Senin, 31 Agustus 2009

Bawaslu Akan Periksa KPU dan IFES

BERITA KOTA


Bawaslu Akan Periksa KPU dan IFES



Rabu, 15 Juli 2009 00:09


JAKARTA, BK


Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) akan memeriksa Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary dan pimpinan International Foundation for Electoral System (IFES). Pemanggilan ini terkait bantuan lembaga asing itu terhadap sistem tabulasi nasional pemilihan presiden (pilpres) 2009 di KPU.


Anggota Bawaslu Wirdyaningsih kepada wartawan di kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (14/7) mengatakan, Ketua KPU, Sekjen KPU Suripto Bambang Setyadi serta anggota KPU Abdul Azis juga akan dipanggil Bawaslu, Rabu (15/7). “Kami telah layangkan surat pemanggilan kepada mereka besok (hari ini-red). Kami berharap mereka bisa datang mengklarifikasi beberapa masalah,” tutur perempuan yang akrab disapa Nunung itu.

Anggota Bawaslu, Wahidah Suaib menambahkan, Bawaslu juga akan memanggil IFES terkait bantuan lembaga asing itu terhadap sistem tabulasi nasional pemilihan presiden (pilpres) 2009 di KPU. “Kami akan panggil IFES untuk klarifikasi terkait kerja samanya dengan KPU dalam sistem tabulasi nasional. Kami akan mempertanyakan apakah kerja sama dengan lembaga itu (IFES) dibenarkan atau tidak menurut Undang Undang (UU) Pemilu,” katanya.

Informasi yang dihimpun dari Bawaslu menyebutkan, pimpinan IFES direncanakan bertemu dengan Bawaslu pada Rabu (15/7), sekitar pukul 13.00 WIB. “Pemanggilan para pimpinan IFES itu juga menindaklanjuti laporan yang kami terima dari tim sukses pasangan capres/cawapres ,” katanya.

Sementara itu, pihak KPU menyatakan kesiapannya untuk menghadiri undangan Bawaslu. Hanya saja Ketua KPU Hafiz Anshary meluruskan kalau itu adalah undangan dan bukan pemanggilan. Agendanya pun adalah klarifikasi dan bukan pemeriksaan. “Benar, saya sudah terima undangan dari Bawaslu tapi agendanya klarifikasi bukan pemeriksaan. Insya Allah, kami akan datang,” tutur Hafiz.

Hafiz mengaku KPU menerima dana dari lembaga asing itu. Namun orang nomer satu di KPU itu membantah kalau jumlahnya miliaran karena yang benar hanya sekitar Rp18 juta saja. Dan itupun menurut Hafiz hanya diterima sekali saja. “Benar, kami terima dana tapi tidak besar, hanya Rp18 juta dan hanya satu kali,” pungkas Hafiz.

Sementara itu, anggota KPU Andi Nurpati menambahkan, bantuan yang diterima KPU resmi. Menurutnya, bukan hanya KPU saja lembaga yang menerima bantuan dari pihak asing, karena Bawaslu pun menerima bantuan dari pihak asing. “Saya kira tak ada yang salah dengan bantuan pihak asing itu karena semua jelas sesuai aturan. Toh Bawaslu juga menerima bantuan dari pihak asing juga,” kilah Andi.

Sebelumnya, kubu capres/cawapres Megawati-Prabowo melaporkan kerja sama KPU dan IFES ke Bawaslu karena diduga KPU telah melakukan pelanggaran dengan melibatkan lembaga asing dalam proses penghitungan cepat melalui sms.

Penayangan tabulasi nasional pilpres 2009 yang dapat diakses melalui jaringan internet itu merupakan sistem tabulasi nasional berbasis data pesan singkat yang dibangun tim teknologi informasi KPU bekerja sama dengan IFES.

Sedangkan Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti melihat tidak ada yang salah dari bantuan yang diterima KPU dari pihak asing karena sejak 1999 pun KPU sudah mendapatkan bantuan tersebut. Hanya saja, yang mengherankan bantuan itu diprioritaskan diberikan kepada negara yang baru merdeka atau baru membangun demokrasi. Kalau itu diterima oleh KPU di tahun 1999 masih bisa diterima akal sehat tapi kalau saat ini patut dipertanyakan. “Bantuan itu wajar tapi patut dipertanyakan karena tidak layak diterima oleh Indonesia yang demokrasinya sudah mapan. Ini yang harus dipertanyakan ke KPU,” papar Ray. O dir

Kemenangan Mutlak SBY Dipertanyakan

BERITA KOTA


Kemenangan Mutlak SBY Dipertanyakan


Kamis, 16 Juli 2009 03:41


Partai Golkar memutuskan membawa temuan kasus dugaan pelanggaran Pilpres 2009 ke jalur hukum. Langkah Golkar ini menyusul PDIP dan Gerindra yang juga menempuh hal yang sama.

KEMENANGAN mutlak pasangan SBY-Boediono dari hitung cepat sejumlah lembaga survei dipertanyakan banyak kalangan. Tidak saja dari kandidat capres yang sementara ini tertinggal oleh pasangan SBY-Boediono, tetapi juga dari pemantau pemilu. Pasalnya perolehan suara berdasarkan hitung cepat mendapatkan total suara 60%, begitu pula dengan tabulasi KPU. Sementara DPT yang dikeluarkan tidak jelas.

“Perolehan 60% dari total DPT bagaimana caranya, pokoknya SBY menang 60%” ucap Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti kepada wartawan dalam sebuah diskusi bertajuk “Kecurangan Pilpres 2009” di Jakarta, Rabu (15/7).

Menurut Ray, KPU menetapkan DPT untuk pertama kalinya pada 28 Mei 2009 dengan jumlah 176 juta pemilih. Kemudian dimutakhirkan pada 8 Juni dan bertambah sekitar 25 ribu pemilih tetap.

“Saat pilpres tidak diumumkan berapa jumlah pastinya, apakah bertambah atau berkurang, saya khawatir pada KPU, mereka nanti hanya menghitung perolehan hasil suara akhir saja, tanpa melihat berapa jumlah DPT pastinya,” imbuhnya.

Di tempat yang sama, Sekretaris Umum Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo, Fadli Zon mengatakan, menyikapi permasalahan DPT, tampaknya KPU tidak serius dan pada akhirnya menciptakan sebuah DPT yang amburadul dan ‘under qualified’. Apalagi, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary kalau ditanya DPT selalu berulang-ulang mengatakan bahwa tidak ada permasalahan tentang DPT. Padahal, lanjutnya, setelah Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo melakukan penyisiran DPT pada sistem IT KPU, banyak ditemukan keanehan dan kejanggalan.

“Setelah dilihat, banyak yang aneh tampilannya di layar komputer, ada yang NIK- nya ganda, namanya ganda, semua aneh,” beber Fadli.

Karena itulah, Partai Gerindra dan PDIP tetap akan fokus kepada masalah DPT dan kecurangan pilpres.

Menurut Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu, setelah melakukan pengumpulan bukti dan data, pihaknya bersama PDIP akan segera melaporkan temuan itu kepada Bawaslu dan melanjutkan proses hukumnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendapatkan keadilan.

“Langkah hukum akan segera kita laksanakan dalam minggu-minggu ini,” urai Fadli

Tak hanya PDIP dan Gerindra yang memroses kecurangan pilpres ke ranah hukum, Partai Golkar juga menempuh langkah yang sama. Partai berlambang pohon beringin ini memutuskan membawa temuan kasus dugaan pelanggaran Pilpres 2009 ke jalur hukum. Sesuai aturan berlaku, segala keberatan akan disampaikan terlebih dahulu secara resmi ke KPU dan Bawaslu. “Kita ikuti aturan, pelanggaran yang kita temukan akan dibawa jalur hukum. Kita ikuti jalur yang ada, menyampaikan ke KPU dan Bawaslu,” beber Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla (JK) usai rapat pleno DPP Partai Golkar di Jakarta, kemarin. Hasil lain dari rapat dengan agenda utama evaluasi pasca Pilpres 2009 adalah persiapan pelaksanaan Munas. Terkait dengan itu, JK menegaskan, sebelumnya akan diselenggarakan rapat konsultasi pada 20 Juli 2009 dan setelah seluruh tahapan Pilpres 2009 usai digelar rapimnas. “Di situ akan ditentukan kapan waktu dan lokasi munas, serta dengan cara apa munas dilakukan. Maksudnya apakah munas lebih dulu daripada musda atau musda yang lebih dahulu baru munas,” papar JK. O dir

Nilai Rapornya Merah, KPU Tak ‘Naik Kelas’

BERITA KOTA


Nilai Rapornya Merah, KPU Tak ‘Naik Kelas’


Sabtu, 25 Juli 2009 19:01


USAI menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden, tak membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) lolos dari kritik. Lembaga ini bahkan diberi rapor dengan angka. Artinya, rapor untuk KPU merah.

Setidaknya, penilaian itulah yang diberikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) terhadap KPU.

“Kalau saya ibaratkan anak sekolah, KPU itu tidak ‘naik kelas’. Karena nilainya hampir rata-rata rapornya merah, atau lima di bawah standar,” kata anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo dalam diskusi bertajuk ‘Menjelang Penetapan Hasil Pilpres’ di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (24/7).

Bambang mencatat, ada tiga persoalan utama yang membuat KPU mendapat nilai merah. Pertama, tidak adanya keterbukaan KPU terkait daftar pemilih tetap (DPT). Kedua, kerja sama KPU dengan IFES dan Telkomsel. Ketiga, adanya dua saksi pasangan capres dan cawapres tidak bersedia menandatangani hasil rekapitulasi pilpres.

“Secara hukum menolak menandatangai hasil rekapitulasi suara tidak menjadi persoalan. Tetapi paling tidak, secara prinsip legitimasi hasil rekapitulasi itu menjadi persoalan,” kata dia.

Direktur Eksekutif LIMA Ray Rangkuti menyebut, dalam penetapan hasil pilpres, seharusnya KPU berdasarkan kepada dua aspek, yakni aspek legitimasi hukum dan legitimasi politik.

“Jika Bawaslu memberikan nilai lima kepada KPU, saya akan memberikannya nilai di bawah lima. Artinya di bawah lima itu, bisa satu sampai empat. Itu tidak kelas,” tandasnya.

Menurut Ray, seharusnya KPU tidak perlu tergesa-gesa menetapkan hasil pilpres. Karena masih banyak permasalahan dalam pilpres yang mengakibatkan ketidakpuasan pasangan capers/cawapres. Akan lebih baik, KPU menjelaskan dahulu argumentasinya terkait ketidakpuasan dua pasangan capres dan cawapres lainnya.

Ray menyarankan penetapan hasil pilpres bisa dilakukan sesuai jadwal semula KPU (27 Juli 2009), atau bisa juga sesuai dengan UU Pilpres, yakni 30 hari setelah penyelenggaraan pilpres, 7 Juli lalu.

Anggota DPD M Nasir justru memberi nilai rapor cukup kepada KPU. Ia memberi nilai enam terhadap kinerja KPU.

“Saya memberikan nilai lima untuk pemilu legislatif. Tapi pada untuk pilpres, saya memberinya nilai enam. Titik penilaian saya itu dari penyelenggaraannya itu sendiri. Saya anggap sudah cukup dengan nilai enam itu,” kata Nasir. O dad

Radikalisme gerakan mahasiswa dari masa ke masa mengalami penurunan

INDONESIA MONITOR

04 Agustus 2009


Radikalisme gerakan mahasiswa dari masa ke masa mengalami penurunan.
Kenapa demikian?



MANTAN aktivis mahasiswa Ray Rangkuti menilai, dibandingkan dengan gerakan mahasiswa pada tahun 1990-an, tingkat radikalisme mahasiswa saat ini cenderung menurun. Hal itu disebabkan oleh perjalanan demokrasi yang sudah lebih baik ketimbang masa sebelumnya. Selain itu, tingkat kesadaran politik rakyat sekarang ini juga sudah cukup tinggi. Terbukti, sebagian masyarakat sudah mampu mengadvokasi sendiri kasus yang dialaminya.



“Gerakan mahasiswa itu kan pada dasarnya muncul ketika ada keresahan di tengah masyarakat. Kalau keresahan itu tidak terlalu kuat, maka gerakan mahasiswa akan sulit muncul ke permukaan. Yang jelas, kalau melihat sejarahnya, radikalisme gerakan mahasiswa akan kembali menemukan momentum ketika bangsa ini menghadapi krisis,” ungkapnya kepada Indonesia Monitor.



Ray melanjutkan, radikalisme gerakan mahasiswa sudah sangat jarang terlihat dalam skala nasional. Gerakan mahasiswa cenderung lebih mengarah pada gerakan sektoral. Berbeda dengan gerakan mahasiswa di era 70-an dan akhir 90-an yang tingkat radikalismenya hampir merata di seluruh pelosok negeri.



“Kita tidak pernah tahu ke depannya gerakan mahasiswa akan seperti apa. Mati atau tidaknya gerakan mahasiswa tergantung situasi dan kondisi di negeri ini,” jelasnya.



Radikalisme gerakan mahasiswa, baginya tidak harus diwujudkan dalam bentrok fisik dengan aparat. Karena, hal tersebut bukanlah bagian dari tujuan berdemonstrasi. Dalam berunjuk rasa, para aktivis hanya dituntut bagaimana aspirasi rakyat yang diusung bisa diperhatikan oleh penguasa.



Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Arip Musthopa menilai, radikalisme gerakan mahasiswa telah menurun. Ini ditunjukan dengan pola aksi unjuk rasa yang mengarah pada bentrokan fisik sudah tidak lagi digunakan oleh sebagian besar organisasi ekstra parlementer.



“Dalam berunjuk rasa, gerakan mahasiswa sekarang tidak sekeras dulu. Kalaupun ada kekerasan dalam berdemonstrasi, itu bukanlah by design, melainkan accidental yang disebabkan adanya represifitas aparat dan provokasi pihak-pihak tertentu,” katanya.



Diakuinya, hampir semua organisasi gerakan mahasiswa mengajarkan bagaimana menghadapi situasi ataupun kondisi tertentu yang mengharuskan para aktivis untuk mempertahankan diri. Bentrok atau tidaknya unjuk rasa yang dilakukan, menurutnya bukanlah bagian dari skenario aksi.



“Sekarang ini, bentrok di lapangan sudah tak lagi diperlukan.“



Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lalu Hilman Afriandi, memaknai radikalisme gerakan mahasiswa sebagai sebuah gerakan yang selalu melihat suatu masalah sampai ke akar-akarnya. “Siapa yang berani mengusung isu hapus hutang luar negeri dan neoliberalisme berarti gerakannya radikal. Tapi, kalau isu yang dibawa justru menguatkan penguasa atau neolib, itu jelas bukan gerakan yang radikal,” tukasnya.



■ Feri Relasyah

Taufiq Kiemas Dinilai Tak Layak



MATANEWS.COM

Taufiq Kiemas Dinilai Tak Layak

Headlines | Thu, Aug 13, 2009 at 13:07 | Jakarta, matanews.com

Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia, Ray Rangkuti mengemukakan, secara kualitatif politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Taufiq Kiemas, sangat tidak cocok menjadi ketua MPR peroiode 2009-2014. “Saya sangat meragukan kapasitas dia menduduki jabatan itu,” komentar Ray saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

Menurut Ray, secara transparan siapapun bisa melihat kinerja Taufiq saat menjadi anggota DPR dari fraksi PDIP periode 2004-2009, yang jarang ngantor ke gedung DPR. Bahkan masalah kedisiplinan Taufiq ini katanya, sempat menjadi sorotan diberbagai media massa.”Bagaimana mau jadi ketua MPR, waktu DPR saja paling sering tidak masuk kantor,” katanya.

Rencana PDIP mengusung kadernya jadi ketua MPR, menurut Ray, langkah tersebut merupakan langkah politik terhormat. Namun menurut Ray, yang harus didorong hendaknya figur lain dan bukan malah memaksakan figur Taufiq Kiemas.

Ketika disinggung adanya rencana PDIP merapat ke pemerintahan SBY-Boediono, menurut Ray, tempat terhormat bagi PDIP adalah sebagai oposisi. Karena kalau politisi PDIP masuk dalam Kabinet SBY-Boediono maka akan melukai simpatisannya dan akan memecah belah Partai Berlambang Kepala Banteng itu. “PDIP sebaiknya jadi opsisi saja,” papar Ray.(*z/edy)

Pilpres Berpotensi Diulang

BERITA KOTA


Pilpres Berpotensi Diulang
Mega-Prabowo & JK-Wiranto Siapkan Gugatan



Minggu, 26 Juli 2009 08:03



Gugatan hukum yang dilayangkan oleh capres-cawapres Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto dapat bermuara pada Pemilu Presiden (Pilpres) ulang. Kemungkinan itu sangat terbuka bila kedua kubu dapat membuktikan adanya kecurangan-kecurangan yang bersifat massif dan luar biasa kepada Mahkamah Konsitutsi (MK).

BK/AGUNG NATANAEL
HASIL REKAPITULASI: Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, SBY-Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto berpose usai penetapan dan pengumuman hasil Pilpres di Kantor KPU, Jakarta, Sabtu (25/7). Pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto tidak hadir.




Wakil Ketua MK Abdul Muftie Fajar di Jakarta, Sabtu (25/7) menyatakan, pilpres ulang bisa terjadi bila terbukti kecurangan itu terbukti bersifat massif dan luar biasa. Pilpres juga bisa diulang bila suara pihak yang saat ini unggul berkurang dari 50% akibat hasil pembersihan dari gugatan hukum yang terbukti.

Dia mengatakan, MK siap menerima gugatan dan menyidangkan gugatan-gugatan yang dilayangkan kubu Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. Bahkan, sejak ditetapkannya hasil penghitungan pilpres, MK langsung membuka pendaftaran sengketa. “Kami siap menyidangkan sengketa pilpres. Kalau satu dari dua syarat itu terbukti, pilpres ulang bisa terjadi,” tutur Muftie.

Pendapat senada disampaikan pengamat politik dari Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti. Menurut Ray, sudah seharusnya pilpres ulang dilakukan. Pendapat ini didasarkan pada hasil temuan kecurangan yang didapat Lima dan beberapa organisasi pemantau pemilu yang tergabung dalam Masyarakat Pembela Demokrasi (MPD).

Menurut Ray, kecurangan bersifat sistemik dan merata, terutama terkait masalah DPT. Pihaknya juga menemukan banyak surat suara yang sudah dicontreng untuk calon tertentu padahal masih dalam keadaan tersegel. Ray menambahkan, kecurangan itu diperparah dengan tindakan KPU yang melakukan perubahan DPT tanpa izin Bawaslu.

Penetapan rekapitulasi suara Pilpres 2009 yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sabtu (25/7), ditolak oleh kubu Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto karena dianggap penuh kecurangan. Otomatis, hanya kubu SBY-Boediono yang menerima dan menandatangani hasil pilpres tersebut.

Bahkan, kubu Mega-Prabowo yang diwakili oleh Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi T Gayus Lumbuun, enggan menerima salinan hasil rekapitulasi suara. Gayus, yang mewakili Megawati dan Prabowo, menolak salinan rekap suara yang disodorkan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary.

Hafiz kaget. Dengan wajah memerah, orang nomor satu di KPU itu langsung menarik kembali salinan itu. Jusuf Kalla mau menerima salinan tersebut. Demikian pula SBY sebagai peraih suara terbanyak.

Gayus mengungkapkan keengganan pihaknya menerima salinan itu karena pihaknya memang tidak mengakui hasil penghitungan suara tersebut. Alasan itu pula yang menjadi dasar penolakan kubu Mega-Prabowo untuk menandatangani hasil rekapituilasi.

Gayus menyatakan, Mega-Prabowo akan mendaftarkan gugatan kecurangan pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (28/7) mendatang. “Banyak pelanggaran yang terjadi dalam pilpres yang harus diselesaikan di MK, termasuk pelanggaran penetapan DPT oleh KPU,” tegas politisi senior PDIP itu.

Kubu JK-Wiranto juga enggan mengakui hasil penghitungan suara walaupun pasangan JK-Wiranto hadir dan menerima salinan hasil penghitungan suara. Hal itu dikemukakan oleh anggota Tim Kampanye Nasional (Timkamnas) JK-Wiranto, Burhanuddin Napitupulu.

Politisi senior yang akrab disapa Burnap ini menyatakan, pihaknya menolak hasil penghitungan suara karena banyaknya kejanggalan, terutama perubahan DPT yang tidak mereka ketahui.

Apalagi, belakangan KPU mengakui bahwa perubahan DPT itu dilakukan pada 6 Juli, hanya dua hari sebelum pelaksanaan pilpres. Padahal, menurut UU, DPT harus sudah ditetapkan 30 hari sebelum pelaksanaan pilpres.

“Kami tidak tanda tangan karena tidak mengakui hasil pilpres. Senin (27/7) nanti, kami akan langsung daftarkan gugatan ke MK,” tandas Burnap.

Menanggapi penolakan dua rivalnya, kubu SBY-Boediono menilai hal itu sebagai bentuk belum dewasanya elit politik dalam berdemokrasi. Pendapat ini dilontarkan Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Politik Anas Urbaningrum.

Anas beranggapan, pilpres sudah berjalan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia berdasarkan azas jujur dan adil sehingga seharusnya mereka mau dengan legowo menerima kekalahan. Anas juga merasa kasihan dengan KPU yang sudah bekerja keras menyelenggarakan pemilu tapi malah dituduh berbuat curang. “Ini pertanda elit kita belum dewasa dalam berpolitik,” sindir mantan Ketua Umum HMI itu.

SBY sendiri menegaskan, kekurangan atau ketidakbenaran yang muncul dalam pelaksanaan Pilpres 2009 bukanlah suatu kecurangan. Dalam jumpa pers di Cikeas, SBY menyatakan bahwa sistem dan UU telah memberikan ruang untuk masing-masing pasangan menyampaikan protes dan aduan tentang pelaksanaan pilpres. “Harapan kita, itu dapat disalurkan dengan damai, menghormati demokrasi, dan rule of law,” kata SBY didampingi Boediono.

SBY mengatakan, pihaknya juga akan memberikan masukan dan saran kepada KPU menyangkut DPT serta sosialisasi UU Pemilu yang dianggap masih kurang baik. “Masih besar suara yang tidak sah sehingga perlu penyempurnaan UU Pemilu di waktu yang akan datang,” katanya.

Kecurangan Sistemik

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Nur Hidayat Sardini mengakui, pilpres kali ini diwarnai banyaknya kecurangan. Bahkan, kecurangan itu sudah berbentuk sistemik. Oleh karena itu, Bawaslu bertekad akan memroses laporan dugaan kecurangan pilpres, termasuk dugaan kecurangan yang melibatkan anggota KPU.

Bawaslu akan membentuk Dewan Kehormatan (DK) untuk menyelidiki pelanggaran kode etik yang dialamatkan kepada anggota KPU. “Pilpres ini sukses tapi diwarnai banyak kecurangan,” papar Nur Hidayat.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dengan tegas menyatakan, hasil pilpres sah walaupun tidak ditandatangani dua dari tiga peserta. Menurut mantan Ketua KPU Kalimantan Selatan itu, tanda tangan saksi tidak memengaruhi hasil pilpres.

Hafiz mengakui, penetapan capres dan cawapres terpilih baru akan dilaksanakan setelah adanya putusan MK. “Hasil ini sah serta punya legitimasi dan legalitas. Masalah tanda tangan itu tidak berpengaruh,” urai Hafiz. O dir

Kemenangan SBY-Boediono Terancam Dibatalkan

BERITA KOTA


Kemenangan SBY-Boediono Terancam Dibatalkan


Jum'at, 31 Juli 2009 00:03

BILA TERBUKTI DIDANAI ASING


JAKARTA, BK

Menang mutlak dalam Pilpres 2009, belum berarti pasangan capres/cawapres SBY-Boediono bisa mulus melenggang ke istana. Selain dihadang aneka gugatan yang dilontarkan dua rivalnya pada Pilpres 8 Juli lalu terkait kisruh DPT dan dugaan terjadinya kecurangan Pemilu, pasangan SBY-Boediono kini diganjal urusan yang tak remeh.

Pasangan SBY-Boediono ditengarai kuat menerima aliran dana dari pihak asing dan itu bertentangan dengan UU Pilpres. Bila terbukti, kemenangan pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009 terancam dibatalkan.

Dalam sebuah acara diskusi, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti di Jakarta, Kamis (30/7) mengatakan, SBY bisa didiskualifikasi sebagai peserta pilpres kalau terbukti menerima dana sumbangan dari pihak asing dan itu diatur jelas dalam UU pilpres.

Oleh karena itu, Ray berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) berani menjatuhkan sanksi kepada SBY kalau memang dari hasil penyelidikan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) peserta pilpres dengan nomor urut 2 itu terbukti secara sah menerima bantuan dana dari pihak asing. Dikatakan, berdasarkan UU, yang berhak menjatuhkan sanksi kepada peserta pilpres adalah KPU. “Kalau Bawaslu bisa membuktikan SBY menerima dana asing, maka KPU harus mendiskualifikasi,” tandasnya.

Pendapat senada juga disampaikan pengamat politik dari Pedoman Indonesia Fadjroel Rachman. Menurutnya, secara moral SBY telah melakukan kesalahan dengan menerima bantuan dari pihak asing. “Pada Pasal 103 UU 42/2008 pasangan calon tidak boleh menerima dana dari asing, dan semestinya pasangan SBY-Boediono didiskualifikasi,” kata Fadjroel.

Selain itu, dirinya menilai adanya kecurangan dari kubu SBY dengan memecah sumbangan pada laporan dana kampanye sehingga seolah-olah penyumbang itu adalah pihak yang berbeda. Padahal penyumbang itu adalah pihak yang sama dengan tujuan mensiasati nilai ambang batas maksimal sumbangan dari perusahaan yang maksimalnya Rp3 miliar. “Secara moral mereka (SBY-red) sudah cacat dengan menerima bantuan asing. Hal itu diperparah dengan pensiasatan laporan dana kampanye yang mereka lakukan. Jelas mereka salah,” tandasnya.

Menurut mantan tahanan politik (tapol) ini, kalau pasangan SBY-Boediono didiskualifikasi berarti pelaksanaan pilpres harus diulang secara nasional. Dia menilai, memang sudah sepantasnya pilpres diulang, karena pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan pilpres 2009 cukup banyak.

Sebagaimana diberitakan, pada Rabu (29/7), Bawaslu memangil dan memeriksa kubu SBY yang diwakili Marsekal Purn Djoko Suyanto selaku Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional pasangan SBY-Boediono. Dalam pemeriksaan itu, pihak SBY mengaku menerima aliran dana sebesar Rp3 miliar dari Bank Tabungan Pensiun Nasional (BTPN). Menurut Wirdyaningsih, anggota Bawaslu, BTPN merupakan bank asing yang 95% kepemilikan sahamnya dikuasai asing.

Bantah Melanggar
Sementara itu Tim kampanye pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang diwakili oleh Sekretaris Iskandar Mandji menyangkal tuduhan pelanggaran dalam penerimaan dana kampanye pemilu presiden dan wakil presiden 2009.

Tim kampanye nasional JK Wiranto mendatangi Bawaslu untuk memenuhi undangan lembaga pemantau pemilu, terkait klarifikasi dana kampanye Pilpres 2009. Mereka membantah adanya penyumbang dari pihak asing.

Sekretaris Timkamnas JK-Wiranto Iskandar Manji mengatakan, tidak ada penyumbang dana kampanye JK-Wiranto, baik perorangan maupun badan hukum yang mendonasikan dana melebihi batas yang telah ditentukan dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres.

“Dana kampanye kita yang paling kecil sekitar Rp83 miliar. Tidak ada (yang menyumbang melebihi batas). Apalagi dana asing,” kata Sekretaris Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto ini.

Ia juga membantah adanya penyumbang yang tidak jelas identitasnya. Ia mengatakan, jika penyumbang telah menyerahkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka yang bersangkutan dapat dipastikan memiliki kartu tanda penduduk. “Kalau ada NPWP berarti ada KTP-nya,” ujarnya.

Sebelumnya, Bawaslu menerima laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai dana kampanye pilpres. ICW melaporkan sejumlah dugaan pelanggaran di antaranya mengenai identitas penyumbang yang tidak jelas.

Terkait dengan dana kampanye pasangan JK-Wiranto, ICW mencatat sejumlah kejanggalan atau dugaan pelanggaran yakni adanya penyumbang yang tidak jelas identitasnya dan tidak menyertakan NPWP bagi penyumbang di atas Rp20 juta. Selain itu, ICW juga menemukan penyumbang beralamat sama, terindikasi dalam satu induk perusahaan, dan penyumbang yang mendonasikan dana melebihi batas sumbangan. O dir

Mendagri Bentuk Tim Kaji Sistem Pemilihan Gubernur

BERITA KOTA

Mendagri Bentuk Tim Kaji Sistem Pemilihan Gubernur


Selasa, 25 Agustus 2009 03:04

JAKARTA, BK

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto membentuk sebuah tim untuk mengkaji sistem pemilihan gubernur pada masa mendatang. Apakah pemilihan dilakukan secara langsung seperti sekarang ini oleh rakyat ataukah kembali oleh DPRD.

“Departemen Dalam Negeri sudah membentuk sebuah tim analisis terhadap UU No32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,” kata Mardiyanto di Jakarta, Senin (24/8).

Mardiyanto menyebutkan sistem pemilihan langsung maupun pemilihan oleh DPRD mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Apa pun sistem yang dipilih, maka ada dua prasyarat yang harus tetap dipegang teguh, yakni tetap sesuai dengan UUD 1945 serta demokratis.

Menurut dia, revisi UU 32/2004 tersebut akan dibahas dengan DPR masa bakti 2009-2014.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai kajian soal pemilihan gubernur di Indonesia bisa dipahami.

Hal itu mengingat tidak jelasnya fungsi dari gubernur dalam sistem tata negara. Pasalnya, program kerja dan pembangunan faktanya berada di tingkat II yaitu Kabupaten/Kota, sehingga kalau hal itu dilakukan tidak akan menimbulkan gejolak.

“Penghapusan pemilihan langsung untuk tingkat I bisa dilakukan dan saya kira itu cukup tepat,” tandas Ray kepada Berita Kota di Jakarta, kemarin.

Ray mengatakan, posisi gubernur dan wakilnya cukup dijabat oleh orang yang merupakan utusan dari pihak pemerintah pusat. Sebab, fungsi gubernur hanya sekadar sebagai koordinator.

Namun, Ray mengingatkan agar penghapusan itu tidak dilakukan untuk tingkat II. Sebab, kalau itu dilakukan ditingkat II, maka akan menimbulkan gejolak dan perlawanan.

“Penghapusan ditingkat I bisa dibenarkan tapi jangan ditingkat II,” paparnya. O dir

Dinilai Telah "Kehabisan Peluru"

SUARA KARYA

KOALISI PDIP
Dinilai Telah "Kehabisan Peluru"


Senin, 11 Mei 2009


JAKARTA (Suara Karya): Rencana PDIP berkoalisi dengan Partai Demokrat merupakan pertanda bahwa mereka telah "kehabisan peluru", di samping bosan berperan sebagai oposisi selama lima tahun terakhir.

Padahal rencana itu sendiri potensial merusak proses check and balances sehingga bisa berdampak mengganggu keseimbangan kekuasaan yang lazim dalam sistem demokrasi yang sehat.

Demikian rangkuman pendapat pengamat politik Charta Politika Bima Arya Sugiarto, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, pengamat politik Andrinof Chaniago, dan pengamat politik Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Herdi Sahrasad. Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, kemarin, terkait rencana koalisi PDIP-Demokrat.

PDIP sendiri tidak tegas-tagas mengakui soal rencana koalisi ini. Sementara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui PDIP-Demokrat sedang membangun komunikasi politik.

Menurut Ray, jika PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, maka mereka akan mengalami "mati suri". "Langkah ini juga akan menjerumuskan PDIP dalam Pemilu 2014," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu.

Ray berpandangan, PDIP seharusnya tidak seperti "kehabisan peluru" untuk bertempur dalam pilpres. Sebab, PDIP memiliki persyaratan maju ke pilpres karena memiliki 93 kursi di DPR (16,61 persen).

"Jadi, tinggal menambah dukungan sedikit lagi, sebagaimana Partai Golkar dan Hanura, PDIP bisa mengajukan sendiri pasangan capres-cawapres," kata Ray.

Dia juga menyebutkan, pemilih PDIP pada pemilu lalu tentu berharap partai "moncong putih" mengusung capres sendiri pada Pilpres 2009. Karena itu, mereka niscaya kecewa jika akhirnya PDIP ternyata bergabung dengan Demokrat. "Berarti PDIP mengkhianati pemilih dan membelokkan janji-janji kampanye mereka," kata Ray.

Karena itu, tutur Ray, sebaiknya PDIP tetap mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri, terlepas apakah tokoh yang diajukan itu Megawati atau tokoh lain. Dia menilai, koalisi PDIP dan Demokrat akan menguntungkan pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto. Sebab, suara pemilih yang kecewa terhadap langkah PDIP berkoalisi dengan Demokrat kemungkinan mengalir ke pasangan JK-Wiranto.

Menurut Ray, koalisi PDIP-Demokrat juga bisa membuat orang tidak percaya lagi kepada PDIP setelah selama ini PDIP begitu lantang menyatakan kontra terhadap berbagai kebijakan SBY. "Koalisi PDIP-Demokrat juga tanpa sadar bisa menjatuhkan klan elite politik yang dibangun PDIP, karena setiap elite politik terbangun di atas basis klan mereka," ujarnya.

Ray menyebutkan, orang memilih PDIP karena menginginkan perubahan dengan tidak memilih SBY di pilpres. Sementara jika PDIP berkoalisi dengan Demokrat, maka harapan tentang perubahan itu menjadi terkubur.

Pendapat senada dikemukakan Herdi Sahrasad. Dia mengatakan, jika Megawati dan PDIP merapat ke Demokrat, itu menjadi "tragedi politik". "Tidak akan ada lagi kekuatan oposisi dalam arena politik Indonesia setelah pilpres nanti," katanya.

Menurut Herdi, sebaiknya PDIP mengusung capres-cawapres sendiri berhadapan dengan pasangan yang diajukan Demokrat. Mengingat peluang Megawati sendiri untuk menang tidak terlalu besar, katanya, PDIP dapat mengusung tokoh lain -- semisal Prabowo Subianto berduet dengan Rizal Ramli -- maju ke arena pilpres. "Mega sebaiknya mengambil posisi sebagai Ibu Bangsa sekaligus Ibu Perubahan," katanya.

Sementara Bima Arya menilai, komunikasi politik yang antara PDIP dan Demokrat belakangan bisa berdampak menghilangkan tradisi oposisi. "PDIP selama ini adalah partai oposisi. Mereka juga telah membangun komunikasi politik dengan partai lain yang selama ini berseberangan dengan Demokrat," katanya.

Menurut Bima, komunikasi poolitik antara PDIP dan Demokrat membuat peta politik jadi berubah. Partai-partai lain yang telah melakukan komunikasi dengan Partai Demokrat kemungkinan menarik komitmen dukungan masing-masing.

Bima memprediksi, komunikasi politik yang dilakukan PDIP belakangan ini hanya untuk menaikkan nilai tawar dalam berhadapan dengan partai lain yang telah menjalin komunikasi politik dengan mereka. Selama ini PDIP telah melakukan komunikasi politik dengan Partai Gerindra, bahkan membangun koalisi besar yang melibatkan Partai Golkar serta Partai Hanura.

Di lain pihak, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Hadi Utomo membantah isu yang menyebutkan terjadinya pertemuan SBY dengan para tokoh PDIP seperti Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) Taufiq Kiemas, Puan Maharani, serta Tjahjo Kumolo.

Tetapi SBY sendiri dalam acara syukuran kemengan Partai Demokrat, semalam, mengakui bahwa PDIP-Demokrat sedang melakukan komunikasi politik dalam rangka pilpres.

Partai Demokrat baru mendapatkan tambahan dukungan dari PPP. Dalam rapat konsultasi antara DPP dan DPW, Ketua Umum DPP PPP mengumumkan partainya mencalonkan SBY dalam Pilpres 2009.

Partai Demokrat baru akan mendeklarasikan pasangan capres dan cawapresnya pada 15 Mei 2009 di Bandung, Jawa Barat.

Sementara itu, dukungan terhadap Agung Laksono untuk menjadi cawapres pendamping SBY terus bergulir. Salah satunya dari Board of Analyst for President (BoAP).

Seperti diungkapkan Ketua Umum BoAP Soediyanto, sosok Agung sangat layak dilamar SBY. "Agung punya loyalitas yang tidak perlu diragukan. Saya jamin Agung lebih dari tokoh lain yang namanya disebut-sebut cocok mendampingi SBY," ujarnya.

Menurut Soediyanto, selama menjadi Ketua DPR, Agung sudah menunjukkan komitmen mendukung pemerintah. Demikian pula ketika reformasi bergulir, Agung termasuk salah satu deklaratornya. (Rully/Feber S/Tri Handayani/Antara/Yudhiarma)

Hilangnya Kekuatan Oposisi

BERITA KOTA


Hilangnya Kekuatan Oposisi


Senin, 11 Mei 2009 00:58

PDIP Merapat Ke PD

Langkah PDIP merapat ke PD dinilai cukup realistis. Di sisi lain, SBY mengakui peluang terjadinya koalisi antara PD dengan PDIP sangat terbuka.

SIKAP PDIP yang membuka komunikasi politik dengan Partai Demokrat dicermati kalangan analis politik. Jika pada akhirnya PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, partai itu dinilai akan mengalami mati suri. “Langkah ini juga akan menjerumuskan PDIP pada Pemilu 2014,” kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti dalam diskusi Forum Inteligensia Bebas bertajuk “Menakar Kontestasi SBY-Hatta, Prabowo – Rizal dan JK-Wiranto di Jakarta, Minggu (10/5).

Menurut dia, pemilih PDIP pada pemilu lalu tentu berharap partai berlambang banteng moncong putih itu bakal mengusung calon presiden sendiri pada Pilpres 2009. Mereka pasti kecewa jika akhirnya PDIP justru bergabung dengan Demokrat. “Dengan bergabung bersama Demokrat, berarti PDIP mengkhianati pemilih dan membelokkan janji-janji kampanye mereka,” kata Ray. Karena itu, lanjutnya, sebaiknya PDIP tetap mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri, terlepas apakah tokoh yang diajukan itu Megawati atau tokoh lain. Pendapat senada dikemukakan pengamat politik dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Herdi Sahrasad. Menurut dia, jika Megawati dan PDIP merapat ke Demokrat maka akan terjadi “tragedi politik”. Tidak akan ada lagi kekuatan oposisi dalam arena politik Indonesia setelah pilpres nanti. Herdi menambahkan, sebaiknya Blok Teuku Umar mengusung capres-cawapres sendiri berhadapan dengan pasangan yang diajukan Demokrat. Mengingat peluang Megawati untuk menang tidak terlalu besar, kata Herdi, PDIP dapat mendorong tokoh lain, misalnya Prabowo Subianto-Rizal Ramli untuk maju. ’Mega sebaiknya mengambil posisi sebagai ‘Ibu Bangsa’ sekaligus ‘Ibu Perubahan’,” katanya.

Menurut dia, pasangan Prabowo-Rizal Ramli akan menjadi pesaing serius bagi Susilo Bambang Yudhoyono dan pasangannya. “Meminjam metafora Indonesianis Prof Jeffrey Winters, Prabowo-Rizal Ramli adalah simbol perubahan, ekonomi kerakyatan, dan harapan baru,” katanya. Pandangan berbeda dikemukakan peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi. Menurut dia, langkah PDIP merapat ke Demokrat justru realistis. Menurut Burhanuddin, ada beberapa pertimbangan yang memungkinkan PDIP merapat ke Demokrat. Pertama, elektabilitas SBY lebih tinggi dari Megawati.

Kedua, PDIP bisa memeroleh insentif menguntungkan, misalnya mendapat jatah sejumlah kursi menteri di kabinet. Ketiga, membuktikan kepada Partai Golkar bahwa PDIP bisa berkoalisi dengan siapapun.

Burhanuddin menilai, deklarasi Jusuf Kalla-Wiranto jelas melukai PDIP karena mengunci posisi PDIP dan Gerindra. Pada 2004, PDIP juga sakit hati karena Golkar, yang bersama PDIP membentuk Koalisi Kebangsaan, justru meninggalkan PDIP menjadi oposisi sendirian.

Menurut Burhanuddin, PDIP mungkin mengajukan capres sendiri jika Gerindra mau menurunkan target. Namun, jika Gerindra tetap memaksakan Prabowo sebagai capres, bukan tidak mungkin PDIP benar-benar merapat ke kubu Demokrat. Di tempat terpisah, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan peluang terjadinya koalisi antara Partai Demokrat dan PDIP sangat terbuka dalam pemerintahan dan di parlemen ke depan.

“Saya rasakan komunikasi berjalan (dengan PDIP). Ada jalan yang cukup terbuka untuk kemungkinan bisa bersama-sama dalam upaya lanjutkan pembangunan bangsa,” kata SBY dalam pidato sukuran di kediaman pribadi Puri Cikeas, Bogor, kemarin malam.

Menurut dia, komunikasi politik terus dilakukan dan dimatangkan Demokrat dengan pengurus PDIP dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk mewujudkan rekonsiliasi antara kedua partai itu.

Sementara itu, Sekjen DPP PDIP Pramono Anung juga mengakui telah ada pertemuan antara tim 6 PDIP dengan Tim 9 Demokrat yang diduga kuat membicarakan kesepakatan koalisi di antara kedua partai itu. O ant/rap/day

Besok, Kedutaan Besar Malaysia Akan Didemo

TEMPO INTERAKTIF


Besok, Kedutaan Besar Malaysia Akan Didemo


Senin, 31 Agustus 2009 | 17:49 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta akan didemo esok hari.

"Besok, kami akan menduduki Kedutaan Malaysia dan meminta duta besarnya pulang," ujar Eggy Sujana, Ketua Dewan Syuro Persatuan Pekerja Muslim Indonesia di Jalan Diponegoro No.58 Jakarta, Senin (31/8)

Seharusnya, kata Eggy, hari ini adalah hari yang tepat untuk berunjuk rasa ke kedutaan karena bersamaan dengan hari kemerdekaan Malaysia. Tapi pihaknya perlu koordinasi untuk berunjuk rasa agar tidak disusupi massa yang tidak jelas. Pihaknya menyatakan siap mengambil alih kedutaan Malaysia.

Pernyataan dan sikap Malaysia selama ini, Eggy menambahkan, bergantung dengan kualitas bangsa Indonesia. "Malaysia menjadi berani, karena kualitas Indonesia menurun, terutama pemerintahnya," ia mengeluhkan.

Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Permadi menyayangkan sikap pemerintag yang terkesan pragmatis dan sektoral terhadap klaim dan tindakan pemerintah Malaysia. "Pemerintah bereaksi kalau ada yang direbut,"jelasnya.

Padahal sikap Malaysia terhadap Indonesia sudah jelas menghina kedaulatan dan kewibawaan. Terlihat dari pencurian seni budaya, klaim patok perbatasan, masalah tenaga kerja hingga pulau ambalat.

Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, memprediksi Malaysia nantinya dalam 3-4 tahun mendatang justru akan mengalami kebangkrutan. "Oposisi mencuat, sentimen etnis menguat, itu ciri hancurnya sebuah negara," jelasnya.

Maka pemerintah Indonesia harus segera mengambil momentum ini dengan menunjukkan kekuatan dan kewibawaan pemerintahannya terhadap negara lain. " Presiden jangan hanya bergerak jika kepentingan pribadinya diganggu," ucapnya.

DIANING SARI

Kamis, 27 Agustus 2009

Pidanakan Seluruh Anggota KPU

MEDIA INDONESIA

Ray Rangkuti:
Pidanakan Seluruh Anggota KPU


Jumat, 31 Juli 2009 05:11 WIB


Penulis : Emir Chairullah



JAKARTA-MI: Komisi Pemilihan Umum dinilai sebagai sumber kekisruhan sistem politik di Indonesia. Karena itu, hanya dua hal bisa dikerjakan terhadap Komisi Pemilihan Umum. Yaitu anggotanya mundur secara sukarela atau dipaksa mundur oleh masyarakat.

Demikian Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti di Jakarta, Kamis (30/7).

"Mereka tidak layak menyelenggarakan Pemilu, baik legislatif maupun presiden," katanya.

Ia menyebutkan, setelah memundurkan seluruh anggota KPU, aparat kepolisian maupun kejaksaan harus segera menuntut mereka secara pidana. Pasalnya, sejumlah fakta membuktikan bahwa anggota KPU telah melanggar UU.

"Dari masalah DPT yang tidak beres, tidak independen, dan surat suara yang tertukar merupakan langkah awal untuk memenjarakan mereka," ujarnya.

Namun hal itu butuh kemauan politik dan hukum dari pemerintah dan Bawaslu. "Sebab kalau tidak, mereka tenang-tenang saja," ungkapnya. (Che/OL-7)

Kader muda profesional parpol layak diakomodasi.

REPUBLIKA

Selasa, 25 Agustus 2009 pukul 01:11:00


SBY Mulai Rumuskan Kabinet
Kader muda profesional parpol layak diakomodasi.


JAKARTA -- Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menugasi wakil presiden terpilih Boediono untuk menyusun rencana aksi dan kerangka kerja lima tahun ke depan. Bersamaan dengan itu, struktur kabinet mulai dirumuskan.

''Secara berkala, presiden dan Pak Boediono bertemu. Walaupun tidak harus hari apa, mereka membahas rencana aksi. Pak SBY menugaskan Pak Boediono untuk menyusun rencana aksi dan kerangka kerja ke depan dan melaporkannya ke presiden terpilih,'' kata Ketua DPP Partai Demokrat, Andi A Mallarangeng, Senin (24/8).

Menurutnya, kerangka aksi dan agenda kerja sedang disiapkan terus. Contohnya, pada Ahad kemarin, Boediono dan SBY di Cikeas membahasnya selama empat jam. ''Itu pun belum selesai. Mungkin nanti akan dilakukan terus.''

Dikatakannya, dalam satu-dua bulan ini, SBY-Boediono memfokuskan penyusunan pada kedua hal itu, termasuk program 100 hari pertama. Bersamaan dengan itu, kata Andi, struktur kabinet juga dibahas, termasuk orang-orang yang tepat sesuai kriteria yang tepat. Jadi, saat pelantikan presiden pada 20 Oktober 2009, para menteri pun sudah siap dilantik dan di hari itu siap bertugas.

''Beliau (SBY) ingin kabinet itu nanti mulai siap bekerja pada saat mereka dilantik. Jadi, berbagai langkah penyiapan, baik agenda aksi, rencana aksi, maupun struktur kabinet dan orang-orangnya itu disiapkan dalam masa dua bulan ini. Waktunya cuma beliau yang tahu.''Ketika ditanyakan soal nama kementerian akan berubah atau tidak, Andi belum mengetahuinya. Demikian juga soal pemanggilan calon-calon pengisi kabinet lima tahun mendatang. ''Belum. (Soal seleksi nama) saya belum tahu. Sedang disusun.''

Kalangan muda
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, melihat perlunya kalangan muda profesional di parpol yang diberi tempat di kabinet. Kalangan muda profesional diyakininya akan bisa berpikir dengan dilandasi gagasan reformasi. ''Mereka juga punya keberanian untuk mengeksekusi kebijakan,'' kata Ray, Senin (24/8).

Diungkapkannya, parpol pendukung SBY cukup memiliki kader muda profesional. Kata Ray, Partai Demokrat (PD) memiliki Anas Urbaningrum, PKS punya Zulkifliemansyah, PAN ada Zulkifli Hasan, dan PKB punya Muhaimin Iskandar. ''Mereka figur yang layak dipertimbangkan di kabinet.''Menurut Ray, dengan pengalaman di KPU, Anas bisa ditempatkan sebagai menteri dalam negeri (mendagri). Bisa pula ditempatkan sebagai menteri pemuda dan olahraga.

Sementara itu, Zulkifliemansyah bisa ditempatkan sebagai menristek. Kata Ray, sejauh ini belum ada menristek yang benar-benar menguasai bidangnya. ''Zulkifliemansyah punya keahlian itu. Setahu saya, dia dulu pernah jadi peneliti muda terbaik Indonesia yang diselenggarakan LIPI,'' ungkap dia.Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, mengatakan, kompetensi dan integritas adalah syarat mendasar bagi setiap menteri di kabinet mendatang. Dukungan politik hanyalah syarat nomor empat setelah kemampuan komunikasi.

''Dukungan politik itu bukan nomor satu, tapi nomor empat,'' tegas Qodari. Syarat pertama adalah kompetensi pada bidang yang dipercayakan, punya integritas, serta kemampuan komunikasi, baik ke kalangan internal maupun eksternal. Dijelaskan Qodari, menjalankan kebijakan publik yang bagus tidak hanya tergantung pada kualitas programnya. Tapi, juga kemampuan mengomunikasikannya untuk mendapat dukungan dari stakeholder.''Kalau kompeten, berintegritas, punya kemampuan komunikasi, lalu mendapat dukungan politik, itu baru bagus,'' tegas dia. wed/ann
(-)
Index Koran

KPU Kembali Perlihatkan, Sikap Tak Profesional




SUARA KARYA

PENETAPAN CALEG MOLOR

KPU Kembali Perlihatkan, Sikap Tak Profesional



Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima).


Kamis, 27 Agustus 2009


JAKARTA (Suara Karya): Kualitas kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai semakin memprihatinkan akibat penundaan pengumuman penetapan calon anggota DPR terpilih.

Menurut Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, keputusan tersebut semakin menyiratkan tidak ada gunanya mempertahankan pejabat KPU yang sekarang ini.

"Makin hari pemilu kita makin ngawur karena dipegang orang-orang yang bukan ahlinya. Adanya kelambanan KPU mengumumkan penetapan penghitungan kursi tahap ketiga ini semakin memperlihatkan ketidakbecusan kinerja KPU," ujarnya di Jakarta, Rabu (26/8).

Dia menilai, alasan KPU yang terlebih dahulu menunggu putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menetapkan anggota DPR terpilih dianggap mengada-ada.

"Kalau hasilnya sudah ditetapkan, mengapa tidak diumumkan ke publik. Bukankah jika sudah ditetapkan, maka tidak mungkin ada persoalan lagi. Lalu, untuk apa lagi ketetapan KPU itu dikonsultasikan ke MK," katanya.

Menurut Ray, kondisi tersebut secara tidak langsung semakin memperkuat munculnya kemungkinan pengubahan keputusan kembali.

Dia menambahkan, putusan MK mengenai penghitungan suara tahap ketiga anggota DPR terpilih sudah sangat jelas sehingga tidak perlu dilakukan konsultasi lagi.

"Bagaimana mungkin keputusan MK yang amat terang-benderang itu merepotkan mereka untuk mengeksekusinya. Sangat tidak mungkin KPU kesulitan memahami teks putusan MK," katanya.

Ray menilai, sikap KPU itu seolah-olah menyudutkan MK sebagai lembaga yang tidak mampu membuat keputusan hukum yang pasti.

Bahkan, dia menambahkan, konsultasi yang dilakukan KPU berulang-ulang terhadap putusan MK menimbulkan kesan bahwa MK merupakan lembaga yang selalu mengeluarkan putusan multitafsir atau membingungkan.

Seperti diketahui, berdasarkan hasil rapat pleno yang dilakukan Senin (24/8) lalu KPU memutuskan untuk menunda mengumumkan penetapan kursi bagi anggota DPR terpilih karena masih menunggu putusan sela MK yang final dan mengikat terhadap hasil pemungutan dan penghitungan suara ulang di sejumlah daerah.

Bertindak Tegas

Dalam hal ini, Ray menilai, sebaiknya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat bertindak lebih tegas dalam menindak sikap KPU yang selalu menunda-nunda keputusannya.

"Bawaslu mestinya dapat bergerak cepat untuk mencari tahu ada apa di belakang molornya penetapan tersebut. Sebab, itulah hakikatnya tugas dan kerja Bawaslu. Bukannya datang karena diundang KPU untuk bersama-sama mendiskusikan tata cara alokasi kursi," katanya.

Sementara itu, KPU menjanjikan untuk mengumumkan penetapan caleg terpilih pada pekan depan. Anggota KPU Andi Nurpati menjelaskan, penghitungan suara tahap ketiga anggota DPR terpilih sebenarnya sudah selesai pada Jumat (21/8) lalu.

Namun, pihaknya perlu berkonsultasi dengan Bawaslu sebelum menetapkan dan menyampaikannya ke publik. "Kami sudah cek dengan Bawaslu pada 24 Agustus. Namun pengumuman kami tunda sehubungan keputusan sela MK di beberapa tempat, seperti Nias Selatan," ujarnya.

Dia mengatakan, KPU menunggu pengumuman bersamaan dengan keputusan MK di provinsi-provinsi tersebut sehingga tidak perlu dilakukan penerbitan surat keputusan (SK) berulang kali. (Tri Handayani/Rully)

Pemilu 2014,Harus Lebih Sempurna

SUARA KARYA


PEMBELAJARAN DEMOKRASI

Pemilu 2014,Harus Lebih Sempurna



Sabtu, 25 Juli 2009


JAKARTA (Suara Karya): Pemilihan umum (pemilu) yang sudah digelar Komis Pemilihan Umum (KPU) dinilai bisa menjadi tolok ukur bagi bangsa ini untuk lebih menyempurnakan sistem pesta demokrasi pada tahun 2014.

Karena itu, berbagai kelemahan pelaksanaan pemilu baik pileg maupun pilpres harus diperbaiki, baik dari masalah daftar pemilih tetap (DPT), logistik, maupun sosialisasi.

Demikian disampaikan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo dan anggota DPD M Nasir, dalam dialog bertema Menjelang Penetapan Hasil Pilpres oleh KPU, di Gedung DPD/MPR Jakarta, Jumat (24/7). "Saya memberikan nilai di bawah lima untuk kinerja KPU. Di bawah lima, ya 1, 2, 3, atau 4, itu sudah tidak naik kelas," ujar Ray.

Sependapat dengan Ray, anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo juga memberikan nilai KPU dengan predikat "tinggal kelas". "Kalau saya lebih moderate di atas Ray. Ray di bawah lima, saya lima saja," tandas Bambang yang turut menyatakan nilai tersebut mengakibatkan KPU tidak "naik kelas".

Bambang mencatat, setidaknya terdapat 3 permasalahan utama yang mengakibatkan KPU mendapatkan nilai merah. Permasalahan tersebut yaitu ketidakterbukaan KPU terkait DPT, kerja sama KPU dengan IFES dan Telkomsel, serta adanya 2 saksi pasangan calon yang tidak berkenan menandatangani hasil rekapitulasi pilpres.

"Untuk yang ketiga yang juga serius, protes-protes banyak terakumulasi dalam rekapitulasi kemarein dan 2 pasangan calon nggak tanda tangan. Walau secara hukum nggak ada yang dilanggar, secara prinsip legitimasi hasil yang jadi persoalan," ujar Bambang.

Sementara itu, anggota DPD M Nasir, memberikan nilai 6 untuk kinerja KPU dalam pilpres ini. "Kalau saya menilai pemilu legislatif itu merah, kalau pilpres mungkin enam. Titik penilaiannya itu dari penyelenggaranya sendiri," kata Nasir.

Hasil Pilpres

Yang pasti, tutur Ray Rangkuti, KPU tidak perlu tergesa-gesa menetapkan hasil pilpres. Hal ini disebabkan masih banyaknya permasalahan dalam pilpres yang mengakibatkan ketidakpuasan beberapa pasangan calon. "Jadi, tidak usah buru-buru memaksakan penetapan pilpres. Lebih baik jelaskan dulu argumentasinya," ujar Ray Rangkuti.

Menyinggung jalannya pilpres yang telah berlangsung, Ray mencatat setidaknya terdapat 9 hal yang menyebabkan pilpres berjalan penuh ketidakjelasan. "Antara lain KPU diragukan netralitasnya, jumlah pemilih nggak jelas, otoritas pemerintah dan tim sukses dalam memobilisasi dana untuk iklan dan lain-lain," tutur Ray Rangkuti. (Rully)

Pastikan Penetapan Tidak Buru-buru

KOMPAS


HASIL PEMILU


Pastikan Penetapan Tidak Buru-buru


Senin, 24 Agustus 2009 | 03:07 WIB


Jakarta, Kompas - Telanjur molor dari jadwal awal, Komisi Pemilihan Umum sebaiknya jangan terburu-buru menetapkan perolehan kursi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat tahap III berikut calon terpilihnya. Penetapan bisa dilakukan seusai sejumlah daerah menuntaskan pemungutan suara ulang atau penghitungan suara ulang.

Waktu yang ada sebaiknya digunakan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memikirkan secara benar formulasi penghitungan perolehan kursi tahap III, lalu menyosialisasikannya ke publik agar semua paham.

Pandangan itu disampaikan Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow, Minggu (23/8) di Jakarta. Dengan cara itu, jika memang muncul keberatan, semuanya bisa didiskusikan kembali.

Biasanya KPU sering keliru saat melakukan semuanya terburu-buru karena tekanan dari luar KPU. ”Kalau KPU keliru, bisa diperbaiki sebelum ada penetapan hasil. Jadi, semua punya pegangan yang sama,” sebut Jeirry.

Seperti diberitakan, Jumat lalu KPU batal mengumumkan anggota DPR terpilih. Pengumuman itu dijanjikan akan dilakukan pada Senin ini.

Secara terpisah, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti justru menyebutkan, rapat KPU pada Jumat lalu mestinya tak berlarut-larut. Terlebih rapat itu melibatkan pula Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu.

Perbedaan pendapat di antara anggota KPU semestinya tak perlu lagi terjadi. Putusan MK amat terang. ”Apa yang membuat Ketua KPU tak dapat menahan anggota KPU tetap pada tempatnya sehingga mereka bisa memutuskan segera hasilnya? Tiga hari sebelum pengumuman itu cukup panjang,” kata Ray.

Jeirry menilai, selain karena kapasitas yang terbatas, sikap KPU juga didasari terlalu banyaknya kepentingan yang mau diakomodasi sehingga menimbulkan kebingungan. Terlebih, setiap anggota KPU membawa kepentingan yang berbeda dari orang yang sedang mereka perjuangkan. Padahal, dalam hal perolehan kursi, amat tak mungkin ada kompromi. ”Anggota KPU tak satu pendapat, ada perbedaan yang tajam sehingga rapat pleno tidak bisa ambil keputusan final,” sebut Jeirry.

Menurut Ray, sikap KPU menunjukkan tidak ada perubahan atas penilaian buruk MK terhadap kinerja mereka. Kondisi ini mestinya menjadi bahan tambahan alasan bagi Komisi II DPR untuk segera merekomendasikan pencopotan anggota KPU kepada Presiden.

Terkait dengan kinerja KPU itu, Jeirry menilai, mereka lebih banyak memproduksi masalah ketimbang memberikan solusi bagi Pemilu 2009. Keruwetan itu terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Karena itu, tepatlah penilaian MK bahwa KPU tidak profesional dan kompeten serta rawan diintervensi pihak lain sehingga diragukan independensinya. Sudah sepantasnya KPU yang sekarang mundur atau diganti agar tak membuat masalah lagi. (dik/son)

Susilo didesak minta maaf

UTUSAN MALAYSIA

ARKIB : 23/07/2009


Susilo didesak minta maaf



JAKARTA 22 Julai - Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono didesak agar memohon maaf kerana mengaitkan insiden pengeboman hotel Jumaat lalu dengan rungutan terhadap pilihan raya Presiden (Pilpres).

Semalam, Masyarakat Pengawal Demokrasi yang merupakan campuran dari pelbagai pertubuhan dan individu yang mahu siasatan dilakukan terhadap penyelewengan dalam pilihan raya, menuduh Susilo menyalahkan orang yang mengadu mengenai Pilpres sebagai pencetus kekacauan politik.

Kumpulan itu menuntut permohonan maaf tersebut semasa menyerahkan penemuan perkara meragukan dalam Pilpres kepada Badan Pengawas Pilihan Raya (Bawaslu) di Jakarta Tengah, semalam.

Dalam ucapannya tidak lama selepas serangan bom Jumaat lalu, Susilo mengaitkan serangan pengganas itu dengan usaha mensabotaj pemilihan semula beliau sebagai Presiden.

"Indonesia cuba dijadikan seperti Iran dan akhirnya Susilo tidak akan dibenarkan untuk mengangkat sumpah," katanya.

Dalam konteks ini, seorang anggota Masyarakat Pengawal Demokrasi, Ray Rangkuti berkata, Presiden menujukan kenyataannya itu kepada mereka yang menyiasat pelanggaran undang-undang pilihan raya dan menegaskan beliau tidak mempunyai bukti kuat serta perlu meminta maaf.

Seorang lagi anggota kumpulan itu, Dani Setiawan berkata, kenyataan Susilo itu adalah satu bentuk keganasan kepada mereka yang berjuang untuk mendedahkan pelanggaran pilihan raya. - AGENSI

n mendakwa, Susilo cuba menggunakan strategi rejim Orde Baru yang pernah digunakan bekas Presiden Suharto apabila menyifatkan hak demokrasi untuk meminta diadakan penyiasatan sebagai 'kekacauan politik'.

Pengerusi Bawaslu, Nur Hidayat Sardini bersetuju usaha kumpulan itu adalah penting untuk menegakkan prinsip keadilan.

"Bawaslu sendiri turut berdepan cabaran semasa siasatan pilihan raya.

"Banyak pihak tidak menghargai usaha kami. Mereka mengatakan pendedahan kes pelanggaran mungkin mengancam kestabilan," katanya lagi.

Masyarakat Pengawal Demokrasi turut menuduh Susilo sebagai cuba mencetuskan kebimbangan dengan menyatakan diri beliau sebagai sasaran beberapa jam selepas insiden dan mengaitkannya dengan pilihan raya. - AGENSI

KPU dinilai hina pengadilan

BISNIS INDONESIA

Jumat, 22/05/2009


CONTRENG SAJA


KPU dinilai hina pengadilan



JAKARTA: Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai telah menghina pengadilan karena beberapa kali tidak menghadiri persidangan di Mahkamah Konstitusi terkait dengan gugatan hasil pemilu legislatif.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ahmad Fauzi Ray Rangkuti mengatakan ketidakhadiran KPU telah menambah catatan buruk dalam penyelenggaraan pemilu tahun ini.

Lembaga itu, menurutnya, tak hanya buruk menyelenggarakan pemilu, tetapi juga melecehkan pengadilan.

"Ini adalah pengabaian terhadap pengadilan. Tentu ini akan menjadi pertanyaan besar," ujar Ray kepada Bisnis, Rabu lalu.

MK telah menggelar hari ketiga perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dengan menerima sekitar 70 lebih perkara. Namun, KPU tidak menghadiri persidangan hingga persidangan memasuki hari ketiga, dimulai sejak Senin pekan ini.

Dengan demikian, Ray menilai, KPU tidak bisa memiliki argumentasi yang kuat mengenai perhitungan suara hasil pemilu legislatif lalu. (Bisnis/asa)

Senin, 17 Agustus 2009

Audiensi Bawaslu





SINAR HARAPAN


Rabu 22. of Juli 2009 13:28

AUDIENSI BAWASLU

SH/Septiawan
Juru Bicara Masyarakat Pengawal Demokrasi Ray Rangkuti (kedua dari kiri) didampingi pengamat politik Chalid Muhammad (kiri), Yudi Latief (kedua dari kanan), dan Franky Sahilatua (kanan) beraudiensi dengan Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini (tengah) dan anggota Bawaslu Wahidah Suaib seusai menyerahkan dokumen pernyataan sikap di Kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (21/7).

Pemilihan Ketua Kelas Lebih Bagus dari Pemilu 2009

REPUBLIKA.Co.ID


Pemilihan Ketua Kelas Lebih Bagus dari Pemilu 2009


By Republika Newsroom


Kamis, 30 Juli 2009 pukul 18:41:00



JAKARTA -- Begitu buruknya kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009, sampai-sampai pemilihan ketua kelas dan kepala desa pun dinilai masih lebih baik. Upaya hukum sengketa hasil Pemilu Presiden pun tidak bisa dituding sebagai upaya pihak yang tak siap menerima kekalahan.

''Kalau Habibie di akhir masa jabatannya meninggalkan pemilu paling demokratis, Megawati meninggalkan pemilu paling damai, maka Presiden sekarang melanjutkan pemilu paling kacau,'' ujar Direktur Nasional Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, Kamis (30/7) petang. Pemilihan kepala desa, kata dia, masih lebih bagus dibandingkan penyelenggaraan Pemilu 2009.

Bahkan pemilihan ketua kelas di zaman sekolah dasar, sebut Ray, masih lebih bagus. Indikatornya, di pemilihan ketua kelas dan kepala desa itu dilakukan setelah dipastikan terlebih dahulu siapa pemilihnya. ''Pemilihnya dipastikan dulu jumlahnya, baru dilakukan pemilihan. Pemilu 2009 ini, DPT-nya bermasalah, dipaksakan pemilu,'' ujar dia.

Menurut Ray, upaya hukum yang ditempuh dua pasangan kandidat di Pemilu Presiden 2009, bukanlah langkah dari pihak yang tak siap menerima kekalahan. Dengan menekankan dirinya bukan pendukung Megawati, menurut dia jika tudingan itu benar maka Megawati akan melakukannya pada 2004.

''Kalau memang tak siap menerima kekalahan, Megawati akan melakukan upaya hukum itu pada 2004 ketika masih memegang kekuasaan. Bukan di 2009 yang sudah tak punya apa-apa,'' tegas Ray. Pada Pemilu 2004, Megawati Soekarnoputri juga berlaga sebagai salah satu capres dan kalah.

Tudingan itu, tegas Ray, memperlihatkan praktek politik yang sama sekali tidak sehat. Termasuk jika ada yang mempersoalkan upaya hukum ini dan banyaknya kecaman terhadap kualitas pemilu dikaitkan dengan akal sehat. ''Justru karena kita punya akal sehat, kita mempermasalahkan pemilu yang tak masuk akal ini,'' kata dia.

Praktisi demokrasi, Fadjroel Rahman, mengatakan buruknya kualitas pemilu ini seharusnya bukan hanya dipermasalahkan oleh kubu Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. Ada tidaknya kerugian dalam Pemilu Presiden 2009 pun seharusnya juga dipermasalahkan oleh kubu SBY-Boediono.''Karena kalau DPT (daftar pemilih tetap,red) dan pemilu bermasalah, yang dirugikan adalah rakyat Indonesia, demokrasi, dan hak-hak konstitusional kita,'' tegas dia. ann/kpo

Indonesia Merdeka: 80 Persen Sumber Daya Alam Dikuasai Asing

RAKYAT MERDEKA.CO.ID


Indonesia Merdeka: 80 Persen Sumber Daya Alam Dikuasai Asing


Senin, 17 Agustus 2009, 14:38:18 WIB

Laporan: Aldi Gultom



Jakarta, RMOL. Peringatan 17 Agustus harus selalu berulang menjadi momen yang mengajak anak muda untuk merefleksikan kembali komitmen kemandirian bangsa.

"Bebaskan bangsa ini dari dominasi asing. Lepaskan pengelolaan asing dari sumber daya alam kita. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu caranya harus bangsa itu sendiri yang memegang kekayaan alamnya," kata pengamat politik, Ray Rangkuti, pada Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Senin, 17/8).

Ray menekankan, ideologi kemandirian harus diimani dan menjadi modal kaum muda yang lima tahun mendatang akan mengambil alih kemudi republik serta mematerialkan pemikirannya bagi bangsa.

“Saat ini 80 persen sumber daya alam dikuasai asing ini lebih hebat dari jaman Orde Baru. Makanya, harus generasi muda yang mewujudkan kemerdekaan itu sendiri. Saat ini mereka melewati padang ilalang, lima tahun lagi mereka yang memerdekakan bangsa,” urai mantan aktivis era 1998 ini. [ald]

Sikap KPU atas Putusan MA Keliru

REPUBLIKA.CO.ID



Sikap KPU atas Putusan MA Keliru


By Republika Newsroom


Rabu, 05 Agustus 2009 pukul 18:44:00



JAKARTA -- Perdebatan tentang sikap KPU mengenai putusan Mahkamah Agung masih berkepanjangan. Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti, mengatakan, sikap KPU yang menyatakan putusan MA tentang penghitungan kursi tahap kedua tidak berlaku surut itu keliru.

Dalam putusan itu tersirat berlaku surut. "Atas dasar apa sih KPU menyatakan putusan MA itu tidak berlaku surut," kata Ray, Rabu (5/8).

Dia mengatakan, putusan MA yang menyebut KPU harus menunda pelaksanaan Keputusan No 259/2009 menunjukkan bahwa putusan MA itu berlaku surut. Artinya, KPU juga harus merevisi Peraturan No 15/2009 tentang penghitungan kursi.

Jika KPU tidak melaksanakan putusan MA, kata Ray, maka anggota DPR terpilih tidak memiliki dasar hukum yang kuat. "Tidak tepat jika KPU tidak segera melaksanakan putusan MA ini," kata Ray.

Jika ada pergeseran kursi akibat pencabutan peraturan KPU, itu merupakan implikasi hukum yang harus diterima. "Pasti ada implikasi hukum atas pencabutan peraturan KPU itu," kata Ray.

Dia mengajak semua pihak untuk menerima implikasi hukum tersebut agar tidak ada perdebatan lagi mengenai hal ini. Ray menambahkan, KPU juga tidak perlu ragu untuk mengubah Peraturan No 15/2009 saat ini juga, tidak perlu menunggo 90 hari ke depan. ikh/ism

Tiga Hal Perlu Dilakukan Pasca Putusan MK

RAKYAT MERDEKA.CO.ID


Tiga Hal Perlu Dilakukan Pasca Putusan MK


Kamis, 13 Agustus 2009, 13:14:45 WIB


Laporan: Widya Victoria

Jakarta, RMOL. Ada tiga hal penting yang harus ditindaklanjuti pasca pembacaan putusan sengketa hasil Pilpres 2009 Mahkamah Konstitusi kemarin (12/8).

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti kepada Rakyat Merdeka Online, Rabu (13/8). Menurut Ray, Ketiga hal tersebut yakni meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendesak kembali Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membentuk dewan kehormatan. Desakan ini menanggapi pernyataan MK, kemarin (12/8), yang menyebut bahwa KPU tidak profesional dalam menjalankan pemilu.

Selain itu, pihaknya juga berharap kedua pemohon (pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto) dapat menindaklanjuti putusan MK tersebut dengan menempuh jalur hukum pidana terhadap hak-hak konstitusi mereka yang dilanggar.

“Pengadilan umum harus dicoba karena persoalannya ada kelalaian, ada ketidakprofesionalan dalam penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.

Terkait hal itu pula, lanjut Ray, Komisi II perlu membuat rekomendasi kepada presiden agar memberhentikan seluruh anggota KPU saat ini. [wid]

Wajah Demokrat Dipengaruhi Figur Ketua DPR

REPUBLIKA CO.ID

Koran » Politik


Selasa, 11 Agustus 2009 pukul 01:33:00


Wajah Demokrat Dipengaruhi Figur Ketua DPR



JAKARTA -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan diajukan Partai Demokrat (PD) akan menjadi 'cermin' partai. Untuk itu, PD disarankan mencari kader yang paling tepat.

Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Deddy Djamaluddin Malik, mengatakan, partai politik yang akan mengirimkan kadernya untuk duduk di pimpinan DPR harus benar-benar mengirimkan kader terbaik. ''PD, PDIP, Partai Golkar (PG), PKS, atau PAN harus mengirimkan kader terbaik,'' kata Deddy kepada Republika , Senin (10/8).

PD sebagai parpol yang berhak mendudukkan kadernya sebagai ketua DPR, lanjut dia, harus benar-benar memilih kader terbaik. Jika kader yang dipilih tidak pas, Deddy khawatir akan berimplikasi pada citra partai. ''Begitu pula parpol lain. Kader yang dipilih sebaiknya juga merupakan kader terbaik,'' ungkap dia.

Sebagai anggota DPR yang juga dosen komunikasi, Deddy melihat perlunya ketua DPR mendatang harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Salah satunya, menurut dia, ketua DPR harus fasih dalam berbahasa asing. ''Syukur-syukur figur itu menguasai beberapa asing,'' tandas Deddy.

Kemampuan berbahasa asing sangat dibutuhkan. Terlebih Indonesia menjadi bagian asosiasi parlemen dari berbagai negara. Termasuk, kebutuhan untuk menyampaikan dan membangun citra Indonesia. Jika tidak fasih berbahasa asing, Deddy ragu ketua DPR bisa membangun komunikasi dengan baik.

Kemampuan komunikasi juga tidak hanya dalam penguasaan bahasa asing, ketua DPR mendatang juga harus bisa melakukan pendekatan dan lobi dengan fraksi-fraksi yang lain. Dalam posisi ini, ungkapnya, calon yang akan diusulkan DPR semestinya telah cukup berpengalaman dalam membangun komunikasi lintas fraksi.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, mengingatkan, pada periode sekarang, sering kali posisi ketua DPR dijadikan tameng untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai aspirasi masyarakat. ''Misalnya, kalau ada kunjungan ke luar negeri yang disoroti masyarakat, mereka pasti dalihnya sudah disetujui ketua DPR,'' ungkap Ray.

Karena itu, sosok ketua DPR mendatang harus berani bersikap tegas dan berpengalaman. Jangan sampai ketua DPR dikerjai pihak tertentu yang ingin mengeruk kepentingan sendiri. Ray mengatakan, ketua DPR sebaiknya sudah matang dari segi umur. Paling tidak, usianya minimal sekitar 50 tahun. ''Tapi, juga jangan yang sudah lebih dari 55 tahun karena kelincahannya sudah sangat berkurang. Kalau terlalu muda, juga kurang baik.''

Kader PD yang dia nilai punya kapasitas ada sejumlah nama. ''Syarif Hasan, Hayono Isman layak. Max Sophacua sebenarnya juga cukup layak,'' tandasnya. Syarif atau Hayono sudah punya pengalaman di DPR. Sehingga, mereka paham pola pengendalian sidang yang efektif. ''Kalau tidak bisa mengendalikan sidang, rapat tidak akan efektif dan banyak muter-muter -nya.'' ant/dwo
(-)
Index Koran

Tak Punya Legitimasi, KPU Mundur atau Dimundurkan

RAKYAT MERDEKA CO.ID


Tak Punya Legitimasi, KPU Mundur atau Dimundurkan


Sabtu, 15 Agustus 2009, 11:45:06 WIB



Laporan: Firardi Rozy


Jakarta, RMOL. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tak lagi memiliki legitimasi yang kuat sebagai badan penyelenggara pemilu.

Karena itu, hanya ada dua pilihan bagi para anggota KPU saat ini, yakni mengundurkan diri atau dimundurkan melalui surat keputusan (SK) Presiden. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti kepada Rakyat Merdeka Online, di sela-sela acara bertajuk “WS Rendra Tokoh Pergerakan Indonesia” di Rumah Perubahan, Jalan Panglima Polim V/52, Jakarta Selatan, Jumat malam (14/8), menanggapi pembacaan putusan Mahkamah Konsitusi, Rabu lalu (12/8), yang menyebutkan bahwa KPU tidak profesional.

Hal tersebut, lanjut Ray, bisa dilakukan karena legitimasi kinerja KPU yang tidak profesional dan proposional sudah diakui MK. Selain itu, Komisi II DPR juga harus merekomedasikan kepada presiden untuk segera mencabut SK Presiden tentang pengangkatan anggota KPU.

“Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) sendiri sudah mempersiapkan badan kehormatan untuk mengevaluasi KPU. Itulah yang menjadi dasar SK Presiden bisa dikeluarkan, Tapi persoaalannya, apakah presiden mau atau tidak,” tambah pengamat politik ini. [wid]

Minggu, 16 Agustus 2009

Pasemon SBY 'Layukan' Demokrasi

INILAH.COM

Pemilu 2009
12/08/2009 - 09:44



Pasemon SBY 'Layukan' Demokrasi


R Ferdian Andi R


INILAH.COM, Jakarta - Lagi-lagi SBY melontarkan pasemon. Dalam kapasitasnya sebagai capres, SBY, kali ini menuding gugatan capres lain atas hasil Pemilu Presiden 2009 di Mahkamah Konstitusi merupakan upaya pencemaran nama baik. Sindiran SBY tersebut yang masih menjabat sebagai presiden ini dinilai justru meredupkan semangat demokrasi yang tengah mekar selama ini.

"Dalam kapasitas saya sebagai capres, saya harus menahan diri dengan tudingan-tudingan itu. Sesungguhnya ini merupakan pencemaran nama baik. Jadi sebaiknya berhati-hati menuduh SBY-Boediono curang," ujar SBY di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Senin (10/8).

Pernyataan SBY ini jelas memantik polemik di tengah masyarakat. Meski tak menunjuk hidung, sulit untuk menerjemahkan bahwa pernyataan SBY itu tidak tertuju kepada pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, dua pesaingnya yang melakukan gugatan hukum ke MK.

Dalam gugatannya di MK, JK-Wiranto maupun Mega-Prabowo memang mengajukan dugaan penggelembungan suara. Dengan kecurangan itu, Mega-Prabowo bahkan menyatakan kehilangan 28.600 juta suara, sedangkan JK-Wiranto mengklaim sebanyak 34 juta suara.

Pernyataan SBY disesalkan banyak pihak. Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yohyakarta, Fajrul Falaakh, menyebutkan SBY sebaiknya berhati-hati dan tidak gegabah dalam menyampaikan pernyataan. "SBY juga harus hati-hati menuding orang telah menuduhnya curang. Itu juga bisa jadi pencemaran nama baik," kata Fajrul di gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/8).

Justru dalam amatan Fajrul, selama ini upaya hukum Megawati sama sekali tidak masuk pada ranah pribadi SBY. Fajrul menilai, apa yang dilakukan Megawati-Prabowo tertujukan kepada pemerintah. "Megawati tidak pernah menuduh SBY secara priabdi. Setahu saya, yang dikritik adalah pemerintah," tandasnya.

Pernyataan SBY mengingatkan publik pada rencana gugatan hukum yang akan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam merespons tuntutan kepada Mega-Prabowo dan JK-Wiranto ke MK. KPU berencana menggugat balik melalui jalur pidana pasangan capres yang tidak mampu membuktikan tuduhan di persidangan MK. "KPU belum pernah melakukan perlawanan balik. Niat sudah ada. Selama ini kami diam. Nanti, kalau sudah keterlaluan," kata Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari, Jumat (7/8) pekan lalu.

Direktru Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menegaskan, salah besar bagi SBY yang menyebutkan langkah hukum Mega-Pro dan JK-Wiranto sebagai langkah yang dapat dinyatakan sebagai pencemaran nama baik.

"Justru melalui jalur hukum membuktikan cara yang paling elegan, beradab, dan konstitusional. Justru hal ini memberi efek pengajaran kepada masyarakat bahwa kita harus menahan diri untuk melakukan tudingan yang tidak didasarkan sama sekali pada fakta-fakta hukum," kata Ray dalam siaran pers yang diterima INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (11/8).

Lebih lanjut Ray menegaskan, pernyataan SBY justru bersayap. Di satu sisi SBY menyebut tudingan kecurangan sebagai tindakan pencemaran nama baik, namun di sisi lain segala sesuatu ada mekanisme penyelesaiannya, yaitu melalui jalan damai. "Pernyataan SBY terlihat mendua hati. Apa yang hendak dinyatakan presiden dengan pernyataan ini?" tegasnya.

Ray pun berharap, baik KPU maupun SBY, tetap menahan diri dalam memberi pernyataan yang kontraproduktif yang selama ini sering disampaikan.

Menanggapi pasemon SBY, Partai Golkar pun mengaku serba salah. Menurut Ketua DPP Partai Golkar Syamsul Muarif, posisi Golkar serba sulit dalam menanggapi pernyataan SBY terkait tudingan pencemaran nama baik itu. "Posisi kami sulit. Kalau kami bilang pernyataan itu (SBY) tak layak, nanti kami berhadapan dengan presiden," kata Syamsul di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Selasa (11/8).

Syamsul menegaskan, Golkar tidak mau terjebak dalam pernyataan yang belum pasti kepada siapa ditujukan. Menurut dia, Golkar tak mau menjadikan isu itu sebagai ajang adu domba. "Kita tidak boleh teradu domba hanya karena prediksi-prediksi yang belum jelas sebetulnya dimaksudkan ke mana," ujarnya.

SBY belakangan terkesan semakin gemar melontarkan kalimat bersayap. Penggunaan pasemon memang langkah paling mudah untuk mengusik kesadaran lawan politik tanpa risiko menerima dampaknya. Namun, menjelang dibacarakannya putusan MK atas sengketa pemilu, sepatutnyalah SBY menahan diri demi menghormati proses hukum. Kalau tidak, pasemon SBY tak ubahnya sebuah upaya melayukan kembang demokrasi yang tengah bersemi. [P1]

MK: Penyusun DPT tak tahu UU

SOLO POS

Edisi : Sabtu, 08 Agustus 2009 , Hal.2



MK: Penyusun DPT tak tahu UU


Jakarta (Espos) Majelis hakim konstitusi menilai karut-marut daftar pemilih tetap (DPT) sebagai hal wajar. Ini karena penyusun DPT tak tahu undang-undang.


”Kalau penyusun DPT tidak ngerti UU, ya DPT-nya wajar saja amburadul. Saya catat kemarin KPU Jateng bilang tidak ada kewajiban untuk NIK (nomor induk kependudukan-red) di DPT,” kata anggota majelis hakim konstitusi, Akil Mochtar, di sela-sela sidang gugatan perselisihan hasil Pilpres, di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (7/8), sebagaimana dikutip dari KCM.

Menurut Akil, dalam UU disebut bahwa pemilih yang memenuhi syarat harus terdaftar di DPT, yaitu pemilih yang berusia 17 tahun, atau sudah kawin atau dikawini. Adapun penyusunan DPT menggunakan bahan dari dinas kependudukan yang sekurang-kurangnya memuat nomor induk, nama, alamat, jenis kelamin, dan tanggal lahir. ”Enggak ngerti ya pasal itu,” ujar Akil.

Faktanya, di lapangan banyak DPT yang tidak dilengkapi dengan NIK. Bahkan, di Kabupaten Kepahyan, Bengkulu, ditemukan hampir semua DPT tidak memiliki NIK.
Pada bagian lain, pernyataan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary yang mengancam menggugat balik pihak yang menyatakan adanya kecurangan Pemilu, dinilai sebagai pernyataan yang tidak menghargai proses hukum.

Pernyataan tersebut bisa menjadi teror psikologis bagi MK yang tengah menyelesaikan sengketa hasil Pemilu yang diajukan pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. Hal itu dikatakan Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, Jumat.
Mempertanyakan

”Pernyataan Ketua KPU itu ada nuansa tekanan kepada dua kubu, yaitu MK dan pemohon. Ke MK, bisa jadi teror psikologis kalau memutuskan yang tidak tepat, mereka akan menggugat. Kepada pemohon, mereka mengancam akan menggugat balik karena pencemaran nama baik dan kebohongan publik,” kata Ray.

Seharusnya, KPU mengapresiasi langkah hukum yang ditempuh Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. Langkah tersebut justru lebih elegan dilakukan di sebuah negara hukum. ”Bayangkan, apa yang terjadi kalau mereka justru memilih cara-cara kekerasan, seperti mendemo KPU dengan mengerahkan massa,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Kuasa Hukum Mega-Prabowo, Arteria Dahlan, mempertanyakan kesungguhan niat untuk menggugat balik. ”Kami tadi sudah menanyakan ke Pak Putu (anggota KPU I Gusti Putu Artha-red) dan Bu Endang (anggota KPU Endang Sulastri-red) apa betul statement-nya. Statement KPU kalau memang betul hari ini (kemarin-red) juga kami akan ambil upaya hukum,” kata Arteria.

Namun, saat ditanya bagaimana jawaban yang diberikan pihak KPU, Arteria enggan menjelaskannya secara gamblang. Ia justru menyinggung, seharusnya KPU konsekuen dengan apa yang telah diucapkan. - Oleh : dtc

Ancaman Balik KPU, Teror Psikologis MK

KOMPAS.COM


Ancaman Balik KPU, Teror Psikologis MK


Jumat, 7 Agustus 2009 | 14:02 WIB


Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary


JAKARTA, KOMPAS.com — Pernyataan ancaman gugat balik yang dilontarkan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dinilai sebagai pernyataan yang tidak menghargai proses hukum.

Pernyataan tersebut bisa menjadi teror psikologis bagi Mahkamah Konstitusi yang tengah menyelesaikan sengketa hasil pemilu yang diajukan pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. Hal itu dikatakan Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, Jumat (7/8), kepada Kompas.com.

"Pernyataan Ketua KPU itu ada nuansa tekanan kepada dua kubu, yaitu MK dan pemohon. Ke MK, bisa jadi teror psikologis kalau memutuskan yang tidak tepat, mereka akan menggugat. Kepada pemohon, mereka mengancam akan menggugat balik karena pencemaran nama baik dan kebohongan publik," kata Ray.

Seharusnya, KPU mengapresiasi langkah hukum yang ditempuh Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. Langkah tersebut justru lebih elegan dilakukan di sebuah negara hukum. "Bayangkan, apa yang terjadi kalau mereka justru memilih cara-cara kekerasan, seperti mendemo KPU dengan mengerahkan massa," ujarnya.

Ia menilai langkah penyelesaian secara hukum merupakan cara yang konstitusional dan menghormati prinsip negara hukum. Pernyataan KPU, menurutnya, justru menunjukkan pemahaman sempit dan rendah tentang negara hukum. Diungkapkannya fakta subyektif oleh pemohon, diyakininya, tak bisa dijadikan dasar untuk melayangkan gugatan balik.

"Apa yang dilakukan KPU saat ini, membuat kita semakin merasa salah memilih anggota KPU," kata Ray.

Ray Rangkuti: Pemilu Jurdil Bukan Ditentukan Survei

ANTARA


Ray Rangkuti: Pemilu Jurdil Bukan Ditentukan Survei

Selasa, 28 Juli 2009 22:28 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 246 kali



Jakarta (ANTARA News) - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan jurdil atau tidaknya suatu pemilihan umum (pemilu) bukan ditentukan hasil survei, namun dengan melihat apakah asas pemilu sudah ditegakkan atau tidak.

"Pemilu dapat dikatakan bermasalah manakala asas pemilu dilanggar. Tak penting apakah terjadi pelanggaran secara masif atau sedikit," kata Ray, di Jakarta, Selasa.

Karena itu, dalam pengajuan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), tidak mesti harus dapat dukungan publik atau tidak. Seperti survei yang tak perlu dukungan publik, yang penting bagi survei adalah membuktikan metodologinya sudah benar.

Ray Rangkuti bersama dengan sejumlah tokoh dari Masyarakat Pengawal Demokrasi pada Selasa (21/7) lalu melaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sembilan indikasi pelanggaran Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) 2009.

Indikasi pelanggaran yang dilaporkan itu antara lain daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah, dugaan manipulasi sumber dan jumlah pendanaan oleh tim kampanye dan kenetralan lembaga pemerintahan.

Di samping itu, juga dilaporkan kasus kerja sama KPU dengan lembaga asing, The International Foundation for Electoral System (IFES) dalam penghitungan cepat melalui SMS.

Menurut Ray Rangkuti, gerakan melapor ke MK yang terjadi saat ini bukanlah soal jual beli isu. Ini juga bukan kampanye, tetapi soal mengungkap kebenaran.

Ia mengatakan tahapan pemilu sudah berakhir. Yang ada sekarang adalah tahapan pembuktian legalitas pemilu.

Karena itu, katanya, survei dan kesimpulan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang persepsi masyarakat bahwa Pemilu 2009 berlangsung jurdil, sama sekali tidak relevan.

Pada 16 Juli lalu, LSI merilis hasil surveinya yang mengungkapkan, secara umum pemilih menilai bahwa pemilu legislatif dan pilpres sudah berlangsung secara jurdil, serta sedikit yang mengatakan sebaliknya.

Menurut Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi, survei LSI menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pemilu persepsi elite berjarak dengan persepsi massa.

"Elite dari yang kita baca di media cenderung mengatakan pemilu legislatif dan pilpres tidak jurdil. Paling tidak dari kualitas penyelenggara yang dinilai tidak lebih bagus dari sebelumnya," katanya.

LSI melakukan survei terhadap kualitas pelaksanaan pemilu dan konsolidasi demokrasi dalam bentuk exit poll pada 9 April, 8 Juli 2009 dan post election survei dilakukan 20-27 April 2009.

Informasi yang ingin didapat dari survei tersebut adalah, tingkat jurdil pemilu dan pilpres, kepuasan terhadap demokrasi dan komitmen pada demokrasi.(*)
COPYRIGHT © 2009

Ray Rangkuti: SBY-Boediono Bukan Politik Santun

KOMPAS TV


Ray Rangkuti: SBY-Boediono Bukan Politik Santun

Jumat, 31 Juli 2009, 12.27 WIB



Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan bahwa Pemilu 2009 merupakan Pemilu yang tidak ada akal sehatnya sepanjang sejarah dalam Pemilihan Umum di Indonesia.

Dalam dialog terbuka di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (30/7), Ray sangat menyesalkan tindakan Bawaslu yang dianggap tidak tegas. Hal ini bisa dilihat ketika pemanggilan capres dan cawapres untuk memenuhi panggilan Bawaslu, terkait dugaan kampanye yang dilakukan sehari sebelum Pemilu.

Karena itu, menurut Ray Rangkuti, tindakan yang dilakukan pasangan SBY-Boediono bukan merupakan politik santun, karena perbedaan dalam berpolitik sangatlah wajar.

Dalam ketegasannya, Ray menyatakan sebagai seorang independen Ray mengakui, apa yang diutarakan SBY mengenai politik akal sehat baginya tidak masuk akal.

Pernyataan keras Ray Rangkuti ini mengacu pada data yang dimiliki PDI Perjuangan bahwa tercatat 28 juta rakyat Indonesia tidak termasuk dalam daftar pemilih.

Hal ini, salah satunya, yang membuat kubu Mega-Prabowo melakukan protes dan mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (28/7) lalu.

| Rep/Kam:Ade | Penulis:Dian | VO:Maya | Editor Video:Fajar |

Mencurigai Pemilih Siluman

HARIAN GLOBAL


Mencurigai Pemilih Siluman

Written by Redaksi Web


Wednesday, 25 March 2009 11:42


Isu penggelembungan daftar pemilih tetap (DPT) terus menggelinding. Dari DPT total sementara yang berjumlah 147 juta, pemilih siluman diperkirakan ada 30 juta lebih.


Sekali lagi Prabowo-lah yang mencurigai hal itu. Namun usulnya menunda Pemilu karena kecurigaan terhadap adanya penggelembungan DPT sekarang sudah dicabut. Prabowo sudah berubah pikiran. Alasannya, investasi yang dikeluarkan sudah banyak yang keluar. Kalau pemilu sampai tertunda tentu dirinya sangat merugi.


Tapi sekalipun tidak lagi mendesak pemilu ditunda, Prabowo masih tetap kesal dengan data DPT yang dianggap penuh rekayasa. Malah dia memprediksi, akibat rekayasa, jumlah DPT bisa saja menggelembung seketika.


Pembengkakan yang mungkin terjadi, jelas mantan Danjen Kopassus ini, angkanya bisa mencapai 25%. "Jika dihitung dari DPT total sementara yang berjumlah 147 juta, maka pemilih siluman diperkirakan ada 30 juta lebih. Ini tidak hanya di Jawa Timur tetapi hampir terjadi di seluruh daerah," begitu ungkap Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto di Bandara Selaparang, Mataram, Senin, 23 Maret.

KPU Dicurigai


Peryataan Prabowo tersebut dimaklumi pemantau pemilu dari Lingkar Madani Ray Rangkuti. Menurut Ray, kecurigaan dari parpol disebabkan KPU tidak mau terbuka soal DPT. Padahal DPT sangat memengaruhi perolehan suara parpol.


Untuk mengatasi kecurigaan parpol kalau KPU terlibat dalam upaya main curang, ujar Rangkuti, KPU sesegera mungkin menyerahkan hard copy atau soft copy DPT yang telah dimutakhirkan. Paling lambat diserahkan Rabu, 25 Maret 2009.


Sehingga parpol punya waktu untuk meneliti DPT sebelum hari pencontrengan tiba. "Gabungan parpol bisa saja membentuk tim ahli. Kalau perlu dibayar mahal untuk mempelajari DPT yang diserahkan oleh KPU. Sehingga tidak ada lagi prasangka di belakang hari," usul Rangkuti.


Sayangnya, kata Rangkuti, KPU sampai sekarang masih acuh saja dengan keluhan parpol. Hanya KPU di daerah-daerah yang selalu teriak-teriak soal data DPT yang tidak karuan.


Jika masalah DPT belum juga diselesaikan KPU bisa menghadapi gugatan yang berkepanjangan terkait hasil pemilu. Bukan itu saja, kondisi ini hanya menguntungkan beberapa parpol yang ingin menyerang partai tertentu.


Ketua Panwas Jawa Barat Mahi Hikmat dan Ketua Panwas Medan Muhammad Aswin. Saat dihubungi secara terpisah, keduanya mengaku, yang terjadi di wilayah mereka hanya sebatas kesalahan administrasi.
Misalnya, ada orang yang meninggal tapi masih terdaftar, dan ada warga belum didaftarkan. "Untuk indikasi pidana belum ada," jelas Hikmat.

Kacau


Buruknya administrasi yang dilakukan KPU membuat banyak pihak menganggap penyelenggaraan Pemilu 2009 lebih kacau dari pemilu 2004. Terutama soal pendataan DPT.


Tapi kata mantan anggota KPU pada pemilu 2004 Mulayana Kusumah, bukan berarti pemilu 2004 sukses. Sebab apa yang terjadi di 2004, juga terjadi di pemilu-pemilu sebelumnya. Hanya saja penyelenggaraan pemilu 2009, jauh lebih buruk dari pemilu-pemilu sebelumnya.


"Penyelenggaraan pemilu saat ini yang terburuk sejak Indonesia merdeka. Sebab sejak orde lama melakukan pemilu hingga sekarang tidak pernah terjadi kekisruhan seperti ini," jelas Mulayana.


Ditambahkannya, buruknya persiapan pemilu, seperti penyusunan DPT, disebabkan KPU salah mengupload data dan kurang berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik, Depdagri, serta KPUD.


"Mestinya pekerjaan KPU saat ini jauh lebih mudah karena ada pilkada dan datanya bisa digunakan. Tapi kenapa justru bertambah kacau?" tanya Mulyana.


Buruknya kerja KPU dinilai Mulyana, akan berpengaruh terhadap hasil pemilu. Jadi siapapun pemenang pemilu atau pilpres kurang mendapat legitimasi yang kuat. Sebab hasilnya dicurigai banyak pihak.

DETIK | Global | Jakarta

Pemilu Legislatif Cacat, Ganti Anggota KPU!

HARIAN GLOBAL


Pemilu Legislatif Cacat, Ganti Anggota KPU!

Written by Redaksi Web


Monday, 13 April 2009 10:04


Direktur Nasional Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti mendesak dilakukan pergantian anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait cacatnya pemilu legislatif 9 April 2009.


"Ini untuk menyelamatkan pemilihan presiden ke depan," kata Ray dalam pernyataan pers di Jakarta, Minggu (12/4).
KPU dinilai gagal dalam penyelenggaraan pemilu karena banyak menghilangkan hak warga negara untuk memberikan suaranya, terkait kacaunya daftar pemilih tetap (DPT). Sebaiknya anggota KPU diganti dengan orang-orang yang kredibel. Hal itu perlu dilakukan agar pemilu selanjutnya dapat berlangsung dengan lebih baik.


Menurut Ray, negara juga harus merehabilisir hak konstitusi warga negara dengan memberi kesempatan untuk melakukan pemilihan seusai haknya.


Dia menolak anggapan jika adanya pergantian KPU justru akan menghambat pemilu pilihan presiden. Ia meminta Komisi II DPR ikut melakukan penilaian apakah kinerja KPU dianggap berhasil atau gagal. Jika memang Komisi II sepakat untuk mengganti anggota KPU, komisi bisa langsung mengatakannya kepada Presiden.


"Itu ada urutannya anggota KPU, jadi anggota KPU bisa diganti dari daftar sebelumnya. Tinggal mau atau tidak karena ada proses negosiasi politik juga," katanya.


Dia juga mengimbau kepada warga negara yang dihilangkan hak pilihnya agar melapor kepada polisi atau lembaga lain yang berwenang. "Kami mengimbau seluruh masyarakat agar terus peduli dan mengawal proses dan tidak terjebak pada perdebatan hasil pemilu," ujarnya lagi.

VIVA | GLOBAL | JAKARTA