Minggu, 10 Mei 2009

PERNYATAAN SIKAP TENTANG HASIL REKAPITULASI PILEG 2009

PERNYATAAN SIKAP LINGKAR MADANI UNTUK INDONESIA (LIMA)
TENTANG PENETAPAN HASIL PERHITUNGAN SUARA SECARA NASIONAL PEMILU 2009


Akhirnya, KPU menetapkan hasil pemilu 2009 secara nasional pada hari Sabtu, 9 Mei 2009. Penetapan ini memang sesuai dengan ketentuan UU No 10 tahun 2009, pasal 201 ayat (1) yang menyatakan bahwa penetapan hasil pemilu secara nasional dilaksanakan 30 hari sejak pemungutan suara pemilu dilaksanakan. Penetapan ini dengan sendirinya dapat menghindari KPU dari kemungkinan pelanggaran atas UU.

Sekalipun begitu, penetapan suara yang dilakukan oleh KPU bukan tanpa masalah. Tentu hal ini erat kaitannya dengan proses penghitungan suara yang dilakukan sejak awal. Bahkan sejak dari kecamatan yang akhirnya menumpuk di KPU.

Mencermati berbagai persoalan tersebut. LIMA Nasional menyatakan sikap sebagai berikut :

1. Ketentuan penetapan hasil pemilu secara nasional yang telah diumumkan oleh KPU pada hari Sabtu 9 Mei 2009 yang menetapkan hasil pemilu secara nasional tetapi dengan “catatan”. Catatan yang dimaksud adalah adanya data yang hingga penetapan dilaksanakan masih dilakukan penghitungan suara di enam kecamatan di Nias Selatan, perbaikan rekapitulasi di Papua, soal penghitungan di Banggai (Sulawesi Tengah), Bengkulu, dan Lampung, sebagai sesuatu yang aneh, ganjil dan tak dikenal.
2. Penetapan hasil pemilu secara nasional dengan catatan tidak dikenal oleh Undang-undang. Menjadi sulit menempatkan hasil pemilu nasional dengan catatan sebagai hasil pemilu nasional. Lebih-lebih faktanya catatan yang dimaksud terkait dengan masih diberlangsungkannya penghitungan suara di Nias Selatan dan Papua. Yang lain adalah pemberlakuan data yang justru digugat banyak parpol sebagai pelengkap data penghitungan suara secara nasional KPU. Penetapan dengan catatan bahwa yang menjadi keberatan menjadi lampiran tak terpisahkan dari ketetapan KPU amat membingungkan. Artinya, apa yang ditetapkan pada tanggal 9 Mei 2009 belum dapat dinyatakan sebagai data final. Sebab, ada kemunghkinan data tersebut akan mengalami revisi paska adanya penghitungan suara di Nias Selatan dan Papua. Terlihat seperti sepele, tetapi jelas ini juga menggambarkan sesuatu yang buruk. Penetapan di tingkat makro nasional mungkin tidak terlalu berpengaruh, tapi akan terlihat pada perhitungan konversi kursi.
3. LIMA Nasional juga mencatat penetapan hasil pemilu dengan hanya membacakan perolehan suara partai politik secara nasional tanpa melakukan konversi kursi terhadap parpol dan bahkan caleg merupakan kekeliruan yang lain dalam penetapan ini. Jika membaca dengan teliti pasal 201 ayat (1) yang menyatakan bahwa KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR, mestinya penetapan tersebut dilakukan sekaligus dengan penetapan konversi perolehan suara parpol ke kursi dan caleg. Hal ini diperkuat dalam pasal 196 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suaran partai politik peserta pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD kabupaten/kota…”. Oleh karena itu, sudah semestinya penetapan hasil pemilu secara nasional sudah harus menyertakan perolehan kursi partai dan caleg.
4. Implikasi langsung penetapan dengan model seperti yang disebutkan di atas adalah kemungkinan banyaknya pendaftaran gugatan penatapan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi yang akan berguguran. Faktornya adalah tidak adanya data yang akan digugat. Seperti dimaklumi bahwa gugatan hasil pemilu ke MK hanya dapat berlangsung bagi partai politik yang suaranya berpengaruh secara signifikan terhadap perolehan kursi. Persoalannya adalah Surat Keputusan KPU yang manakah yang akan digugat. Sebab, untuk mengetahui secara formal dan hukum hasil perolehan kursi, baru akan diketahui –sesuai dengan Peraturan KPU No 20 Tahun 2008) pada tanggal 15-20 Mei 2009 (untuk DPR, DPRD Propinsi dan kabupaten/kota) dan caleg terpilih baru dilaksanakan pada tanggal 17-24 Mei 2009 (untuk DPR, DPRD Propinsi dan kabupaten/kota). Artinya jika berpatokan terhadap jadwal dan program KPU maka gugatan pemilu ke MK baru dapat dilaksanakan setidaknya setelah tanggal 20 Mei 2009. Artinya justru terjadi setelah melewati batas waktu 3 hari bagi diajukannya gugatan tersebut kepada MK. LIMA Nasional memandang adanya kekeliruan penjadwalan dan penafsiran KPU atas UU No 10/2008 khususnya tentang penetapan hasil pemilu dan perolehan suara partai politik secara nasional tanpa menetapkan berbarengan jumlah kursi yang diraih partai politik serta caleg yang terpilih. Dengan sendirinya kekeliruan memahami UU tersebut berakibat pada praktek penetapan hasil pemilu tertanggal 9 Mei 2009 yang hanya dilakukan dengan catatan, serta kekeliruan dalam penyusunan jadwal tahapan dan program pemilu.
5. LIMA Nasional juga memantau selama pelaksanaan penghitungan suara dilaksanakan, KPU melanggar berbagai asas dan prinsip pemilu. Antara lain tidak diperkenankannya lembaga pemantau dan pers untuk meliput secara langsung pelaksanaan penghitungan suara. Bagaimanapun keterbukaan dan partisipasi adalah asas pemilu yang tidak boleh diabaikan oleh KPU. Memandang 2 asas itu seperti tidak ada jelas menurunkan kwalitas pemilu. Sebab pemilu tidak semata-mata adanya pemungutan dan penghitungan suara tetapi juga adanya partisipasi masyarakat di dalamnya. Ini juga untuk menghindari pelaksanaan pemilu kita semata-mata hanya urusan tehnis tanpa roh. Sebab, jika pemilu semata-mata hanya urusan tehnis, maka pelaksanaan pemilu cukup diserahkan kepada tekhnologi. Dan tekhnologi terkadang jauh lebih bisa dipercaya dari pada manusia yang menciptakannya.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat. Atas perhatian dan partisipasinya, kami ucapkan banyak terima kasih.


Jakarta, 10 Mei 2009



Ray Rangkuti
Direktur

Tidak ada komentar: