Jumat, 08 Mei 2009

Menimbang Cawapres SBY, Antara Politikus atau Teknokrat

JAWA POS

Sabtu, 09 Mei 2009


[ Kamis, 07 Mei 2009 ]


Menimbang Cawapres SBY, Antara Politikus atau Teknokrat

Butuh Pendamping Berkemampuan Three in One


Teka-teki siapa yang bakal digandeng SBY sebagai cawapres menjadi kajian menarik sejumlah pengamat politik. Mereka mencoba membedah empat sosok yang paling santer disebut bakal menjadi cawapres SBY. Yakni, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Mensesneg Hatta Radjasa, Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, dan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW).

Berangkat dari berbagai argumentasi, para analis politik sampai kepada kesimpulan yang berbeda. Ada yang menjagokan Sri Mulyani. Ada juga yang menilai Hatta Radjasa yang didorong Amien Rais melalui PAN jauh lebih berpeluang.

Peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi termasuk yang berpandangan SBY akan memilih Sri Mulyani. Dia punya alasan tersendiri. Menurut Burhan -begitu dia akrab disapa, SBY akan memilih cawapres yang kecil potensinya menjadi ancaman bagi Partai Demokrat dalam Pilpres 2014.

Kalau menggandeng cawapres dari kalangan parpol yang berusia di bawah 50 tahun, kata dia, SBY seperti membesarkan anak macan. ''Ini buruk buat kaderisasi di Demokrat,'' ujar Burhan saat diskusi Cawapres SBY: Teknokrat atau Politisi? di Kantor Charta Politika, Jalan Cipaku 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kemarin (6/5).

Secara tidak langsung Burhan ''menembak'' Hidayat Nur Wahid, tokoh PKS yang usianya saat ini baru 49 tahun.

Dalam kesempatan itu, turut berbicara Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya Sugiarto, Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti, dan pakar hukum tata negara Refly Harun.

Burhan melanjutkan, munculnya wacana duet SBY-Hatta Radjasa memang membangkitkan romantisme terhadap dwitunggal Soekarno-Hatta. SBY yang memiliki ide-ide besar dicoba diasosiasikan dengan sosok Soekarno yang juga pemikir. Keduanya lantas dianggap memiliki kesamaan, yakni miskin di level operasional.

Hatta Radjasa, ungkap Burhan, tampil sebagai sosok yang low profile, sepi publikasi, administratur, dan lebih operatif. Dia bisa menutupi kekurangan SBY itu. ''Persoalannya, Hatta tidak naif dan lugu,'' ujarnya. Dalam konteks ini, Hatta yang berlatar belakang parpol itu juga bisa menjadi ancaman bagi SBY.

Meski begitu, SBY tidak otomatis memilih cawapres teknokrat. Sebab, posisi wakil presiden bukan jabatan teknis semata, tapi juga politis. ''Kalau terlalu teknokrat murni, hanya menguasai ekonomi, SBY akan kerepotan,'' katanya.

Boediono termasuk kategori cawapres teknokrat yang belum terbukti mampu menangani masalah lain di luar ekonomi. Misalnya, soal politik, hukum, termasuk menyinergikan kabinet. ''Sri Mulyani juga punya itu. Tapi, sampai sekarang dia belum tampil ke publik.''

Menurut Burhan, persoalan elektabilitas tidak terlalu signifikan. Dari survei yang dilakukan lembaganya Maret lalu, berpasangan dengan siapa pun, SBY tetap di posisi teratas. Selisih elektabilitas antar pasangannya juga hanya 1-2 persen. ''Yang dilihat tetap SBY,'' katanya. ''Jadi, kalau dibikin skor 1-10, HNW itu 3, Boediono 5, Hatta 6, dan Sri Mulyani 7,'' cetusnya.

Refly Harun mencoba berpikir out of the box. Menurut dia, SBY tetap akan mencari cawapres yang punya elektabilitas. Sebab, koalisi ''Asal Bukan SBY'' tetap punya potensi untuk membesar. Dengan demikian, SBY belum tentu menang. Selain itu, lanjut dia, SBY membutuhkan cawapres yang siap loyal selama lima tahun dan tidak punya potensi menjadi capres.

''Lebih nyaman SBY mengambil teknokrat yang bisa dibujuk menjadi politikus untuk ditarik ke Demokrat. Nah, apakah Boediono dan Sri Mulyani itu punya potongan jadi politikus,'' katanya.

Refly lantas menyebut nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie. ''Jimly punya wibawa politik. Malah banyak anggota DPR yang menjadi siswa S-2 dan S-3 beliau,'' katanya. Tak hanya itu, Jimly yang tidak memiliki track record politik sangat mungkin ditarik ke Demokrat. ''Kalau saya, Boediono itu poinnya 2, Sri Mulyani 3, Hidayat 4, Hatta 5, dan Jimly 6,'' katanya.

Lain lagi pandangan Arya Bima. Dia mengatakan, dalam menentukan pasangannya, SBY mengombinasikan tiga kebutuhan sekaligus. Ketiganya adalah pemenangan pilpres, terwujudnya pemerintahan efektif, dan pengamanan suksesi 2014. ''Sederhananya, three in one,'' ujarnya.

Karena itu, SBY membutuhkan cawapres yang memiliki citra personal dan jaringan kuat. Mengenai citra ini, mau tidak mau, SBY tetap memperhitungkan representasi geografis, ideologis, kekuatan politik Islam, dan jaringan aktivis. Apalagi, SBY dicitrakan dekat dengan AS, tentu dia akan mencari Wapres yang bisa menetralkan citra itu. ''Boediono dan Ani jelas nggak masuk,'' katanya.

Parlemen yang ''liar'' juga membutuhkan Wapres yang mampu mengendalikannya. ''Kalau saya, Sri Mulyani 5, Boediono 6, Hidayat 7, dan Hatta 8,'' ujarnya.

Ray Rangkuti menuturkan, dia sebenarnya tidak menjagokan SBY. Sebab, dalam lima tahun pemerintahannya, SBY tidak memiliki prestasi besar. ''Tapi, realitasnya, dari hasil berbagai survei, SBY akan terpilih lagi,'' katanya.

Menurut Ray, dirinya sepakat kalau SBY mengambil cawapres dari generasi muda dan kalangan nonpartai. Ini sebagai bentuk penghormatan bahwa tidak semua pemimpin nasional datang dari komunitas partai politik. ''Cuma kalau pilihannya Boediono dan Sri Mulyani, jelas no. Saya tidak mau dipimpin orang-orang neolib begitu. Poinnya nol,'' bebernya. (pri/agm)

Tidak ada komentar: