Selasa, 05 Mei 2009

Konflik Ancam Parpol

KOMPAS

Konflik Ancam Parpol
Wacana Koalisi Jelang Pemilu Presiden Jadi Potensi Pemicu


Senin, 4 Mei 2009 | 04:11 WIB


Jakarta, Kompas - Wacana koalisi menjelang pemilu presiden dan wakil presiden berisiko memperbesar potensi konflik internal dalam partai politik. Jika tidak cerdas mengelola, konflik yang terus-menerus akan menjadikan masyarakat pemilih yang merasa diabaikan makin antipati pada parpol.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli, Minggu (3/5) di Jakarta, menyebutkan, indikasi perpecahan internal parpol menjelang pemilu presiden/wapres kian menegaskan, parpol memang hanya menjadi sarana bagi elitenya untuk menonjolkan kepentingan masing-masing. Kekuatan parpol pada soliditas untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan konstituen pasti semakin terpinggirkan.

”Dulu menjelang pemilu legislatif berkoar-koar akan membela rakyat. Pascapemilu legislatif, rakyat dilupakan,” katanya.

Seperti dikabarkan, Rapat Kerja Nasional Partai Amanat Nasional (PAN) di Yogyakarta, Sabtu lalu, menyepakati, partai itu akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan mengusulkan Hatta Rajasa sebagai calon wapres dipasangkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, penyampaian hasil rakernas itu tak dihadiri Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir dan Sekretaris Jenderal Zulkifli Hasan (Kompas, 3/5).

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti pun menilai, perbedaan pandangan seperti yang terjadi di PAN saat ini adalah konflik sungguhan hanya akibat faktor pragmatisme yang sederhana, ”siapa mendapat apa”. Elite terjebak pada ambisi masing-masing sehingga terlupa ada tujuan besar bernegara. Takut tak mendapat bagian, setiap pihak berlomba ”menjual diri”.

Menurut Lili, jika konflik seperti itu terus berlanjut, masa depan parpol jelas bakal terancam. Akan kian menguat gugatan terhadap demokrasi perwakilan dengan parpol sebagai pintu masuknya. Keinginan mendorong demokrasi partisipatoris, semisal dengan membuka kesempatan munculnya calon perseorangan dalam setiap kompetisi pejabat publik akan menguat.

”Itu semua akibat kekecewaan terhadap institusi partai. Mestinya parpol memperbaiki diri,” kata Lili.

Ray sependapat, hal tersebut menyedihkan sebab mengancam eksistensi partai bersangkutan dan sekaligus kehidupan berdemokrasi. Sikap elite itu hanya akan semakin menyuburkan apatisme masyarakat terhadap parpol. Ujungnya, partisipasi politik masyarakat dalam pemilu akan semakin rendah. Elite tak lagi berbicara konsep mendasar, tetapi lebih banyak berkutat pada soal pembagian kekuasaan. Padahal, demokrasi bukan hanya mencari kuasa atas nama rakyat. Demokrasi juga berarti mengalirkan tujuan dengan partisipasi, memastikan kebijakan dan sikap politik didasarkan pada kehendak rakyat.

Bagi Ray, kondisi saat ini menegaskan kebutuhan Indonesia akan generasi baru elite politik di parpol yang lebih beradab, memiliki dan melaksanakan fatsun berdemokrasi yang lebih setia. Harus dibuka pintu lebar untuk lahirnya pemimpin dari kalangan nonparpol agar ada keseimbangan antara elite yang pragmatis dan elite ideologis. (dik)

Tidak ada komentar: