Selasa, 26 Mei 2009

Awasi Capres-Cawapres Gunakan Fasilitas Negara

SINAR HARAPAN

Selasa, 26 Mei 2009 13:28

Awasi Capres-Cawapres Gunakan Fasilitas Negara


OLEH: VIDI VICI



Jakarta – Pengawasan penggunaan fasilitas negara pada kampanye Pemilu Presiden (Pilpres) 2009, harus lebih serius.



Pasalnya, ketiga pasang calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mempunyai kekuatan yang sama besar jika ingin melakukan pelanggaran penggunaan fasilitas negara dalam kampanye.
Koordinator Nasional Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, dua capres, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla merupakan incumbent, karena itu sangat dekat dengan fasilitas negara. Potensi pelanggaran cukup besar jika tidak diawasi secara serius.
“Baik Yudhoyono maupun Jusuf Kalla bisa saja memanfaatkan kunjungan-kunjungan kenegaraan untuk berkampanye,” kata Ray Rangkuti kepada SH di Jakarta, Selasa (26/5).



Menurutnya, capres Partai Demokrat Yudhoyono bisa juga memanfaatkan jaringan birokrasi, seperti Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menneg PAN), Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Keuangan untuk memfasilitasi kampanye.

“Apalagi banyak orang-orang Partai Demokrat di pemerintahan,” katanya.
Sementara itu, pasangan Kalla-Wiranto dan Megawati-Prabowo juga bisa mengambil keuntungan dari birokrasi di daerah. Sebab, sebagian besar kepala daerah di Indonesia berasal dari Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Bisa jadi dalam kegiatan kepemerintahan dan birokrasi disisipkan kegiatan-kegiatan kepartaian”, ujar Ray.
Yang juga dikhawatirkan Ray adalah soal netralitas TNI. Sebab, tidak bisa dipungkiri ada tiga jenderal purnawirawan berpengaruh yang bertarung dalam pilpres. “Kita tidak bisa memandang fenomena ini secara naif,” ujarnya.

Pengaturan soal penggunaan fasilitas negara ini, kata Ray, sebenarnya sudah cukup tegas dalam Undang-Undang (UU) Pilpres. Namun kemungkinan tidak akan aplikatif, karena fatsun demokrasi masih rendah.

Keterlibatan Birokrat

“Dengan persaingan ketat, setiap ada peluang menguntungkan cenderung akan dimanfaatkan meski itu melanggar,” ujar Ray. Apalagi, katanya, berkaca pada pemilu legislatif lalu, pengawasan terhadap pelanggaran ini masih sangat rendah. “Bahkan, kita tidak pernah mendengar adanya sanksi tegas dari KPU menyangkut pelanggaran penggunaan fasilitas negara,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay mengatakan, kemungkinan besar pelanggaran penggunaan fasilitas negara yang terjadi adalah soal keterlibatan orang-orang di birokrasi. Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, katanya, harus tegas menjatuhkan sanksi kepada pegawai-pegawai negeri sipil yang terbukti menggalang dukungan atau menggunakan wewenangnya untuk menguntungkan kandidat tertentu.

“Menneg PAN harus bisa mengawasi dan mengontrol aparatnya,” kata Hadar.
Selain itu, menurut Hadar, panita pengawas pemilu, harus lebih menyederhanakan proses pelaporan dari masyarakat. Jangan menyulitkan masyarakat yang membuat laporan pelanggaran. Bila perlu, panwas “menjemput bola” dengan turun langsung untuk mengecek kebenaran laporan dari masyarakat.
Hadar juga mengritik manuver sejumlah calon kontestan pilpres yang sudah melakukan kampanye akhir-akhir ini. “Mereka harusnya fair. Bila belum ditetapkan KPU, jangan dulu kampanye di mana-mana, ada yang mengunjungi pasar dan sebagainya,” terangnya.

Sementara itu, pengamat politik Universitas Indonesia Andrinof Chaniago menyatakan, seharusnya pengawasan terhadap pilpres bisa lebih baik dibanding pemilu legislatif lalu. Sebab berbeda pada pilpres, kontestan yang diawasi tidak banyak.

“Kalau pada pemilu legislatif, kan lembaga pengawas harus mengawasi banyak kontestan. Seharusnya, di pilpres dengan kontestan lebih sedikit pengawasan bisa dilakukan lebih maksimal dan fokus,” ujarnya.
Selain itu, lembaga pengawas juga tidak hanya melihat sebatas penggunaan fasilitas fisik, tetapi juga menyangkut keikutsertaan aparat birokrasi dan staf-staf di pemerintahan yang harusnya bersikap netral. n

Kamis, 21 Mei 2009

SBY & Mega Diprediksi "Tenggelam" di 2014

Pemilu - pemilihan presiden


SBY & Mega Diprediksi "Tenggelam" di 2014

Kamis, 21 Mei 2009 - 16:28 wibIrma Yani - Okezone TEXT SIZE :


JAKARTA - Ungkapan dalam bahasa Padang "Lala Rui Sanjo" yang berarti senja akan tenggelam, tampaknya bakal dialami tokoh nasional seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais dan Gus Dur di kancah perpolitikan tanah air pada 2014 mendatang.

"Kalau enggak hari ini, mereka enggak akan dapat kapal lagi," ujar Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti dalam diskusi ?Menggugat Absennya Etika Politik' di Omah Sendok, Jakarta Selatan, Kamis (21/5/2009).

Kondisi ini, lanjut Ray, antara lain disebabkan oleh menipisnya etika politik para elit. "Politik kita ini seperti, hari A terus jadi B, terus tiba-tiba jadi C atau seperti tahu tempe dan tempe tahu. Seperti itu selalu dalam hitungan hari," imbuhnya

Yang menarik, kata dia, "penyakit" ini kemungkinan bakal menular pada generasi baru. Mereka akan terbiasa melakukan praktik politik yang seperti sekarang," ungkapnya.

Aktivis Kontras Edwin Partogi menyebut kondisi ini sebagai paradok reformasi dari bentuk kekuasaan orde baru.

"Kita melihat selama 11 tahun ini, kekuatan rezim orde baru tetap merajai Pilpres. Banyak aksi seperti demonstrasi, semuanya hanya menguap di media massa dan tidak menjadi bahan bagi elit untuk melakukan sesuatu," timpalnya. (ded)

Aktivis Muda Gagal Karena Tak Pakai Uang

INILAH.COM


Politik
21/05/2009 - 17:40


Aktivis Muda Gagal Karena Tak Pakai Uang

Fitriya Usman

Ray Rangkuti

(inilah.com /Raya Abdullah)

INILAH.COM, Jakarta – Banyak kalangan muda yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Namun, tak banyak di antara mereka yang gagal melengang ke Senayan. Hal ini, dinilai karena mereka kalah bersaing dengan politisi yang mengandalkan uang selama kampanye.


Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti, dalam diskusi yang bertema 'Menggugat Absennya Etika Politik', di Rumah Makan Omah Sendok, Jakarta, Kamis (21/5).


"Dan kenapa mereka (aktivis) tidak banyak terpilih? Karena ternyata mereka secara umum tidak mau menggunakan politik uang. Karena mereka mau dipilih karena programnya," paparnya.


Walaupun begitu, ia optimistis generasi baru masih akan mendapat kesempatan. "Kita masih punya optimisme, tahun 2014 generasi-generasi yang masih menggunakan politik uang akan habis karena alam. Mega akan habis karena sudah tua. Amien Rais, Gus Dur, terus SBY, dan semua," papar Ray


Generasi muda, menurutnya, memiliki kesempatan di periode saat ini. Sehingga, jika bukan di masa sekarang, para aktivis muda tidak akan mendapatkan kesempatan. "Ini kan sebetulnya generasi ‘lalu ruik sanjo', yang artinya senja akan tenggelam. Ini Bahasa Padang," ujarnya.


Ia juga mengingatkan, pertarungan politik di Pemilu 2014 juga masih berkutat seputar pertarungan antara program dengan politik uang. Sebab, politisi terbiasa dengan kultur politik pragmatis,. “Berhadapan dengan kultur politik yang masih memandang etika, substansi, yang patut dijadikan jargon," tandasnya. [nuz]

Jumat, 15 Mei 2009

Terlalu Riskan Kalau SBY Pilih Cawapres Teknokrat

i-RADIO

Terlalu Riskan Kalau SBY Pilih Cawapres Teknokrat

Ditulis Oleh Admin | Rabu, 06 Mei 2009 Jakarta (06/05/09)

- Pilihan cawapers dari kalangan teknokrat untuk Susilo Bambang Yudhoyono dinilai terlalu riskan. Hal ini disampaikan oleh pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Charta Politica, Bima Arya Sugiarto dalam diskusi menentukan cawapres Susilo Bambang Yudhoyono, di Jakarta, hari ini.

Menurut Bima, untuk membangun pemerintahan yang kuat, presiden perlu didampingi cawapres yang tidak hanya paham makro ekonomi, tapi juga memahami sistem kepartaian dan parlemen. Ini mengingat pentinganya parlemen yang stabil untuk menjalankan pemerintahan. Oleh karena itu, dibutuhkan cawapres dari kalangan politisi yang bisa mengendalikan parlemen.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia atau LIMA, Ray Rangkuti, berpendapat Susilo Bambang Yudhoyono diperkirakan kehilangan suara dari gernerasi muda, kalau menggandeng Sri Mulyani atau Boediono sebagai cawapres dalam pilpres mendatang. Ray Rangkuti menilai figur kedua tokoh ini dikenal dekat dengan sistem ekonomi neo liberal dan pro Amerika Serikat. Padahal, generasi muda saat ini sangat identik dengan gerakan anti asing. Ray Rangkuti justru mengusulkan Susilo Bambang Yudoyono memilih cawapres dari kalangan generasi muda agar proses regenerasi politik bisa berjalan.

Menanggapi pendapat-pendapat ini, peneliti senior Lembaga Survey Indonesia, Burhanudin Muhpadi, justru menilai dengan siapapun Susilo Bambang Yudhoyono akan berdampingan akan mampu memenangi pilpres. Menurutnya, figur Susilo Bambang Yudhoyono sudah cukup kuat dan melekat di mayarakat, sehingga figur cawapres tidak terlalu menentukan. Burhanudin menilai Susilo Bambang Yudhoyono membutuhkan cawapres yang mampu mengimpelmentasikan gagasan besarnya sampai dengan level teknis dan tentunya tidak akan memilih cawapres yang akan merugikan Partai Demokrat kedepannya.(eko/bas)

PAN Merapat ke JK-Wiranto

SUARA KARYA

PAN Merapat ke JK-Wiranto
@ Mega-Prabowo Berduet, Deklarasi SBY-Boediono Mewah



Sabtu, 16 Mei 2009


JAKARTA (Suara Karya): Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Amanat Nasional Amien Rais merapat ke pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win). Semalam Amien dan JK melangsungkan pertemuan di kantor PP Muhammadiyah di Jakarta.

Pertemuan itu diduga membahas dukungan PAN terhadap pasangan capres-cawapres JK-Win. Usai pertemuan, kepada pers, JK mengelak bahwa pertemuan itu membahas koalisi. Secara diplomatis JK mengatakan, dirinya dan Amien Rais memiliki pemikiran yang sama.

Pembicaraan dengan Amien Rais, katanya, lebih banyak membahas upaya mempersatukan dan membangun ekonomi rakyat serta kemandirian ekonomi bangsa. "Pak Amien kan tokoh nasional, kita konsultasilah bagaimana menjalankan kemandirian bangsa," ujar JK.

Sementara itu, fungsionaris PAN Drajad Wibowo mengatakan, tidak ada kontrak politik dengan Partai Demokrat meski ada perwakilan PAN yang hadir dalam deklarasi capres-cawapres SBY-Boediono. "Meskipun ada perwakilan PAN yang datang ke acara deklarasi SBY, bisa saja itu (perwakilan--Red) dikatakan sebagai peninjau atau undangan," katanya.

Pertemuan itu sendiri berlangsung mendadak tanpa diagendakan sebelumnya. Dalam pertemuan itu, Amien Rais didampingi beberapa fungsionaris PAN seperti Drajad Wibowo dan Tjatur Sapto Edy. Sementara Jusuf Kalla hanya didampingi tokoh Golkar, Aksa Mahmud.

Sementara itu, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mendeklarasikan diri sebagai calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) Partai Demokrat bersama PKB, PKS, dan PPP, di gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/5), pukul 20.10 WIB.

Selang beberapa jam kemudian, capres-cawapres PDIP dan Partai Gerindra, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, menggelar deklarasi di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, pukul 11.35 WIB. Mega-Prabowo sepakat maju bersama ke Pilpres 2009.

Sementara itu, masyarakat menilai acara deklarasi SBY-Boediono sangat mewah di tengah kondisi rakyat banyak yang masih menderita kesulitan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran.

Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, deklarasi SBY-Boediono terkesan mewah dan tidak merakyat. "Apalagi, ada semacam kekuatan yang mendorong media televisi serentak membesar-besarkannya," ujarnya, di Jakarta, kemarin.

Dia menyebut, ini kontras dengan deklarasi Jusuf Kalla-Wiranto di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat yang bersahaja. Deklarasi itu berada dalam suasana heroik yang menunjukkan komitmen perjuangan memperbaiki nasib bangsa.

Pasangan incumbent yang diusung gabungan Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), PKS, PAN, dan PPP itu akan mendaftar sebagai kontestan Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) 2009, Jumat (16/5) pagi, sekaligus menyosialisasikan jargon SBY-Berbudi.

Menurut Ray, deklarasi SBY-Boediono perlu mendapatkan perhatian dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). "Ada apa media televisi, sampai mem-blow up habis deklarasi itu. Bahkan sampai bloking time hampir di semua televisi," katanya.

Mantan aktivis 1998 ini menilai, kemeriahan yang ditampilkan pasangan SBY-Boediono merupakan bentuk unjuk kemewahan dan kekuatan dari pasangan ini terhadap lawan-lawan politiknya.

Sementara itu, dalam jumpa pers deklarasi tadi malam, Sekjen PDIP Pramono Anung mengatakan, setelah melalui beberapa kali pertemuan, PDIP dan Partai Gerindra sepakat mengajukan Megawati dan Prabowo sebagai capres dan cawapres. "Inilah simbol perjuangan dan gerakan kerakyatan. Kami akan mendaftar besok (Sabtu, 16/5) pukul 13.00 WIB ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)," ujarnya.

Di tempat yang sama, capres Megawati mengatakan siap bertarung dalam Pilpres 2009. "Alhamdulillah, kami sudah satukan persepsi untuk berjuang bersama. Kalau nanti rakyat mengamanatkan pada kami untuk memimpin, Pak Prabowo akan konsentrasi membangun ekonomi kerakyatan," ujarnya.

Cawapres Prabowo menyambut baik dan siap berduet dengan Megawati membangun Indonesia. "Merupakan kehormatan bagi kami diajak Bu Mega untuk mendampingi. Nilai-nilai yang dianut PDIP dan Bu Mega sama dengan Gerindra," ucapnya.

Sementara itu, deklarasi SBY-Boediono yang digelar masih dalam lingkungan kampus Institute Teknologi Bandung (ITB) didemo ratusan mahasiswa ITB. Mereka minta deklarasi dipindahkan ke lokasi lain, bukan di dalam lingkungan kampu.

"Jangan jadikan kampus kami menjadi bagian politikmu, SBY", "Jangan Perjualbelikan Kampusku Dengan Politik", "Harga Mati, Jangan Deklarasi di ITB". Demikian sebagian kecil spanduk penolakan yang dibentangkan para mahasiswa. Namun, sebelum pukul 19.00, mahasiswa membubarkan diri.

Arus lalulintas di sejumlah ruas jalan di Kota Bandung, sejak sore mengalami kemacetan luar biasa. Kemacetan terpantau mulai selepas Tol Pasteur-Tol Ir Juanda-jalur arteri Taman Sari Bandung Wetan, hingga lokasi deklrasi. Tidak sedikit masyarakat, pelajar, dan pekerja memilih jalan kaki dari pada naik angkutan umum karena kemacetan lalu lintas.

Pengamanan ekstra ketat juga diterapkan gabungan dari Gegana, Brimob Polda Jawa Barat. Empat kendaraan water canon ditempatkan di sekitar lokasi Kampus ITB. Memasuki Gedung Sabuga, juga harus melalui tiga pintu yang telah dipasang alat detektor (x-ray), yakni VIP utara, VIP selatan dan tempat media massa.

SBY-Boediono didampingi istri masing-masing--Ani Yudhoyono dan Herawati Boediono--mengenakan busana celana hitam dan batik warna "merah kopi" lengkap dengan peci hitam, memasuki ruangan deklarasi pukul 19.35 WIB. Turut mengiringi mereka, pengurus teras DPP Partai Demokrat. Dari partai mitra koalisi, hadir Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Tifatul Sembiring dan Sekjen PKS Anis Matta. (Kardeni/Feber /Rully/Agus Dinar/Yudhiarma/B Sugiharto)

Kamis, 14 Mei 2009

CALON PENDAMPING SBY

SUARA KARYA


CALON PENDAMPING SBY
Hatta Rajasa Paling Penuhi Kriteria


Rabu, 6 Mei 2009


JAKARTA (Suara Karya): Capres incumbent dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), masih menutup rapat informasi soal sosok cawapres pilihannya. Namun, melihat respons pasar, SBY lebih diharapkan melirik teknokrat sebagai pendampingnya pada pilpres mendatang. Meski begitu, dukungan terhadap Hatta Rajasa untuk tampil sebagai cawapres pendamping SBY juga semakin menguat karena figur Hatta relatif paling memenuhi kriteria yang ditetapkan SBY.

Demikian kumpulan pendapat pengamat politik Indria Samego dan Bima Arya Sugiarto serta Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti kepada pers secara terpisah di Jakarta, Selasa.

"Peluang Hatta untuk menjadi cawapres pendamping SBY cukup besar," kata Indria Samego. Menurut dia, Hatta memenuhi kriteria cawapres yang ditentukan SBY.

Indria menilai, keberadaan Hatta selama ini mendampingi SBY di pemerintahan juga memperkuat keyakinan SBY untuk memilihnya sebagai cawapres pendampingnya.

Menurut Indria, selain seorang teknokrat, punya integritas dan loyalitas, Hatta juga punya hubungan kuat dengan semua partai politik. "Artinya, Hatta tidak eksklusif pada partai politik tertentu," ujarnya.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa Effendy Choirie menilai, dalam menentukan cawapres pendamping, SBY harus mempertimbangkan kekuatan pendukung Partai Demokrat di parlemen. Dukungan penuh di parlemen, katanya, harus bisa diperoleh Partai Demokrat agar pemerintahan bisa berjalan dengan baik. Tapi Effendy melihat bahwa Partai Demokrat sudah punya hitung-hitungan sendiri mengenai kekuatan di parlemen ini.

Sementara Bima Arya Sugiarto menilai, sikap Ketua MPP PAN Amien Rais mengajukan Hatta Rajasa sebagai cawapres pendamping SBY adalah realistis. Dia menjelaskan, untuk membesarkan partai perlu ditempuh dua cara, yakni membangun ikatan dan akses ke pemerintahan.

Karena itu, apa yang dilakukan Amien adalah agar PAN kelak bisa leluasa menuju Pemilu 2014. "Jika Hatta menjadi wapres, maka ikatan dan akses PAN ke pemerintahan terjaga sehingga PAN tetap bisa eksis pada Pemilu 2014," ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, Ray Rangkuti mengatakan, pilihan SBY menggandeng Boediono ataupun Sri Mulyani sebagai cawapres pada Pilpres 2009 akan membangkitkan gelombang antineoliberalisme di masyarakat. "Pilihan menggandeng Boediono atau Sri Mulyani sebagai cawapres ini benar untuk mencapai tujuan memperkuat fundamental ekonomi, tetapi salah dalam strategi karena bisa membangkitkan perlawanan terhadap paham neoliberalisme," katanya.

Ray menyebutkan, paham neoliberalisme masih menjadi hantu yang menakutkan bagi banyak kalangan di dalam negeri karena tidak memihak pada ekonomi rakyat. "Kecurigaan kalangan pemuda akan makin kuat bahwa ekonomi pemerintahan SBY akan makin berpaham neoliberal jika SBY menggandeng Boediono ataupun Sri Mulyani sebagai cawapres. Ini karena kedua tokoh tersebut dianggap sebagai representasi paham neoliberalisme," katanya.

Ray juga menyebutkan, mencuatnya nama Boediono dan Sri Mulyani sebagai kandidat cawapres SBY merupakan sinyal positif bagi pasangan capres-cawapres lain untuk bisa mengemas isu perlawanan dalam rangka memenangi pilpres. "Pesaing SBY bisa memanfaatkan isu itu. Apalagi jiga mereka sendiri mengusung isu ekonomi kerakyatan dalam kampanye nanti," ujarnya.

Karena itu, Ray menyarankan SBY agar mempertahankan Boediono dan Sri Mulyani di posisi masing-masing sekarang ini. SBY, katanya, lebih baik mencari figur lain untuk cawapres pandampingnya saat maju ke arena pilpres nanti. Yang penting, figur lain itu bisa memperkukuh kekuatan koalisi Partai Demokrat di parlemen.

Ray mengatakan, tiga kriteria cawapres pasangan SBY yang dipertimbangkan, yaitu bisa merepresentasikan sebagai pasangan tua-muda, incumbent-orang baru, serta cawapres nonpartai. Menurut dia, sosok muda mengisyaratkan semangat regenerasi, orang baru mencerminkan sosok yang pernah kalah dalam pertarungan pilres, dan figur nonpartai bermakna tidak tersekat-sekat oleh kepentingan pragmatisme partai.

"SBY harus mampu memilih pasangan yang mencerminkan kemenangan bangsa, bukan kemenangan sekelompok orang, karena pasangan itu diharapkan bisa bersinergi dengannya dalam jangka panjang," kata Ray.

Sementara itu, Presidium Poros Muda Kawasan Timur Indonesia (PPMKTI) merekomendasikan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad layak diusung sebagai cawapres pendamping SBY.

Koordinator Umum PPMKTI M Syamsul Rizal, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, mengatakan, pihaknya telah melakukan audiensi ke beberapa kalangan yang berkepentingan. Dalam konteks itu, PPMKTI menyorongkan Fadel sebagai tokoh muda Indonesia timur, bukan sebagai kader Partai Golkar.

Syamsul menegaskan bahwa pengajuan nama Fadel sebagai cawapres SBY ini tidak untuk memecah suara Partai Golkar dalam pilpres nanti, tetapi lebih karena Fadel merupakan sosok yang bisa diterima semua kalangan, terutama di kawasan timur Indonesia. "Dia adalah tokoh muda yang mampu mendorong pembangunan," ucapnya.

PPMKTI menginginkan perimbangan kekuasaan di tingkat nasional bersifat geografis, sehingga kelak pembangunan kawasan timur Indonesia mendapat perhatian khusus. (Rully/Feber)

Anggota Komisi Pemilihan Diminta Mundur

KORAN TEMPO


Anggota Komisi Pemilihan Diminta Mundur

Sabtu, 10 Januari 2009 | 11:08 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta: Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti meminta anggota Komisi Pemilihan Umum mengundurkan diri. Ray menilai kinerja anggota Komisi Pemilihan buruk. "Kalau memang tak mampu, sebaiknya mundur," katanya dalam diskusi tentang pemilu di Warung Daun, Sabtu (10/01).

Raya mencontohkan, buruknya kinerja Komisi Pemilihan Umum jelas terlihat dari diubahnya dan telatnya penetapan daftar calon tetap legislator. Tertundanya penetapan daftar calon tetap berdampak pada tahapan pemilihan selanjutnya.

Selain itu belum dibuatnya surat suara dan mekanisme penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, apakah perlu dengan perpu atau tidak, juga dinilai sebagai alasan kenapa anggota komisi harus mundur. "Logistik, sosialisasi, dan koordinasi yang buruk itu problem terbesarnya," kata Ray.

Ia khawatir terus dipertahankannya anggota komisi pemilihan sementara kinerja mereka sangat buruk akan membuat pemilihan umum terancam mundur. "Sekarang tinggal satu saja senjata kita (agar pemilu lancar), yaitu berdoa," kata Ray.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lili Romli menilai permintaan mundur anggota Komisi Pemilihan bukanlah solusi atas buruknya kinerja mereka. Selain penggantinya belum tentu lebih baik, kata Lili, "Waktunya juga tinggal 3 bulan lagi."

Komisi Pemilihan Umum, kata Lili, seharusnya membuka diri terhadap masukan dari para ahli. Selama ini anggota komisi pemilihan dinilai menutup diri. "Untuk membantu mengatasi berbagai persoalan," kata Lili.

Dwi Riyanto Agustiar

Pileg Kacau, Isyarat Pilpres Kacau Juga?

RAKYAT MERDEKA.COM


Pileg Kacau, Isyarat Pilpres Kacau Juga?

Sabtu, 02 Mei 2009, 14:02:45 WIB


Laporan: Aldi Gultom


Jakarta, RMonline. Semakin dekat menjelang pilpres, kekhawatiran di benak masyarakat pun semakin memuncak. Apalagi kalau bukan khawatir akan kinerja KPU yang pada pemilu legislatif lalu dianggap gagal dalam meyelenggarakan pemilu yang adil dan jujur.

Hal ini diutarakan oleh bekas mantan ketua Komite Indenpeden Pemantau Pemilu, Ray Rangkuti.

“Pertama pileg sudah kacau. DPT berantakan, IT nya kacau, rekapitulasi nya juga kacau. Ini isyarat Pilpres akan kacau juga,” ujarnya saat berbincang dengan RMonline, Sabtu (2/5).

Ray, yang sudah sejak tiga bulan sebelum pileg mengusulkan agar para komisoner di KPU mundur, melihat pekerjaan mempersiapkan pilpres adalah sesuatu yang tidak mudah.

“Pekerjaan yang begitu berat ini tidak mungkin dipikul oleh mereka yang tujuh orang ini. Kedua, secara moral sebenarnya mereka sudah harus mundur. Kan harus ada yang tanggungjawab atas gagalnya pileg kemarin,’ katanya.

Bagaimanapun juga, ia berharap pilpres nanti berjalan baik dengan perbaikan kinerja KPU. Ia mengingatkan bahwa dalam pelaksanaan pemilu yang penting bukan hasil dari pemilu itu, tapi proses yang mendahuluinya.

“Ini tentang bagaimana rakyat dapat menggunakan hak pilihnya, bukan masalah hasilnya,” pungkasnya. [ald]

Parpol Gurem Tetap Punya Hak Bersengketa

KOMPAS.COM


Parpol Gurem Tetap Punya Hak Bersengketa



Kamis, 14 Mei 2009 | 12:06 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik


JAKARTA, KOMPAS.com — Partai politik peserta Pemilu 2009 yang tak lolos persyaratan parliamentary threshold (PT) dengan perolehan suara satu koma atau nol koma juga memiliki hak untuk menggugat perolehan suara atau kursi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ada opini bahwa partai yang tak lolos PT tak boleh berperkara di MK. Sebenarnya boleh, selama yang dipersoalkan adalah hilangnya suara dia," ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow dalam pernyataan sikap Pokja Pemantau Penyelenggara Pemilu (P4) di Warung Daun Cikini, Kamis (14/5).

Parpol peserta pemilu diberikan hak untuk menggugat hasil perolehan suara atau kursi secara nasional ke MK jika terdapat kesalahan atau merasa dirugikan dengan hasil penghitungan oleh KPU paling lambat tiga hari setelah ditetapkan. Hingga penutupannya pada tanggal 12 Mei lalu, 63 perkara yang berkaitan dengan perselisihan hasil pemilu sudah dimohonkan.

"Yang menjadi obyek, yang berkenaan dengan hal yang mempengaruhi perolehan suara atau kursi pemilu," ujar Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia. P4 melihat hasil perolehan suara dan kursi belum dituangkan KPU dalam ketetapan.

Oleh karena itu, P4 melihat MK tidak membuka atau memulai proses persidangan perkara sengketa sebelum menerima ketetapan dari KPU berdasarkan waktu ketetapannya.

Pengumuman Hasil Pemilu Dinilai Cacat Hukum Itu sebabnya diusulkan agar pemilihan presiden 2009 ditunda.

VIVAnews.com


Pengumuman Hasil Pemilu Dinilai Cacat Hukum
Itu sebabnya diusulkan agar pemilihan presiden 2009 ditunda.



Kamis, 14 Mei 2009, 12:14 WIB


VIVAnews – Pengumuman hasil rekapitulasi suara dan perolehan kursi di pemilu legislatif yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum dinilai cacat hukum karena tidak dapat dijadikan pegangan bagi partai untuk memperkarakan ke Mahkamah Konstitusi.

Hal itu merupakan kesimpulan hasil kerja sejumlah lembaga yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pemantau Penyelenggara Pemilu 2009. Kesimpulan ini disampaikan kepada wartawan di Restoran Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis 14 Mei 2009.

Direktur Eksekutif Lembaga Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, mengatakan indikasi cacat hukum itu antara lain karena KPU hanya mengumumkan hasil rekapitulasi suara secara nasional pada waktu pengumuman 13 Mei 1009, bukan tiap daerah pemilihan.

“Hasil perdaerah pemilihan baru diumumkan 13 Mei 2009 malam dan baru selesai pagi hari. Sementara kan sekarang pendaftaran gugatan di mahkamah waktu itu sudah lewat,” kata dia.

Ray mengatakan yang disengketakan partai di mahkamah adalah masalah kehilangan suara yang kemudian mempengaruhi perolehan kursi. “Bukan suara secara nasional.”

Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jerry Sumampauw, menambahkan adanya cacat hukum itu sehingga yang disengketakan partai ke mahkamah masih bersifat asumsi.

Jerry meminta mahkamah membuat terobosan baru untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu, misalnya dengan membuka kembali gugatan baru.

Jerry juga menilai forum klarifikasi perolehan suara yang diadakan KPU sebagai upaya diskriminasi karena h

Selasa, 12 Mei 2009

Koalisi Demokrat-PDIP?

SUARA KARYA





Koalisi Demokrat-PDIP?


Ray Rangkuti
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia


Selasa, 12 Mei 2009


Kepastian dalam politik Indonesia adalah ketidakpastian. Logika politik Indonesia adalah ketidaklogisan dalam kategori umum. Rasionalitas politik Indonesia dibangun di atas rasionalitas masyarakat politik umumnya.

Karena itu, jangan heran jika akhir-akhir ini tersiar berita menghebohkan dan tak terduga: PDIP dan Partai Demokrat tengah menjajaki kemungkinan membangun koalisi guna menghadapi Pemilihan Presiden 2009. Perkembangan politik tersebut membuat kita geleng-geleng kepala.

Bagaimana menjelaskan kemungkinan persekutuan politik PDIP dengan Demokrat itu bisa terjadi? Jawabannya mudah: karena kepentingan kekuasaan dan hasrat menjadi bagian dari kekuasaan yang begitu besar. Jadi, kunci masuk dan keluar politik Indonesia semata-mata hanya kepentingan--kepentingan sebagian kecil elite politiknya.

Lima tahun yang lalu dan pada masa kampanye, mereka cenderung saling melihat sisi negatif. Menjelang Pilpres 2009, perbedaan tersebut tampaknya harus disimpan dan persamaan harus dikedepankan. Sedangkan titik singgung persamaan kedua partai politik terletak pada keinginan menang dalam pemilu.

Lantas, bagaimana kira-kira format koalisi yang akan dibangun di tengah realitas bahwa Partai Demokrat telah menjalin hubungan koalisi dengan partai politik yang lain? Tentu dua kubu masih berada dalam penawaran tinggi. Menjelang tiga atau empat jam sebelum batas akhir pendaftaran pasangan capres-cawapres, barulah ketetapan dapat dicapai pada tingkat 80 persen. Sekarang semua masih dapat diutak-atik.

Utak-atik itu, pertama, Partai Demokrat menawarkan kursi kabinet dengan jumlah cukup besar dan strategis, dengan catatan PDIP tidak mengambil posisi cawapres. Posisi itu akan diserahkan oleh SBY kepada kalangan teknorat guna menghindari kecemburuan di antara peserta koalisi. Akhirnya, jumlah kursi kabinet untuk kalangan teknorat akan diperkecil.

Kedua, SBY menawarkan kursi cawapres kepada PDIP dengan catatan PDIP tidak banyak mendapat jatah kursi kabinet serta tidak pula kursi yang strategis. Dua atau tiga kursi cukup. Kursi selebihnya akan diserahkan kepada peserta koalisi yang lain dengan jumlah lebih banyak. Ini demi keseimbangan dalam tubuh koalisi.

Untuk pilihan kedua, terdapat dua alternatif. Pertama, PDIP menawarkan cawapres dari mereka. Untuk kategori ini, bisa saja PDIP menawarkan seorang teknokrat yang dekat dengan mereka, atau langsung meminta SBY diduetkan dengan Puan Maharani. Namun, alternatif kedua, justru PDIP dan Partai Demokrat memasangkan SBY dengan Megawati sebagai pasangan capres-cawapres.

Mungkinkah itu? Mungkin! Sebab, lagi-lagi, yang pasti dalam realitas politik kita saat ini adalah ketidakpastian dan ketidakterdugaan. Memasangkan SBY dengan Mega sebagai capres-cawapres merupakan perkiraan yang tak terkira.***

Senin, 11 Mei 2009

Duet SBY-Mega Bisa Saja Terjadi

REPUBLIKA NEWSROOM


Duet SBY-Mega Bisa Saja Terjadi

Senin, 11 Mei 2009 pukul 05:13:00 Font Size A A A


JAKARTA -- Alotnya komunikasi antara PDIP dan Gerindra terkait negoisasi pasangan capres-cawapres membawa PDIP pada situasi politik mengejutkan. PDIP mulai membuka pintu komunikasi dengan Partai Demokrat (PD), partai yang selama lima tahun terkahir menjadi ‘musuh’ politiknya.

Terbukanya kran komunikasi politik antara PDIP dan PD semakin melebar pasca kedatangan Hatta Rajasa ke kediaman Megawati Soekarnoputri. Hatta diyakini membawa ‘pesan dari istana’ di luar kepentingan membicarakan status rumah Megawati seperti yang disampaikan kepada publik.

Direktur Nasional Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, menilai, segala kemungkinan terkait arah koalisi dan penentuan capres-cawapres masih terbuka. “Termasuk terjadinya duet SBY-Mega,” kata Ray dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Ahad (10/5).

Menurut Ray, karakter politik Indonesia tidak mudah ditebak dan dianalisis dengan teori-teori mana pun. Sifat kecairan politik Indonesia tak lain disebabkan sikap pragmatisme parpol dan para elit dalam mencapai kursi kekuasaan.

“Kata lainnya, politik kita itu politik yang //unpredictable//. Hal yang dipikirkan tidak terjadi justru malah terjadi, hal yang dianggap tidak mungkin malah jadinya benaran.”

Dia mencontohkan bagaimana menguatnya pendapat yang menyatakan duet SBY-JK tak mungkin terpisahkan lantaran konsesus politik antara PD dan Partai Golkar (PG). Namun pernyataan ini kandas menyusul pencalonan JK sebagai capres PG.

Contoh kedua adalah pandangan yang menyebutkan PG tak mungkin bisa bersatu dengan Hanura yang notabene merupakan parpol sempalan dari partai pohon beringin. Akan tetapi persepsi politik itu pun tumbang menyusul deklarasi JK dan Wiranto sebagai capres-cawapres yang diusung kedua partai.

“Dalam situasi seperti ini, bagi PDIP daripada tidak dapat apa-apa dan maju sendiri pun sulit menang, maka pilihannya adalah merapat ke Demokrat,” imbuh Ray.

Kendati demikian, jika mengikuti pakem politik yang benar, maka seharusnya koalisi PDIP dan PD tidak boleh terjadi. PDIP akan mempertaruhkan nasib partainya pada pemilu 2014 dengan bersiap ditinggalkan pemilih.

Pemilih PDIP dalam pemilu legislatif lalu berharap partai berlambang kepala banteng tersebut bisa memajukan capresnya sendiri. “Selain sulit menjelaskan kepada konstituen PDIP, saya rasa Demokrat juga tidak serius mau koalisi dengan PDIP. Demokrat hanya ingin membangun citra partainya sebagai partai yang toleran, terbuka, dan santun walaupun selama lima tahun diserang terus-menerus oleh PDIP,” tandas Ray.- ade/ahi

Koalisi PDIP dan Demokrat Jerumuskan Mega dan Yudhoyono

Koalisi PDIP dan Demokrat Jerumuskan Mega dan Yudhoyono
[Politik dan Keamanan]
PELITA


Koalisi PDIP dan Demokrat Jerumuskan Mega dan Yudhoyono


Jakarta, Pelita

Bergabungnya PDI Perjuangan dengan Partai Demokrat dinilai justru akan mencoreng citra Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pendapat ini antara lain disampaikan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti dan Ketua Umum DPP PSI Rahardjo Tjakraningrat di Jakarta, kemarin.
Banyak pihak sulit mempercayai itu bisa terjadi. Ini akan menjerumuskan nama keduanya baik Megawati dan Yudhoyono. Karena masing-masing pendukung mereka tidak menghendakinya, kata Rahardjo.

Selain itu, kata dia, ada bentuk ketidakberesan yang sedang terjadi saat ini di Indonesia, ketika seseorang mendikte kelompok-kelompok lain seakan-akan sudah memenangkan Pilpres sebelum Pilpres berlangsung.

Ini tidak baik, misalnya, menjadikan Cawapres itu sebagai umpan untuk mempermainkan partai, kata Rahardjo.

Sementara Ray Rangkuti menyatakan, jika PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, maka partai itu akan mengalami mati suri.

Langkah ini juga akan menjerumuskan PDIP pada Pemilu 2014, kata Ray.
Dikatakannya, pemilih PDIP pada Pemilu lalu tentu berharap partai Moncong Putih itu bakal mengusung calon presiden sendiri pada Pemilu Presiden 2009. Mereka pasti kecewa jika akhirnya PDIP justru bergabung dengan Demokrat.

Dengan bergabung bersama Demokrat, berarti PDIP mengkhianati pemilih dan membelokkan janji-janji kampanye mereka, kata Ray seraya mensinyalir ada agenda tersembunyi dalam upaya koalisi ini.

Oleh karena itu, lanjutnya, sebaiknya PDIP tetap mengajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden sendiri, terlepas apakah tokoh yang diajukan itu Megawati atau tokoh lain.

Pendapat senda dikemukakan pengamat dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Herdi Sahrasad. Dikatakannya, jika Megawati dan PDIP merapat ke Demokrat maka akan terjadi tragedi politik, tidak akan ada lagi kekuatan oposisi dalam arena politik Indonesia setelah pilpres nanti.

Menurut dia, sebaiknya Blok Teuku Umar mengusung Capres-Cawapres sendiri berhadapan dengan pasangan yang diajukan Demokrat.

Mengingat peluang Megawati untuk menang tidak terlalu besar, kata Herdi, PDIP dapat mendorong tokoh lain, misalnya Prabowo Subianto-Rizal Ramli, untuk maju. Mega sebaiknya mengambil posisi sebagai Ibu Bangsa sekaligus Ibu Perubahan, katanya.
Menurut dia, pasangan Prabowo-Rizal Ramli akan menjadi pesaing serius bagi Susilo Bambang Yudhoyono dan pasangannya. Meminjam metafora Indonesianis Prof Jeffrey Winters, Prabowo-Rizal Ramli adalah simbol perubahan, ekonomi kerakyatan, dan harapan baru, katanya. (jon)

PDIP Didesak Tetap Ajukan Capres

SEPUTAR INDONESIA


PDIP Didesak Tetap Ajukan Capres

Monday, 11 May 2009

JAKARTA (SI) – Pengamat politik Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina Herdi Sahrasad menilai Blok Teuku Umar yang dipelopori PDIP tetap mencalonkan pasangan capres-cawapres sendiri.


Rencana PDIP bergabung dengan Demokrat bisa menjadi tragedi politik di Indonesia. Dia mengingatkan peluang Megawati Soekarnoputri untuk menang tidak terlalu besar.Karena itu, perlu dicarikan tokoh yang memiliki kesamaan visi dan platform. PDIP bisa mengajukan Prabowo.

Untuk wakilnya, bisa berasal dari tokoh muda dan pro perubahan seperti Rizal Ramli. ”Mega sebaiknya mengambil posisi sebagai `Ibu Bangsa` sekaligus `Ibu Perubahan`,” katanya dalam diskusi yang digelar Forum Inteligensia Bebas di Jakarta kemarin. Herdi menilai pasangan Prabowo- Rizal Ramli akan menjadi pesaing serius bagi Susilo Bambang Yudhoyono dan pasangannya.

”Meminjam metafora Indonesianis Prof Jeffrey Winters, Prabowo- Rizal Ramli adalah simbol perubahan, ekonomi kerakyatan, dan harapan baru,”tuturnya. Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti juga menegaskan, jika PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, partai itu akan mengalami mati suri.

”Langkah ini juga akan menjerumuskan PDIP pada Pemilu 2014,”katanya. Menurut dia, pemilih PDIP pada pemilu lalu tentu berharap partai moncong putih itu bakal mengusung calon presiden sendiri pada Pemilu Presiden 2009. Mereka pasti kecewa jika akhirnya PDIP justru bergabung dengan Demokrat.

”Dengan bergabung bersama Demokrat,berarti PDIP mengkhianati pemilih dan membelokkan janji-janji kampanye mereka,” tandas Ray. Karena itu, sebaiknya PDIP tetap mengajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden sendiri, terlepas apakah tokoh yang diajukan itu Megawati atau tokoh lain.

Bagi pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, langkah PDIP sudah tepat.Sikap itu sebagai ajang untuk memukul balik Golkar yang telah menyakiti Blok Teuku Umar. Sebab,PDIP kecewa karena Golkar meninggalkan koalisi kebangsaan yang digagas pada Pemilu 2004.

Selain itu,deklarasi Kalla-Wiranto membuat posisi partai oposisi itu menjadi sangat dilematis karena hanya disisakan Prabowo yang ngotot maju sebagai capres. ”Jadi sangat wajar dan rasional langkah tersebut,”kata dia.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengumpulkan sejumlah tokoh di kediamannya, Jalan Teuku Umar untuk membentuk koalisi besar. Namun, belakangan koalisi ini mulai tidak solid. (rd kandi)

PDIP Dinilai Telah "Kehabisan Peluru"

SUARA KARYA

KOALISI

PDIP Dinilai Telah "Kehabisan Peluru"


Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima).


Senin, 11 Mei 2009


JAKARTA (Suara Karya): Rencana PDIP berkoalisi dengan Partai Demokrat merupakan pertanda bahwa mereka telah "kehabisan peluru", di samping bosan berperan sebagai oposisi selama lima tahun terakhir.

Padahal rencana itu sendiri potensial merusak proses check and balances sehingga bisa berdampak mengganggu keseimbangan kekuasaan yang lazim dalam sistem demokrasi yang sehat.

Demikian rangkuman pendapat pengamat politik Charta Politika Bima Arya Sugiarto, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, pengamat politik Andrinof Chaniago, dan pengamat politik Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Herdi Sahrasad. Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, kemarin, terkait rencana koalisi PDIP-Demokrat.

PDIP sendiri tidak tegas-tagas mengakui soal rencana koalisi ini. Sementara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui PDIP-Demokrat sedang membangun komunikasi politik.

Menurut Ray, jika PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, maka mereka akan mengalami "mati suri". "Langkah ini juga akan menjerumuskan PDIP dalam Pemilu 2014," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu.

Ray berpandangan, PDIP seharusnya tidak seperti "kehabisan peluru" untuk bertempur dalam pilpres. Sebab, PDIP memiliki persyaratan maju ke pilpres karena memiliki 93 kursi di DPR (16,61 persen).

"Jadi, tinggal menambah dukungan sedikit lagi, sebagaimana Partai Golkar dan Hanura, PDIP bisa mengajukan sendiri pasangan capres-cawapres," kata Ray.

Dia juga menyebutkan, pemilih PDIP pada pemilu lalu tentu berharap partai "moncong putih" mengusung capres sendiri pada Pilpres 2009. Karena itu, mereka niscaya kecewa jika akhirnya PDIP ternyata bergabung dengan Demokrat. "Berarti PDIP mengkhianati pemilih dan membelokkan janji-janji kampanye mereka," kata Ray.

Karena itu, tutur Ray, sebaiknya PDIP tetap mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri, terlepas apakah tokoh yang diajukan itu Megawati atau tokoh lain. Dia menilai, koalisi PDIP dan Demokrat akan menguntungkan pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto. Sebab, suara pemilih yang kecewa terhadap langkah PDIP berkoalisi dengan Demokrat kemungkinan mengalir ke pasangan JK-Wiranto.

Menurut Ray, koalisi PDIP-Demokrat juga bisa membuat orang tidak percaya lagi kepada PDIP setelah selama ini PDIP begitu lantang menyatakan kontra terhadap berbagai kebijakan SBY. "Koalisi PDIP-Demokrat juga tanpa sadar bisa menjatuhkan klan elite politik yang dibangun PDIP, karena setiap elite politik terbangun di atas basis klan mereka," ujarnya.

Ray menyebutkan, orang memilih PDIP karena menginginkan perubahan dengan tidak memilih SBY di pilpres. Sementara jika PDIP berkoalisi dengan Demokrat, maka harapan tentang perubahan itu menjadi terkubur.

Pendapat senada dikemukakan Herdi Sahrasad. Dia mengatakan, jika Megawati dan PDIP merapat ke Demokrat, itu menjadi "tragedi politik". "Tidak akan ada lagi kekuatan oposisi dalam arena politik Indonesia setelah pilpres nanti," katanya.

Menurut Herdi, sebaiknya PDIP mengusung capres-cawapres sendiri berhadapan dengan pasangan yang diajukan Demokrat. Mengingat peluang Megawati sendiri untuk menang tidak terlalu besar, katanya, PDIP dapat mengusung tokoh lain -- semisal Prabowo Subianto berduet dengan Rizal Ramli -- maju ke arena pilpres. "Mega sebaiknya mengambil posisi sebagai Ibu Bangsa sekaligus Ibu Perubahan," katanya.

Sementara Bima Arya menilai, komunikasi politik yang antara PDIP dan Demokrat belakangan bisa berdampak menghilangkan tradisi oposisi. "PDIP selama ini adalah partai oposisi. Mereka juga telah membangun komunikasi politik dengan partai lain yang selama ini berseberangan dengan Demokrat," katanya.

Menurut Bima, komunikasi poolitik antara PDIP dan Demokrat membuat peta politik jadi berubah. Partai-partai lain yang telah melakukan komunikasi dengan Partai Demokrat kemungkinan menarik komitmen dukungan masing-masing.

Bima memprediksi, komunikasi politik yang dilakukan PDIP belakangan ini hanya untuk menaikkan nilai tawar dalam berhadapan dengan partai lain yang telah menjalin komunikasi politik dengan mereka. Selama ini PDIP telah melakukan komunikasi politik dengan Partai Gerindra, bahkan membangun koalisi besar yang melibatkan Partai Golkar serta Partai Hanura.

Di lain pihak, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Hadi Utomo membantah isu yang menyebutkan terjadinya pertemuan SBY dengan para tokoh PDIP seperti Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) Taufiq Kiemas, Puan Maharani, serta Tjahjo Kumolo.

Tetapi SBY sendiri dalam acara syukuran kemengan Partai Demokrat, semalam, mengakui bahwa PDIP-Demokrat sedang melakukan komunikasi politik dalam rangka pilpres.

Partai Demokrat baru mendapatkan tambahan dukungan dari PPP. Dalam rapat konsultasi antara DPP dan DPW, Ketua Umum DPP PPP mengumumkan partainya mencalonkan SBY dalam Pilpres 2009.

Partai Demokrat baru akan mendeklarasikan pasangan capres dan cawapresnya pada 15 Mei 2009 di Bandung, Jawa Barat.

Sementara itu, dukungan terhadap Agung Laksono untuk menjadi cawapres pendamping SBY terus bergulir. Salah satunya dari Board of Analyst for President (BoAP).

Seperti diungkapkan Ketua Umum BoAP Soediyanto, sosok Agung sangat layak dilamar SBY. "Agung punya loyalitas yang tidak perlu diragukan. Saya jamin Agung lebih dari tokoh lain yang namanya disebut-sebut cocok mendampingi SBY," ujarnya.

Menurut Soediyanto, selama menjadi Ketua DPR, Agung sudah menunjukkan komitmen mendukung pemerintah. Demikian pula ketika reformasi bergulir, Agung termasuk salah satu deklaratornya. (Rully/Feber S/Tri Handayani/Antara/Yudhiarma)

Pengamat: PDIP "Mati Suri" Jika Gabung Demokrat

ANTARA

MINGGU, 10 Mei 2009


Pengamat: PDIP "Mati Suri" Jika Gabung Demokrat


Jika PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, maka partai itu akan mengalami "mati suri" dan para pemilihnya kecewa.

Jakarta (ANTARA News) - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan, jika PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, maka partai itu akan mengalami "mati suri".

"Langkah ini juga akan menjerumuskan PDIP pada Pemilu 2014," kata Ray dalam diskusi yang digelar Forum Inteligensia Bebas di Jakarta, Minggu.

Dikatakannya, pemilih PDIP pada pemilu lalu tentu berharap partai "Moncong Putih" itu bakal mengusung calon presiden sendiri pada Pemilu Presiden 2009. Mereka pasti kecewa jika akhirnya PDIP justru bergabung dengan Demokrat.

"Dengan bergabung bersama Demokrat, berarti PDIP mengkhianati pemilih dan membelokkan janji-janji kampanye mereka," kata Ray.

Oleh karena itu, lanjutnya, sebaiknya PDIP tetap mengajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden sendiri, terlepas apakah tokoh yang diajukan itu Megawati atau tokoh lain.

Pendapat senda dikemukakan pengamat dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Herdi Sahrasad.

Dikatakannya, jika Megawati dan PDIP merapat ke Demokrat maka akan terjadi "tragedi politik", tidak akan ada lagi kekuatan oposisi dalam arena politik Indonesia setelah pilpres nanti.

Menurut dia, sebaiknya Blok Teuku Umar mengusung Capres-Cawapres sendiri berhadapan dengan pasangan yang diajukan Demokrat.

Mengingat peluang Megawati untuk menang tidak terlalu besar, kata Herdi, PDIP dapat mendorong tokoh lain, misalnya Prabowo Subianto-Rizal Ramli, untuk maju.

"Mega sebaiknya mengambil posisi sebagai `Ibu Bangsa` sekaligus `Ibu Perubahan`," katanya.

Menurut dia, pasangan Prabowo-Rizal Ramli akan menjadi pesaing serius bagi Susilo Bambang Yudhoyono dan pasangannya.

"Meminjam metafora Indonesianis Prof Jeffrey Winters, Prabowo-Rizal Ramli adalah simbol perubahan, ekonomi kerakyatan, dan harapan baru," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA

Suaranya Dialihkan, Caleg PKB Gugat ke MK

KOMPAS.COM

Suaranya Dialihkan, Caleg PKB Gugat ke MK/


Senin, 11 Mei 2009 | 16:26 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com — Calon anggota legislatif Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI, A Helmy Faishal Zaini, mempersoalkan suaranya yang dialihkan ke caleg lain dari partainya. Padahal, caleg tersebut jumlah suaranya lebih kecil dari perolehan suara Helmy.

"Saya dapat 35.000 suara di dapil saya, tapi ternyata saat sisa suara ditarik ke provinsi, justru caleg PKB dari Dapil III dengan perolehan suara di bawah saya yang mendapat kursi di tahap III," kata Helmy kepada wartawan di Gedung MK, Jakarta, Senin (11/5).

Ia mempermasalahkan sistem suara terbanyak yang tak diterapkan pada tahap III rekapitulasi suara karena caleg di satu partai yang mendapat suara terbanyak tidak secara otomatis memperoleh kursi.

Menurut Helmy, ketentuan KPU pada tahap tiga ini tak konsisten dengan tahap sebelumnya (tahap 1 dan 2). "Tahap 1 dan 2 menggunakan suara terbanyak, tetapi tahap ketiga memakai peningkatan konfigurasi dapil," jelasnya.

Menurut Helmy, pada tahap 1 dan 2, ia mendapatkan suara terbanyak di Dapil IX Jabar, tetapi karena sisa kursi sudah habis di dapilnya maka pada tahap ketiga sisa suara yang diperoleh Helmy ditarik ke provinsi untuk tahap III. Pada tahap III ini, caleg PKB Dapil III Jabar Otong Abdurrahman mendapat suara terbanyak di dapilnya sebanyak 7.000 dan masih ada sisa satu kursi, maka dialah yang diajukan pada tahap III.

Helmy mengatakan, pengajuan permohonan PHPU ini juga atas seizin Ketua Umum dan Sekjen PKB. "Ya, saya ada tanda tangan Ketua Umum, dan persoalan ini jangan hanya dilihat internal partai, tetapi bagaimana tahapan rekapitulasi suara itu mengakomodir prinsip suara terbanyak," kata Helmy yang mendaftarkan gugatan ke MK bersama kuasa hukumnya, Muhamad Soleh, siang tadi.

Sengketa hasil rekapitulasi antarcaleg dalam satu partai seperti ini memang disinyalir akan terjadi. Namun, menurut Direktur Eksekutif LIMA (Lingkar Madani Indonesia) Ray Rangkuti, apa yang disengketakan oleh caleg PKB itu hanyalah upaya sia-sia.

Pasalnya, Peraturan KPU No 15/2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan Perolehan Kursi Pasal 25 ayat 1 poin (a) mengatur sisa kursi yang diperoleh parpol peserta pemilu anggota DPR dialokasikan untuk daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi.

"Kalau kursi itu tak bisa dialihkan dari satu dapil ke dapil lain, tetapi hanya sisa suara yang bisa dialihkan ke tingkat provinsi, agar suara pemilih itu tak hilang," katanya.


MYS

Rekapitulasi Manual KPU Gagal Tepati Targe

SINAR HARAPAN


Rekapitulasi Manual KPU Gagal Tepati Targe
t

Oleh
Romauli/Tutut Herlina

Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak berhasil menuntaskan penghitungan suara sah manual secara nasional sampai batas waktu yang mereka tentukan, Kamis (7/5). Provinsi Maluku Utara ditunda penghitungannya karena hingga semalam belum tiba di Jakarta.

Anggota KPU I Gusti Putu Artha yang memimpin sidang pleno KPU Kamis malam mengatakan, penghitungan suara secara nasional di Provinsi Maluku Utara dan Nias Selatan yang bermasalah tetap ditunggu.

Anggota KPU Syamsulbahri kepada SH, Jumat (8/5), mengatakan bahwa kedatangan KPU Maluku Utara dan hasil rekapitulasi ulang surat suara Nias Selatan ditunggu hingga pukul 14.00 siang ini.

Kendati masih menunggu dua dapil itu, penghitungan di Bengkulu sudah tuntas seiring disahkannya penghitungan dari Kabupaten Kaur. Sebelumnya, penghitungan suara nasional di Bengkulu ditunda karena penghitungan suara di Kabupaten Kaur bermasalah karena ada perbedaan angka rekapitulasi dari Provinsi Bengkulu dengan Kabupaten Kaur.

Total penghitungan suara yang berhasil dihimpun SH hingga pukul 22.00 malam sebanyak 99.968.810 tanpa Nias Selatan dan Maluku Utara.

Total ini merupakan penjumlahan dari angka sebelumnya 96.018.177 dan ditambah Nusa Tenggara Timur sebesar 2.051582 serta penjumlahan Bengkulu 699.221 ditambah Sulawesi Tengah 1.199.830. Total penghitungan tanpa Nias Selatan (dapil Sumut II) dan Maluku Utara (3 dapil) yaitu 99.968.810.

Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, kegagalan KPU menuntaskan rekapitulasi itu akan berdampak pada pembuatan Surat Keterangan (SK) tentang hasil penghitungan suara partai dan juga penetapan calon anggota legislatif (caleg). Karena itu, ke depan akan banyak caleg yang kesulitan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Meski demikian, ia memprediksikan, KPU tetap akan memaksakan penuntasan rekap suara pada 9 Mei 2009. Namun, itu hanya terkait dengan rekapitulasi umum, sedangkan rekapitulasi perolehan suara partai-partai di berbagai daerah tidak akan dipikirkan oleh KPU.

“Saya melihat yang penting rekapitulasi selesai. Tapi, hasilnya bagaimana itu tidak diurus. Jadi hanya ada dua jalan keluar, yakni ke MK atau melakukan penghitungan sendiri oleh partai. Tapi, kalau mau ke MK, SK-nya juga belum tahu akan ada atau tidak, jadi juga susah,” paparnya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Nafis Gumay. Menurutnya, kegagalan ini akan membuat gugatan sulit untuk dilakukan. Proses pembuktian untuk gugatan sengketa pemilu juga tertunda.

Begitu pula dengan proses pemilihan presiden (pilpres). Pasalnya, untuk pilpres diperlukan syarat jumlah kursi dan suara. “Ini kan perlu penetapan dulu calon terpilih di tingkat daerah. Sementara itu, proses untuk menghitung perolehan kursi tidak mudah,” ujarnya. n

Minggu, 10 Mei 2009

Pengamat: PDIP "Mati Suri" Jika Gabung Demokrat

ANTARA

10/05/09 15:18 WIB


Pengamat: PDIP "Mati Suri" Jika Gabung Demokrat



Jika PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, maka partai itu akan mengalami "mati suri" dan para pemilihnya kecewa.

Jakarta (ANTARA News) - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan, jika PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, maka partai itu akan mengalami "mati suri".

"Langkah ini juga akan menjerumuskan PDIP pada Pemilu 2014," kata Ray dalam diskusi yang digelar Forum Inteligensia Bebas di Jakarta, Minggu.

Dikatakannya, pemilih PDIP pada pemilu lalu tentu berharap partai "Moncong Putih" itu bakal mengusung calon presiden sendiri pada Pemilu Presiden 2009. Mereka pasti kecewa jika akhirnya PDIP justru bergabung dengan Demokrat.

"Dengan bergabung bersama Demokrat, berarti PDIP mengkhianati pemilih dan membelokkan janji-janji kampanye mereka," kata Ray.

Oleh karena itu, lanjutnya, sebaiknya PDIP tetap mengajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden sendiri, terlepas apakah tokoh yang diajukan itu Megawati atau tokoh lain.

Pendapat senda dikemukakan pengamat dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Herdi Sahrasad.

Dikatakannya, jika Megawati dan PDIP merapat ke Demokrat maka akan terjadi "tragedi politik", tidak akan ada lagi kekuatan oposisi dalam arena politik Indonesia setelah pilpres nanti.

Menurut dia, sebaiknya Blok Teuku Umar mengusung Capres-Cawapres sendiri berhadapan dengan pasangan yang diajukan Demokrat.

Mengingat peluang Megawati untuk menang tidak terlalu besar, kata Herdi, PDIP dapat mendorong tokoh lain, misalnya Prabowo Subianto-Rizal Ramli, untuk maju.

"Mega sebaiknya mengambil posisi sebagai `Ibu Bangsa` sekaligus `Ibu Perubahan`," katanya.

Menurut dia, pasangan Prabowo-Rizal Ramli akan menjadi pesaing serius bagi Susilo Bambang Yudhoyono dan pasangannya.

"Meminjam metafora Indonesianis Prof Jeffrey Winters, Prabowo-Rizal Ramli adalah simbol perubahan, ekonomi kerakyatan, dan harapan baru," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA

Gabung ke PD, PDIP 'Bunuh Diri'

INILAH.COM

Politik
10/05/2009 - 18:04


Gabung ke PD, PDIP 'Bunuh Diri'

Abdullah Mubarok


INILAH.COM, Jakarta - Berkoalisi dengan Partai Demokrat bukanlah langkah yang strategis. PDIP sama saja mengali kuburannya sendiri.


"Kalau Mega memilih dengan Demokrat maka sama saja membunuh partainya sendiri," kata Direktur Eksekutif Lima, Ray Rangkuti, kepada INILAH.COM, Jakarta, Minggu (10/5).


Ray berkaca kepada Partai Golkar. Golkar merupakan partai besar yang berada di pemerintahan tetapi suaranya anjlok di pemilu legislatif lalu. Suara partai berlambang pohon beringin tersebut anjlok dibandingkan pemilu 2004 lalu.


"Sama seperti Golkar yang berada dalam kekuasaan malah turun suaranya," imbuhnya.


Di samping itu, pemilih PDIP bisa kecewa dengan bersatu PDIP-PD jika benar-benar terwujud. Banyak sekali pemilih yang memilih PDIP karena Megawati Soekarnoputri dicalonkan sebagai capres.


Partai berlambang banteng dengan moncong putih tersebut tidak menjalankan hasil Rakernas PDIP yang memberikan mandat kepada Mega sebagai capres.


Tidak hanya itu, pemilih yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dari pemerintahan SBY saat ini juga akan kecewa. PDIP dikenal sebagai partai wong cilik yang selalu memperjuangkan aspirasi rakyat.


"Apabila Mega menjadi cawapres SBY atau tidak, maka PDIP telah berkhianat (tidak menjalankan hasil rakernas)," ujar Ray.


Ada pasangan capres cawapres, ujar Ray, yang diuntungkan dari bersatunya PDIP-PD. JK Wiranto bisa memperoleh suara pemilih yang kecewa tersebut. "Pemilih bisa mengalihkan suaranya ke JK Wiranto karena berpikir untuk apa memilih PDIP," tandasnya. [bar/jib]

PDIP-PD Selingkuh, Tak Perlu Pilpres




TAK TERPREDIKSI- Diskusi Menakar Kontetasi SBY-Hatta, Prabowo-Rizal Ramli dan JK-Wiranto yang menghadirkan pengamat politik Burhanudin Muhtadi MA, Al Chaidar MA, Ray Rangkuti, Herdi Sahrasad dan Nanang Tahqiq MA. Foto: Afoez/JPNN

JPNN

Minggu, 10 Mei 2009 , 13:26:00



PDIP-PD Selingkuh, Tak Perlu Pilpres



JAKARTA- Konstelasi politik menjelang pilpres yang kian tak menentu. Semua prediksi dan analisis politik dinilai belum mampu menyentuh berbagai berbagai realitas yang dibuat para elit politik di tanah air. Karena itu, dalam menakar elektabilitas presiden di masa mendatang, tak cukup dengan hitungan logika politis.

"Politik kita terlalu cepat berubah. Siapa yang menyangka SBY-JK bakal pisah, ternyata pisah. Siapa yang menganalisa PD-PDIP bakal bertemu, eh ternyata bertemu. Jadi apa lagi yang tidak bisa, semua diperlihatkan para elit politik kita," kata Ray Rangkuti, pengamat politik dalama diskusi bertema "Menakar Kontestasi SBY-Hatta, Prabowo-Rizal Ramli dan JK-Wiranto" yang digagas Forum Inteligensia Bebas di salah satu restoran di kawasan Jl Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (10/5).

Menurut Ray, pertemuan PDIP dan Partai Demokrat tidak menghasilkan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Sebab, beber dia, jika kedua partai itu berkoalisi maka tak perlu lagi ada pemilihan presiden.

"Koalisi antara keduanya bisa saja terjadi, siapa yang bisa menjamin tak terjadi. Tampaknya kita harus menganalisa di luar logika ilmu politik. Tapi, kalau itu terjadi tak perlu ada pemilihan presiden karena pemenangnya sudah jelas," kata Ray Rangkuti lagi.

Ray menambahkan jika perselingkuhan itu terjadi dalam pilpres, PDI P dan Demokrat memang bisa menjadi pemenang. Namun, partai politik tersebut mengkhianati rakyat karena para pemilih PDIP menginginkan perubahan.(fuz/gus/JPNN)

PERNYATAAN SIKAP TENTANG HASIL REKAPITULASI PILEG 2009

PERNYATAAN SIKAP LINGKAR MADANI UNTUK INDONESIA (LIMA)
TENTANG PENETAPAN HASIL PERHITUNGAN SUARA SECARA NASIONAL PEMILU 2009


Akhirnya, KPU menetapkan hasil pemilu 2009 secara nasional pada hari Sabtu, 9 Mei 2009. Penetapan ini memang sesuai dengan ketentuan UU No 10 tahun 2009, pasal 201 ayat (1) yang menyatakan bahwa penetapan hasil pemilu secara nasional dilaksanakan 30 hari sejak pemungutan suara pemilu dilaksanakan. Penetapan ini dengan sendirinya dapat menghindari KPU dari kemungkinan pelanggaran atas UU.

Sekalipun begitu, penetapan suara yang dilakukan oleh KPU bukan tanpa masalah. Tentu hal ini erat kaitannya dengan proses penghitungan suara yang dilakukan sejak awal. Bahkan sejak dari kecamatan yang akhirnya menumpuk di KPU.

Mencermati berbagai persoalan tersebut. LIMA Nasional menyatakan sikap sebagai berikut :

1. Ketentuan penetapan hasil pemilu secara nasional yang telah diumumkan oleh KPU pada hari Sabtu 9 Mei 2009 yang menetapkan hasil pemilu secara nasional tetapi dengan “catatan”. Catatan yang dimaksud adalah adanya data yang hingga penetapan dilaksanakan masih dilakukan penghitungan suara di enam kecamatan di Nias Selatan, perbaikan rekapitulasi di Papua, soal penghitungan di Banggai (Sulawesi Tengah), Bengkulu, dan Lampung, sebagai sesuatu yang aneh, ganjil dan tak dikenal.
2. Penetapan hasil pemilu secara nasional dengan catatan tidak dikenal oleh Undang-undang. Menjadi sulit menempatkan hasil pemilu nasional dengan catatan sebagai hasil pemilu nasional. Lebih-lebih faktanya catatan yang dimaksud terkait dengan masih diberlangsungkannya penghitungan suara di Nias Selatan dan Papua. Yang lain adalah pemberlakuan data yang justru digugat banyak parpol sebagai pelengkap data penghitungan suara secara nasional KPU. Penetapan dengan catatan bahwa yang menjadi keberatan menjadi lampiran tak terpisahkan dari ketetapan KPU amat membingungkan. Artinya, apa yang ditetapkan pada tanggal 9 Mei 2009 belum dapat dinyatakan sebagai data final. Sebab, ada kemunghkinan data tersebut akan mengalami revisi paska adanya penghitungan suara di Nias Selatan dan Papua. Terlihat seperti sepele, tetapi jelas ini juga menggambarkan sesuatu yang buruk. Penetapan di tingkat makro nasional mungkin tidak terlalu berpengaruh, tapi akan terlihat pada perhitungan konversi kursi.
3. LIMA Nasional juga mencatat penetapan hasil pemilu dengan hanya membacakan perolehan suara partai politik secara nasional tanpa melakukan konversi kursi terhadap parpol dan bahkan caleg merupakan kekeliruan yang lain dalam penetapan ini. Jika membaca dengan teliti pasal 201 ayat (1) yang menyatakan bahwa KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR, mestinya penetapan tersebut dilakukan sekaligus dengan penetapan konversi perolehan suara parpol ke kursi dan caleg. Hal ini diperkuat dalam pasal 196 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suaran partai politik peserta pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD kabupaten/kota…”. Oleh karena itu, sudah semestinya penetapan hasil pemilu secara nasional sudah harus menyertakan perolehan kursi partai dan caleg.
4. Implikasi langsung penetapan dengan model seperti yang disebutkan di atas adalah kemungkinan banyaknya pendaftaran gugatan penatapan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi yang akan berguguran. Faktornya adalah tidak adanya data yang akan digugat. Seperti dimaklumi bahwa gugatan hasil pemilu ke MK hanya dapat berlangsung bagi partai politik yang suaranya berpengaruh secara signifikan terhadap perolehan kursi. Persoalannya adalah Surat Keputusan KPU yang manakah yang akan digugat. Sebab, untuk mengetahui secara formal dan hukum hasil perolehan kursi, baru akan diketahui –sesuai dengan Peraturan KPU No 20 Tahun 2008) pada tanggal 15-20 Mei 2009 (untuk DPR, DPRD Propinsi dan kabupaten/kota) dan caleg terpilih baru dilaksanakan pada tanggal 17-24 Mei 2009 (untuk DPR, DPRD Propinsi dan kabupaten/kota). Artinya jika berpatokan terhadap jadwal dan program KPU maka gugatan pemilu ke MK baru dapat dilaksanakan setidaknya setelah tanggal 20 Mei 2009. Artinya justru terjadi setelah melewati batas waktu 3 hari bagi diajukannya gugatan tersebut kepada MK. LIMA Nasional memandang adanya kekeliruan penjadwalan dan penafsiran KPU atas UU No 10/2008 khususnya tentang penetapan hasil pemilu dan perolehan suara partai politik secara nasional tanpa menetapkan berbarengan jumlah kursi yang diraih partai politik serta caleg yang terpilih. Dengan sendirinya kekeliruan memahami UU tersebut berakibat pada praktek penetapan hasil pemilu tertanggal 9 Mei 2009 yang hanya dilakukan dengan catatan, serta kekeliruan dalam penyusunan jadwal tahapan dan program pemilu.
5. LIMA Nasional juga memantau selama pelaksanaan penghitungan suara dilaksanakan, KPU melanggar berbagai asas dan prinsip pemilu. Antara lain tidak diperkenankannya lembaga pemantau dan pers untuk meliput secara langsung pelaksanaan penghitungan suara. Bagaimanapun keterbukaan dan partisipasi adalah asas pemilu yang tidak boleh diabaikan oleh KPU. Memandang 2 asas itu seperti tidak ada jelas menurunkan kwalitas pemilu. Sebab pemilu tidak semata-mata adanya pemungutan dan penghitungan suara tetapi juga adanya partisipasi masyarakat di dalamnya. Ini juga untuk menghindari pelaksanaan pemilu kita semata-mata hanya urusan tehnis tanpa roh. Sebab, jika pemilu semata-mata hanya urusan tehnis, maka pelaksanaan pemilu cukup diserahkan kepada tekhnologi. Dan tekhnologi terkadang jauh lebih bisa dipercaya dari pada manusia yang menciptakannya.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat. Atas perhatian dan partisipasinya, kami ucapkan banyak terima kasih.


Jakarta, 10 Mei 2009



Ray Rangkuti
Direktur

Jumat, 08 Mei 2009

SBY urged to select career politician as VP

THE JAKARTA POST

Saturday, May 9, 2009 7:45

SBY urged to select career politician as VP


Thu, 05/07/2009 2:29 PM | National

Observers believe that a running mate with a political background will be of greater benefit to incumbent President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) than a businessman in his quest for reelection.

"People say that SBY should choose a professional as his running mate rather than a figure from one of the political parties to avoid jealousy among them. However, I think such a measure would be naive," Bima Arya Sugiarta of the Charta Politika think tank told a discussion it hosted on Wednesday.

"It is important for SBY to choose a running mate with a wide political network. If SBY blunders, then it would be possible for him to lose the election or to have a hard time in future governance," he added.

Bima said that a vast political network was essential to ensure strong support from the legislative body, which would make way for more efficient and effective governance.

"The current legislative body response wildly to the government's policies. Party coalitions change their attitude at the drop of a hat.

"Therefore, SBY should name a running mate who can *get a grip' on the legislative body, otherwise his governance will be swallowed by the opposition," he added.

Yudhoyono has stated that the current coalition in the legislative body gives him nothing but trouble.

Refly Harun, a political analyst from the Center for Electoral Reform (CETRO), said that if Yudhoyono selects a businessman as his vice-presidential candidate, he would need to polish the political skills of his deputy.

"If elected, SBY should improve the political proficiency of his VP. It's crucial because SBY cannot run for a third term," he said.

"Therefore if he wishes to maintain his grip and preserve his Democratic Party's supremacy after 2014, he should groom a vice president who will be able to fill in his shoes," he added.

Yudhoyono has not announced his running mate, although he claimed to have 19 candidates to choose from.

Hidayat Nur Wahid of the Prosperous Justice Party (PKS) and Hatta Radjasa from the National Awakening Party (PAN) have been proposed to Yudhoyono.

Central Bank Governor Boediono and Finance Minister Sri Mulyani have also been tipped as potential candidates.

Burhanudin Muhtadi, a senior researcher from the Indonesian Survey Insitute (LSI), suggested that Yudhoyono pick a professional who posses political skills.

"I think Sri Mulyani has more untapped potential to become a great politician rather than Boediono because she once managed to resolve a deadlock with the legislative body," he said.

However, Ray Rangkuti, the director of the Indonesian Madani Circle (LIMA), said Yudhoyono would make a fatal blunder if he picked either Boediono or Sri.

"Both of them represent a neoliberal image, which is unpopular among the young, who account for the largest segment of voters," he said.(hdt)

Hatta Dinilai Mampu Jalankan Komunikasi Politik

REPUBLIKA NEWSROOM

Hatta Dinilai Mampu Jalankan Komunikasi Politik


Kamis, 07 Mei 2009 pukul 20:46:00



JAKARTA -- Pertemuan Mensesneg Hatta Rajasa dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar Jakarta, dianggap sebagai nilai plus bagi Hatta yang dinilai mampu menjalankan komunikasi politik untuk bisa membuka hubungan PDIP dan Partai Demokrat.Menurut Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, kepada ANTARA, Kamis petang, secara tersurat kunjungan Hatta Rajasa hanya terkait rumah di Jalan Teuku Umar itu, namun secara tersirat dipastikan ada pesan politik dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dibawa Hatta Rajasa untuk Megawati."SBY punya pesan yang dibawa Hatta, tetapi kita belum tahu soal apa, bisa normatif tetapi juga bisa teknis seperti soal tawaran koalisi," katanya.


Terkait peluang Hatta untuk bisa dijadikan cawapres, usai pertemuan Teuku Umar itu, Qodari mengatakan, terlalu jauh untuk menyimpulkan hal itu.Namun ia menjelaskan, dari sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tidak terlalu ngotot untuk menggolkan cawapresnya untuk mendampingi Yudhoyono, maka Hatta menjadi salah satu kandidat yang berpeluang dari kalangan parpol.


Ia menilai, rekam jejak Hatta yang dimulai dari seorang insinyur, lalu pernah menjadi pengusaha, anggota dewan, sampai Mensesneg, dianggap mempunyai pengalaman yang lebih dibanding kandidat lainnya dari kalangan parpol.

Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional (LSN) Drs Umar S Bakri MA, bahwa kedatangan Hatta itu mempunyai dua agenda sekaligus yaitu pertama membuka komunikasi Demokrat dengan PDIP yang sudah beku selama lima tahun. Kedua, upaya Yudhoyono untuk menggagalkan Prabowo sebagai calon presiden apalagi kecenderungan dukungan Prabowo semakin menguat."Prabowo merupakan lawan berat SBY sehingga ada tawaran yang diberikan kepada PDIP agar tidak berkoalisi dengan Gerindra," katanya.


Tawaran Demokrat kepada PDIP juga ada beberapa kemungkinan seperti memasukkan kader PDIP dalam pemerintahan atau jabatan politis lain atau juga tawaran untuk mengambil Gubernur BI Budiono sebagai cawapres bagi Yudhoyono karena Budiono dianggap dekat dengan PDIP."Bisa juga pesan politik itu, SBY minta restu untuk mengambil cawapres Budiono yang dekat dengan PDIP, dengan harapan terpilihnya Budiono maka komunikasi akan lebih cair," katanya.


Namun, menurut Umar, jika Yudhoyono memilih Budiono menjadi cawapres maka bisa jadi PAN dan PKS akan kecewa karena sejak semula menginginkan cawapres dari dari parpol."Jika Budiono cawapres, kemungkinan PAN dan PKS akan keluar koalisi, bisa saja terjadi walaupun sudah ada MoU antara Demokrat dan PKS karena MoU itu tidak ada sanksinya," katanya.


Oleh karena itu, ia mengatakan, sampai sekarang Prabowo masih memasang "harga tinggi" untuk posisi Capres menunggu terjadinya perpecahan koalisi yang dibangun Demokrat.Sementara Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani, justru menilai tugas yang dibebankan Yudhoyono kepada Hatta untuk menyampaikan pesan politik kepada Megawati merupakan strategi Yudhoyono untuk membuka kesempatan masyarakat untuk menilai sosok Hatta Radjasa.

"Kalau respon masyarakat negatif, maka bisa jadi SBY tinggal mencoret dengan alasan responnya memang negatif," katanya. ant/kpo

Prahara di Tubuh PAN

OKEZONE.COM


Pemilu - pemilihan presiden


Prahara di Tubuh PAN
Ada Duit Disayang, Tak Ada Duit SB Ditendang



Rabu, 6 Mei 2009 - 13:44 wibTB Ardi Januar - Okezone TEXT SIZE :
JAKARTA - Polemik yang terjadi ditubuh Partai Amanat Nasional (PAN) yang melibatkan Amien Rais dan Soetrisno Bachir (SB) masih belum diketahui penyebabnya. Mulai dari perbedaan paradigma hingga persoalan pragmatis para mesin partai.

Pengamat politik dari Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti berpendapat, salah satu penyebab konflik di PAN karena finansial yang dimiliki SB sudah mulai habis. Sehingga, mayoritas kader pun beralih dukungan kepada Amien selaku pendiri partai.

"Ini persoalan pragmatis dan berebut kepentingan saja. Kubu Amien nekat dukung SBY dan kubu SB ingin merapat ke Prabowo," ujar Ray saat dikonfirmasi okezone, Rabu (6/5/2009).

Menurutnya, selama ini PAN menjadi besar salah satunya karena "dibiayai" oleh SB secara materi. Namun, saat ini kondisi keuangan SB sudah tidak seroyal sebelumnya. Para kader pun mulai meninggalkan SB.

"Waktu itu Pak Amien juga pernah marah kepada SB, tapi beliau tidak bisa berbuat banyak karena kondisi keuangan SB masih kuat," tandasnya.

Sebagaimana diketahui, kubu SB bertekad akan menggelar Rakernassus PAN pada 9 Mei mendatang. Mereka menilai Rakernas di Yogyakarta beberapa waktu lalu tidak sah karena tidak ditandatangani SB selaku ketua umum. (teb)

Cawapres Teknokrat Bahayakan Posisi SBY

SUARA PEMBARUAN

Kamis, 7 Mei 2009

Cawapres Teknokrat Bahayakan Posisi SBY


[JAKARTA] Calon wakil presiden (cawapres) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebaiknya bukan dari kalangan teknokrat, melainkan dari partai politik (parpol). Bila SBY mengambil cawapres bukan dari parpol, posisi pemerintahannya jika terpilih kembali akan berbahaya.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya Sugiarto di sela-sela diskusi dengan topik Cawapres SBY: Teknokrat atau Politisi? di kantor Charta Politika, Jakarta, Rabu (6/5).

Dikatakan, lebih baik SBY memilih orang dari partai, karena terlalu riskan bila memilih seorang teknokrat. Sebab, teknokrat tidak akan memperkuat kemenangan SBY dalam pilpres dan tidak memperkuat terbentuknya pemerintahan yang efektif.

"Lihat saja pernyataan teknokrat dan politisi. Teknokrat seperti Sri Mulyani dan Boediono tidak pernah membicarakan persoalan makro politik. Mereka lebih banyak berbicara mengenai persoalan ekonomi. Berbeda dengan politisi, seperti Hatta Rajasa, yang pembicaraannya lebih luas. Bisa bicara politik, ekonomi, dan sebagainya. Bila mencantumkan skor 1-10, saya memberikan nilai delapan kepada Hatta, sedangkan Boediono enam dan Sri Mulyani lima," paparnya.

Kelemahan cawapres teknokrat juga disampaikan peneliti senior dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi. Dia berpendapat, seorang teknokrat belum mampu mengatasi masalah di luar bidangnya. Artinya, teknokrat tidak bisa menghadapi keadaan Indonesia untuk lima tahun ke depan. Seorang teknokrat terlalu spesifik secara teknis dan tidak bisa mensinergikan parlemen.

"Kalau dilihat dari sisi itu, saya menilai Hatta tepat berperan sebagai cawapres SBY. Hatta merupakan pasangan ideal, dalam pengertian calon dwitunggal dalam pilpres mendatang. Sebab, Hatta mampu menyinergikan politisi dengan teknokrat secara seimbang dan miliki kapasitas interdepartemental dalam menyinergikan kabinet. Jadi, nantinya bisa disebut SBY-Hatta, sama seperti Soekarno-Hatta," katanya.

Burhanuddin menilai, Hatta sepi dari publikasi yang negatif, memiliki figur politisi, tapi juga mampu menjadi teknokrat, tidak naif dan lugu. Selain itu juga, punya kemampuan teknis dan melobi, dan berasal dari partai menengah, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN).


Memenuhi Kriteria

Bima Arya menambahkan, sosok Hatta hampir memenuhi seluruh kriteria yang tepat untuk menjadi pasangan yang tepat bagi SBY. "Sebagai pasangan, harus saling memiliki chemistry. Dan, saya pikir, SBY memiliki rasa itu dengan Hatta. Sebab, posisi Mensesneg yang sekarang dipegang Hatta merupakan posisi kunci dan dia tidak pernah berpolemik. Jadi, sejauh ini Hatta ada di posisi yang sangat strategis untuk menjadi cawapres SBY," ujarnya.

Hatta memenuhi kriteria three in one yang dicari SBY, yaitu kebutuhan pemenangan pilpres, kebutuhan pemenangan pemerintahan yang efektif, dan kebutuhan pemenangan suksesi pada 2014. "Hatta memiliki jaringan aktivitis, berasal dari luar Jawa dan yang paling penting dia memiliki kemampuan makro politik dalam mengelola persoalan parlemen," tambahnya.

Berdasarkan data survei, semua calon pasangan SBY, entah dari kalangan parpol maupun profesional tidak akan terlalu banyak mempengaruhi suara SBY. Sebab, elektabilitasnya tetap tinggi, meski dipasangkan dengan siapa pun. Jika ada tiga pasang capres yang maju, SBY bisa meraup suara hingga 66 persen. "Tapi, bagi kalangan menengah, bila SBY salah pilih cawapres, maka akan berpengaruh pada elektabilitasnya," tegasnya.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengemukakan, Hatta memang sudah bekerja lima tahun dengan SBY dan tidak memiliki kesalahan. Selain itu, secara manajerial dan link politiknya juga cukup bagus. Selain itu, dia bukanlah salah satu penganut neoliberalisme, seperti Sri Mulyani dan Boediono.

Sementara itu, dari segi hukum tata negara, Pengamat Hukum Tata Negara Centre for Electoral Reform (Cetro) Refly Harun memaparkan, seorang wapres hanya berperan sebatas pembantu presiden dan tidak boleh melewati wewenangnya. Dengan kata lain, apa yang diingini sang presiden juga merupakan keinginan wakilnya dan keduanya harus sejalan. Jangan seperti keadaan sekarang, wakil ingin menjatuhkan presidennya. [LOV/M-11]

Yudhoyono Jangan Pilih Cawapres Kaum Neoliberal

PRIMAIR ONLINE

06 Mei 2009 | 21:40 | Politik


Yudhoyono Jangan Pilih Cawapres Kaum Neoliberal

Wahyu Romadhony


Jakarta - Ketua Umum Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono diminta jangan memilih pasangan calon wakil presiden dari kalangan neoliberal seperti Menkeu Sri Mulyani dan Gubenur Bank Indonesia Boediono.

"Kalau Sri Mulyani atau Boediono, saya kasih nilai nol," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu (6/5).

Menurutnya, jika Yudhoyono memilih kedua orang itu maka membuat ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap negara Eropa barat dan Amerika Serikat semakin besar. Ditambahkannya, kebijakan ekonomi seperti itu akan semakin membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk.

"Rakyat yang semakin sengsara, Kita akan semakin termakan oleh kapitalis asing," tegas dia.

Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya menyatakan terpilihnya dua kandidat itu akan mudah mengoyangkan pemerintahan Yudhoyono jika nanti terpilih kembali sebagai presiden.

Bima menyatakan para aktivis prodemokrasi akan menggunakan itu sebagai isu untuk mendeligitimasi kekuasaan Yudhoyono. "Teriakan anti-Amerika, akan terus diserukan. Ini bahaya bagi kekuasaan SBY," ujar dia.

Dalam kesimpulannya, Bima menegaskan sampai saat ini publik masih sulit untuk memprediksi siapa cawapres yang akan dipilih Yudhoyono.

"Kalau minggu ini diumumkan, mungkin hanya SBY, bu Ani, dan Tuhan yang tahu. Tapi kalau sampai lewat minggu ini, mungkin hanya Tuhan yang tahu," Bima berseloroh menutup diskusi. (new)

Menimbang Cawapres SBY, Antara Politikus atau Teknokrat

JAWA POS

Sabtu, 09 Mei 2009


[ Kamis, 07 Mei 2009 ]


Menimbang Cawapres SBY, Antara Politikus atau Teknokrat

Butuh Pendamping Berkemampuan Three in One


Teka-teki siapa yang bakal digandeng SBY sebagai cawapres menjadi kajian menarik sejumlah pengamat politik. Mereka mencoba membedah empat sosok yang paling santer disebut bakal menjadi cawapres SBY. Yakni, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Mensesneg Hatta Radjasa, Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, dan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW).

Berangkat dari berbagai argumentasi, para analis politik sampai kepada kesimpulan yang berbeda. Ada yang menjagokan Sri Mulyani. Ada juga yang menilai Hatta Radjasa yang didorong Amien Rais melalui PAN jauh lebih berpeluang.

Peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi termasuk yang berpandangan SBY akan memilih Sri Mulyani. Dia punya alasan tersendiri. Menurut Burhan -begitu dia akrab disapa, SBY akan memilih cawapres yang kecil potensinya menjadi ancaman bagi Partai Demokrat dalam Pilpres 2014.

Kalau menggandeng cawapres dari kalangan parpol yang berusia di bawah 50 tahun, kata dia, SBY seperti membesarkan anak macan. ''Ini buruk buat kaderisasi di Demokrat,'' ujar Burhan saat diskusi Cawapres SBY: Teknokrat atau Politisi? di Kantor Charta Politika, Jalan Cipaku 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kemarin (6/5).

Secara tidak langsung Burhan ''menembak'' Hidayat Nur Wahid, tokoh PKS yang usianya saat ini baru 49 tahun.

Dalam kesempatan itu, turut berbicara Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya Sugiarto, Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti, dan pakar hukum tata negara Refly Harun.

Burhan melanjutkan, munculnya wacana duet SBY-Hatta Radjasa memang membangkitkan romantisme terhadap dwitunggal Soekarno-Hatta. SBY yang memiliki ide-ide besar dicoba diasosiasikan dengan sosok Soekarno yang juga pemikir. Keduanya lantas dianggap memiliki kesamaan, yakni miskin di level operasional.

Hatta Radjasa, ungkap Burhan, tampil sebagai sosok yang low profile, sepi publikasi, administratur, dan lebih operatif. Dia bisa menutupi kekurangan SBY itu. ''Persoalannya, Hatta tidak naif dan lugu,'' ujarnya. Dalam konteks ini, Hatta yang berlatar belakang parpol itu juga bisa menjadi ancaman bagi SBY.

Meski begitu, SBY tidak otomatis memilih cawapres teknokrat. Sebab, posisi wakil presiden bukan jabatan teknis semata, tapi juga politis. ''Kalau terlalu teknokrat murni, hanya menguasai ekonomi, SBY akan kerepotan,'' katanya.

Boediono termasuk kategori cawapres teknokrat yang belum terbukti mampu menangani masalah lain di luar ekonomi. Misalnya, soal politik, hukum, termasuk menyinergikan kabinet. ''Sri Mulyani juga punya itu. Tapi, sampai sekarang dia belum tampil ke publik.''

Menurut Burhan, persoalan elektabilitas tidak terlalu signifikan. Dari survei yang dilakukan lembaganya Maret lalu, berpasangan dengan siapa pun, SBY tetap di posisi teratas. Selisih elektabilitas antar pasangannya juga hanya 1-2 persen. ''Yang dilihat tetap SBY,'' katanya. ''Jadi, kalau dibikin skor 1-10, HNW itu 3, Boediono 5, Hatta 6, dan Sri Mulyani 7,'' cetusnya.

Refly Harun mencoba berpikir out of the box. Menurut dia, SBY tetap akan mencari cawapres yang punya elektabilitas. Sebab, koalisi ''Asal Bukan SBY'' tetap punya potensi untuk membesar. Dengan demikian, SBY belum tentu menang. Selain itu, lanjut dia, SBY membutuhkan cawapres yang siap loyal selama lima tahun dan tidak punya potensi menjadi capres.

''Lebih nyaman SBY mengambil teknokrat yang bisa dibujuk menjadi politikus untuk ditarik ke Demokrat. Nah, apakah Boediono dan Sri Mulyani itu punya potongan jadi politikus,'' katanya.

Refly lantas menyebut nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie. ''Jimly punya wibawa politik. Malah banyak anggota DPR yang menjadi siswa S-2 dan S-3 beliau,'' katanya. Tak hanya itu, Jimly yang tidak memiliki track record politik sangat mungkin ditarik ke Demokrat. ''Kalau saya, Boediono itu poinnya 2, Sri Mulyani 3, Hidayat 4, Hatta 5, dan Jimly 6,'' katanya.

Lain lagi pandangan Arya Bima. Dia mengatakan, dalam menentukan pasangannya, SBY mengombinasikan tiga kebutuhan sekaligus. Ketiganya adalah pemenangan pilpres, terwujudnya pemerintahan efektif, dan pengamanan suksesi 2014. ''Sederhananya, three in one,'' ujarnya.

Karena itu, SBY membutuhkan cawapres yang memiliki citra personal dan jaringan kuat. Mengenai citra ini, mau tidak mau, SBY tetap memperhitungkan representasi geografis, ideologis, kekuatan politik Islam, dan jaringan aktivis. Apalagi, SBY dicitrakan dekat dengan AS, tentu dia akan mencari Wapres yang bisa menetralkan citra itu. ''Boediono dan Ani jelas nggak masuk,'' katanya.

Parlemen yang ''liar'' juga membutuhkan Wapres yang mampu mengendalikannya. ''Kalau saya, Sri Mulyani 5, Boediono 6, Hidayat 7, dan Hatta 8,'' ujarnya.

Ray Rangkuti menuturkan, dia sebenarnya tidak menjagokan SBY. Sebab, dalam lima tahun pemerintahannya, SBY tidak memiliki prestasi besar. ''Tapi, realitasnya, dari hasil berbagai survei, SBY akan terpilih lagi,'' katanya.

Menurut Ray, dirinya sepakat kalau SBY mengambil cawapres dari generasi muda dan kalangan nonpartai. Ini sebagai bentuk penghormatan bahwa tidak semua pemimpin nasional datang dari komunitas partai politik. ''Cuma kalau pilihannya Boediono dan Sri Mulyani, jelas no. Saya tidak mau dipimpin orang-orang neolib begitu. Poinnya nol,'' bebernya. (pri/agm)

PERANG STRATEGI di Kota Seribu Industri

INDONESIA MONITOR

31 March 2009


PERANG STRATEGI di Kota Seribu Industri
Setelah kepergian Sutradara Gintings, pertarungan di Dapil Banten III tetap ketat.



BUKA mendalam tengah menyelimuti PDIP. Politisi senior Sutradara Gintings yang menjadi caleg nomor urut 1 di Dapil Banten III (Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang), Minggu (22/3) dinihari meninggal dunia akibat sakit jantung.



Kepergian Sutradara bisa jadi merupakan pukulan berat bagi PDIP. Sebab, Sutradara menjadi harapan PDIP untuk mendulang suara di dapil ini. Tapi apa daya, takdir mengatakan lain.



Dalam sebuah perbincangan dengan Sutradara, mantan politisi Partai Golkar itu menilai Pemilu 2009 akan diwarnai banyak konflik serta dicederai kejahatan demokrasi. “Yang jelas, Pemilu 2009 adalah high cost of democracy. Banyak brokerbroker politik menjajakan suara. Jadi sudah ada tender vote. Ini kan berbahaya sekali,” tuturnya.



Jika PDIP bersedih atas meninggalnya Sutradara Gintings, Yasmin Muntaz, caleg nomor urut 4 dari Partai Amanat Nasional (PAN) di dapil ini juga sedang berduka. Apa penyebabnya? “Sedih karena ada beberapa baliho yang hilang plus ada yang pasangnya nggak genah (benar),” curhat Yasmin di situs jejaring sosial Facebook pada Sabtu (21/3).



Curhat mantan presenter salah satu stasiun televisi itu disambut rekan-rekannya di dunia maya. “Daripada cape nyari-nyari dulu Mbak Yasminnya buat foto-foto bareng mending ’dipinjam’ dulu balihonya biar nggak susah buat foto-foto,” kata seorang teman Yasmin.



Ya, baliho memang salah satu alat peraga yang kini jadi senjata bagi sebagian caleg bermodal untuk mendekatkan diri ke masyarakat. Dengan baliho, mininal nama sang caleg diingat masyarakat. “Dibanding dengan kampanye yang mengundang keramaian, baliho lebih diterima masyarakat,” kata Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti kepada Indonesia Monitor, Sabtu (21/3)



Tapi, bermodalkan baliho dan spanduk saja tentu tak cukup bagi seorang caleg untuk bisa meluncur mulus ke Senayan. Harus ada strategi lain yang digunakan. “Tentunya masyarakat lebih suka bila dikunjungi oleh para caleg,” sambung Ray.



Maka, jangan heran jika kini, para caleg itu menerapkan berbagai strategi, salah satunya dengan mendatangi langsung pemukiman warga yang berada di daerah berjuluk Kota Seribu Industri itu. Maka, bisa dilihat, semakin mendekati hari pencontrengan, banyak caleg yang masuk-keluar kampung demi merebut hati rakyat dan melancarkan langkah ke Senayan.



Maklum, persaingan di dapil yang memperebutkan 10 kursi ini lumayan berat. Pada Pemilu 2004, wilayah ini masuk dapil Banten II dengan 11 kursi. Saat itu, Partai Golkar, PDIP, dan PKS masing-masing meraih dua kursi. Sementara, Partai Demokrat, PPP, PAN, PKB, dan PBR masing-masing mendapat satu kursi.



Sekitar 3,8 juta pemilih terdaftar di Dapil Banten III. Dari 38 partai politik nasional, cuma 36 parpol yang akan bertarung, sebab Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) tidak memasukkan satu nama caleg pun. Meski demikian, ketidakhadiran dua partai tersebut di dapil ini tak mengurangi ketatnya persaingan.



Sebab, sejumlah tokoh nasional maupun lokal bakal berjibaku merayu hati rakyat. Partai Hanura misalnya. Partai bernomor urut 1 ini menurunkan Ketua DPP Partai Hanura Iqbal Alan Abdullah.



Sementara, PKS menurunkan anggota DPR Yoyoh Yusroh (nomor urut 1) dan mantan calon bupati Tangerang Jazuli Juwaini. Sementara, PAN mencoba mempertahankan satu kursi yang diraih dengan memasang trio Muhammad Ali Taher Parasong (nomor urut 1), violis Maylaffayza Wiguna (nomor urut 3) dan mantan presenter Yasmin Muntaz (nomor urut 4). Partai Golkar mencoba meneruskan eksistensinya dengan mengusung Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnaen (nomor urut 1). Sementara PPP memasang Sekjen PPP Irgan Chairul Mahfiz di nomor urut 1. PBB menjagokan Ketua DPW PBB Bueti Nasir (nomor urut 1).



Sementara, setelah kepergian Sutradara Gintings yang meninggal pada Minggu (22/3) dinihari, PDIP menaruh harapan pada Irvansyah (nomor urut 2) untuk mempertahankan perolehan kursi yang diraih pada Pemilu 2004. Partai Demokrat pun tak mau kalah dengan mengusung Hartanto Edhie Wibowo (nomor urut 1) dan Plt DPC Partai Demokrat Tangerang Selatan Ferrari Roemawi (nomor urut 2). Sedangkan PKNU mencoba ’mencuri’ kursi PKB dengan memasang mantan fungsionaris PKB Nawawi Syahroni di nomor urut 1.



Siapa yang berpeluang menjadi jawara di dapil ini? Ray Rangkuti mengatakan, jika melihat tren saat ini, Partai Demokrat punya kans besar untuk berbicara banyak di dapil ini. Sementara, PDIP diprediksi bakal menurun. Sedangkan Golkar dan PKS masih memiliki harapan mempertahankan kursi yang diraihnya di 2004.



Prediksi Ray disambut gembira caleg nomor urut 2 dari Partai Demokrat, Ferrari Roemawi. Kata Ferrari, partai bernomor urut 31 itu menargetkan dua kursi. “Insya Allah bisa tercapai, apalagi kami, khususnya saya sudah bekerja sejak bulan Juli tahun lalu,” kata Ferrari kepada Indonesia Monitor, Sabtu (21/3).



Menurut Ferrari, keyakinan tersebut bukan tanpa alasan. Katanya, penerimaan masyarakat terhadap Partai Demokrat semakin bagus. Bahkan, basis Partai Demokrat kini bertambah. “Jadi sejauh ini tak ada masalah,” ujar Ferrari.



Isu Klasik

Sementara, caleg nomor urut 2 dari PKS Jazuli Juwaini mengatakan optimistis PKS merebut minimal tiga kursi. “Namanya juga orang usaha, harus optimistis. Kita terus bekerja, struktur juga bekerja, mudah-mudahan, asal tidak ada permainan kotor, target bisa tercapai,” kata Jazuli kepada Indonesia Monitor, Sabtu (21/3).



Menurut mantan calon bupati Tangerang itu, permainan kotor yang dimaksud adalah money politics. Apalagi, di Banten III ini masih banyak pemilih yang berada di perkampungan dan pedesaan yang sangat rawan dihantui money politics. “Secara hukum, pembuktiannya memang agak sulit,” ujar Jazuli.



Tapi, caleg nomor urut 1 dari Partai Bulan Bintang (PBB) Bueti Nasir mengatakan, isu yang digulirkan Jazuli adalah isu klasik yang belum tentu terbukti. “Siapa pun juga yang money politics nggak kuat juga. Saya tidak khawatir, itu isu klasik.



Masyarakat sudah cerdas, diberi uang juga belum tentu memilih. Percayalah, paling hanya ada beberapa persen yang karena uang lalu dia memilih,” kata Bueti kepada Indonesia Monitor, Sabtu (21/3). Menurut Bueti, PBB tak punya target yang muluk-muluk di dapil ini. Makanya, partainya MS Kaban itu hanya mematok satu kursi. Keyakinan itu didasari pada menurunnya penerimaan masyarakat terhadap partai-partai lama seperti Partai Golkar dan PDIP. Berdasarkan pantauan Bueti, hanya Partai Demokrat yang trennya meningkat.



Bueti juga tak khawatir dengan kehadiran partai-partai baru seperti Partai Hanura dan Partai Gerindra. “Saya yakin PBB bisa melewati dua partai itu. Selain itu, PBB juga diuntungkan oleh persoalan di internal partai lain, seperti PKB.”



■ Iwan Purwantono, Dzikry Subhanie

Solusi DPT, Diusulkan Digelar Pemilu Khusus


SATUNews.COM


Solusi DPT, Diusulkan Digelar Pemilu Khusus



Jumat, 01 Mei 2009 | 08:31

Jakarta - Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti menyatakan persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang mencapai 40 juta (data parpol) dan 20 juta (KPU) itu bukan masalah kecil, tapi menunjukkan cacatnya pemilu. Adanya cacat pemilu itu hanya bisa diobati, namun hak pilih tak memiliki obat alias tak bisa diobati. Ray menegaskan hal itu saat mendampingi mengikuti dialog antara sejumlah inisiator seperti Hasto Kristiyanto, Gayus Lumbuun, Arya Bima (F-PDIP) dan Nursyamsi Nurlan (F-BPD) dengan warga Rw 07 Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, Kamis (30/4).

Ray mengatakan solusi bagi yang belum mencontreng kata Ray adalah dibuatnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menggelar pemilu khusus. Menurutnya penyelenggaraan pemilu khusus tak akan mengganggu jadwal pemilu pilpres. “Yang tertunda cuma penetapan caleg. Kalau pilpres bisa saja ditunda, tapi yang tidak boleh adalah menunda hak warganegara. Itu dasar konstitusi,“ ujarnya.

Meski tak ada dalam UU, Hendra menegaskan untuk mengobati cacat pemilu itu hanya bisa dilakukan dengan melakukan pemilu khusus. Sebab hilangnya hak pilih warga itu bukan disebabkan mereka tak berkeinginan memilih, tapi akibat gagalnya negara melakukan. “Ini (pemilu khusus-red) tak ada dalam UU, tapi karena negara yang mencederai konsitusi,“ ujarnya.

Disinggung apakah pemilu khusus itu harus menunda pilpres, Ray menyatakan, “Tak usah menunda pilpres, karena itu dasar konsitusi. Kalau presiden bisa dipilih kapan waktu bisa lewat quick count atau yang lainnya. Tapi karena konstitusi cara memilih persiden melalui pemilu, maka yang mendasar adalah hak warganegara bukan hak pemilu,“ katanya.

Sebelumnya pada Senin (27/4) sebanyak 22 anggota DPR RI dari enam fraksi mengajukan hak angket DPT. Usulan hak angket diajukan atas adanya pelangaran konsitusional warganegara untuk memilih dalam pemilihan umum 9 April lalu, seperti yang diungkap oleh Komnas HAM.

Para pengusul yang langsung menemui Ketua DPR RI Agung Laksono adalah Gayus Lumbun, Hasto Kristiyanto, Bima Arya (F-PDIP), Nursyamsi Nurlan (F-BPB, Kurdi Moekri (F-PPP) dan Joseph Patty (F-PG), yang mewakili enam fraksi PAN, FKB, F-PPP, FPG, FPDIP dan FBPD.(bas)

Hanya Isu, Sudah Untungkan PD

INILAH.COM


Politik
08/05/2009 - 16:11


Hanya Isu, Sudah Untungkan PD

Windi Widia Ningsih


INILAH.COM, Jakarta - Isu koalisi Partai Demokrat dan PDIP, meski hanya kabar, dinilai sudah menguntungkan Partai Demokrat. Direktur LIMA Ray Rangkuti yakin tawaran Partai Demokrat tidak mungkin dipenuhi Megawati.


Menurut Ray, PD melihat PDIP kesulitan mencari pasangan. SBY dinilainya mengambil peluang dengan mengirim Hatta Rajasa ke rumah Mega. Sehingga ada kesan SBY mengajak berdamai Mega.


"Makanya menurut saya tujuan mereka bukan sunguh-sungguh menarik PDIP ke mereka, apalagi ditawarkan yang kesannya tidaklah mungkin dipenuhi oleh Mega," kata Ray di Warung Daun Cikini, Jakarta, Jumat (8/5).


Ray mencurigai tujuan PD adalah berkawan dengan semua orang. "Kesannya PD toleran, simpati, tidak ingin cari perkara, berkawan semua pihak itu yang kesannya yang muncul, apalagi dengan kalimat yang muncul kami berkawan dengan siapapun bertemu, berkawan, ingin merangkul, Pak SBY adalah orang yang tidak mau cari masalah," papar Ray.


Sehingga, lanjut Ray, jika nanti PDIP membuat pernyataan membantah keras, PD akan memiliki alasan tepat. PDIP menolak diajak ingin membuat bangsa lebih baik. "Orang kita tawarkan masuk kabinet kok mereka tidak mau," imbuhnya. [ana]

Hanya Isu, Sudah Untungkan PD

INILAH.COM

Politik
08/05/2009 - 16:11


Hanya Isu, Sudah Untungkan PD


Windi Widia Ningsih


INILAH.COM, Jakarta - Isu koalisi Partai Demokrat dan PDIP, meski hanya kabar, dinilai sudah menguntungkan Partai Demokrat. Direktur LIMA Ray Rangkuti yakin tawaran Partai Demokrat tidak mungkin dipenuhi Megawati.


Menurut Ray, PD melihat PDIP kesulitan mencari pasangan. SBY dinilainya mengambil peluang dengan mengirim Hatta Rajasa ke rumah Mega. Sehingga ada kesan SBY mengajak berdamai Mega.


"Makanya menurut saya tujuan mereka bukan sunguh-sungguh menarik PDIP ke mereka, apalagi ditawarkan yang kesannya tidaklah mungkin dipenuhi oleh Mega," kata Ray di Warung Daun Cikini, Jakarta, Jumat (8/5).


Ray mencurigai tujuan PD adalah berkawan dengan semua orang. "Kesannya PD toleran, simpati, tidak ingin cari perkara, berkawan semua pihak itu yang kesannya yang muncul, apalagi dengan kalimat yang muncul kami berkawan dengan siapapun bertemu, berkawan, ingin merangkul, Pak SBY adalah orang yang tidak mau cari masalah," papar Ray.


Sehingga, lanjut Ray, jika nanti PDIP membuat pernyataan membantah keras, PD akan memiliki alasan tepat. PDIP menolak diajak ingin membuat bangsa lebih baik. "Orang kita tawarkan masuk kabinet kok mereka tidak mau," imbuhnya. [ana]

Kehadiran JK Selamatkan Muka Mega

INILAH.COM

Politik
08/05/2009 - 16:36


Kehadiran JK Selamatkan Muka Mega

Windi Widia Ningsih

Megawati-Jusuf KallaINILAH.COM, Jakarta - Kehadiran Jusuf Kalla dan Wiranto ke rumah Megawati Soekarnoputri dinilai bisa menepis isu PDIP berkoalisi dengan PD. Mega tetap terbuka dengan siapa pun.


"Kalau itu datang baguslah bagi Mega. Jadi istilahnya menyelamatkan muka dia, artinya Mega juga ingin mengatakan, saya juga terbuka dengan siapa pun. Jadi kunjungan itu hanya menyelamatkan," kata Direktur LIMA Ray Rangkuti di Jakarta, Jumat (8/5).


Ray mengaku khawatir PDIP salah membaca arah politik dengan membuka komunikasi dengan PD. Jika komunikasi PDIP-PD untuk menggertak Prabowo, Banteng telah salah ambil langkah.


"Maksudnya menembak prabowo, mereka akan bilang, eh Bowo kalau kau begitu saya akan begini. Lihat saja Demokrat melirik kami. Kira-kira begitu tapi dia juga tidak tahu Demokrat menawarkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi, orang tujuan Demokrat ketemuan doang koq. Bukan dealnya," papar Ray.


Seharusnya, lanjut Ray, jika PDIP menerima Hatta, seharusnya dilakukan diam-diam saja. Sebab gertakan PDIP dekat dengan PD tidak membuat Prabowo menurunkan grade-nya ingin menjadi capres. [ana]