrasi, lingkungan hidup, HAM, dan anti korupsi. Salah satu contohnya, ditetapkan dua aktivis anti korupsi Indonesian Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Illian Deta Arthasari oleh polisi.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengatakan, bukan kali ini saja kriminalisasi menerpa para aktvis. Sepanjang tahun 2009, Berr N Furqon dan Erwin Usman mengalami hal serupa pada kasus Walhi bulan mei 2009. Termasuk nelayan-nelayan di Sulawesi Utara (Sulut) dalam rangkaian World Ocean Conference di Menado, dan Usman Hamid dari Kontras.

"Sebelumnya ditahun 2008, penangkapan dan kekerasan terhadap aktivis mahasiswa yang menimpa Ferry Julianto yang menolak kenaikan harga BBM," kata Ray Rangkuti pada jumpa pers di Omah Senduk Jalan Mpu Senduk, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (14/10). MOI juga menyesalkan upaya krminalisasi para aktivis gerakan pro demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan anti korupsi yang terus merajalela.

"Berbagai kasus yang dituduhkan kepada aktivis terlihat jelas tidak dilalui dengan cara yang sepatutnya. Tuduhan yang didakwakan lebih banya bersifat paksaan dan bahkan menabrak logika hukum yang ada," tambahnya.

Menurut Ray Rangkuti, paska hampir seluruh kekuatan kritis partai politik dilumpuhkan dengan cara bagi-bagi kekuasaan yang ujungnya penyelenggaraan pemerintahan yang sepi kritik maka jalan-jalan satu-satunya adalah melakukan pembungkaman terhadap para kativis.

"Nyata benar upaya kriminalisasi para aktivis yang dilakukan secara sistematis mengarah pada pembungkaman suara kritis masyarakat terhadap pemerintah saat ini," ujarnya.(awa/JPNN)

DPR Baru, Masyarakat "Wait and See"

KOMPAS.COM


DPR Baru, Masyarakat "Wait and See"


Senin, 28 September 2009 | 21:48 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah kalangan masyarakat sipil mengaku masih akan bersikap menunggu dan akan melihat (wait and see) secara kritis perkembangan seputar performa dan kinerja para anggota legislatif baru periode 2009-2014 mendatang.

Hal itu lantaran kebanyakan dari mereka mengaku tidak terlalu optimistis keberadaan para anggota legislatif baru tadi bakal banyak memberi perubahan dan perbaikan terhadap kinerja DPR di masa mendatang.

Demikian hasil perbincangan Kompas dengan sejumlah kalangan, seperti Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow, Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia, dan peneliti politik dari Reform Institute, Yudi Latif, Senin (28/9), yang dihubungi terpisah.

Menurut Jeirry, masyarakat logikanya memang akan cenderung menaruh harapan tinggi sekaligus mengapresiasi positif terhadap hal-hal atau sesuatu yang baru buat mereka. Hal seperti itu sangat wajar dilakukan. Akan tetapi, kita coba realistis saja.

Untuk awal-awal, para anggota legislatif baru itu tentu belum akan sanggup menunjukkan performa memadai. "Kebanyakan mereka orang baru dan belum berpengalaman. Tapi tetap mereka harus cepat menyesuaikan diri," ujar Jeirry.

Namun begitu, sikap pesimistis tetap dilontarkan Jeirry. Dia melihat, salah satu persoalan diyakini dapat muncul ketika kebanyakan anggota legislatif yang terpilih dalam pemilihan umum lalu terindikasi melakukan praktik politik uang pada para pemilih mereka.

Hal itu boleh jadi berpotensi membuat para anggota legislatif akan lebih mengutamakan bagaimana caranya untuk segera bisa mengembalikan modal mereka selama berkampanye ketimbang memikirkan apalagi mendahulukan kepentingan masyarakat yang mereka wakili di DPR.

Potensi persoalan lain juga dikhawatirkan muncul ketika para anggota legislatif baru itu memiliki latar belakang perekonomian yang kebanyakan relatif lebih mapan. Kondisi seperti itu bukan tidak mungkin menyebabkan mereka menjadi tidak peka, apalagi mau bersikap gigih, untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil.

Ray Rangkuti mengaku lebih khawatir dengan kondisi dominannya kekuatan partai politik tertentu dalam komposisi keanggotaan legislatif mendatang, yang juga menjadi parpol pemerintah. Apalagi, tidak banyak partai politik lain yang berani untuk memosisikan diri sebagai parpol oposisi pemerintah.

"Intinya, DPR sekarang akan sangat tergantung pada pemerintah. Kalaupun ada sedikit 'geliat' dari anggota legislatif dari parpol nonpemerintah, sayangnya jumlah mereka tidaklah signifikan," ujar Ray.

Seusai berbicara dalam sebuah diskusi bertema "Selamatkan KPK, Lawan Korupsi!" yang digelar di Jakarta oleh Inside Forum, Yudi Latif menyarankan anggota legislatif membuka sebesar mungkin masukan dan aspirasi dari masyarakat, terutama dalam bentuk public hearing seintensif mungkin.

Dengan begitu, para anggota legislatif baru tersebut tidak perlu terjebak dalam pola atau cara-cara legislatif lama, apalagi terjebak dalam praktik-praktik koruptif dan manipulatif dalam menjalankan peran legislasi mereka, seperti yang masih dan sering kali terjadi di DPR pada periode yang lalu.

SBY Harus Transparan soal Kandidat Menterinya

SRIWIJAYA POST


SBY Harus Transparan soal Kandidat Menterinya


Sriwijaya Post - 2 September 2009


KOMPAS.COM/INGGRIED DW



JAKARTA — Presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono, mengaku telah mengantongi setidaknya 100 nama kandidat menteri yang akan mengisi kabinetnya bersama Boediono. Akan tetapi, tak jelas, kriteria seperti apa yang dikehendaki sang incumbent itu.

Partai-partai koalisi yang sebelumnya "galak" akhirnya mulai "kalem" dan menyerahkan sepenuhnya kepada SBY untuk menentukan, siapa yang dipilih sebagai pembantunya.

Masyarakat Indonesia untuk Oposisi, yang terdiri dari pengamat politik dan sejumlah tokoh masyarakat, mendesak SBY untuk transparan dalam memilih calon menteri. Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, SBY harus belajar untuk transparan.

"SBY jangan tertutup, belajarlah membudayakan transparan terhadap kandidat menteri kabinetnya," kata Ray pada diskusi "Oposisi Suatu Keharusan", Selasa (1/9) di Jakarta.

Ia mengatakan, jika SBY membuka nama-nama kandidat, maka hal itu akan memberikan kesempatan bagi publik untuk memberikan masukan. "Sehingga nantinya yang terpilih adalah calon-calon terbaik," ujar dia.

Tokoh masyarakat Romo Beni Susetyo juga berpendapat serupa. Menurut dia, dengan membuka ke publik, maka masyarakat pun dapat melakukan uji kelayakan dan mengetahui rekam jejak para menteri yang akan bekerja selama lima tahun.

Adhi M Massardi mengatakan, cara-cara yang digunakan SBY lazim digunakan Soeharto pada masa Orde Baru. "Dulu, Soeharto juga melakukan itu. Menurut orang dekatnya, hal itu dilakukan agar yang dipilih tidak merasa dipilih karena punya kompetensi, tapi karena kebaikan hati Soeharto," kata Adhi.

Cara-cara seperti ini, menurut mereka, akan melemahkan demokrasi.
Kc

Ray Rangkuti: Kabinet Baiknya 60-40%

MATA NEWS.COM




Ray Rangkuti: Kabinet Baiknya 60-40%


Headlines | Sun, Aug 23, 2009 at 08:51 | Jakarta, matanews.com


Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia, Ray Rangkuti mengemukakan, sebaiknyaa kabinet SBY-Boediono diisi oleh wakil partai dan kaum profesional. “Sebaiknya anggota kabinet perbandinganya 60% dari partai politik dan 40% dari profesinal/non partai,” ujarnya.

Ditambahkannya bahwa untuk posisi menteri yang terkait langsung dengan publik dan dianngap vital seperti menteri ekonomi, keuangan, pendidikan, perindustrian, perdagangan, dan ESDM sebaiknya ditangani oleh menteri dari kaum profesional saja.

Sedangkan untuk posisi menteri seperti menteri sosial, menteri pemberdayaan daerah tertingal, menteri pemuda dan olahrrga boleh diduduki wakil dari partai politik. “Penunjukkan menteri ini merupakan hak prerogratif presiden kita hargai itu,tapi kan setidaknya kita bisa menyarankan kepada presiden, mengenai komposisi menteri di kabinet yang akan segera dibentuk,” komentarnya.

Ray menambahkan bahwa dia tidak meremehkan kapasitas wakil dari partai politik yang ingin di posisi menteri yang diangap vital seperti yang sudah disebutkan di atas. Menurutnya dia memiliki alasan bahwa kalau kaum profesional di posisi itu, maka pengaruh kepentingan dari partai politik bisa sedikit ditekan.

“Kita menginginkan agar jangan sampai intervensi partai politik masuk dalam birokrasi pemerintahan, karena hal ini sangat berbahaya terhadap timbulnya kasus korupsi,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.(*z/edy)

Gerakan dan Posisi Politik Partai Golkar Mengherankan

PIKIRAN RAKYAT

Gerakan dan Posisi Politik Partai Golkar Mengherankan
Koalisi Parpol di DPR Hilangkan Daya Kritis



JAKARTA, (PR).-


Posisi politik Partai Golkar (PG) yang akhirnya menyatakan diri menjadi bagian dari mitra koalisi dalam pemerintahan ke depan dinilai mengherankan. Arah gerak partai berlambang beringin itu di masa mendatang dipertanyakan.

"Seharusnya sebagai kompetitor dalam pemilihan presiden lalu, PG berada dalam posisi clear agar tidak dianggap menyalip di tikungan," kata politisi senior Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, Jumat (16/10).

Menurut Ferry, seharusnya Golkar tidak ikut-ikutan menjadi bagian dari pemenang. Sebagai parpol besar, Golkar justru harus membuktikan, bisa menghormati pemenang pilpres dan parpol-parpol pendukungnya. Selain itu, memberi kesempatan kepada presiden terpilih dan mitra koalisinya untuk menjalankan tugas pemerintahan mendatang.

"Sebenarnya tidak ikut-ikutan atau merasa menjadi bagian dari pemenang pun, bukan berarti Golkar berseberangan. Tapi tidak perlu mengusulkan calon menteri apalagi ikut dalam kontrak politik kelembagaan," katanya.

Namun, Ferry setuju jika presiden terpilih ingin merekrut kader Golkar untuk membantu dalam pemerintahan. Jika tidak direkrut pun, Golkar harus berbesar hati dan jangan marah atau berteriak-teriak sebagai oposisi.

"Tunjukkan bahwa Golkar memiliki visi yang jelas bagi bangsa dan negara, mendukung kebijakan yang membawa manfaat bagi masyarakat dan mengkritisi kebijakan yang merugikan masyarakat," kata Ferry.

Seperti diketahui, Ketua Umum Partai Golkar (PG) Aburizal Bakrie menyatakan secara bulat bahwa Golkar akan berkoalisi dengan pemerintahan mendatang. Hal itu diungkapkan setelah pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar melakukan rapat di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar di Slipi, Jakarta, Kamis (15/10) malam.

Takluk

Sementara itu, koalisi parpol pendukung pemerintah yang kadernya mendominasi kursi DPR RI dikhawatirkan akan menghilangkan sikap kritis DPR terhadap pemerintah. Hal itu dikemukakan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti di Jakarta Jumat. Menurut dia, sekitar 75% dari 560 anggota DPR adalah kader parpol koalisi pendukung pemerintah yang tunduk pada aturan parpolnya masing-masing.

"Sedangkan ketua parpol itu telah menandatangani kontrak politik antarparpol dengan Presiden Yudhoyono di Jakarta, Kamis (15/10)," kata Ray Rangkuti pada diskusi "Meneropong Sikap Kritis DPR/DPD Lima Tahun Mendatang" di Gedung DPR, Jakarta, Jumat.

Jika para ketua partai sudah ditaklukkan Presiden SBY maka daya kritis anggota DPR terhadap pemerintah selama lima tahun ke depan akan hilang.

Parpol yang masuk dalam koalisi parpol pendukung pemerintah, yakni Partai Demokrat (150 kursi di DPR), Partai Keadilan Sejahtera (57), Partai Amanat Nasional (43), Partai Persatuan Pembangunan (37), Partai Kebangkitan Bangsa 27 kursi, dan Partai Golkar (107). (A-130)***

Kejaksaan Seharusnya Gunakan Hak Jawab Terhadap I

ANTARA


Kejaksaan Seharusnya Gunakan Hak Jawab Terhadap I
CW



Thursday, 15 October 2009 01:47


Jakarta, 14/10 (Antara/FINROLL News) - Koordinator Divisi Advokasi HAM Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Anggara mengatakan, Kejaksaan Agung seharusnya menggunakan hak jawab terhadap pernyataan aktivis ICW yang dinilai menghina institusi tersebut.

"Kejaksaan seharusnya merespon dengan menggunakan saluran hak jawab," kata Anggara kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Menurut Anggara, kasus pencemaran nama baik yang menimpa aktivis ICW dapat dinilai berbau "balas dendam" dari pihak aparat penegak hukum.

Ia juga mengatakan, berbagai pihak terutama aparat hukum seharusnya lebih toleran dalam menerima berbagai kritikan dari anggota masyarakat.

Sementara itu, Ray Rangkuti dari Masyarakat Oposisi Indonesia (MOI) menyatakan penolakannya terhadap upaya kriminalisasi aktivis prodemokrasi termasuk ICW.

Menurut dia, hal tersebut bisa jadi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meredam kritik.

Sedangkan Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat memaparkan, pada tahun 2009 ini terdapat setidaknya 11 aktivis hak asasi manusia yang telah dikriminalisasikan.

Sebelumnya, dua aktivis ICW, yaitu Emerson F Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri, terkait dengan kasus pencemaran nama baik Kejaksaan Agung.

"Dua aktivis ICW ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik/fitnah dengan Pasal 311 dan 316 KUHP oleh Mabes Polri," kata peneliti ICW, Febri Diansyah, di Jakarta, Senin (12/10).

Febri menyatakan, kasus tersebut berasal dari laporan Kejagung pada tanggal 7 Januari 2009.

Laporan tersebut dibuat karena berdasarkan berita di surat kabar Rakyat Merdeka (5/1/2009) yang mengkritisi persoalan dalam pengelolaan uang pengembalian kasus korupsi yang ditangani kejaksaan.

"ICW menggunakan data resmi audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," katanya.

Febri menyatakan penetapan tersangka ini sangat janggal dan merupakan upaya kriminalisasi terhadap aktivis anti korupsi yang melakukan pengawasan terhadap aparat negara.

(T.M040/ )

Pengamat: SBY Lecehkan PAN, PKS, PKB dan PPP

HARIAN PELITA

Pengamat: SBY Lecehkan PAN, PKS, PKB dan PPP


Jakarta, Pelita

Pertemuan para pimpinan partai politik koalisi dengan Wakil Presiden Boediono di Bravo Media Centre (BMC), Jakarta, Kamis (15/10) malam, dinilai pengamat politik Ray Rangkuti sebagai bentuk pelecehan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada pimpinan partai politik itu.

Bayangkan pimpinan partai itu mau saja ditemukan SBY dengan wakilnya. Sebagai pimpinan partai, posisi mereka sejajar dengan SBY. Ini sebuah pelecehan. Kalau saya jadi mereka, tentu saya tidak mau, ujar Ray Rangkuty dalam Dialog Demokrasi di Press Room DPR/MPR Senayan Jakarta, Jumat (16/10).

Menurut Ray, pertemuan malam itu sebagai bentuk dari wujud kekuasaan SBY mengontrol politik dan pemerintahan ke depan. Kalau kepalanya saja sudah dicocok hidungnya, maka sudah tentu bawahan dari partai itu akan mengekor semua, tegas dia.

Ditambahkan Ray, pertemuan yang membahas kontrak politik dengan partai politik adalah hal baru yang tidak benar. Tidak ada istilah kontrak politik. Kalau koalisi politik itu baru benar. Kontrak politik tadi malam jelas membawa arah yang tidak benar pada politik dan pemerintahan ke depan, tutur dia.

Pimpinan partai yang hadir malam itu antara lain Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dan Presiden PKS Tifatul Sembiring.

Sementara Ketua DPP Partai Golkar yang juga Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengaku bangga dengan Ketua Umum Aburizal Bakrie yang tidak ikut-ikutan hadir pada pertemuan tersebut. Golkar tidak dilecehkan karena Pak Ical tidak datang, kata dia.

Mengutip istilah Schumpeter dan Larry Diamond, kata Ray lagi, demokrasi yang ada saat ini hanyalah demokrasi prosedural, demokrasi kosong. Demokrasi prosedural itu ditandai oleh pertama, tiga kali Pemilu pasca reformasi, Pemilu 2009 merupakan Pemilu yang terburuk, tidak layak.

Kedua, penegakan hukum mulai dipermainkan, ditandai dengan adanya dua kasus terakhir yang telah mencederai proses pemberantasan korupsi sebagai proses-proses menuju demokrasi.

Ketiga, korupsi menjadi semakin dimanjakan, terlihat dari adanya dinamika yang cukup tinggi ketika pembahasan soal penentuan ketua komisi-komisi yang basah di DPR.

Keempat, adanya oposisi yang basa-basi yang membuat tidak adanya ketegasan pihak oposisi soal bank century, kriminalisasi ICW maupun KPK.

Dan yang kelima, semakin lemahnya visi anggota DPR, karena 70 persen dari anggotanya adalah orang baru yang tidak terbiasa berbicara dengan data dan fakta ketika menghadapi mitra kerjanya.

Sementara itu, Syarifuddin Sidding Sekretaris Fraksi Partai Hanura menyatakan bahwa partainya di DPR tidak pada posisi berkoalisi atau oposisi terhadap pemerintahan secara institusi, tapi oposisi secara kebijakan.
Secara institusi Hanura juga memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk bersikap, asalkan masih dalam ukuran kritisisme.

Hal senada juga disampaikan anggota DPD Bambang Soeroso, posisinya sebetulnya tidak pada posisi berkoalisi dengan pihak manapun, kecuali oposisi pada setiap kebijakan yang tidak memihak pada kepentingan rakyat. (kh/cr-15)

Golkar dan PDIP Jangan Ngemis Kekuasaan

HARIAN GLOBAL


Golkar dan PDIP Jangan Ngemis Kekuasaan


Written by Redaksi Web


Tuesday, 01 September 2009 09:32

Kemungkinan masuknya tokoh-tokoh Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke dalam jajaran pemerintahan RI periode 2009-2014 pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, menuai banyak kritik. Pasalnya, pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2009 lalu, keduanya secara nyata menarik garis pemisah, berada pada posisi berseberangan dengan Partai Demokrat dan koalisi Cikeas yang menjagokan SBY-Boediono. Lantas mengapa sekarang mereka berbalik gagang. Golkar dan PDIP dipandang tak layak "mengemis" ke SBY-Boediono untuk sekadar mendapat jatah kursi kabinet. Adalah lebih baik jika mereka mengambil sikap sebagai oposan.


Pandangan ini dikemukakan Ketua Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti di Jakarta, Senin (31/8). "Mereka (Golkar dan PDIP - red) seharusnya sadar diri. Mereka adalah partai besar, tidak layak untuk mengemis kekuasaan," ujarnya.


Jika kedua partai berusia tua ini meminta jatah kursi menteri ke SBY, imbuh Rangkuti, sama saja dengan bunuh diri. "Apalagi jika PDIP dan Golkar masuk dalam pemerintahan, padahal PDIP sekarang didukung 21 persen rakyat Indonesia karena menjadi oposisi di pemerintahan SBY periode 2004," paparnya.


Menurut Ray Rangkuti lebih lanjut, apabila langkah ini tetap dilakukan, maka besar kemungkinan popularitas kedua partai di mata konstituennya akan semakin menurun. Terutama sekali Golkar. Ray memprediksi, pada periode Pemilu 2014, dukungan terhadap Golkar semakin berkurang. "Apalagi nantinya jika dipimpin oleh Ical (Aburizal Bakrie - red)," tukasnya.


Sementara Wakil Ketua DPP Partai Demokrat nan Kontroversial, Ahmad Mubarok, di Gedung Sumarjito Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, kemarin mengatakan, yang sudah jelas mendapatkan jatah kursi adalah PDIP. Menurut dia, SBY menghendaki jika pada masa jabatannya yang terakhir ini bisa mengakomodasi semua partai yang masuk dalam parlemen agar terjadi pemerintahan yang kuat untuk membangun bangsa. "Semua bisa saja jadi menteri asal profesional, apalagi masa jabatan Pak SBY tinggal satu kali. Beliau menginginkan adanya kebersamaan semua partai untuk membangun bangsa termasuk PDIP.

SBY mengambil kader PDIP untuk memperkuat pemerintahannya," katanya.
Namun dia tidak mengetahui nama kader PDIP yang sudah ada di kantong presiden. Yang jelas, tambah Mubarok, masuknya kader PDIP dalam jajaran kursi kabinet nanti tidak akan mengurangi porsi partai pengusung SBY dalam pemilu lalu.

Aktivis : Pemerintah Lakukan Pembungkaman

KOMPAS TV


Aktivis : Pemerintah Lakukan Pembungkaman


Kamis, 15 Oktober 2009, 12.25 WIB


Sejumlah aktivis LSM yang tergabung dalam masyarakat oposisi Indonesia menuding pemerintah melakukan pembungkaman suara masyarakat yang kritis. Tudingan tersebut menyusul kriminalisasi sejumlah aktivis yang kerap beseberangan dengan pemerntah.

Tudingan tersbut disampaikan Ray rangkuti dalam pernyataan sikap bersama di Jakarta, kemarin.Dalam pernyataan sikapnya, masyarakat oposisi Indonesia menilai upaya kriminalisasi aktivis dilakukan secara stematis. Tindakan tersebut ditengarai mengarah kepada pembungkaman suara masyarakat dalam mengkritisi kebijakan pemerintah.

Masyarakat Oposisi juga menyesalkan upaya kriminalisasi para aktivis melalui modus pencemaran nama baik. Sebelumnya dua aktivis Indonesia Corruption Wacth (ICW) ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik. Mereka dituding telah mencemarkan nama baik Kejaksaan Agung dalam kasus penyelamatan uang negara hasil korupsi.

Reporter/Kamerawan/Penulis: Mahfud/ Vo: Maya, Yosie/ editor: Dinda

Ratusan Massa Gerakan Oposisi Rakyat Bergerak ke Istana Negara

RAKYAT MERDEKA ONLINE


Ratusan Massa Gerakan Oposisi Rakyat Bergerak ke Istana Negara


Rabu, 21 Oktober 2009, 11:17:38 WIB


Laporan: Desy Wahyuni


Saat ini lebih dari 150 massa Gerakan Oposisi Rakyat tengah melakukan pra kondisi aksi dan terkonsentrasi di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, untuk menunggu kehadiran kelompok masyarakat lain yang akan bergabung.

Akan hadir dalam unjuk rasa ini sejumlah tokoh masyarakat sipil Indonesia diantaranya Direktur Ekseskutif Lima Indonesia Ray Rangkuti, Direktur Reform Institute Yudi Latif, pengamat politik Boni Hargens, Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad dan tokoh kritis lainnya.

Anggota Divisi Advokat Persatuan Bantuan Hukum Indonesia, Poltak Sinaga mengatakan aksi ini sebagai bentuk keprihatinan civil society atas situasi politik nasional dimana terjadi konsentrasi kekuatan politik formal pada satu kelompok politik dan mandulnya kekuatan politik untuk mengambil peran mulia sebagai oposisi sejati.

“Lalu terjadi politik transaksional dengan wujud bagi-bagi kursi di eksekutif dan legislatif,” kata Poltak pada Rakyat Merdeka Online, Rabu (21/10) pagi.

Puluhan angkutan umum sudah terparkir rapih di sekitar Tugu Proklamasi untuk membawa massa menuju titik unjuk rasa. Untungnya keramaian di kawasan ini tidak membuat arus lalu lintas tersendat. Saat berita ini diturunkan, baru terlihat Chalid Muhammad dan Boni Hargens yang hadir di tengah massa.

Rute aksi mereka adalah Bundaran Hotel Indonesia sebagai titik pertama. Dari situ massa akan long march menuju Istana Negara. [ald]

PDIP Dipastikan Dukung Duet SBY-Boediono

SUARA KARYA


PDIP Dipastikan Dukung Duet SBY-Boediono


Rabu, 2 September 2009


JAKARTA (Suara Karya): Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hampir dipastikan mendukung pemerintahan periode 2009-2014 yang akan dinakhodai Presiden dan Wakil Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Boediono).

Untuk mendukung pemerintahan tersebut, PDIP menyiapkan tiga kader terbaiknya untuk membantu langsung dalam kabinet.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Maruarar Sirait dan Effendi Simbolon, yang dikonfirmasi Suara Karya di Jakarta, Selasa (1/8), membenarkan hal tersebut.

"Selama ini PDIP menjadi partai oposisi. Tapi dalam pemerintahan baru nanti, kemungkinan besar PDIP berkoalisi dengan pemerintahan SBY-Boediono. Ya, kemungkinan dari oposisi ke koalisi itu hampir dipastikan ada," kata Maruarar.

Namun, Maruarar tak mau menjamin seratus persen akan terwujudnya koalisi PDIP-Demokrat yang diikat dengan kontrak politik. "Konstelasi politik selalu saja berubah-ubah. Kita tunggu saja, apa yang akan terjadi ke depan," katanya.

PDIP, tutur Maruarar, tetap menyiapkan tiga kadernya untuk membantu SBY dalam menjalankan pemerintahan. "Semuanya bergantung kepada SBY dan komposisi (kabinet)-nya seperti apa, kami belum tahu," katanya.

Secara implisit, menurut dia, tiga kader PDIP yang disiapkan membantu SBY secara langsung dalam kabinet adalah Puan Maharani (Ketua DPP PDIP), Tjahyo Kumolo (Ketua Fraksi PDIP di DPR), dan Pramono Anung (Sekjen PDIP).

"PDIP memiliki banyak kader terbaik dan profesional di bidangnya. PDIP juga memiliki pemikir-pemikir yang telah menyumbangkan pemikirannya pada bangsa ini. Jadi, siapa saja yang dipilih maka semuanya harus siap," kata Maruarar.

Dihubungi secara terpisah, Effendi Simbolon mengatakan, komunikasi politik yang sedang dibangun antara PDIP-SBY karena adanya kesamaan misi dan visi. Baik SBY maupun PDIP, ingin mewujudkan dan mempertahankan rasa kebangsaan dan nasionalisme rakyat Indonesia yang sekarang ini di ambang krisis.

Selain itu, ucap dia menambahkan, PDIP dan SBY sama-sama memiliki keinginan dan cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat. Menurut dia, Indonesia ke depan bisa berjaya dan berwibawa di mata dunia internasional dan di mata generasi penerus bangsa. "Selain punya kesamaan misi dan visi, kami juga punya ikatan emosional," katanya.

Selain jatah kursi di kabinet, PDIP masih punya obsesi memimpin lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sampai sekarang, tutur dia, PDIP masih menjagokan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP, Taufiq Kiemas, untuk menempati posisi Ketua MPR-RI. "Masih ada peluang, emang nggak boleh?" kata Effendi.

Sebelumnya, Taufiq Kiemas melontarkan pernyataan akan terus bersama-sama dengan SBY untuk membangun bangsa ini. "Yang jelas, kemesraannya (Taufiq) dengan SBY bukan sesuatu yang aneh. Sebab, SBY adalah sahabatnya sejak lama. Ya biasa, sahabat dari dulu kan begitu," kata Effendi.

Sementara itu, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman mengatakan, SBY akan merangkul seluruh elemen bangsa untuk membangun dan mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. "SBY tidak mau terkungkung dalam suatu kepentingan politik. Misi beliau (SBY) sangat mulia untuk mewujudkan kemakmuran bangsa Indonesia," ujarnya.

Menyinggung SBY akan menyiapkan kursi kabinet bagi PDIP, diakui Hayono, keputusan berada pada SBY. "Tapi, dari kerja sama dan kepedulian terhadap bangsa ini, bisa saja diwujudkan dalam kerja sama di kabinet. Tapi sekali lagi, semuanya diserahkan kepada SBY," ujarnya.

Sementara itu, PKB telah menyiapkan sekitar 10 kader untuk duduk di kabinet pemerintahan mendatang. "Mereka profesional," kata Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar, di Semarang, Jawa Tengah, kemarin.

Ia masih enggan untuk menyebutkan nama-nama kader itu. "Kami masih menunggu waktu untuk membicarakan masalah ini dengan presiden terpilih," katanya.

Sejumlah kalangan menilai keinginan Partai Demokrat merangkul kader PDIP masuk pemerintahan SBY-Boediono justru akan melemahkan kabinet mendatang.

Hal itu disampaikan peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, dan pengamat politik UI Andrinof Chaniago.

Menurut Ray, kabar yang beredar menyebutkan, selain Puan Maharani, Pramono Anung, dan Tjahjo Kumolo, sejumlah kader PDIP juga turut digadang-gadang. Antara lain, mantan Menteri Perindustrian era Megawati, Rini Suwandi, dan Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang.

Puan Maharani dikabarkan akan menempati pos Menteri Komunikasi dan Informatika, Tjahjo Kumolo sebagai Menteri Negara Koperasi dan UKM, Rini di Kementerian Perdagangan. Sedangkan Agustin Teras Narang di posisi Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara.

Dengan hitung-hitungan itu, berarti jatah PDIP di kabinet bertambah dari tiga menjadi lima orang. Sebelum pimpinan Partai Demokrat bertandang ke kediaman Mega di Jalan. Teuku Umar, hanya tiga orang yang santer akan masuk kabinet yakni Puan Maharani, Pramono Anung, dan Tjahjo Kumolo. Setelah Hadi Utomo datang, bertambah dua orang, Rini dan Teras Narang.

Meski demikian, menurut Andrinof Chaniago, akan menjadi risiko besar bagi PDIP apabila menerima tawaran kursi pada kabinet mendatang. Citra PDIP akan menurun pada Pemilu 2014 mendatang.

Sementara itu, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, jika wacana koalisi PDIP dan Partai Demokrat terwujud, dampaknya akan membuat impian masyarakat untuk kabinet profesional dalam masa pemerintahan SBY-Boediono menjadi kandas.

"Karena, hal tersebut akan membuat prinsip profesionalisme menjadi nomor dua dan hanya mementingkan kepentingan politik," katanya.

Ray Rangkuti justru menyarankan partai-partai besar yang kalah dalam Pemilihan Presiden 2009 agar memilih sikap politik menjadi oposisi bagi pemerintahan SBY.

Partai-partai yang dimaksud Ray, antara lain PDIP, Golkar, Gerindra, dan Hanura. Ray tidak sepakat jika organisasi politik itu kemudian ikut bergabung dalam kabinet SBY-Boediono.

"Mereka harusnya bertarung, bukan mengemis kekuasaan. Kalau mereka ikut kekuasaan, sama saja mereka bunuh diri secara perlahan," katanya.

Ray memprediksi, perolehan suara partai-partai pada Pemilu 2014 merosot tajam, jika sampai memutuskan masuk koalisi pemerintah SBY-Boediono. (Rully/Feber Sianturi/Antara/Yudhiarma)

Demokrasi di Indonesia Makin Suram

MATA NEWS.COM




Demokrasi di Indonesia Makin Suram


Headlines | Fri, Oct 16, 2009 at 23:50 | Jakarta, matanews.com


Indonesia dihadapkan kemungkinan masa suram demokrasi karena terjadinya pemusatan kekuasaan. DPR pun dikhawatirkan tidak bisa bersikap kritis, menyusul pimpinan partai politik sudah menunjukkan sikap tunduk kepada presiden dengan menandatangani kontrak politik.

Pandangan kritis ini diungkapkan Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti dalam diskusi di gedung DPR, Jumat (16/10). Penilaian senada juga disampaikan Adi Suryadi Culla pengamat politik dari Universitas Hasanuddin yang turut menjadi pembicara.

Ray mengungkapkan ada lima faktor yang memungkinkan masa suram demokrasi itu antara lain ada gejala pemusatan kekuasaan dan ada gejala kembali ke Era Orde Baru.

“Para Ketua Umum parpol bangga menyerahkan kedaulatan Indonesia ke presiden, bagaimana mau kritis. Partai hanya berpikir dapat berapa (kursi di kabinet), dan bukan bagaimana Indonesia ke depan. Jadi para anggota DPR tidak bisa apa-apa lagi karena pimpinan partai sudah dipegang. Jangan berharap, akan lahir produk UU yang berdimensi jangka panjang,” ucap Ray.

Menurut Ray, ada dominasi koalisi meliputi parpol pemenang pemilu dan yang kalah menentukan kebijakan masa mendatang. “Ini kekuatiran yang bisa terjadi tapi mudah-mudahan tidak terjadi,” harapnya.

Adi pun mensinyalir adanya kecenderungan akumulasi kekuasaan. Parpol besar yang diharapkan berperan sebagai penyeimbang sudah bersikap. Kemenangan koalisi tercermin dalam Munas Partai Golkar dengan terpilihnya Aburizal Bakrie dan dipastikan merapat ke Partai Demokrat.

“Sekitar 75 persen parlemen dikuasai fraksi koalisi, sikap kritis DPR diduga tidak akan ada dan bahkan tidak lebih baik dari periode sebelumnya. Ini tidak terjadi tiba-tiba. Kultur oposisi tidak ada di mindset politisi kita. Itu karena budaya warisan Orde Baru yang mengharamkan kritikan,” kata Adi.

Menurutnya, tidak ada pengalaman dan sejarah oposisi sepanjang perjalanan partai. PDI Perjuangan diharapkan bisa membongkar struktur lama. Namun struktur bangunan yang sudah dirintis PDIP itu akan hancur bila bergabung dengan pemerintah. (*Mo/bo)

Kriminalisasi Aktivis

DETIK.COM

Rabu, 14/10/2009 12:57 WIB


Kriminalisasi Aktivis
Bungkam Suara Rakyat, Tabiat Pemerintah Mulai Mirip Orba


Novia Chandra Dewi - detikNews


Jakarta - Masyarakat Oposisi Indonesia, yang terdiri dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menilai kriminalisasi para aktivis oleh aparat hukum adalah pembungkaman suara rakyat. Tabiat pemerintah sekarang pun dinilai mulai mengarah seperti rezim Orde Baru (Orba).

"Upaya ini nyata benar upaya kriminalisasi para aktivis ini dilakukan secara sistematis mengarah pada pembungkaman suara masyarakat terhadap pemerintahan sekarang ini. Nah, ini ujungnya supaya penyelenggaraan pemerintah sepi dari kritik, sehingga pemerintah bisa melalui jalan yang mereka bangun tanpa kritik," ujar anggota Masyarakat Oposisi Indonesia dari Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti.

Ray menyampaikan hal itu dalam jumpa pers di Omah Sendok, Jl Mpu Sendok, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (14/10/2009).

Masyarakat Oposisi juga menyesalkan upaya kriminalisasi para aktivis melalui modus pencemaran nama baik.

"Sepanjang tahun 2009, upaya kriminalisasi terhadap para aktivis yang merajalela sebagai kasus berujung pada penetapan tersangka yang umumnya didakwa melakukan pencemaran nama baik. Nah ini modus baru kekuasaan dalam upaya meredam berbagai kritik dan aktivitas yang dilakukan aktivis," jelas dia.

Tabiat pemerintah yang seperti ini dinilai mulai mengarah kepada tabiat rezim Orde Baru. "Kita harus membangun kekuatan untuk menolak segala bentuk kekuasaan yang tabiat dan perilakuknya sama dengan Orde Baru," ajak Ray.

Jumpa pers ini diadakan oleh Masyarakat Oposisi Indonesia yang terdiri dari beberapa LSM seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), dan Reform Institute.

Kriminalisasi aktivis antikorupsi dimulai dengan penetapan pimpinan KPK sebagai tersangka oleh Polri. Lalu disusul penetapan tersangka oleh 2 aktivis ICW.

(nwk/nrl)

Masyarakat Desak RI, "Ganyang Malaysia" Segera

BERITA BARU.COM


Masyarakat Desak RI, "Ganyang Malaysia" Segera


Setiohutomo, Willy Widianto



Senin, 31 Agustus 2009 17:33

Jakarta, beritabaru.com - Hubungan Indonesia-Malaysia tampaknya semakin meruncing dan sejumlah tokoh pun terlecut rasa nasionalismenya untuk mendesak pemerintah Indonesia segera bersikap tegas pada Malaysia yang dinilai sidah menginjak-injak harga diri bangsa.

Salah satunya sejumlah tokoh yang tergabung dalam Bendera (Benteng Demokrasi Rakyat) dan kelompok ini bahkan ingin turun tangan sendiri untuk menghadapi Malaysia yang sudah dianggap keterlaluan.

"Jika Presiden SBY tak mau turun tangan, kita akan turun langsung melakukan gerakan oposisi rakyat"ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti saat jumpa pers "Ganyang Malaysia" di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, Senin(31/8).

Menurut Ray, saat ini pemerintah terlalu lembek dalam menyikapi sikap Malaysia yang sudah terlalu jauh bersikap menginjak-injak harga diri bangsa, untuk itulah Ray mengajak kepada seluruh tokoh-tokoh politik bergabung melawan Malaysia.

"Diserukan kepada tokoh politik supaya melakukan gerakan oposisi melawan Malaysia, "tegasnya.

Sementara itu, Anggota Dewan Penasehat Partai Gerindra, Permadi mengatakan sudah seharusnya Indonesia melakukan perang dengan Malaysia, pasalnya mereka telah menggerogoti budaya Indonesia.

"Kita seharusnya memproklamirkan perang karena bukan budaya yang diambil. Tetapi karena Indonesia-Malaysia adalah pemerintah Malaysia berani menantang kedaulatan Indonesia"tegasnya.

Ditegaskan Permadi, Malaysia sudah melakukan penghinaan pada kedaulatan dan kewibawaan Indonesia, tetapi pejabat Indonesia sangat lambat dan reaktif ketika ada sesuatu yang diambil. Malaysia berani mengklaim Ambalat, yang jelas-jelang melanggar perbatasan Indonesia.

"Kita tidak perlu takut kepada alutsista yang lebih hebat. Kita tidak perlu takut dengan pembiayaan Malaysia. Tentara Malaysia pengecut, gemuk-gemuk dan tidak pernah melakukan penembakan," imbuhnya.

Dalam kesempatan itu pula beberapa tokoh seperti Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, Egy Sujana, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, Anggota Dewan Penasehat Partai Gerindra, Permadi ikut menandatangani deklarasi untuk menjadi relawan perang melawan Malaysia.

Parlemen Jalanan Siap Kontrol Pemerintah

BERITA KOTA


Parlemen Jalanan Siap Kontrol Pemerintah


Jum'at, 25 September 2009 03:42


Kekuatan penyeimbang sangat diperlukan untuk menciptakan pemerintah yang baik dan bersih. Parpol yang kalah pun disarankan mengambil peran sebagai oposisi.

MULAI mencairnya suhu politik menjelang pelantikan SBY sebagai Presiden pada 20 Oktober mendatang, ternyata membuat fungsi kontrol yang selama ini dilakukan oleh oposisi yang di masa lalu dilakukan PDIP dipertanyakan banyak kalangan. Apalagi, Partai Demokrat gencar melakukan pendekatan kepada partai-partai yang pada pilpres lalu berseberangan dengan mereka seperti PDIP, Golkar, Gerindra dan Hanura.

Ketiadaan oposisi jelas sangat disayangkan jika benar-benar terjadi. Sebab, hal itu akan menjadikan pemerintahan menjadi absolut lantara tak adanya fungsi kontrol dari parlemen seperti yang selama ini dilakukan oleh PDIP.

“Sangat disayangkan dan ironis kalau tidak adanya oposisi di masa mendatang,” tandas Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti kepada Berita Kota di Jakarta, Kamis (24/9).

Menurut Ray, kalau parpol tak ada lagi yang mengambil peran sebagai oposisi, maka fungsi kontrol akan dijalankan oleh parlemen jalanan yang terdiri dari lembaga LSM, mahasiswa, Ormas dan masyarakat yang kritis.

“Kalau parlemen sudah tidak melakukan fungsi kontrolnya, maka yang akan melakukan adalah parlemen jalanan,” papar eksponen aktivis ’98 itu.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli juga menyayangkan kalau nanti terbukti tidak ada partai yang melakukan oposisi. Karena, menurut Lili, kekuatan penyeimbang itu sangat diperlukan untuk menciptakan pemerintah yang baik dan bersih. Walaupun, Indonesia menganut sistem presidensial dan bukan parlemen sehingga secara resmi tidak mengenai partai oposisi. Tetapi fungsi oposisi tetap diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara eksekutif dengan legislatif.

“Oposisi itu perlu sebagai penyeimbang eksekutif,” ucap peneliti senior LIPI itu. Lili menambahkan, partai-partai yang kalah dalam pilpres sebaiknya berperan sebagai partai oposisi. Dengan begitu masyarakat bisa melihat dan membandingkan program mana yang paling baik antara oposisi dengan pemerintah. Karena itu, partai oposisi juga harus memiliki program yang jelas agar masyarakat bisa membandingkannya dengan pemerintah. Jadi bukan hanya sekadar beda dan tidak sama dengan pemerintah. “Partai oposisi juga harus punya program dan solusi masalah,” tambah Lili.

Menurut Lili, partai yang melakukan fungsi sebagai oposisi punya kans untuk meraih simpati rakyat yang pada akhirnya menggelembungkan suara mereka pada pemilu mendatang. Hal itu dengan catatan mereka menunjukan sikap dan keberpihakannya kepada rakyat dan melakukan pembelaan kepada rakyat kecil yang merupakan mayoritas.

“Partai oposisi bisa menjadi besar kalau berpihak pada rakyat dan punya sikap yang jelas,” tutur pengajar UI itu. Secara terpisah, politisi PDP Laksamana Sukardi justru menegaskan pentingnya peran oposisi. Bahkan, menurut politisi yang akrab disapa Laks itu, harusnya partai oposisi juga membentuk kabinet bayangan yang sama persis dengan kabinet bentukan pemerintah.

Menurut Laks, di luar negeri justru kabinet bayangan yang dibentuk oleh partai oposisi juga mendapat gaji yang sama dengan kabinet pemerintah. Karena itu, tradisi oposisi itu harus ditradisikan di Indonesia.

“Partai oposisi itu bagus dan positif. Di negara yang maju demokrasinya hal itu sudah menjadi tradisi politik,” papar Laks.

Salah satu parpol yang diharapkan mengambil peran oposisi, yakni PDIP hingga kini belum menentukan sikapnya. Apakah akan melanjutkan perannya untuk lima tahun ke depan atau tidak.

Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait mengaku partainya belum menentukan sikap politik dalam pemerintahan mendatang karena hal itu harus dibahas terlebih dahulu melalui mekanisme resmi partai. Tapi ia menegaskan apapun keputusan partai nanti, dirinya dan seluruh kader pasti siap menjalankannya.

“Masalah oposisi atau tidak harus diputuskan oleh mekanisme resmi partai. Tunggu saja,” katanya. O dir

Orba Bangkit Kembali

LAMPUNG POST


Kamis, 15 Oktober 2009


Orba Bangkit Kembali



JAKARTA (Lampost): Pemerintahan sekarang mulai membangkitkan kembali tabiat rezim Orde Baru (Orba) dengan memproses hukum para aktivis. Kriminalisasi aktivis tersebut harus segera dihentikan.

Anggota Masyarakat Oposisi Indonesia dari Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, mengatakan kriminalisasi para aktivis dilakukan secara sistematis. Arahnya pada pembungkaman suara masyarakat agar penyelenggaraan pemerintahan sepi dari kritik.

"Supaya pemerintah bisa melalui jalan yang mereka bangun tanpa kritik," ujar Ray Rangkuti dalam jumpa pers di Omah Sendok, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (14-10).

Jumpa pers diadakan Masyarakat Oposisi Indonesia yang terdiri dari beberapa LSM seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), dan Reform Institute.

Masyarakat Oposisi juga menyesalkan upaya kriminalisasi para aktivis melalui modus pencemaran nama baik. Menurut Ray, sepanjang tahun 2009, upaya kriminalisasi para aktivis makin merajalela. Tabiat pemerintah yang seperti ini dinilai mulai mengarah kepada tabiat rezim Orde Baru. "Kita harus membangun kekuatan untuk menolak segala bentuk kekuasaan yang tabiat dan perilakunya sama dengan Orde Baru," kata Ray.

Pembelaan ICW

Kriminalisasi aktivis antikorupsi dimulai dengan penetapan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, sebagai tersangka oleh Polri. Lalu disusul penetapan tersangka dua aktivis ICW, yakni Emerson Yuntho dan Illian Deta Artasari.

Terkait kasus ICW, besok Emerson dan Deta akan dipanggil ke Mabes Polri. ICW pun membentuk tim hukum dan siap melakukan pembelaan. Selain itu, ICW akan mengajukan judicial review untuk mencabut pasal pencemaran nama baik Pasal 311/316 KUHP. "Akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi," ujar Emerson.

Menurut dia, proses penetapan tersangka dilakukan polisi karena ICW bersikap kritis terhadap kriminalisasi Chandra dan Bibit serta wacana menonaktifkan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji. "Ini seperti ada tanda tanya besar. Apakah ini bentuk balas dendam? Kalau preseden ini berlangsung, jika Kejaksaan dan polisi tersinggung dengan sikap kritis, akan mudah dilakukan kriminalisasi," kata dia.

Susno Duadji

Untuk kasus KPK, pengacara Chandra dan Bibit, akan menyerahkan bukti-bukti penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Susno Duadji ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Dokumen kronologis Anggodo (adik buron KPK Anggoro Widjojo), bukti surat DPO, hingga bukti Susno bertemu dengan Anggoro di Singapura kami serahkan semua kepada Presiden," kata pengacara Bibit dan Chandra, Ahmad Rivai, kemarin.

Menurut Rivai, langkah ini diambil mengingat banyaknya unsur rekayasa dalam penetapan tersangka atas Bibit dan Chandra. Bukti diserahkan agar SBY bisa menelaah lebih lanjut.

Selain itu, tim kuasa hukum juga akan menyerahkan bukti-bukti bahwa kedua pimpinan KPK nonaktif tersebut tidak bersalah. "Kami tidak dalam posisi menyalahkan institusi mana pun, tetapi hanya ingin memberikan bukti kebenaran bukan opini atau tuduhan semata," kata dia.

Bibit dan Chandra ditetapkan polisi sebagai tersangka karena mencekal buronan KPK Anggoro Widjodjo dan mencabut cekal Joko S. Tjandra. Polisi menilai dua pimpinan KPK tersebut telah melakukan penyalahgunaan wewenang. n U-1

Demokrasi Indonesia Makin Suram

JPNN.COM


Jum'at, 16 Oktober 2009 , 17:44:00


Demokrasi Indonesia Makin Suram
Parpol Ogah Jadi Oposan



JAKARTA - Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menilai demokrasi di Indonesia saat ini mulai memasuki masa-masa suram. Menurut Ray, hal itu ditandai dengan dua hal, yakni soal peran oposisi tidak lagi dipahami sebagai sebuah kemuliaan untuk mengontrol kekuasaan yang cenderung korup, serta terjadinya penyerahan harkat dan martabat partai-partai politik kepada presiden dan wakil presiden terpilih.

"Demokrasi Indonesia sudah memasuki masa suram. Hal tersebut dimulai dari pemahaman yang melihat oposisi tidak lagi memiliki nilai-nilai kemuliaan. Sementara kekuasaan dipahami sebagai satu-satunya tempat dimana kemuliaan bertebaran," kata Ray Rangkuti, di press room DPR Jakarta Jumat (16/10).

Akibatnya, lanjut Ray, hampir seluruh partai peserta pemilu jadi pengemis dan menghambakan diri kepada kekuasaan yang ada di tangan presiden. Padahal pandangan itu nilainya sangat kosong.

Dijelaskan Ray, fenomena kontrak politik antar-parpol merupakan sebuah contoh kongrit dari suramnya demokrasi di Indonesia. "Yang kita kenal dihampir seluruh negara demokrasi hanya ada koalisi parpol untuk memenangkan pemilihan presiden. Tapi di Indonesia lebih dari itu menyerahkan harkat dan martabat partai kepada presiden dan wakil presiden terpilih. Fenomena ini jelas menguntungkan presiden dan wakil presiden terpilih," ujar Ray Rangkuti.

Yang lebih konyol, penandatanganan kontrak politik itu dilakukan oleh seorang wakil presiden terpilih yang berlakang non-parpol. Sementara yang ikut kontrak politik tersebut dilakukan oleh sejumlah pimpinan parpol yang kedudukannya politiknya di partai politik sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menyinggung soal kemungkinan dalam kontrak kesepakatan bersama agar kader partai yang duduk di DPR tidak bersikap kritis terhadap kekuasaan dalam lima tahun ke depan, Ray menyebut kalau hal itu sampai terjadi maka jelas itu merupakan kontrak haram. "Kalau benar ada diantara pasal kontrak politik seperti itu, sesungguhnya itu adalah perjanjian haram karena telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan intervensi terhadap legislatif sebagai lembaga kontrol. Kontrak itu harus batal demi hukum," tegas Ray.

Dia juga menyesalkan prilaku elit parpol yang menyerahkan seluruh proses pembentukan kabinet sepenuhnya diserahkan ke presiden terpilih. "Artinya, parpol dengan begitu mudahnya menyerahkan konstituen pemilihnya, katakan 40 juta pemilih diganti dengan jabatan menteri. Ini tindakan manipulasi," kata Ray. (fas/JPNN)

Tanggapan SBY Wujud Politically Incorrect

BERITA JATIM


Tanggapan SBY Wujud Politically Incorrect


Rabu, 07 Oktober 2009 11:21:12 WIB
Reporter : ---

Jakarta- Reaksi Presiden SBY terhadap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla dianggap tidak pada tempatnya. SBY dinilai mengintervensi urusan internal Golkar.

"Tanggapan SBY politically incorrect, karena bisa dianggap mengintervensi urusan dapur rumah tangga Golkar," kata peneliti senior LSI Burhanuddin Muhtadi dalam pesan singkatnya kepada INILAH.COM di Jakarta, Rabu (7/10/2009).

Menurutnya, reaksi SBY terhadap statemen JK mengejutkan. Karena JK bicara oposisi berdasarkan kapasitasnya sebagai Ketum Golkar, bukan sebagai wapres. "Statemen JK juga ditujukan untuk reposisi Golkar lima tahun ke depan," ujarnya.

Tapi SBY sengaja mengambil resiko itu untuk mengatakan bahwa jika nantinya Golkar diajak bergabung, bukan karena mengemis kekuasaan. Pernyataan SBY bisa meredam efek dukungan JK ke Surya Paloh.

"Ini dimungkinkan karena karakter Golkar yang sulit jaga jarak dari kekuasaan. Selain itu, sekali lagi bukti SBY jalankan politik rekonsiliasi dengan merangkul lawan-lawan politik pada waktu pemilu," katanya.

Memang, tanggapan Presiden SBY terhadap pidato pembukaan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Jusuf dalam Munas begitu mengagetkan banyak pihak. Reaksi tersebut dinilai sebagai bentuk dari kepanikan SBY akan ditinggalkan Golkar.

"Tanggapan SBY atas pidato JK dalam munas Golkar memperlihatkan kepanikan, keburu-keburuan dan bahkan ketidaktahuan makna oposisi," ujar Direktur Eksekutif LIMA Ray Rangkuti.

Ia mengatakan, sangat disayangkan SBY begitu cepat bereaksi menanggapi pernyataan yang asumtif sifatnya. Sebab, menurut Ray, JK hanya menawarkan agar Golkar beroposisi. "Satu pilihan tepat di saat semua parpol ingin masuk kekuasaan," tutur Ray yang nama sebenarnya Ahmad Fauzi.

Dengan reaksi tersebut, Ray menjelaskan, SBY pada dasarnya tidak menginginkan munculnya kekuatan oposisi sebagai bagian dari pilar demokrasi. Setidaknya, baginya, terdapat 3 keganjilan dalam tanggapan SBY. "SBY menyebut bahwa oposisi Golkar dapat inkonstitusional jika dilakukan dari sekarang. Tentu tak ada oposisi yang inkonstitusional jika Demokrat sekalipun misalnya melakukan itu," imbuhnya.

Golkar, lanjut Ray, juga harus mengoposisi pemda yang dikuasai Golkar. Karena jika Golkar adalah penguasa di daerah maka oposisi dilakukan oleh parpol lain. "Bahwa oposisi dapat dilakukan oleh LSM. Tentu LSM tidak mengoposisi. LSM hanya menempati posisi kritik sipil," jelas Ray. [air]

Konsisten Oposisi, Pamor PDI-P Naik * Oposisi PDIP Sehatkan Demokrasi

SINAR INDONESIA BARU


Konsisten Oposisi, Pamor PDI-P Naik * Oposisi PDIP Sehatkan Demokrasi


Posted in Berita Utama by Redaksi on Oktober 16th, 2009

Jakarta (SIB)

Kekukuhan sikap Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri agar partai tersebut tetap menjadi kekuatan oposisi dalam lima tahun mendatang harus diapresiasi.

Sikap tersebut menyehatkan demokrasi dan bakal membesarkan partai tersebut, lepas dari alasan subjektif bahwa Megawati tidak nyaman bekerja sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hal itu dikemukakan pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf di Jakarta, Kamis (15/10) pagi. “Kalau bergantung pada sikap Megawati, maka PDIP ke depan jelas akan jadi kekuatan oposisi seperti yang mereka jalankan lima tahun terakhir ini. Sikap ini menyehatkan demokrasi kita. Ini konsekuensi bagi yang kalah dalam pemilu,” tegas Maswadi Rauf.

Namun, yang jadi persoalan adalah seberapa kuat pengaruh Megawati saat ini berhadapan dengan arus yang menginginkan koalisi dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Maswadi Rauf berpendapat jika semua partai politik bergabung dalam pemerintahan maka proses check and balance akan sulit berjalan, sekalipun banyak partai mengatakan akan tetap kritis terhadap pemerintah. Dalam praktik hal itu sulit dilakukan. “Harus tetap ada partai yang ada di luar pemerintahan, sekalipun ini tidak ada dalam sistem ketatanegaraan kita,” tegas Maswadi.

Hingga saat ini Megawati yang diberi mandat oleh PDIP untuk menentukan sikap politik berhadapan dengan pemerintah belum menyampaikan apa pun.

Analis politik Universitas Airlangga Daniel Sparringa mengatakan sebaiknya Megawati lebih cepat menentukan sikap agar tidak memberi sinyal yang membingungkan bagi konstituennya di daerah. Namun, dari sisi tertentu penundaan penegasan sikap PDIP tersebut bisa diterima karena jika harus beroposisi maka PDIP ke luar dari komitmen memperkuat sistem presidensial. Beroposisi akan bertentangan dengan semangat gotong royong yang selama ini diusung dalam ideologi PDIP.

Kalaupun berkoalisi maka PDIP harus membicarakan secara terbuka dengan Partai Demokrat terhadap berbagai persoalan politik ke depan, agar semuanya berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. “Tidak ada untung dan juga tidak ada ruginya bagi partai itu untuk menentukan sikapnya sekarang. Kalau semuanya itu tergantung Megawati maka sangat kuat kalau PDIP itu memonolitik sekali. Tawaran masuk dalam kabinet membuat mereka kedodoran dan tidak dewasa dalam mengambil sikap politik,” tegas Daniel Sparringa.

Sekretaris Jenderal PDIP Parmono Anung mengatakan sikap resmi PDIP akan disampaikan dalam beberapa hari ke depan. Semua pernyataan yang dikemukakan kader PDIP sejauh ini, bukanlah sikap resmi PDIP. Ketua DPP PDIP Tjahjo Kumolo menegaskan sesuai dengan hasil rapat kerja nasional (rakesnas) PDIP di Solo-Jawa Tengah awal tahun ini, sikap politik tersebut akan ditentukan sendiri oleh Megawati.
Golkar Gabung

Sementara itu, Partai Golkar memastikan dalam lima tahun mendatang akan berkoalisi dengan pemerintah. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Ketua Umum Partai Golkar yang baru saja terpilih Aburizal Bakrie, kepada Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono. “Ketua Umum Golkar (Aburizal Bakrie) telah menyampaikan kepada saya, ke depan ini ingin menjadi bagian dari pemerintahan dan juga ingin menggalang kebersamaan di parlemen. Dengan demikian juga menjadi bagian dari koalisi,” kata Yudhoyono di sela-sela acara silaturahmi dengan wartawan di kediaman pribadinya di Puri Cikeas Indah, Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/10) malam.

Turut hadir Wapres terpilih Boediono, Mensesneg Hatta Rajasa, Seskab Sudi Silalahi, Menkominfo M Nuh dan juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng.

Dengan bergabungnya Partai Golkar maka total ada enam partai yang tergabung dalam mitra koalisi Partai Demokrat, yaitu PKB, PPP, PAN, PKS, Partai Demokrat dan Partai Golkar.

Di lain pihak, Yudhoyono juga menyatakan, tetap menghormati posisi PDIP, Gerindra dan Hanura, yang tidak memilih berkoalisi dengan Partai Demokrat. “Meskipun saya juga mendengar ada parpol yang mengatakan kami tidak beroposisi, tapi tidak berkoalisi. Yang jelas, ketiga pimpinan atas ketua umum parpol itu hingga malam ini (Rabu, 14/10) belum menyatakan kepada saya, selaku Presiden terpilih, untuk
keinginan bersama-sama dalam pemerintahan maupun parlemen,” papar Yudhoyono.

Mengenai terpilihnya Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR RI, Yudhoyono mengakui memang ada kesepakatan antara Partai Demokrat dan PDIP untuk menjalin kerja sama di MPR. Namun, tidak ada kesepakatan kerja sama di pemerintahan dan DPR. “Jadi cukup terhenti sampai kerja sama di MPR RI antara Demokrat dengan PDIP,” ujarnya.
Gerindra

Sementara itu, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) belum memutuskan bekerja sama dengan PDIP untuk mengawasi kinerja pemerintahan lima tahun mendatang. Ini karena keputusan tersebut merupakan kewenangan dari Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.

“Kami belum memutuskan apakah akan bekerja sama atau tidak, karena masih melihat perkembangan yang terjadi,” ujar Sekretaris Jenderal Ahmad Muzani saat dihubungi SH, Kamis (15/10).

Menurut Muzani, untuk mendapatkan kejelasan sikap Partai Gerindra mendatang baru akan diputuskan melalui rapat internal dalam minggu ini. Sikap tersebut dilakukan, mengingat dalam perjanjian koalisi besar yang ditandatangani empat tokoh partai tidak berjalan efektif.

“Sekarang ini posisi koalisinya berbeda. Golkar tidak lagi sejalan untuk melakukan koalisi besar mengkritisi pemerintahan. Sehingga perjanjian itu tidak efektif,” imbuhnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Hanura Yus Usman Sumanegara menilai Hanura dan PDI Perjuangan masih dalam ikatan kesepahaman menyikapi pemerintahan mendatang. Hanura, katanya, akan tetap bekerja sama sesuai dengan dokumen tertulis yang pernah ditandatangani empat tokoh sebelum pemilu presiden berlangsung.

“Hanura dan PDI Perjuangan itu sudah ada kesepakatan untuk kerja sama,” katanya.
Menurutnya, Hanura akan memberikan dukungan terhadap pemerintahan apabila melakukan kebijakan yang pro terhadap rakyat. Tapi jika dalam perkembangannya ada kebijakan yang menyimpang, Hanura akan bersikap kritis konstruktif.

“Sesuai hasil Rakernas, kami akan mendukung jika kebijakan itu pro rakyat dan kami siap bersikap kritis konstruktif jika kebijakannya menentang kepentingan rakyat,” katanya.

Sejumlah kalangan, baik internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) maupun pengamat, menghendaki partai banteng tersebut mengambil sikap politik sebagai oposisi dalam formasi pemerintahan mendatang. Dengan menjadi oposisi, pamor politik PDIP dipastikan bakal naik dan berpotensi mendulang dukungan besar di masa mendatang.
Selain itu, menjadi oposisi merupakan pilihan yang sehat bagi demokrasi, dan sudah menjadi amanat Rakernas PDIP di Solo, Januari lalu, bahwa jika PDIP kalah dalam pemilu, akan menjadi oposisi di parlemen.

Menurut pakar politik dari Universitas Paramadina Ray Rangkuti, wacana partai banteng yang akan memecat setiap kadernya jika masuk menjadi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, akan menjadi ujian tersendiri bagi PDIP dan juga Megawati Soekarnoputri. “Konsistensi politik PDIP akan diuji. Wacana terkait pemecatan diharapkan bukan basa-basi semata. PDIP harus tegas dengan keputusan menjadi kelompok oposisi yang benar dan berorientasi pada kemajuan, dan ini akan meningkatkan pamor partai di masa mendatang,” tegasnya di Jakarta, Kamis (15/10).

Dia mengingatkan, jika pilihan oposisi yang diambil, harus dilakukan secara konsisten. “Kinerja PDIP mengkritisi beberapa kasus dan kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan. Di sini konsistensi PDIP diuji. Jangan sekadar jadi oposisi yang asal-asalan,” kata Ray.

Pakar politik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago mengingatkan, PDIP tidak akan mungkin bersikap kristis terhadap pemerintah, jika bergabung di kabinet. “Sikap Mega harus mampu mencegah kemerosotan dukungan masyarakat menghadapi Pemilu 2014,” katanya.

Jika PDIP menjadi bagian dari pemerintahan, akan menuai citra buruk karena dianggap hanya mementingkan kekuasaan. Hal ini yang perlu diantisipasi dan sinyal Megawati mengatasi hal ini cukup tepat.

Senada dengan itu, anggota Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP AP Batubara, pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, dan pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara Medan Wara Sinuhaji, juga mendorong agar PDIP beroposisi.

Batubara mengingatkan semua pihak, terutama di PDIP harus konsisten dengan hasil rakernas di Solo. “Pada Rakernas di Solo lalu sudah secara tegas, jika PDI Perjuangan kalah di Pilpres, maka PDI Perjuangan mengambil sikap sebagai oposisi,” tegasnya.

Karena itu, kata dia, semua pihak tidak perlu ragu terhadap langkah PDIP bakal menjadi oposisi. Dia juga mengemukakan, jika ada kadernya yang masuk Kabinet SBY-Boediono, akan diberikan sanksi berupa pemecatan atau diminta mengundurkan diri.
“Kita tidak takut meski kader itu memiliki potensi dan berkualitas. Karena di PDI Perjuangan banyak kader yang berpotensi dan berkualitas. Yang terpenting adalah semua kader tidak melanggar aturan yang ada,” pintanya.

Hal senada dinyatakan Burhanuddin Muhtadi. “Saya berharap, PDI-P bersikap oposisi. Karena, apabila PDI-P berkoalisi, pemerintahan menjadi semakin kuat dan hal ini tentunya tidak sehat untuk demokrasi,” kata Burhanuddin.

Sedangkan Wara Sinuhaji mengingatkan, harapan rakyat akan runtuh jika PDIP ikut dalam gerbong koalisi besar. “Jika PDIP mengikuti jejak Golkar bergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu, program pemerintah dipastikan berjalan mulus, tidak ada kontrol yang efektif. Rakyat akan meninggalkan PDIP,” ujarnya.

Bergantung Megawati

Secara terpisah, anggota Deperpu PDI-P Sabam Sirait mengungkapkan, pilihan menjadi oposisi atau tidak perlu dirumuskan secara matang. “Kader PDI-P menyerahkan kepada ketua umum untuk mengambil keputusan terbaik bagi masa depan partai, sesuai amanat Kongres PDI-P lima tahun yang lalu,” katanya.

Senada dengan itu, tokoh muda PDI-P Andreas Pareira menjelaskan, ada dua hal yang mesti dicermati PDI-P dalam menentukan sikap politiknya terhadap pemerintahan baru.
Pertama, bagaimana PDI-P harus tetap mengawal/menjaga kepentingan nasional yaitu kepentingan NKRI. Apakah dengan posisi di dalam ataupun di luar pemerintahan, PDI-P bisa menjaga kepentingan nasional? Kedua, PDI-P tetap menjaga kesinambungan dan masa depan partai, merawat konstituennya dengan baik, sehingga partai ini tetap dekat dengan para konstituennya. “Dua aspek tersebut saat ini masih sedang terus dalam pengkajian PDI-P,” katanya.

Sementara itu, Ketua DPP PDI-P Firman Jaya Daeli menegaskan, sesuai mekanisme partai, sikap politik partai akan ditentukan oleh Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri, yang memiliki kewenangan tertinggi, dengan mempertimbangakan berbagai saran dan masukan dari kader-kadernya.

Sebelumnya, kader muda PDI-P Maruarar Sirait menjelaskan, membaca PDI-P haruslah melihat pada sikap politik Megawati. Sebagai pimpinan tertinggi, Megawati mendapat kewenangan konstitusi serta diberi legitimasi secara penuh oleh partai untuk mengambil keputusan tertinggi di partai.

“Bu Mega sebagai ketua umum yang juga formatur tunggal, dapat mengambil keputusan tertinggi untuk kepentingan dan masa depan partai,” kata Maruarar.

Apalagi secara politik lanjut Maruarar, yang didengar dan bisa menyatukan PDI-P sampai ke tingkat grass root, hanya Megawati. Jadi saya percaya, Bu Mega akan mengambil keputusan yang terbaik untuk keutuhan partai, serta yang terbaik bagi bangsa dan negara,” katanya.

Ia menegaskan, apapun keputusan Megawati, pasti akan dipatuhi seluruh konstituen PDI-P sampai ke tingkat bawah. Sebab PDI-P sampai saat ini masih sebagai partai yang solid karena memiliki kepemimpinan yang kuat.

Hal yang sama disampaikan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani. “Tidak ada perpecahan antara bapak dan ibu saya. Saya dan Pak Taufiq, akan mengikuti apa yang menjadi ketua umum Megawati,” ujar Puan yang juga anak kandung Megawati dan Taufiq Kiemas.
Siap Terima Tawaran

Menyikapi polemik di PDI-P, Ketua Deperpu PDI-P Taufiq Kiemas menegaskan, tidak akan melewatkan kesempatan untuk mendudukan kader partainya di kabinet. “Kalau dikasih (kursi menteri), ya kami ambil. Masa sih pemberian ditolak,” ujarnya di Jakarta, Rabu (14/10).

Kendati demikian, dia mengaku, belum ada tawaran apa pun dari presiden terpilih. “Yang paling penting ditawarkan, bukan menawarkan,” tegas Ketua MPR tersebut.
Ditanya mengenai siapa yang akan diajukan menjadi calon menteri Taufiq menolak mengungkapkan. “Partai tidak akan menyiapkan kader sampai penawaran secara resmi itu datang,” katanya.

Dia menegaskan, seluruh keputusan berada di tangan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. “Kuncinya tetap di Ibu Mega dan sampai saat ini dia belum menentukan sikap,” tutur Taufiq.

Sekjen PDI-P Pramono Anung, seusai rapat pengurus DPP PDI-P di Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (14/10) mengungkapkan, Ketua Umum Megawati masih menunggu lebih lanjut perkembangannya yang terjadi. (SH/SP/m)

Kamis, 22 Oktober 2009

Kemenangan Aburizal Sebagai Ketum Golkar Memperlemah Kekuatan Penyeimbang Pemerintahan

RRI Pro3FM




Kemenangan Aburizal Sebagai Ketum Golkar Memperlemah Kekuatan Penyeimbang Pemerintahan



Jumat, 09 Oktober 2009 07:48


Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti minta institusi sosial dan LSM meningkatkan peran kontrolnya terhadap pemerintah baru mendatang, sebab kemenangan Aburizal Bakri sebagai Ketua Umum Partai Golkar akan memperlemah sikap partai politik untuk membentuk kekuatan penyeimbang.

Bergabungnya partai Golkar kepada SBy sebagai konsekuensi logis keikutsertaan Aburizal Bakri dalam kabinet Indonesia Bersatu.

Langkah ini menjadi peringatan bagi semua institusi social dan LSM untuk segera membentuk kekeuatan penyeimbang mengantisipasi kediktatoran SBY, apalagi partai partai besar seperti PDI Perjuangan telah menyatakan kesiapan untuk berkoalisi dengan pemerintahan baru SBY Budiono dalam lima tahun mendatang.

Sejalan dengan pendapat Ray Rangkuty, Pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi, menilai terpilihnya Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar dapat membuka jalan bagi koalisi dengan Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurutnya, jika diprosentasikan, peluang koalisi Partai Golkar-SBY mencapai 95 % bahkan Partai Golkar diperkirakan berpeluang mendapat dua hingga tiga menteri.

Partai Golkar dan PDI Perjuangan sebelumnya telah menggagas koalisi besar bersama partai Hanura dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Namun setelah kemenangan SBY pada pemilu lalu membuat partai partai tersebut mulai melelah.

PDI perjuangan misalnya, sebagai partai besar PDIP pun tidak ragu ragu untuk menerima bila ditawarkan untuk masuk dalam cabinet baru sby budiono. Padahal sebelumnya partai berlambang kepala banteng ini menegaskan akan tetap menjaga budaya oposisi yang selama ini dilakukan.

Bila partai-partai besar tersebut berkoalisi dengan pemerintahan SBY-Budiono maka bukan tidak mungkin semua kebijakan strategis menyangkut dengan kepentingan bangsa akan ditentukan oleh sby tanpa control yang memadai. (Syarif/DS)

Ray Rangkuti: Waktu 1 X 24 Jam Hanya Gertakan

MALUKU.COM


Ray Rangkuti: Waktu 1 X 24 Jam Hanya Gertakan


Senin, 06 Juli 2009


Pernyataan sikap bersama oleh pasangan capres dan cawapres Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto tantang pemberiaan waktu bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memperbaiki persoalan Daftar Pemilih tetap Tetap (DPT) dalam waktu 1 x 24 Jam, dinilai kurang efektif. Ultimatum kedua kandidat tersebut dinilai hanya gertakan saja. "1 X 24 Jam, itu hanya gertakan saja karena tidak mungkin dilaksanakan," ujar Direktur lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti, usai menghadiri pertemuan antara kubu Mega dengan JK di Gedung PP Muhammadiyah, Jl Raya Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (5/7/2009) malam.

Menurutnya persoalan DPT tersebut tidak akan selesai jika hanya mengandalkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai solusinya.

"KTP hanya untuk mereka yang tidak terdaftar, lalu bagaimana dengan DPT ganda. Itu tidak ada hubungannya dengan KTP," terang Rangkuti.

Selain banyaknya warga yang tidak masuk DPT dan persoalan DPT ganda menurutnya ada persoalan lain yang juga belum dipikirkan solusinya.

"Jumlah pemilih dengan jumlah kertas suara juga berisiko," ujarnya.

Saat ini jumlah surat suara yang dicetak oleh KPU hanya 176 juta ditambah 2 persen, lalu jika ada penambahan pemilih sebesar 10 juta saja, maka persoalan kertas suara akan timbul.

"Sisanya dicetak di mana, padahal pemilu tinggal besok," papar Rangkuti.

DPR Diperkirakan Berubah Drastis Dengan Masuknya 70% Wajah Baru

HARIAN PAKUAN

Selasa, 26 Mei 2009/08:27:27 WIB

DPR Diperkirakan Berubah Drastis Dengan Masuknya 70% Wajah Baru



Reporter: joe/trm

Jakarta, (Pakuan) – Komposisi DPR ke depan diperkirakan akan berubah drastis dengan masuknya sekitar 70% wajah baru. Sisi positifnya, DPR mendatang akan memiliki semangat dan energi baru.

Namun dampak negatifnya,dua tahun pertama kemampuan legislasi di DPR tidak akan optimal. Menurut Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, dalam dua tahun pertama banyak anggota DPR yang menghabiskan waktu untuk belajar. “Mereka masih harus belajar kecakapan untuk membuat undang-undang,kemampuan bernegosiasi, dan kecakapan dalam pembuatan legislasi lainnya,” ujar Ray kepada wartawan kemarin.

Menurut Ray,dalam dua tahun pertama baru terjadi transfer ilmu dari anggota DPR lama ke anggota yang baru.Kelemahan ini, bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menghasilkan undang-undang yang minim daya kritis anggota DPR. “Lantaran lemahnya kemampuan legislasi (anggota DPR), pemerintah akan mudah mengegolkan undang-undang sesuai keinginan pemerintah,”kata Ray.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menambahkan, parlemen ke depan juga akan diwarnai menguatnya dinasti politik, dengan cukup banyaknya keluarga elite partai dan pejabat-pejabat daerah. Selain itu, banyak juga kalangan artis yang menembus Senayan.

“Melihat komposisi anggota baru (DPR) di mana anggota keluarga elite politik dan kalangan artis cukup mendominasi ini, bisa saja daya kritis parlemen akan semakin lembek,”ujarnya. Kondisi akan diperparah jika yang memenangkan pemilu presiden (pilpres) mendatang adalah kekuatan mayoritas.

“Akan terjadi mayoritas mutlak. Pengalaman masa Orde Baru, saat DPR hanya menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah, bisa terulang,” ujarnya. Kondisi tersebut bisa terselamatkan jika partai-partai besar yang kalah dalam pertarungan pilpres mendatang mengambil posisi sebagai kekuatan oposisi.

“Harus ada keseimbangan kekuatan politik antara parpol pendukung pemerintah dan oposisi di parlemen,”ujarnya. Dari daftar nama anggota DPR terpilih, cukup banyak nama artis yang lolos menjadi anggota parlemen.

Mereka adalah Rachel Maryam Sayidina dari Partai Gerindra Jabar II, Rieke Diah Pitaloka dari PDIP Jabar II,Primus Yustisio dari PAN Jabar IX,Venna Melinda dari Partai Demokrat Jatim VI,Tantowi Yahya dari Golkar dapil Sumatera Selatan II, Okky Asokawati dari PPP DKI Jakarta II,dan Eko Patrio dari PAN Jawa Timur VIII.

Selain itu, Dedi S Gumelar yang akrab disapa Miing dari PDIP Banten I, Jamal Mirdad dari Gerindra Jawa Tengah I, Ingrid Kansil dari Partai Demokrat Jabar IV, Tetty Kadi Bawono dari Partai Golkar Jabar VIII,penyanyi Tere dari Demokrat dapil Jabar II. Banyak juga tokoh partai politik yang terpilih menjadi anggota DPR periode 2009–2014.

Di antara mereka adalah tokoh yang sebelumnya tidak masuk atau mengundurkan diri sebagai anggota DPR 2004–2009. Berdasarkan penetapan caleg terpilih KPU, mereka adalah Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali dari Jawa Barat III.SDA,begitu sebutannya,sebenarnya juga lolos sebagai anggota DPR 2004–2009.

Namun karena menjadi menteri negara koperasi dan UKM di Kabinet Indonesia Bersatu, dia mengundurkan diri dari DPR.Kemudian, Taufiq Effendy yang mewakili Kalimantan Selatan I dari Partai Demokrat juga lolos ke Senayan untuk periode 2009-2014. Sama dengan SDA,Taufiq sebenarnya juga lolos saat Pemilu 2004, namun karena menjabat menteri negara pendayagunaan aparatur negara di Kabinet Indonesia Bersatu, Taufiq mengundurkan diri saat itu.

Sekjen PDIP Pramono Anung juga lolos untuk DPR periode 2009-2014 mewakili Jawa Timur VI. Tokoh parpol yang lolos namun sebelumnya belum pernah duduk di DPR adalah Presiden PKS Tifatul Sembiring yang lolos dari Sumatera Utara I,Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang jadi caleg terpilih dari Demokrat di dapil Bali,Menegpora Adhyaksa Dault yang lolos sebagai caleg terpilih PKS dari Sulawesi Tengah, Sekjen DPP PPP Irgan Chairul Mahfiz dari Banten III,Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani dari Lampung I,Sekjen DPP Partai Demokrat Marzuki Alie dari Jakarta III, Sekjen DPP PKS Anis Matta juga terpilih sebagai anggota baru DPR dari dapil Sulawesi Selatan I.

Selain para sekretaris jenderal, tokoh parpol yang lolos adalah Ketua DPP PDIP Puan Maharani dari Jateng V,Ketua DPP Partai Demokrat yang juga mantan anggota KPU Anas Urbaningrum.Tak ketinggalan, para mantan aktivis juga akan berkiprah di Senayan,yakni Budiman Sudjatmiko dari Dapil Jawa Tengah VIII, Pius Lustrilanang yang merupakan caleg Gerindra dari dapil Nusa Tenggara Timur I.

Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lili Romli mengungkapkan, dari wajah parlemen yang baru,yang bisa diharapkan adalah aktivis atau kalangan kampus yang saat ini terpilih. ”Diharapkan, dengan idealisme mereka bisa mengubah warna parlemen yang saat ini dicap buruk karena terkena beberapa kasus korupsi,”ujarnya.

Dia mengharapkan para anggota DPR terpilih dari aktivis dan kalangan kampus tidak larut dalam dunia parlemen yang banyak godaan.”Ya kalau mereka tergoda juga,ya sudahlah,”katanya. Sebaliknya Lili tidak banyak berharap dari kalangan dinasti politik dan para artis. Alasannya, mereka masih sangat baru di DPR dan butuh waktu untuk belajar terlebih dulu.

Anggota KPU Andi Nurpati mengatakan,KPU memang sudah menetapkan caleg terpilih DPR yang jumlahnya 560.Namun, daftar itu bisa saja berubah jika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memunculkan keputusan yang berbeda dengan KPU. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan, penetapan caleg terpilih di dapil-dapil tertentu harus melalui pembahasan bersama parpol.

“Memang yang berwenang menetapkan KPU,tapi lebih baik jika dilakukan (penetapannya) bersama parpol,” katanya. Sehingga, pembahasan itu dapat menghasilkan kesepakatan.