Sabtu, 02 Mei 2009

Mega Dkk Ancam Boikot

WARTA KOTA

Mega Dkk Ancam Boikot

Selasa, 21 April 2009 04:52

“Kami mempertimbangkan sepakat untuk tidak berpartisipasi dalam Pilpres.”
WIRANTO
Jubir Kelompok ‘Teuku Umar’


ANTARA/UJANG ZAELANI

Keterangan: KETUA Umum Partai Hanura yang juga jurubicara kelompok ’Teuku Umar’ Wiranto didampingi Rizal Ramli dan Ketua Umum PPRN Amelia Yani saat memberikan keterangan di kediaman Megawati di Jl Teuku Umar, Mentang, Jakpus, Senin (20/4).

Lima belas parpol yang tergabung dalam kelompok ‘Teuku Umar’ mengancam akan memboikot pilpres jika kisruh DPT tak juga dituntaskan pemerintah. Bila ancaman ini jadi kenyataan, situasi chaos bukan tidak mungkin meletus.

AMBURADULNYA gelaran Pemilu Legislatif yang ditandai dengan kisruh daftar pemilih tetap (DPT) dan dugaan aneka kecurangan, memaksa sebagian pihak berbuat sikap. Sikap itu antara lain diperlihatkan 15 partai politik (parpol) yang pada Senin (20/4) berkumpul di kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jl Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.

Kelompok ‘Teuku Umar’ menilai Pemilu 2009 banyak kecurangan. Karena itu mereka meminta penanggungjawab pemilu yang terdiri atas presiden, pemerintah, dan KPU bertangungjawab atas kecurangan tersebut. Jika tuntutan ini tidak diperhatikan, kelompok ini akan memboikot Pemilu Presiden mendatang.

“Seandainya permintaan pertanggungjawaban dan penjelasan ini tidak mendapat respons positif dari penanggungjawab pemilu, maka kami mempertimbangkan sepakat untuk tidak melakukan partisipasi dalam Pemilu Presiden,” kata Juru Bicara Kelompok Teuku Umar, Wiranto.

Kelompok ‘Teuku Umar’ antara lain Megawati, Prabowo, Wiranto, Gus Dur, dan pimpinan partai-partai yang protes hasil Pemilu 2009. Wiranto menegaskan, kelompok Teuku Umar ini diambil bukan karena takut kalah dengan SBY. Tetapi semata-mata ingin menegakkan substansi demokrasi yang berlandaskan fairness.

“Banyak hak konstitusional warga negara yang dipasung saat ini. Ini bukan soal menang-menangan. Atau untuk mengganggu proses konstitusional. Kami ingin menegakkan kebenaran,” jelasnya.

Wiranto menambahkan, rumusan ancaman boikot ini sudah dibuat oleh kelompok Teuku Umar. Hanya tinggal menunggu waktu untuk disampaikan kepada publik jika tuntutan pertanggungjawaban ini tidak mendapatkan respons dari penanggungjawab pemilu yang terdiri atas presiden, mendagri, dan KPU.

Pada Pertemuan Teuku Umar di kediaman Megawati, Wiranto didaulat menjadi jurubicara untuk membacakan tiga kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama Kelompok Teuku Umar itu ditandatangani 15 pimpin parpol. Antara lain dari PBR, Partai Gerindra, PNBKI, dan PPRN.

Ancaman boikot Pilpres 2009 juga mengalir dari para mantan aktivis 1998. Mereka pun menyerukan penolakan pemilu dan pemboikotan pilpres. “Pemilu harus diulang karena adanya cacat DPT atau boikot pilpres 2009. Kini kita berada di tengah krisis konstitusi ketatanegaraan,” kata mantan Ketua Senat Universitas Mercubuana A Rohman, dalam jumpa pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin kemarin.

Para mantan aktivis ’98 itu yang dahulu tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) antara lain Ubaidillah (mantan Ketua Senat UNJ), Panca Nainggolan, dan lainnya, menandatangani petisi. “Hentikan penghitungan, presiden mengatakan bahwa itu kesalahan KPU, tetapi data kependudukan disediakan oleh pemerintah, jadi pemerintah yang harus bertanggungjawab,” jelas A Rohhman.

Menurut dia, ketua dan anggota KPU juga harus mengundurkan diri karena telah gagal dalam menyelenggarakan pemilu. “Mundur di sini bukan untuk melanggar hukum formal, tetapi lebih sebagai suatu sikap moral sebagai orang yang dipercaya tapi melakukan kesalahan dan kegagalan dalam mengemban tugas rakyat, jadi butuh etika politik,” ujarnya.

Selain itu, presiden dan wapres segera non-aktif dari jabatannya agar pemilu berlangsung jurdil dan pemerintahan dijalankan oleh Triumvirat. “Maka Mendagri, Menlu, dan Menhan akan bekerja secara eksekutif dalam menjalankan pemerintahan,” tambahnya.

‘Chaos’
Menanggapi ancaman boikot pilpres itu, pengamat politik LIPI Lili Romli menyebut, bakal terjadi situasi chaos nasional bila mereka membuktikan ancamannya. Menurut Lili, instabilitas sosial pasti terjadi kalau parpol-parpol memboikot pemilu. Dampak paling fatal adalah terjadi vacum of power (kekosongan kekuasaan-red) yang bisa menyebabkan kekuatan di luar sipil masuk dan mengambil alih kekuasaan dan menjalankan pemerintahan.

“Chaos nasional bakal terjadi kalau rencana boikot pemilu itu terbukti dilakukan. Militer bisa saja mengambil alih kekuasaan untuk mengisi kekosongan pemerintahan yang terjadi,” terang Lili.

Walaupun mengkhawatirkan ancaman boikot pilpres tersebut, Lili menilai tuntutan sejumlah parpol itu adalah hal yang wajar karena kecurangan pemilu legislatif terjadi secara mencolok di depan mata secara merata. Apalagi penolakan pengaduan Bawaslu yang dilakukan oleh polisi membuat parpol-parpol tersebut menjadi patah arang dengan komitmen pemerintah dan KPU untuk menyelesaikan kecurangan pemilu lewat jalur hukum sesuai yang diinstruksikan oleh Presiden.

“Wajar saja kalau para tokoh politik tidak percaya dengan komitmen penuntasan kecurangan lewat jalur hukum. Karena laporan yang dilakukan oleh Bawaslu ditolak oleh polisi tanpa proses pemeriksaan lebih dahulu. Padahal, penuntasan lewat jalur hukum bisa menjadi solusi terbaik untuk menuntaskan masalah kecurangan pemilu,” pungkas Lili.

Nada nyaris serupa juga diungkap Syafiq Aleha, mantan aktivis ’98. “Kita akan berada dalam situasi yang lebih sulit jika melakukan pemboikotan pemilu,” katanya.

Menurut Syafiq, pada Mei 1998 mahasiswa dan masyarakat memang ramai-ramai turun ke jalan untuk memboikot pemerintahan saat itu. Namun hal itu dilakukan karena rezim yang berkuasa benar-benar otoriter atau antidemokrasi. “Tapi jika dilakukan saat ini, saya kira sangat mahal ongkosnya. Apa yang terjadi di Thailand bisa terjadi di Indonesia. Pemerintahan silih berganti dan jalanan terus dipenuhi orang-orang partisan terhadap si A atau B,” ungkap Syafiq.

PTN Ditutup
Di tempat terpisah, kritikan terhadap KPU tak juga sirna meski telah menggelar pemilu legislatif. Bahkan, kian tajam. Tak cuma dikritik, KPU juga siap menghadapi tuntutan hukum.

Saat ini, lembaga penyelenggara pemilu itu harus siap-siap dipidanakan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga independen pemantau pemilu yang menilai KPU gagal melaksanakan penghitungan real count karena hasilnya jauh dari target yang ditentukan yaitu 80% dari suara sah yang masuk. Sampai terakhir pusat tabulasi nasional (PTN) ditutup KPU pada Senin kemarin hanya dapat menghimpun suara tak lebih dari 20%. Angka itu sangat jauh dibandingkan dengan PTN pada Pemilu 2004 lalu.

Hal itu membuat banyak pihak kecewa dan geram terhadap kinerja KPU itu. Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menyebut, kinerja KPU yang amburadul terkait PTN harus dipertanggungjawabkan. Bahkan, Ray juga menuntut agar dilakukan audit menyeluruh terkait PTN Pemilu 2009 ini. Sebab, disinyalir ada aroma penyelewengan keuangan dibalik kekacaun PTN itu. Selanjutnya LIMA dan beberapa LSM pemantau pemilu lainnya akan mengadukan KPU kepada Bawaslu dan pihak kepolisian terkait kekacauan PTN.

“Kacaunya tabulasi penghitungan nasional harus dipertanggungjawabkan secara hukum oleh KPU. Karena itu menyangkut uang negara yang digunakan oleh KPU untuk menyelenggarakan program TPN itu. Oleh karena itu kami akan melaporkan KPU kepada Bawaslu dan kepolisian karena disinyalir adanya penyelewengan dana disamping penyelewengan administrasi terkait pelaksanaan program itu,” tegas Ray kepada wartawan di Jakarta, kemarin.

Sementara itu, pusat penghitungan suara pemilu legislatif di Pusat Tabulasi Nasional Hotel Borobudur, Jakarta, kemarin, resmi ditutup. Namun, KPU berjanji akan tetap meng-update atau memutakhirkan data itu melalui situs tabulasi nasional di www.tnp.kpu.go.id.

“Hari ini acara di Hotel Borobudur selesai dan ditarik ke Media Center KPU,” kata anggota KPU Sri Nuryanti di Kantor KPU, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, penutupan pusat tabulasi itu karena kontrak yang disepakati sudah habis. KPU ballroom di hotel itu selama 12 hari sejak 9 April lalu. Meski sudah 12 hari berjalan, data yang masuk belum sampai 10%.

Hingga berita ini ditulis, suara yang masuk baru 13.078.538 dari 171 juta yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap atau DPT. Sedangkan data dari Tempat Pemungutan Suara TPS yang masuk baru 67.704 dari jumlah total 519 ribu TPS.

Angka itu sangat jauh di bawah target penyelenggara Pemilu. Padahal selama 12 hari, Komisi menargetkan suara masuk hingga 80% dari seluruh suara yang ada.

Menurut dia, KPU sudah berusaha maksimal. Namun, ada beberapa masalah yang menyebabkan target tidak tercapai. Masalah itu antara lain penyiapan perangkat keras, perangkat lunak, informasi, standar operasional dan kesiapan personel yang menjadi operator. “Teman-teman di kabupaten mungkin capek dan memrioritaskan perhitungan manual,” kata dia. O dir

Tidak ada komentar: