Jumat, 31 Juli 2009

Pemilihan Ketua Kelas Lebih Bagus dari Pemilu 2009

REPUBLIKA NEWSROOM


Pemilihan Ketua Kelas Lebih Bagus dari Pemilu 2009


Kamis, 30 Juli 2009 pukul 18:41:00



JAKARTA -- Begitu buruknya kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009, sampai-sampai pemilihan ketua kelas dan kepala desa pun dinilai masih lebih baik. Upaya hukum sengketa hasil Pemilu Presiden pun tidak bisa dituding sebagai upaya pihak yang tak siap menerima kekalahan.

''Kalau Habibie di akhir masa jabatannya meninggalkan pemilu paling demokratis, Megawati meninggalkan pemilu paling damai, maka Presiden sekarang melanjutkan pemilu paling kacau,'' ujar Direktur Nasional Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, Kamis (30/7) petang. Pemilihan kepala desa, kata dia, masih lebih bagus dibandingkan penyelenggaraan Pemilu 2009.

Bahkan pemilihan ketua kelas di zaman sekolah dasar, sebut Ray, masih lebih bagus. Indikatornya, di pemilihan ketua kelas dan kepala desa itu dilakukan setelah dipastikan terlebih dahulu siapa pemilihnya. ''Pemilihnya dipastikan dulu jumlahnya, baru dilakukan pemilihan. Pemilu 2009 ini, DPT-nya bermasalah, dipaksakan pemilu,'' ujar dia.

Menurut Ray, upaya hukum yang ditempuh dua pasangan kandidat di Pemilu Presiden 2009, bukanlah langkah dari pihak yang tak siap menerima kekalahan. Dengan menekankan dirinya bukan pendukung Megawati, menurut dia jika tudingan itu benar maka Megawati akan melakukannya pada 2004.

''Kalau memang tak siap menerima kekalahan, Megawati akan melakukan upaya hukum itu pada 2004 ketika masih memegang kekuasaan. Bukan di 2009 yang sudah tak punya apa-apa,'' tegas Ray. Pada Pemilu 2004, Megawati Soekarnoputri juga berlaga sebagai salah satu capres dan kalah.

Tudingan itu, tegas Ray, memperlihatkan praktek politik yang sama sekali tidak sehat. Termasuk jika ada yang mempersoalkan upaya hukum ini dan banyaknya kecaman terhadap kualitas pemilu dikaitkan dengan akal sehat. ''Justru karena kita punya akal sehat, kita mempermasalahkan pemilu yang tak masuk akal ini,'' kata dia.

Praktisi demokrasi, Fadjroel Rahman, mengatakan buruknya kualitas pemilu ini seharusnya bukan hanya dipermasalahkan oleh kubu Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. Ada tidaknya kerugian dalam Pemilu Presiden 2009 pun seharusnya juga dipermasalahkan oleh kubu SBY-Boediono.''Karena kalau DPT (daftar pemilih tetap,red) dan pemilu bermasalah, yang dirugikan adalah rakyat Indonesia, demokrasi, dan hak-hak konstitusional kita,'' tegas dia. ann/kpo

Bawaslu Diminta Tegas Soal Dugaan Dana Asing Tim SBY-Boediono

REPUBLIKA NEWSROOM


Bawaslu Diminta Tegas Soal Dugaan Dana Asing Tim SBY-Boediono



Kamis, 30 Juli 2009 pukul 19:50:00



JAKARTA--Sekalipun pasangan SBY-Boediono bisa berkelit dari pasal pidana soal dugaan aliran dana asing dalam rekening dana kampanye mereka, tetapi ancaman diskualifikasi tetap ada. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta bersikap lebih tegas.

"Mereka (SBY-Boediono) melalui timnya boleh berkilah tidak tahu (soal dana asing), sehingga pidana bisa lolos. Tapi karena sekarang sudah tahu, mereka tetap bisa didiskualifikasi," ujar Direktur Nasional Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, Kamis (30/7). Alasan 'tidak tahu' yang disampaikan oleh tim kampanye nasional SBY-Boediono pun dinilai terlalu lemah dalam kasus ini.

Ray meminta Bawaslu bersikap lebih tegas pula terhadap pasangan ini, yang tak datang sendiri memenuhi beberapa panggilan Bawaslu. "Yang diundang itu capres-cawapres. Kalau Megawati-Prabowo datang sendiri, mengapa ini tidak? Di sini ada perlakuan yang tak setara," kecam Ray.

Apalagi, ujar Ray, jika nanti yang dipersoalkan adalah dugaan penggunaan dana asing untuk kampanye pasangan calon. "Bawaslu harusnya bersikap lebih keras, tidak ada kompromi soal dana asing," kata Ray. Menurut dia, Bawaslu hanya bersikap keras jika laporan yang mereka terima mempersoalkan pasangan lain atau terkait dugaan pencemaran nama baik pasangan //incumbent//.

Ray mengatakan masalah dana asing bukanlah mempermasalahkan besar kecilnya. "Mau Rp 300 ribu, kalau dana asing, itu ilegal," tegas dia. UU 42/2008 sudah tegas mengatur, bahwa ancaman untuk penggunaan dana asing untuk kampanye adalah pidana sekaligus diskualifikasi.

Praktisi demokrasi Fadjroel Rachman pun sependapat dengan Ray, bahwa Bawaslu harus lebih tegas soal dugaan dana asing ini. Mengutip sumber Indonesia Corruption Watch (ICW), Fadjroel mengatakan diduga tak hanya dua perusahaan afiliasi asing yang menyumbang untuk dana kampanye pasangan SBY-Boediono.

Salah satu perusahaan itu yang berafiliasi ke Amerika Serikat, ujar Fadjroel, diduga juga menggunakan empat anak perusahaannya untuk menyumbang pasangan ini. "Jadi, kalau dua perusahaan asing ini diperkirakan menyumbang Rp 1,5 miliar, dengan tambahan empat anak perusahaan itu angkanya bisa mencapai Rp 6,5 miliar," kata dia. ann/rif

Foto diskusi pelanggaran pemilu

VIVANEWS.COM



Ray Rangkuti berbicara dalam acara diskusi bertema "Ada Apa dengan Pemilu?" yang digelar di Kantor Advokasi PDIP, Jl. Diponegoro 58, Jakarta Pusat, Kamis (30/7). Foto: VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

Diseret Ke MK, Puluhan Jaksa Siap Bela KPU

SUARA MEDIA


Diseret Ke MK, Puluhan Jaksa Siap Bela KPU
Jumat, 31 Juli 2009 08:02



Ketua Komisi Pemilihan Umum, Abdul Hafiz Anshory. (SuaraMedia News)
Jakarta (SuaraMedia News) - Kejaksaan Agung menyiapkan 30 Jaksa Pengacara Negara (JPN) mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadapi perkara gugatan sengketa pascapilpres di Mahkamah Konstitusi.

"Untuk itu telah ditunjuk 30 orang JPN terbaik," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Edwin Pamimpin Situmorang di Jakarta, Kamis (30/7/2009).

Edwin mengungkapkan, telah menerima surat kuasa khusus (SKK) untuk mewakili KPU dalam persidangan di MK pada 4 Agustus 2009.

"Saat ini (JPN) besama KPU sedang menyusun jawaban dan alat bukti untuk di bawa ke sidang MK," katanya.

Diketahui, calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut satu, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto meminta MK membatalkan hasil pilpres yang telah ditetapkan oleh KPU atau setidak-tidaknya pemungutan ulang di 25 provinsi yang dinilai terjadi kecurangan secara masif.

Pasangan capres-cawapres nomor urut tiga, JK-Wiranto juga mengajukan gugatan ke MK karena proses pemilu ditengarai tidak prosedural. Alasannya, banyak daftar pemilih tetap (DPT) yang fiktif.

Sementara itu, Ruhut Sitompul mengaku siap bersaksi untuk Komisi Pemilihan Umum dalam sidang gugatan sengketa Pemilihan Presiden 2009 yang diajukan oleh para kuasa hukum capres-cawapres Mega-Prabowo dan JK-Wiranto di Mahkamah Konstitusi pada 4 Agustus 2009 nanti.

"Saya siap menjadi saksi buat KPU di sidang MK nanti," kata Ruhut saat dihubungi okezone. Jumat (31/7/2009).

Ruhut juga menyatakan kepastian dirinya sebagai saksi membela KPU karena secara pribadi dia melihat adanya tekanan dari seorang kuasa hukum partai Golkar yang menekan Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary untuk menandatangani penyerahan software penghitungan suara pada 7 Juli 2009.

"Saya mengetahui betul saat Rully dari partai Golkar mengelabui Ketua KPU untuk meneken hasil pilpres. Termasuk saya juga disuruh neken, tapi saat itu Ketua KPU tidak mau neken harus baca dulu tapi dipaksa," keluhnya.

Sementara itu, pada sengketa pilpres di MK pada 4 Agustus nanti, Ruhut memastikan akan dihadiri oleh para pendukung pasangan SBY-Boediono. "Pendukung PD yang akan menghadiri dari 24 partai koalisi PD," pungkas dia.

Sebelumnya, Keputusan Mahkamah Agung terkait penetapan kursi jilid II menuai polemik. Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai, jika Komisi Pemilihan Umum tak mengikuti putusan tersebut sebuah pembangkangan terhadap negara.

Ini diungkapkan Ray Rangkuti dalam diskusi di di Posko Benteng Demokrasi Rakyat, Jalan Diponegoro, Jakarta, Kamis (30/7/2009).

"KPU juga bukan hanya mengajarkan orang membangkang kepada negara, tetapi juga mengajarkan orang tidak patuh pada aturan mereka," kata Rangkuti.

Intinya, lanjut Ray Rangkuti, KPU harus tunduk kepada negara bila tidak ada parpol yang sependapat dengan keputusan MA.

"Namun jika ada maka melalui peraturan KPU, parpol bisa melakukan perlawanan melalui jalur hukum. Melawan melalui hukum, bukan dengan mengabaikan putusan MA," tandasnya.(okz)

KPU Harus Berani Abaikan Putusan MA

SURABAYA NEWS

KPU HARUS BERANI ABAIKAN PUTUSAN MA

Tanggal : 27-07-2009, Kategori : Berita Utama


LAPORAN : MAULANA



Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Penghitungan Kursi Tahap Kedua dinilai dapat mencederai proses pemilihan presiden yang sudah berjalan. Menurut mantan anggota Pansus RUU Pemilu Agus Purnomo, apabila KPU melaksana kan putusan tersebut, proses pilpres yang sudah berjalan akan ternoda dari segi administratif.Anggota Komisi II ini menegaskan,meskipun tidak akan berpengaruh terhadap legitimasi hasil pilpres, segi administratif pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden akan berubah.

”Kalau syarat 25% suara tidak terpengaruh.Tapi, jika pasangan calon mendaftar dengan basis syarat kursi, secara administratif pendaftarannya akan cacat. Jika terjadi,cacat administratif itu akan membuka peluang munculnya gugatan-gugatan terhadap proses pilpres yang sudah berjalan,” ujar Agus di Jakarta. Untuk itulah pihaknya meminta KPU mengabaikan putusan MA.

”Jadi,lebih arif jika KPU tidak melaksanakan putusan MA. Apalagi putusan itu tidak bersifat retroaktif,” kata Agus. Politikus dari PKS ini menegaskan, jika KPU mengabaikan putusan MA, mereka juga tidak akan terkena sanksi apa pun baik pidana maupun administratif.
Menurut dia, KPU hanya tidak boleh mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena sudah diatur dalam UU 10/2008 tentang Pemilu. ”Lain halnya jika putusan MK yang diabaikan. Kalau itu yang terjadi, KPU bisa terkena pidana karena hal itu sudah diatur dalam UU Pemilu,”ujarnya.

Wakil Bendahara DPP PPP Mahmud Yunus juga sependapat bahwa proses pilpres bermasalah jika mengacu pada putusan MA tersebut.Bahkan,kata Yunus,tidak menutup kemungkinan konfigurasi politik pilpres bakal berubah jika putusan MA itu terjadi sebelum hasil pemilu ditetapkan. ”Memang putusan itu tak membatalkan hasil pilpres.Tapi kalau secara administrasi sudah bermasalah, hal itu berpotensi memunculkan gugatan,” kata Yunus kemarin. Selain itu, lanjut dia, putusan MA tidak berlaku surut. Dengan demikian, pihaknya mendesak KPU agar tetap melaksanakan keputusan yang telah dibuat karena pada prinsipnya tidak bertentangan dengan UU 10/2008 tentang Pemilu.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menyatakan, secara teoretis memang ada persoalan administrasi jika putusan MA dilaksanakan. Meski demikian, lanjut Ray, ketiga pasangan capres tetap memenuhi syarat 20% kursi atau 25% suara seperti yang diatur dalam UU 42/2008 tentang Pilpres.***

KPU Merusak Negara Hukum

SINAR HARAPAN


Jumat, 31 Juli 2009 15:15


KPU Merusak Negara Hukum


OLEH: TUTUT HERLINA/INNO JEMABUT



Jakarta – Sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) tentang penghitungan suara tahap II dinilai merusak citra negara hukum yang telah menjadi konsensus seluruh bangsa.

Detail Cetak

Bahkan, sikap KPU tersebut akan menjadi preseden buruk bagi pertumbuhan demokrasi dalam waktu yang panjang.

Hal itu disampaikan pengamat hukum tata negara A Irman Putra Sidin ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (31/7). “Sikap KPU yang tidak mau melaksanakan putusan itu sangat memalukan dan merusak negara hukum. Tidak ada lembaga negara di republik ini bahkan presiden yang memiliki tentara sekalipun berani mengatakan menolak melaksanakan putusan pengadilan,” katanya.

Irman menjelaskan, putusan MA sejatinya memiliki implikasi yang lebih dahsyat dibandingkan dengan keputusan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MA membuat produk hukum batal demi hukum. Artinya, seluruh produk aturan yang terkait dengan putusan itu rontok atau tidak berlaku. Apabila dalam waktu tiga bulan putusan tersebut dijalankan, secara otomatis akan berlaku dengan sendirinya. Dengan demikian, surat keputusan (SK) KPU yang bertentangan dengan putusan MA dalam waktu tiga bulan ke depan juga tidak berlaku.


Sifat ini berbeda dengan putusan uji materi di MK. Keputusan MK membuat produk hukum tidak mengikat. Artinya, keputusan MK tersebut tidak berlaku surut. Karena itu, menurutnya, KPU sebaiknya melaksanakan putusan MA. Jika dalam pelaksanaannya tersebut ternyata menimbulkan implikasi perubahan perolehan suara kursi parpol, maka parpol yang dirugikan mengajukan gugatan ke MK.

“Di situ baru masuk gugatan sengketa hasil pemilu. Gugatan ini bisa berlaku ke belakang. Tapi, kalau melakukan uji materi, putusannya tidak berlaku ke belakang. Dia baru bisa dilaksanakan setelah ada putusan. Selain itu, pihak yang dirugikan belum ada,” paparnya.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menambahkan, KPU melakukan pembangkangan terhadap negara apabila tidak melaksanakan putusan MA. "MA adalah lembaga tinggi negara. Berarti, keputusannya adalah produk negara. Siapapun yang membangkang terhadap keputusan itu, berarti dia telah membangkang kepada ngara," ujarnya.

Sementara itu, anggota KPU I Gusti Putu Artha secara terpisah mengatakan, putusan MA tidak berlaku surut. Karena itu pelantikan anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota tetap bisa dilaksanakan dengan mengacu pada penetapan calon terpilih sesuai dengan peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009. “Putusan MA itu tampaknya tidak berlaku surut, artinya seluruh produk kita (KPU) menyangkut surat keputusan penetapan calon terpilih masih berlaku sampai 90 hari atau sampai kami melakukan revisi,” ujar Putu Artha.

Dia mengacu pada Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2004 yang mengatakan apabila dalam waktu 90 hari pejabat tata usaha negara tidak melaksanakan putusan MA, maka demi hukum peraturan yang lama otomatis tidak berlaku. “Berdasarkan hal itu, kesimpulannya peraturan kami belum batal, masih berlaku dan merupakan hukum positif,” imbuhnya.

Karena itu Putu mempersilakan sejumlah daerah menyelenggaran pelantikan Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota terpilih dengan mengacu pada Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009.

Keputusan MA tentang penetapan suara terpilih tahap kedua menimbulkan kontroversi. Jika dilaksanakan, keputusan tersebut akan membongkar komposisi anggota DPR, DPRD terpilih yang penetapannya mengacu pada Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan telah melakukan pertemuan intensif dengan MA untuk membahas pelaksanaan putusan tersebut. Namun, KPU masih akan melakukan rapat pleno untuk membahas. “Intinya ada beberapa kesamaan pandangan mengenai putusan MA, namun belum kita ekspos sekarang,” ujarnya. Abdul Hafiz menjelaskan KPU tidak bisa mengabaikan keputusan MA.

Bentuk Koalisi

Terkait dengan putusan MA itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kamis (30/7), mengajukan gugatan uji materi Pasal 205 Ayat (4) UU No 10/2008. Ketua Fraksi PPP DPR, Lukman Hakim Sjaifuddin mengatakan, pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD, Pasal 1 Ayat (3) UUD, Pasal 22 huruf (e) dan Pasal 28. Karena itu, Pasal 205 Ayat (4) tersebut harus dibatalkan.

“Kursi itu merupakan cerminan suara rakyat. Dengan putusan MA ini terjadi representasi ganda. Suara rakyat dihitung dua kali. Ini bertentangan dengan konstitusi,” katanya.

(vidi vici/ninuk cucu suwanti)

Putusan MA Bikin Koalisi SBY Pecah

BERITA8.COM


Putusan MA Bikin Koalisi SBY Pecah


Kamis, 30 Juli 2009, 15:21 WIB



Putusan Aahkamah Agung yang mengabulkan permintaan Zaenal Maarif tentang penundaan penetapan calon legislator dinilai akan membuat koalisi SBY terpecah.

"Saya rasa hal itu bisa saja terjadi, karena yang diuntungkan adalah partai oposisi bukan partai koalisi," ujar pengamat politik Lingkar Madani, Ray Rangkuti di Jakarta Kamis (30/7).

Dengan keputusan MA tersebut para partai koalisi kemungkinan besar akan kehilangan beberapa kursi di DPR.

Bisa saja mereka (partai koalisi) kesal dengan putusan MA namun tidak serta merta mereka mencabut koalisi mereka, karena mereka juga akan melakukan tawar menawar kabinet dengan partai demokrat.(Dng)

Ray Rangkuti: Pemilu Jurdil Bukan Ditentukan Survei

ANTARA


Ray Rangkuti: Pemilu Jurdil Bukan Ditentukan Survei




Jakarta (ANTARA News) - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan jurdil atau tidaknya suatu pemilihan umum (pemilu) bukan ditentukan hasil survei, namun dengan melihat apakah asas pemilu sudah ditegakkan atau tidak.

"Pemilu dapat dikatakan bermasalah manakala asas pemilu dilanggar. Tak penting apakah terjadi pelanggaran secara masif atau sedikit," kata Ray, di Jakarta, Selasa.

Karena itu, dalam pengajuan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), tidak mesti harus dapat dukungan publik atau tidak. Seperti survei yang tak perlu dukungan publik, yang penting bagi survei adalah membuktikan metodologinya sudah benar.

Ray Rangkuti bersama dengan sejumlah tokoh dari Masyarakat Pengawal Demokrasi pada Selasa (21/7) lalu melaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sembilan indikasi pelanggaran Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) 2009.

Indikasi pelanggaran yang dilaporkan itu antara lain daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah, dugaan manipulasi sumber dan jumlah pendanaan oleh tim kampanye dan kenetralan lembaga pemerintahan.

Di samping itu, juga dilaporkan kasus kerja sama KPU dengan lembaga asing, The International Foundation for Electoral System (IFES) dalam penghitungan cepat melalui SMS.

Menurut Ray Rangkuti, gerakan melapor ke MK yang terjadi saat ini bukanlah soal jual beli isu. Ini juga bukan kampanye, tetapi soal mengungkap kebenaran.

Ia mengatakan tahapan pemilu sudah berakhir. Yang ada sekarang adalah tahapan pembuktian legalitas pemilu.

Karena itu, katanya, survei dan kesimpulan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang persepsi masyarakat bahwa Pemilu 2009 berlangsung jurdil, sama sekali tidak relevan.

Pada 16 Juli lalu, LSI merilis hasil surveinya yang mengungkapkan, secara umum pemilih menilai bahwa pemilu legislatif dan pilpres sudah berlangsung secara jurdil, serta sedikit yang mengatakan sebaliknya.

Menurut Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi, survei LSI menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pemilu persepsi elite berjarak dengan persepsi massa.

"Elite dari yang kita baca di media cenderung mengatakan pemilu legislatif dan pilpres tidak jurdil. Paling tidak dari kualitas penyelenggara yang dinilai tidak lebih bagus dari sebelumnya," katanya.

LSI melakukan survei terhadap kualitas pelaksanaan pemilu dan konsolidasi demokrasi dalam bentuk exit poll pada 9 April, 8 Juli 2009 dan post election survei dilakukan 20-27 April 2009.

Informasi yang ingin didapat dari survei tersebut adalah, tingkat jurdil pemilu dan pilpres, kepuasan terhadap demokrasi dan komitmen pada demokrasi.(*)

COPYRIGHT © ANTARA

NKRI Berada 'di Bawah Banyak Teka-teki'

SURABAYA POST

Nasional


NKRI Berada 'di Bawah Banyak Teka-teki'



Jumat, 31 Juli 2009 | 11:21 WIB

JAKARTA-Para aktivis pro demokrasi mengecam keras Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, karena gagal mengungkap jumlah suara yang tidak sah di dua pesta demokrasi itu, sekaligus mempertanyakan keabsahan pemilu 2009.

"Ada sembilan poin yang terangkat di publik yang mempertanyakan keabsahan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) kali ini. Yang paling utama dan pertama ialah, tentang lembaga penyelenggara itu sendiri, yakni menyangkut kredibilitas dan netralitasnya," kata Ray Rangkuti, di Jakarta, Kamis (30/7), ketika tampil sebagai pembicara pertama pada forum para aktivis pro demokrasi tersebut.

Selain Ray Rangkuti, forum yang berlangsung di ruang terbuka di Sekber Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat itu menampilkan Fadjroel Rachman, Indra Piliang, Fadli Zon dengan moderator mantan jurnalis yang kini jadi politisi, DP Yoedha.

Forum para aktivis pro demokrasi itu memberikan apresiasi kepada dua Presiden RI di era reformasi yang memberikan kontribusi sangat signifikan bagi perkembangan demokrasi dan keadilan.

"Presiden BJ Habibie pada 1999 mewariskan Pemilu paling demokratis dan mendapat banyak pujian internasional. Kemudian, Presiden Megawati pada 2004 sanggup menggelar Pileg dan Pilpres yang paling damai, yang mendapat acungan jempol mantan Presiden AS, Jimmy Carter, dengan mengatakan Indonesia patut menjadi acuan dunia demokrasi dalam menggelar pemilu," kata Ray Rangkuti.

Sebaliknya yang kita warisi pada Pileg dan Pilpres 2009, menurutnya, adalah pemilu paling kacau dengan berbagai masalah sangat tidak terbuka bahkan sulit untuk diutak-atik secara hukum.

Ketika terjadi protes di sana-sini, muncul berbagai pernyataan yang menjurus pada penyudutan terhadap dua capres-cawapres, yakni Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto.

"Misalnya saja tindakan kedua pasangan capres-cawapres mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan pilpres, dianggap takut kalah. Lalu direkayasalah survei publik yang seolah-olah mengaminkan pilpres sekarang berjalan jujur. Diangkat lagi sebuah slogan di masa depan agar menggunakan politik akal sehat. Kalau mau pakai akal sehat, jangan merasa terusiklah dengan proses hukum demi mendapat keadilan sekaligus menentang kejahatan pemilu," kata Ray Rangkuti lagi.

Ray yang pada 1999-2004 masih sebagai salah satu aktivis Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) ini, menilai situasi ini makin runyam ketika KPU berpenampilan seperti robot dengan perilaku sangat tidak terbuka.

"Salah satu indikasinya, ialah yang diungkap ke publik hanya total suara sah dan perolehan tiap partai pada pileg dan total perolehan suara sah para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pilpres," ujar Ray Rangkuti.

Karena itulah, sehingga Fadjroel Rachman mengatakan, jika dulu Bung Karno pernah menulis buku 'Di Bawah Bendera Revolusi' yang memang diakuinya membawa bangsa ini ke alam kemerdekaan, ternyata kini NKRI berada 'di bawah banyak teka-teki'.

"Teka-teki itu ada di bidang hukum, politik dan demokrasi. Akibatnya, Pemilu 2009 ini juga penuh dengan teka-teki, bukan cuma soal apakah itu absah atau tidak. Banyak hal yang patut diungkap, misalnya mengapa prediksi-prediksi oleh tim 'incumbent' yang dipublikasikan ke berbagai media massa sama persis dengan kenyataan," katanya dengan menunjuk prediksi perolehan 20 persen di pileg dan 60 persen di pilpres.

Semua ini, menurut Fadjroel Rachman, harus terus mendapat perhatian serius dan upaya maksimal membongkarnya, agar bangsa ini benar-benar hidup dalam alam demokrasi yang jujur, santun serta gemar dengan cara-cara berdasar akal sehat, tidak penuh 'teka-teki'. mer, ntr

Bawaslu Diminta Usut Dana Asing di Tim SBY-Boediono

JAWA POS

Jum'at, 31 Juli 2009
Politika


Bawaslu Diminta Usut Dana Asing di Tim SBY-Boediono



JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) didorong untuk bersikap tegas dalam mengusut dugaan aliran dana asing yang masuk ke rekening tim sukses SBY-Boediono. Kalau memang nanti itu terbukti, Bawaslu diminta untuk menerapkan ketentuan pidana di UU Pilpres No 42/2008. "Bawaslu tidak boleh kompromi," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti di Kantor PDI "Lama", Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, kemarin (30/7).

Dalam diskusi yang mengkritisi pemilu dan pilpres tersebut, turut berbicara Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Nega­ra Kesejahteraan (Pedoman) Fadjroel Rachman dan Koordinator Sekretariat Program Kerja Petisi 50 Judilherry Justam.

Ray menuturkan bahwa larangan melibatkan dana asing dalam pemilu dan pilpres sudah sejalan dengan semangat membangun kemandirian bangsa. Karena itu, UU tidak membuat batasan besaran sumbangan dana asing yang dilarang. Berapa pun besarnya tidak diperbolehkan. "Tidak tergantung jumlahnya, Rp 300 ribu saja ilegal. Apalagi kalau sampai Rp 3 miliar," ujarnya.

Bawaslu saat ini memang menelusuri sumbangan dana bermasalah yang masuk ke tiga pasangan capres-cawapres. Khusus untuk duet SBY-Boediono, ada indikasi masuknya dana asing. PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) yang menyumbang Rp 3 miliar terindikasi milik asing.

Namun, tim sukses SBY-Boediono berkilah tidak mengetahui bahwa pemilik saham BTPN pihak asing. Karena berstatus perseroan terbatas (PT), asumsinya, PT BTPN milik swasta nasional.

Ray mengatakan, tidak diketahuinya posisi modal PT BTPN mungkin bisa membebaskan tim SBY-Boediono dari sanksi pidana. Tapi, kemenangan mereka harus didiskualifikasi. "Politiknya tetap kena," tegasnya.

Secara terpisah, Sekjen DPP Partai De­mokrat Marzuki Alie menyatakan, semua perusahaan yang berstatus PT pasti dibentuk berdasar UU Perseroan Terbatas No 40/2007. Dengan kata lain, perusahaan tersebut bisa diasumsikan sebagai perusahaan nasional, bukan asing.

Menurut Marzuki, semua perusahaan besar biasanya mempunyai hubungan bisnis atau dagang dengan perusahaan lain di luar negeri. "Nah, dalam konteks ini kami memang tidak bisa menjamin dan mengklarifikasi bagaimana bentuk hubungannya dengan luar negeri," ucapnya. Dia memastikan, Partai Demokrat, terutama tim sukses SBY-Boediono, selalu berhati-hati dalam menerima sumbangan dana kampanye. (pri/bay/tof)

Ray Rangkuti: SBY-Boediono Bukan Politik Santun

KOMPAS TV


Ray Rangkuti: SBY-Boediono Bukan Politik Santun


Jumat, 31 Juli 2009, 12.27 WIB



Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan bahwa Pemilu 2009 merupakan Pemilu yang tidak ada akal sehatnya sepanjang sejarah dalam Pemilihan Umum di Indonesia.

Dalam dialog terbuka di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (30/7), Ray sangat menyesalkan tindakan Bawaslu yang dianggap tidak tegas. Hal ini bisa dilihat ketika pemanggilan capres dan cawapres untuk memenuhi panggilan Bawaslu, terkait dugaan kampanye yang dilakukan sehari sebelum Pemilu.

Karena itu, menurut Ray Rangkuti, tindakan yang dilakukan pasangan SBY-Boediono bukan merupakan politik santun, karena perbedaan dalam berpolitik sangatlah wajar.

Dalam ketegasannya, Ray menyatakan sebagai seorang independen Ray mengakui, apa yang diutarakan SBY mengenai politik akal sehat baginya tidak masuk akal.

Pernyataan keras Ray Rangkuti ini mengacu pada data yang dimiliki PDI Perjuangan bahwa tercatat 28 juta rakyat Indonesia tidak termasuk dalam daftar pemilih.

Hal ini, salah satunya, yang membuat kubu Mega-Prabowo melakukan protes dan mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (28/7) lalu.

Foto diskusi pelanggaran pemilu

VIVANEWS.COM





Ray Rangkuti berbicara dalam acara diskusi bertema "Ada Apa dengan Pemilu?" yang digelar di Kantor Advokasi PDIP, Jl. Diponegoro 58, Jakarta Pusat, Kamis (30/7). Foto: VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

Aktivis Pro Demokrasi Pertanyakan Keabsahan Pemilu 2009

ANTARA

Kamis, 30 Agustus 2009


Aktivis Pro Demokrasi Pertanyakan Keabsahan Pemilu 2009



Jakarta (ANTARA News) - Para aktivis pro demokrasi mengecam keras Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, karena gagal mengungkap jumlah suara yang tidak sah di dua pesta demokrasi itu, sekaligus mempertanyakan keabsahan pemilu 2009 ini.

"Sesungguhnya ada sembilan poin yang terangkat di publik yang mempertanyakan keabsahan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) kali ini. Yang paling utama dan pertama, ialah, tentang lembaga penyelenggara itu sendiri, yakni menyangkut kredibilitas dan netralitasnya," kata Ray Rangkuti, di Jakarta, Kamis, ketika tampil sebagai pembicara pertama pada forum para aktivis pro demokrasi tersebut.

Selain Ray Rangkuti, forum yang berlangsung di ruang terbuka di Sekretariat Bersama (Sekber) Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat itu menampilkan Fadjroel Rachman, Indra Piliang, Fadli Zon dengan moderator mantan jurnalis yang kini jadi politisi, yakni DP Yoedha.

Di samping kredibilitas dan netralitas Komisi Pemilihan Umum (KPU), berdasarkan kajiannya Ray Rangkuti mengangkat masalah keberpihakan pemerintah selaku masalah kedua yang sangat mencolok untuk dikritisi lebih lanjut.

"Kemudian, ada juga masalah pengabaian pengaduan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh lembaga penegak hukum. Ini menyakitkan demokrasi. Padahal, kalau kasusnya menyangkut Tim calon presiden (Capres) tertentu, atau keluarganya, langsung ditanggapi secara cepat, tidak sampai satu kali 24 jam," katanya di hadapan para aktivis berbagai latar yang datang memenuhi halaman lokasi tempat terjadinya penyerbuan brutal (atau aksi) 27 Juli 1996 tersebut.

Habibie dan Megawati

Forum para aktivis pro demokrasi itu kemudian memberikan apresiasi kepada dua Presiden RI di era reformasi yang memberikan kontribusi sangat signifikan bagi perkembangan demokrasi dan keadilan.

"Presiden BJ Habibie di tahun 1999 mewariskan sebuah Pemilu paling demokratis dan mendapat banyak pujian internasional. Kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri di tahun 2004 sanggup menggelar Pileg dan Pilpres yang paling damai, dan karenanya mendapat acungan jempol mantan Presiden AS, Jimmy Carter ketika itu, dengan mengatakan, Indonesia patut menjadi acuan dunia demokrasi dalam menggelar pemilu," kata Ray Rangkuti.

Sebaliknya, apa yang dapat kita warisi pada Pileg dan Pilpres 2009 ini, menurutnya, sebuah pemilu paling kacau dengan berbagai masalah sangat tidak terbuka bahkan sulit untuk diutak-atik secara hukum.

"Dapat kami katakan, ini merupakan pemilu dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) paling tidak jelas. Mungkin sebaiknya kita belajar pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang jauh-jauh hari, atau berbulan-bulan sebelumnya, DPT-nya sudah dipampang di berbagai gang dan lorong serta tempat-tempat ibadah maupun sekolah," katanya.

Lalu, lanjutnya, ketika terjadi protes di sana-sini, muncul berbagai pernyataan yang menjurus pada penyudutan terhadap dua capres-cawapres, yakni Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto.

"Misalnya saja tindakan kedua pasangan capres-cawapres mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan pilpres, dianggap takut kalah. Lalu direkayasalah survei publik yang seolah-olah mengaminkan pilpres sekarang berjalan jujur. Tak sampai di sana, diangkat lagi sebuah slogan di masa depan agar menggunakan politik akal sehat. Kalau mau pakai akal sehat, jangan merasa terusiklah dengan proses hukum demi mendapat keadilan sekaligus menentang kejahatan pemilu," kata Ray Rangkuti lagi.

KPU Tidak Terbuka

Situasi makin runyam, demikian Ray Rangkuti yang pada 1999 hingga 2004 masih sebagai salah satu aktivis Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) ini, yakni ketika KPU berpenampilan seperti robot dengan perilaku sangat tidak terbuka.

"Salah satu indikasinya, ialah, bahwa yang diungkap ke publik hanya total suara sah dan perolehan tiap partai pada pileg dan total perolehan suara sah para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pilpres," ujar Ray Rangkuti, salah satu pembicara pada forum yang digelar di tempat terbuka oleh Sekretariat Bersama Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), di Jakarta, Kamis.

Selain ketidakterbukaan tentang jumlah suara tidak sah, demikian Ray Rangkuti yang tampil sebagai pembicara pertama dalam forum tersebut, juga berbagai sikap tidak transparan lainnya terus terakumulasi dari hari ke hari.

Karena itulah, sehingga Fadjroel Rachman mengatakan, jika dulu Bung Karno pernah menulis buku `Di Bawah Bendera Revolusi` yang memang diakuinya membawa bangsa ini ke alam kemerdekaan, ternyata kini NKRI berada `di bawah banyak teka-teki`.

"Teka-teki itu ada di bidang hukum, politik dan demokrasi. Akibatnya, Pemilu 2009 ini juga penuh dengan teka-teki, bukan cuma soal apakah itu absah atau tidak. Banyak hal yang patut diungkap, misalnya mengapa prediksi-prediksi oleh tim `incumbent` yang dipublikasikan ke berbagai media massa sama persis dengan kenyataan," katanya dengan menunjuk prediksi perolehan 20 persen di pileg dan 60 persen di pilpres.

Semua ini, menurut Fadjroel Rachman, harus terus mendapat perhatian serius dan upaya maksimal membongkarnya, agar bangsa ini benar-benar hidup dalam alam demokrasi yang jujur, santun serta gemar dengan cara-cara berdasar akal sehat, tidak penuh `teka-teki`. (*)

KPU Harus Back Up Caleg Terancam

RAKYAT MERDEKA.CO.ID


KONTROVERSI PUTUSAN MA
KPU Harus Back Up Caleg Terancam


Kamis, 30 Juli 2009, 16:04:03 WIB


Laporan: Desy Wahyuni

Jakarta, RMOL. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus segera melaksanakan keputusan Mahkamah Agung tentang pembatalan penetapan calon terpilih pada tahap dua.

“Yang dirubah itu kan keputusan KPU bukan caleg. Jadi KPU harus melaksanakan putusan tersebut juga melakukan perlawanan bila merasa keberatan,” Demikian kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Raya Rangkuti dalam diskusi bertajuk Pemilu Curang di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat, sore ini (Kamis, 30/7).

Ray menjelaskan ada tiga putusan MA yang harus dilaksanakan KPU terkait peraturan 15P/HUM/2009. Ketiga putusan tersebut yakni pembatalan peraturan, tunda eksekusi, dan revisi. Paling tidak, menurut Ray, putusan untuk merevisi belum dilakukan KPU. Sehingga, lanjut Ray, partai politik yang merasa dirugikan dengan putusan MA itu bisa mengambil langkah hukum bila keberatan. Dalam hal ini, KPU juga harus memback up mereka yang terancam digeser dari kursi DPR.

“Cara pengitungan KPU dan MA ditengah-tengahnya masih ada jalan di putaran kedua. Bukan keseluruhan suara tapi sisa suara,” tandasnya. [wid]

Administrasi Kacau, Pilpres Dua Putaran Bermasalah

RAKYAT MERDEKA.CO.ID

KONTROVERSI PUTUSAN MA


Administrasi Kacau, Pilpres Dua Putaran Bermasalah


Kamis, 30 Juli 2009, 18:04:38 WIB


Laporan: Desy Wahyuni

Jakarta, RMOL. Jika pilpres terjadi dua putaran sementara PDIP dan Golkar menarik pencalonan pada masa kampanye karena tidak memenuhi administrasi sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) maka tidak bisa dihukum.

Demikian disampaikan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Nasional, Ray Rangkuti, dalam diskusi “Pemilu Curang” di bekas kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta (Kamis, 30/7).

“Kalau pasangan capres dan cawapres menarik pencalonan pada masa kampanye itu bisa kena pidana. Tapi kalau PDIP dan Golkar mencabut pencalonan bukan berdasar keputusan politik, tapi keputusan hukum, maka tidak bisa dipidana. Misal Golkar dan Hanura menarik diri dari pencapresan, maka tindakan mereka sesuai dengan hukum yang ada dalam keputusan MA,” kata Ray.

Menurut Ray, keputusan MA tidak akan membuat situasi pilpres kacau kalau suara PDIP dan Golkar bisa mengajukan calon sendiri. Namun, katanya, yang jadi masalah jika terjadi dua putaran dan PDIP atau Golkar tidak berhak ikut karena kurang memenuhi administrasi kursi DPR. [yan]

Pasangan SBY-Boediono Terancam Didiskualifikasi

PIKIRAN RAKYAT

Jumat, 31 Juli 2009


Pasangan SBY-Boediono Terancam Didiskualifikasi


JAKARTA, (PR).-


Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono terancam dipidana karena menerima dana kampanye dari badan asing. Pasangan itu juga bisa didiskualifikasi sebagai pemenang Pilpres 2009. Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan itu kepada wartawan seusai Mimbar Demokrasi di Jln. Diponegoro No. 58 Jakarta Pusat, Kamis (30/7).

"Berdasarkan pasal 222 dan pasal 103 UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, ada dua jenis sanksi bagi pasangan calon yang menerima dana asing, yaitu sanksi pidana dan sanksi politik berupa diskualifikasi," kata Ray.

Kendati demikian, pasal-pasal dalam UU Pilpres itu tidak mengatur secara rinci siapa yang diancam sanksi pidana. "Pasal itu tidak secara tegas menyebutkan apakah pidana terhadap bendahara ataukah pasangan calon. Tetapi, yang pasti, kalau sanksi politik ya pasangan calon harus didiskualifikasi," ujarnya.

Lembaga yang berhak mendiskualifikasi SBY-Boediono, menurut dia, adalah KPU karena hal itu bersifat administratif. Penjatuhan sanksi administratif oleh KPU berupa diskualifikasi itu bisa dilakukan setelah menerima rekomendasi Bawaslu.

Pemilu ulang

Konsekuensi selanjutnya jika SBY-Boediono didiskualifikasi sebagai pemenang pemilu adalah pemilu ulang atau dimenangi pasangan calon Megawati-Prabowo yang meraih suara terbanyak kedua setelah SBY-Boediono.

"Kalau diskualifikasi ya bisa pemilu ulang atau pemenang kedua yang naik," tuturnya.

Ancaman diskualifikasi memang sangat mahal risiko politiknya. Akan tetapi, kata Ray, kesalahan yang dilakukan Timkamnas SBY-Boediono itu adalah masalah uang dan sanksinya berat jika ingin pemilu berjalan jujur. "Kalau perusahaan asing masuk, itu namanya skandal besar. Sanksinya berat, yaitu diskualifikasi. Tidak peduli besarnya berapa, pokoknya dana asing."

DPT bermasalah

Terkait laporan daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah, Ray menyarankan Bawaslu memanfaatkan sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membeberkan data-data penggelembungan suara dan DPT bermasalah.

Hingga saat ini Bawaslu dinilai belum menunjukkan kemajuan dalam menangani laporan DPT bermasalah. "Tidak ada kemajuan. Jadi, kami berniat untuk kembali mendatangi Bawaslu. Jika sampai Senin tidak ada kemajuan, saya akan mengundang LSM untuk mendatangi Bawaslu. Setelah pemilu bukan berarti masalah kita selesai," katanya.

Aktivis ’90-an Fajroel Rahman, yang juga hadir di Mimbar Demokrasi menyatakan, ajang yang akan diselenggarakan setiap hari itu digelar kalangan pro terhadap demokrasi. "Jangan sampai mundur kalau tiba-tiba partai (PDIP) dan Megawati Soekarnoputri tiba-tiba datang ke sini dan minta kawan-kawan bubar," katanya.

Di tempat peristiwa berdarah 27 Juli 1996 itu hadir puluhan orang dari berbagai organisasi, termasuk keluarga korban tragedi 27 Juli 1996. (A-156)***

Usut Dana Asing ke SBY, Bawaslu Tidak Boleh Kompromi

RAKYAT MERDEKA.CO.ID


Usut Dana Asing ke SBY, Bawaslu Tidak Boleh Kompromi


Jumat, 31 Juli 2009, 08:43:04 WIB


Laporan: Desy Wahyuni

Jakarta, RMOL. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebaiknya bersikap tegas dalam mengusut dugaan aliran dana asing yang masuk ke rekening tim kampanye SBY-Boediono.

Bila memang nanti itu terbukti, Bawaslu diminta untuk menerapkan ketentuan pidana yang tercantum di UU Pilpres 42/2008.

"Bawaslu tidak boleh kompromi," demikian ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti di bekas Kantor PDI, Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, Kamis (30/7).

Dalam diskusi bertajuk “Pemilu Curang” tersebut, turut berbicara Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman) Fadjroel Rahman dan Koordinator Sekretariat Program Kerja Petisi 50 Judilherry Justam.

Ray menambahkan, larangan melibatkan dana asing dalam pemilu dan pilpres sudah sejalan dengan semangat membangun kemandirian bangsa. Karena itu, UU tidak membuat batasan besaran sumbangan dana asing yang dilarang. Berapa pun besarnya tidak diperbolehkan.

"Tidak tergantung jumlahnya, Rp 300 ribu saja ilegal. Apalagi kalau sampai Rp 3 miliar," tukasnya. [wid]

Tak Ikuti MA, KPU Ajarkan Membangkang ke Negara

OKE ZONE.COM


Tak Ikuti MA, KPU Ajarkan Membangkang ke Negara


Kamis, 30 Juli 2009 - 18:33 wib
Ajat M Fajar - Okezone



JAKARTA - Keputusan Mahkamah Agung terkait penetapan kursi jilid II menuai polemik. Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai, jika Komisi Pemilihan Umum tak mengikuti putusan tersebut sebuah pembangkangan terhadap negara.

Ini diungkapkan Ray Rangkuti dalam diskusi di di Posko Benteng Demokrasi Rakyat, Jalan Diponegoro, Jakarta, Kamis (30/7/2009).

"KPU juga bukan hanya mengajarkan orang membangkang kepada negara, tetapi juga mengajarkan orang tidak patuh pada aturan mereka," kata Rangkuti.

Intinya, lanjut Ray Rangkuti, KPU harus tunduk kepada negara bila tidak ada parpol yang sependapat dengan keputusan MA.

"Namun jika ada maka melalui peraturan KPU, parpol bisa melakukan perlawanan melalui jalur hukum. Melawan melalui hukum, bukan dengan mengabaikan putusan MA," tandasnya. (kem)

Senin, 27 Juli 2009

'Golkar Sebaiknya Jadi Oposisi'

REPUBLIKA

Senin, 27 Juli 2009 pukul 01:25:00


'Golkar Sebaiknya Jadi Oposisi'



JAKARTA-- Partai Golkar disarankan menjadi partai oposisi setelah kekalahannya pada pemilu legislatif serta pemilu presiden dan wapres. Alasan partai berlambang pohon beringin ini bahwa tidak mempunyai tradisi untuk menjadi oposisi, dinilai sangat aneh.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, menilai oposisi merupakan pilihan yang tepat bagi Partai Golkar sebagai konsekuensi dari pemilu. Untuk memperkuat demokrasi, Partai Golkar dianggapnya harus menjadi partai oposisi.

''Ini kan konsekuensi dari pertandingan pemilu kemarin,'' kata Ray kepada Republika di Jakarta, Ahad (26/7).

Seandainya Partai Golkar mencari muka untuk masuk kembali dalam pemerintahan, Ray memandang sikap itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Alasan Partai Golkar tak terbiasa menjadi oposisi, dianggapnya sangat aneh. Membandingkan dengan partai lain, dia menyebutkan Partai Gerindra yang baru berdiri saja sudah berani menjadi oposisi.
''Ini bukan soal tradisi, tapi konsekuensi dari pemilu,'' katanya menegaskan.

Namun, sosok yang kerap mengamati jalannya pemilu ini mengakui bahwa sikap partai warisan Orde Baru ini, akan tergantung pada figur ketua umum yang terpilih pada musyawarah nasional nanti. Dia memperkirakan, bila kursi Slipi satu itu bisa dipegang oleh faksi Jusuf Kalla yang direpresentasikan kalangan muda, Partai Golkar akan mengambil sikap oposisi.

Sebaliknya, sambungnya, jika faksi Aburizal Bakrie yang memang, Partai Golkar cenderung merapat ke pemerintah. Namun, bagi Ray, Partai Golkar sebaiknya dipimpin oleh anak-anak muda untuk menghadapi tantangan zaman yang tidak mudah lagi.
''Sekarang eranya anak muda,'' katanya menandaskan. djo
(-)

Menggugat DPT merupakan keharusan.

REPUBLIKA


Senin, 27 Juli 2009 pukul 01:27:00


JK-Wiranto Ajukan Gugatan ke MK
Menggugat DPT merupakan keharusan.



JAKARTA--Tim advokasi pasangan JK-Wiranto akan mengajukan gugatan berbagai temuan kecurangan selama pemilihan presiden dan wakil presiden, termasuk di dalamnya masalah daftar pemilih tetap (DPT) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Penyelenggaraan pilpres dinilai masih jauh dari asas jurdil dan luber.

''Besok, Senin (27/7), tim advokasi JK-Wiranto akan mengadukannya ke MK tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pilpres lalu,'' kata Juru Bicara Tim Kampanye JK-Wiranto, Poempida Hidayatollah, kepada Republika di Jakarta, Ahad (26/7).

Tim kampanye pasangan nusantara ini menilai, proses pilpres masih jauh dari ideal. Akibat banyaknya kasus yang terjadi, lanjutnya, legitimasi penyelenggaraan ini pun patut dipertanyakan. Menurutnya, banyak kasus yang ditemukan di lapangan dan perlu klarifikasi KPU.

''Sayangnya, sampai sekarang belum ada tanggapan serius dari KPU,'' sesalnya.

Sesuai dengan janjinya, pasangan JK-Wiranto tetap mengajukan gugatan ke MK terkait dengan pelaksanaan pilpres. Tim kampanye pasangan ini menemukan banyak kecurangan, termasuk di dalamnya kasus DPT. Namun, JK-Wiranto tetap menghadiri penetapan hasil rekapitulasi pilpres tingkat nasional oleh KPU pada Sabtu lalu untuk menghormati tahapan pilpres.

Sementara itu, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, menilai, carut-marut DPT yang terjadi sejak pemilu legislatif hingga pemilu presiden dan wakil presiden jangan dibiarkan begitu saja berlalu. Masalah proses pemilu ini harus digugat ke Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan demokrasi di Tanah Air.

MK pun dinilai telah membuka pintu bagi masuknya gugatan terhadap DPT itu. Ray mengingatkan, bila masalah DPT ini tidak diselesaikan melalui jalur hukum, kelak bisa muncul lagi. Pola kecurangan melalui DPT ini sebenarnya sudah marak pada pilkada yang kemudian diangkat ke jenjang pemilu.

''Menggugat DPT menjadi keharusan,'' katanya kepada Republika.

Jika kasus DPT ini dibiarkan, pengamat pemilu ini khawatir dengan masa depan demokrasi di Tanah Air. Kecurangan melalui DPT itu dianggapnya berbahaya bagi demokrasi. ''Terlepas dari menang atau kalah, jangan biarkan masalah ini karena kita seolah-olah memaafkannya,'' ujarnya mengingatkan.

Gugatan terhadap DPT itu, dikatakan Ray, juga merupakan peringatan bagi pihak lain yang ingin berbuat curang dengan mengutak-atik DPT. Apalagi, tegasnya, MK sudah menyadari masalah ini sehingga pintu bagi gugatan terhadap DPT pun dibuka lebar-lebar. Kendati MK sebenarnya hanya bisa memproses gugatan terhadap hasil pemilu, bukan prosesnya.

''Karena, MK menyadari pemilu tidak mencerminkan asas jurdil dan luber,'' tandasnya.

Sebelumnya, KPU sudah mengesahkan hasil rekapitulisasi pilpres tingkat nasional. Namun, KPU belum menetapkan pasangan presiden dan wapres terpilih lantaran masih ingin menunggu proses gugatan di MK.

Peluang kecil
Pakar pidana pemilu dari Universitas Indonesia (UI), Topo Santoso, berpendapat, peluang dikabulkannya gugatan sengketa pemilu presiden di MK kecil. Meski demikian, pengajuan upaya hukum itu sah saja. Dia berharap, ketika palu sudah diketuk MK, semua pihak menerima hasil pemilu presiden dengan segala kekurangan yang ada.

''Dari pengalaman yang ada, agak susah argumentasi yang dibangun kalau (gugatan) diajukan berdasarkan kasus DPT,'' kata Topo di Jakarta Ahad.

Hal ini ditunjang pula dengan angka perolehan suara pemilu presiden yang selisihnya sangat jauh. djo/ann
(-)

Minggu, 26 Juli 2009

KPU Timbulkan Pertanyaan


MATANEWS.COM

Sunday, July 26, 2009 20:40
KPU Timbulkan Pertanyaan


Headlines | Sat, Jul 25, 2009 at 12:17 | Jakarta, matanews.com


Pengamat politik Ray Rangkuti, mengemukakan, penetapan hasil rekapitulasi oleh KPU masih menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat, karena hanya mengumumkan hasil jumlah suara yang diperoleh 3 pasang Capres-Cawapres saja,

Seharusnya kata Ray, yang namanya sebuah hasil rekapitulasi, KPU juga harus mengumumkan, jumlah suara yang rusak, berapa surat suara yang telah dicoret, berapa jumlah keseluruhan pemilih, berapa yang tidak memilih. “Dari hal-hal inilah baru kemudian dijumlahkan perolehan suara seperti yang diumumkan saat ini,” kata Ray di Jakarta, Sabtu.

Menurut Ray, pada dasarnya hal-hal yang tidak diumumkan inilah sebenarnya yang sebagian besar dianggap tim Mega-Prabowo dan JK-Wiranto sebagai pelanggaran dalam Pilpres. “Hasil Pilpres ini masih harus menempuh jalur hukum di MK. Dan jika dalam pemeriksaan MK akhirnya menyatakan telah terjadi pelanggaran secara masiv, maka Pilpres harus diulang,” kata Ray.

Selain itu kata Ray, beberapa hari lalu KPU juga kembali membuat blunder, yaitu dengan mengumumkan hasil rekapitulasi dua hari lebih cepat dari tanggal yang sudah ditentukan dalam UU yakni tanggal 27, hari ini. “Banyak kalangan jadi bertanya, apa yang diburu sehingga harus ada pengumuman awal. Ada apa ini? Berbagai pertanyaan akhirnya muncul,” kata Ray.

Bahkan kata Ray, ada juga yang sudah menganggap KPU ada yang intervensi untuk memproklamirkan hasil rekapitulasi lebih cepat.”pasti ada pihak-pihak yang mengintervensi KPU agar segera memproklamirkan pemenang Pilpres” ujarnya.(*z/edy)

KPU Bakal Merepotkan Bangsa Lagi

RAKYAT MERDEKA ONLINE


KPU Bakal Merepotkan Bangsa Lagi


Jumat, 24 Juli 2009, 17:21:52 WIB


Laporan: Aldi Gultom

Jakarta, RMOL. Langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terburu-buru mengesahkan hasil Pilpres 2009 akan menimbulkan kekisruhan baru.

“Tak usah terburu-buru. Masih banyak persoalan yang lebih baik dihadapi. Sebaiknya ada penjelasan pada capres-capres yang belum puas supaya ada penyelesaian,” kata Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, pada Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Jumat 24/7).

Ray mengatakan sesuai UU Pilpres, penetapan dapat dilakukan sesuai jadwal pertama KPU yaitu tanggal 27 Juli 2009. Bahkan, diperbolehkan 30 hari setelah penyelenggaraan pilpres, tanggal 7 Agustus 2009.

“Ada yang sedang menyiapkan gugatan hukum setelah KPU mensahkan. Sebaiknya, sebelum itu disahkan ada penyelesaian dulu. Mustinya KPU belajar dari kasus keputusan MK dan MA, keputusan mereka merepotkan bangsa ini. Daripada bertele-tele lagi,” tegasnya. [ald]

MPD Laporkan Pelanggaran Pilpres

FAJAR

Kabar Pemilu


Rabu, 22-07-09 | 00:37 | 197 View


MPD Laporkan Pelanggaran Pilpres


JAKARTA -- Tahapan pilpres memang sisa menunggu penetapan resmi KPU dari hasil rekap manual. Tapi pejuang demokrasi terus melakukan upaya menggali pelanggaran yang terjadi. Seperti dilakukan Masyarakat Pengawal Demokrasi (MPD) saat mendatangi kantor Bawaslu, Jl MH Thamrin, Selasa 21 Juli. Ada sembilan indikasi pelanggaran yang dilaporkan.

Pertama, seperti disampaikan juru bicara MPD, Ray Rangkuti, lembaga pemilihan diragukan kompetensinya, kenetralan dan tanggung jawabnya, yang mendorong terjadinya berbagai kecurangan pemilu dan penghilangan hak pilih.

Kedua, daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak pernah diumumkan kepastian jumlah dan ketepatannya. Ketiga, pelanggaran otoritas pemerintah ditemukan dalam bentuk mobilisasi sumber daya serta penggiringan pemilih pada calon tertentu.

"Tim sukses juga memanipulasi sumber dan jumlah pendanaan, serta melanggar aturan kampanye," ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) ini. Lima, lembaga yudisial cenderung mengabaikan pengaduan dari lembaga pengawasan. Pada sisi lain, media massa juga cenderung tidak memberi akses yang setara bagi setiap kontestan.

"Pelanggaran lain adalah lembaga riset dan penyiaran mengabaikan reasionalitas dan kemaslahatan publik dengan melanggar kaidah ilmiah atau etika penyiaran hasil survei dan hitung cepat," ujar Ray.
Indikasi lain yang dilaporkan adalah keterlibatan lembaga asing pada sektor strategis yang berpotensi memanipulasi hasil pemilu. Terakhir, kepala pemerintahan tidak menunjukkan tanggung jawabnya yang optimal dalam mengupayakan pemilu yang bermutu, jujur, dan adil.

Selain melaporkan sembilan indikasi pelanggaran tersebut, MPD juga mempersoalkan pidato SBY pasca peledakan bom. Menurut Dani Setiawan, anggota MPD dari koalisi anti utang, pidato SBY itu adalah teror bagi pejuang demokrasi yang ingin mengungkap keganjilan yang terjadi dalam pemilu.

MPD yang diwakili Ray Rangkuti, Dany Setiawan, Chalid Muhammad, Yudi Latif, dan Frangky Sahilatua meminta Bawaslu bisa memproses indikasi pelanggaran tersebut. Sebab bila tidak, kualitas pemilu akan diragukan.

Selain itu, Ray Rangkuti juga mempertanyakan masalah perhitungan di KPU yang tidak jelas. Pada saat yang sama beredar pesan singkat bahwa suara SBY hanya 47 persen. Ketua Bawaslu, Nurhidayat Sardini yang didampingi anggotanya Wahidah Suaib dan Agustiani Tio Fridelina Sitorus menyambut baik dorongan MPD tersebut.

Apa yang disampaikan menjadi tantangan bagi Bawaslu. "Sebab, kalau bicara pelanggaran, maka harus ada tindak lanjut," ungkapnya. Ia lalu mengungkap beberapa hal yang sejalan dengan laporan MPD tersebut. Misalnya temuan spanduk sosialisasi yang oleh Bawaslu sudah disimpulkan memang mengarah pada keberpihakan, sehingga Bawaslu meminta agar dibentuk Dewan Kehormatan. (har)

Nilai 5 untuk Kinerja KPU

KOMPAS.COM


Nilai 5 untuk Kinerja KPU


Jumat, 24 Juli 2009 | 13:50 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com — Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) dinilai buruk. Bahkan, jika diberi nilai (score) maka nilai 4 dan 5 merupakan nilai yang paling pantas untuk KPU.

"Kalau diberi score di bawah lima. Itu artinya enggak naik kelas," ujar Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti dan Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo dalam diskusi "Menjelang Penetapan Hasil Pilpres" di DPD RI, Jakarta, Jumat (24/7).

Menurut Ray, pelaksanaan pileg dan pilpres di bawah KPU saat ini sangatlah buruk karena menyisakan segala macam masalah. Karenanya, Ray mengaku memaklumi jika pasangan capres-cawapres Mega-Prabowo dan JK-Wiranto merasa kecewa. "DPT (daftar pemilih tetap)-nya aja enggak ketahuan. Makanya saya bisa pahami kalau dua capres-cawapres lain merasa kecewa. Saya kira itu wajar," katanya.

Sementara itu, Bambang Eka Cahya Widodo mengaku sejak awal pelaksanaan pileg dan pilpres, pihak Bawaslu telah menemui adanya sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh KPU, salah satunya adalah mengenai (DPT), tetapi KPU menurutnya tidak pernah mau terbuka. "Bawaslu sendiri enggak diberi akses," katanya.

C10-09

KPU Jangan Buru-buru Tetapkan Hasil Pilpres

ONLINE MADANI


KPU Jangan Buru-buru Tetapkan Hasil Pilpres


Jakarta-Komisi Pemilihan Umum (KPU) diingatkan untuk tidak terburu buru menetapkan hasil Pilpres 2009. KPU semestinya terlebih dahulu menjelaskan seluruh proses pelaksanaan pilpres kepada tim sukses pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, yang telah merasa dirugikan oleh KPU.

"Kita ingatkan (KPU) enggak usah buru-buru tetapkan (hasil pilpres) besok. Berikan dulu jawaban ke pasangan Mega-Pro dan JK-Win. Kan menurut jadwal (penetapan hasil pilpres) tanggal 27 Juli artinya, ia (KPU) masih punya waktu sampai tanggal 7 Agustus. Saya sangat menyayangkan kalau KPU menetapkan hasil pilpres besok," kata Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, dalam diskusi "Menjelang Penetapan Hasil Pilpres" di DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (24/7).

Turut hadir menjadi pembicara dalam acara tersebut Anggota DPD RI M Nasir dan Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo. KPU berencana akan menetapkan hasil pilpres, Sabtu (25/7) besok.

Berdasarkan jadwal penetapan hasil pilpres oleh KPU, semestinya penetapan hasil pilpres dilakukan pada 27 Juli 2009, dan berdasarkan Undang-Undang Pemilu, penetapan hasil pilpres paling lambat 30 hari pascapemungutan suara, atau 7 Agustus mendatang.
Jika KPU bersikeras menetapkan hasil pilpres esok hari, Ray mengaku khawatir KPU akan menciptakan suatu celah yang dapat membuat presiden terpilih senantiasa digugat legitimasi keterpilihannya oleh dua kandidat capres-cawapres yang lain. Pasalnya dalam UU Pemilu, penetapan hasil pilpres harus dihadiri oleh para saksi dari masing masing capres-cawapres.

"Kalau mereka (capres-cawapres) enggak mau tanda tangan hasil enggak apa-apa karena di undang-undang enggak ada ketentuannya, tapi kalau mereka enggak datang saat penetapan itu yang bahaya, karena di undang-undang menyatakan, penetapan baru sah kalau dihadiri oleh para saksi capres-cawapres," ujarnya.

Selain itu, Ray juga menilai, semenjak pemilu legislatif hingga pilpres, KPU tidak pernah dapat menyelesaikan masalah. KPU dinilainya hanya menyisakan masalah. "Dari tahapan demi tahapan pemilu, KPU enggak pernah menyelesaikan masalah, tapi menyisakan masalah," ujarnya.

Siapa Pun Presiden Terpilih, Tidak Akan Aman

SURYA ONLINE]


Siapa Pun Presiden Terpilih, Tidak Akan Aman


Jumat, 24 Juli 2009 | 18:09 WIB | Posts by: Sugeng Wibowo | Kategori: Berita



JAKARTA | SURYA Online - Siapa pun yang menang dalam pemilu presiden 8 Juli lalu, Indonesia tidak akan aman jika KPU tidak mau menjelaskan jumlah total DPT pilpres. Selain itu, rencana KPU untuk menetapkan hasil pilpres, Sabtu (25/7), juga akan membuat celah delegitimasi capres-cawapres terpilih.

“Siapa pun presidennya, enggak akan aman karena memiliki potensi digugat,” kata Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti di gedung Dewan Perwakilan Daerah RI, Jakarta, Jumat (24/7).

Karena itu, Ray mengimbau KPU untuk tidak meremehkan pasangan capres-cawapres yang tidak mau menandatangani hasil perhitungan suara pilpres. “Jadi jangan dianggap lemah-lah. Kalau mereka enggak tanda tangan, berarti membuka ruang untuk selalu menggugat hasil pilpres,” ujarnya.

KPU, Kamis (23/7) kemarin, telah merampungkan rekapitulasi hasil pemungutan suara pilpres. Pasangan SBY-Boediono keluar sebagai pemenang dengan memperoleh 60,80 persen suara, disusul pasangan Megawati-Prabowo di posisi kedua (26,79 persen), dan JK-Wiranto berada di posisi ke iga (12,41 persen).

Dalam rekapitulasi itu, saksi dari pasangan Mega-Prabowo tidak hadir, sementara saksi dari pasangan JK-Wiranto walk out dari ruangan. Ke dua pasangan capres tersebut mengancam tidak akan menandatangani hasil perhitungan suara pilpres yang dilakukan KPU. Pasalnya, DPT yang mereka miliki berbeda dengan DPT yang digunakan oleh KPU provinsi seluruh Indonesia.

Tim sukses dari pasangan JK-Win bahkan menemukan sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan Pilpres 2009, di antaranya ketidakakuratan jumlah data pemilih tetap di sejumlah daerah. Misalnya di Jawa Tengah yang mengalami pembengkakan 6 juta suara dibanding DPT sebelumnya. Juga di Riau.

Juga ada kesalahan tahapan penyelenggaraan pilpres yang terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. c10-09/kcm

KPU Jangan Buru-buru Tetapkan Hasil Pilpres

JAKNEWS.COM

KPU Jangan Buru-buru Tetapkan Hasil Pilpres


(Jumat,24/07/2009:pkl.14.00 wib)


JAKNEWS.COM--Komisi Pemilihan Umum (KPU) diingatkan untuk tidak terburu buru menetapkan hasil Pilpres 2009. KPU semestinya terlebih dahulu menjelaskan seluruh proses pelaksanaan pilpres kepada tim sukses pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, yang telah merasa dirugikan oleh KPU.

"Kita ingatkan (KPU) enggak usah buru-buru tetapkan (hasil pilpres) besok. Berikan dulu jawaban ke pasangan Mega-Pro dan JK-Win. Kan menurut jadwal (penetapan hasil pilpres) tanggal 27 Juli artinya, ia (KPU) masih punya waktu sampai tanggal 7 Agustus. Saya sangat menyayangkan kalau KPU menetapkan hasil pilpres besok," kata Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, dalam diskusi "Menjelang Penetapan Hasil Pilpres" di DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (24/7).

Turut hadir menjadi pembicara dalam acara tersebut Anggota DPD RI M Nasir dan Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo. KPU berencana akan menetapkan hasil pilpres, Sabtu (25/7) besok.

Berdasarkan jadwal penetapan hasil pilpres oleh KPU, semestinya penetapan hasil pilpres dilakukan pada 27 Juli 2009, dan berdasarkan Undang-Undang Pemilu, penetapan hasil pilpres paling lambat 30 hari pascapemungutan suara, atau 7 Agustus mendatang.

Jika KPU bersikeras menetapkan hasil pilpres esok hari, Ray mengaku khawatir KPU akan menciptakan suatu celah yang dapat membuat presiden terpilih senantiasa digugat legitimasi keterpilihannya oleh dua kandidat capres-cawapres yang lain. Pasalnya dalam UU Pemilu, penetapan hasil pilpres harus dihadiri oleh para saksi dari masing masing capres-cawapres.

"Kalau mereka (capres-cawapres) enggak mau tanda tangan hasil enggak apa-apa karena di undang-undang enggak ada ketentuannya, tapi kalau mereka enggak datang saat penetapan itu yang bahaya, karena di undang-undang menyatakan, penetapan baru sah kalau dihadiri oleh para saksi capres-cawapres," ujarnya.

Selain itu, Ray juga menilai, semenjak pemilu legislatif hingga pilpres, KPU tidak pernah dapat menyelesaikan masalah. KPU dinilainya hanya menyisakan masalah. "Dari tahapan demi tahapan pemilu, KPU enggak pernah menyelesaikan masalah, tapi menyisakan masalah," ujarnya.

Komisi Diminta Tunda Penetapan Presiden Terpilih

TEMPO INTERAKTIF


Komisi Diminta Tunda Penetapan Presiden Terpilih


Jum'at, 24 Juli 2009 | 14:05 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia, Ahmad Fauzi atau biasa dikenal Ray Rangkuti, meminta Komisi Pemilihan Umum menunda penetapan presiden terpilih. Alasannya, ketidakhadiran saksi dua pasangan calon presiden yang bisa berdampak keabsahan rekapitulasi hasil pemilihan presiden.

"Kalau rapat tidak dihadiri saksi pasangan calon, tidak sah," kata Fauzi dalam diskusi di gedung Dewan Perwakilan Daerah, Jumat (25/7).

Fauzi menuturkan sesuai dengan Pasal 153 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, bahwa Komisi Pemilihan Umum melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi pasangan calon dan Badan Pengawas Pemilihan Umum.

"Harus dilihat lagi mekanisme rapat pleno KPU itu," kata dia. Ahmad mengakui, dua saksi pasangan calon tidak mau memang tidak masalah. "Tapi kalau rapatnya tidak sah, apa yang mau ditandatangani," ujar dia. Legitimasi secara politik pun tidak ada.

Sebelumnya, saksi dari pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan saksi pasangan Jusuf Kalla-Wiranto walk out pada hari kedua rekapitulasi suara nasional. Saksi Megawati berdalih rekapitulasi itu cacat karena Komisi Pemilihan telah melakukan perubahan Daftar Pemilih Tetap menjelang pemilihan tanpa mengumumkan ke publik.

Selain mekanisme pleno yang berakibat tidak sahnya perhitungan, Fauzi menuturkan masalah perubahan daftar pemilih tetap secara sepihak pun menjadi celah buruknya kualitas hasil pemilihan. "Kalau pangkalnya tidak jelas, bagaimana dengan ujungnya," kata dia.

"Seharusnya sebelum pemilihan, bisa diumumkan satu hari sebelumnya." KPU, kata dia, selalu berpikir potensi sengketa akan selalu diselesaikan di lembaga lain. "Padahal seharusnya diselesaikan dulu, karena nanti juga akan berkaitan lagi dengan KPU," ujarnya.

Anggota Badan Pengawas, Bambang Eka Cahya Widodo mengatakan, keberatan dari saksi saat rapat pleno perlu menjadi catatan. Soal keabsahan penetapan hasil perhitungan, dia menegaskan perlu melihat kembali mekanisme dalam rapat soal penundaan saat sejumlah saksi keluar dari rapat. "Harus dilihat dulu, mekanisme yang ditetapkan KPU seperti apa," ujarnya.

EKO ARI WIBOWO

KPU Jangan Percepat Penetapan

SURABAYA POST


KPU Jangan Percepat Penetapan


Kamis, 23 Juli 2009 | 12:09 WIB

JAKARTA-Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menyarankan, rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memperpendek jadwal penetapan penghitungan pemilihan presiden/wakil presiden (pilpres) selayaknya dipertimbangkan lagi dengan cermat.

"Keterburu-buruan dalam penetapan penghitungan hasil pilpres akan potensial menghilangkan keakuratan," katanya, di Jakarta, Rabu (22/7) malam.

KPU sebelumnya ingin mempercepat penetapan penghitungan hasil pilpres dari tanggal 27 Juli yang dijadwalkan, menjadi tanggal 25 Juli.

"Kita minta tetap saja penetapan dilakukan sesuai jadwal semula, 27 Juli. Bahkan jika tanggal 30 Juli pun belum terlambat," kata Ray.

Ia mengatakan, ada baiknya KPU tetap dengan jadwal 27 Juli, guna memberi kesempatan adanya perdebatan memadai dalam upaya mencari kebenaran materiil," kata Ray, yang Selasa lalu melaporkan indikasi sembilan pelanggaran Pemilu 2009 ke Bawaslu.

Ray mengakui, tak ada peraturan yang menentukan bahwa tanpa tanda tangan para saksi, rekap tak sah. Tapi bagaimanapun juga KPU layak mencegah jangan sampai hal ini terjadi.

"Sebab ini akan menurunkan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, beri ruang yang cukup untuk debat penghitungan dengan leluasa," katanya. mer

Pengesahan Hasil Pilpres Sebaiknya Ditunda

ELSHINTA


24/7/2009 15:26 WIB


Lingkar Madani :
Pengesahan Hasil Pilpres Sebaiknya Ditunda


Sapto Prabowo - Jakarta, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai terlalu tergesa-gesa dalam melakukan penetapan hasil pemilu Presiden 2009.

Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti dalam Diskusi di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (24/7) mengatakan, pengesahan hasil Pilpres sebaiknya ditunda untuk menjelaskan ketidakpuasan pasangan Mega-Pro dan JK-WIN.

Penundaan dapat dilakukan karena masih ada waktu diatas tanggal 25 Juli esok, karena berdasar UU batas waktu pengesahan 30 hari.

Menurut Ray, pengesahan dapat dilakukan seperti jadwal semula 27 Juli 2009 atau bahkan lebih, yang penting 30 hari.

Untuk itu ia berharap KPU tidak perlu buru-buru mengesahkan hasil Pilpres 2009, sebelum menyelesaikan permasalahan pasangan Capres-Cawapres yang sampai sekarang belum puas.

"Yang penting KPU menyiapkan alat jawab pada dua pasangan calon yang masih tidak puas. Sisa waktu ini bisa digunakan untuk dialog dan jangan sampai KPU berkilah tidak akan menyelesaikan persoalan", ujarnya. (sik)

Penetapan Hasil Pilpres

SINAR HARAPAN

Sabtu, 25 Juli 2009 13:27

Penetapan Hasil Pilpres
Megawati-Prabowo Tak Hadir

OLEH: ROMAULI


Sementara itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto tampak hadir bersama tim sukses mereka. Penetapan hasil Pilpres 2009 digelar di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sabtu (25/7). Penetapan dilakukan setelah melalui rekapitulasi suara nasional sejak Rabu-Kamis (22-23 Juli 2009). Acara itu juga dihadiri seluruh anggota KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Sesuai Pasal 158 Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penetapan perolehan suara secara nasional ini dihadiri oleh Bawaslu dan pasangan capres-cawapres.

Pasangan capres-cawapres Kalla-Wiranto tiba di ruang sidang utama Kantor KPU Jl Imam Bonjol sekitar pukul 09.57 WIB. Kemudian, pada pukul 10.00 WIB, pasangan Yudhoyono-Boediono juga memasuki ruang sidang utama dan sempat bersalaman dengan pasangan Kalla-Wiranto. Namun, hingga acara penetapan dimulai, Megawati-Prabowo tidak tampak hadir dan hanya diwakili oleh tim kuasa hukum mereka, yaitu Gayus Lumbuun.

Sesuai hasil rekapitulasi dari 33 provinsi dan 117 kantor perwakilan luar negeri, pasangan Yudhoyono-Boediono memperoleh suara sah sebanyak 73.874.562 (60,80 persen) dari total suara sah nasional 121.504.481. Sementara itu, pasangan Megawati-Prabowo meraih 32.548.105 suara sah (26,79 persen) dan Kalla-Wiranto mendapat 15.081.814 suara (12,41 persen). Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 127.983.655 orang, yang menggunakan KTP dan paspor sebanyak 382.393 orang.

Kendati pasangan Yudhoyono-Boediono meraih suara terbanyak, KPU belum menetapkan pasangan presiden terpilih periode 2009-2014 hari ini. Anggota KPU Andy Nurpati kepada SH, Sabtu (25/7) pagi, mengatakan, penetapan presiden-wakil presiden dilakukan selambat-lambatnya 14 hari sebelum ber­akhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden. Belum ditetapkannya presiden-wakil presiden saat ini untuk menunggu terjadinya kemungkinan perubahan dari gugatan yang dilakukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kami tidak mau mendahului dan tidak mau terburu-buru.Kami masih menunggu apakah ada gugatan atau tidak, dan kami tidak tahu hasilnya bagaimana,” katanya.

Perwakilan pasangan Me­gawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Gayus Lumbuun, menolak berita acara rekapitulasi penghitungan suara yang diserahkan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary.

Usai pembacaan Surat Ke­putusan KPU Nomor 265/­KPTS/KPU/2009 tentang pentulasi penghitungan suara dan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu, Ketua KPU menyerahkan salinan surat tersebut kepada setiap pasangan calon.

Gayus Lumbuun yang me­wakili kehadiran pasangan calon Megawati-Prabowo me­nolak menerima salinan keputusan tersebut. “Kami mewakili pasangan calon Megawati dan Prabowo menolak menerima hasil penghitungan suara,” ujar Gayus yang juga Koordinator Tim Hukum pasangan Mega­wati-Prabowo.

Alasan penolakan itu, menurut Gayus, karena begitu banyak dugaan penyimpangan yang terjadi selama Pemilu Presiden 2009, termasuk ketidakberesan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Hadapi Gugatan

Sementara itu, KPU sudah menyiapkan bahan untuk bukti melawan rencana gugatan pasangan Megawati Soe­kar­noputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary kepada wartawan di Kantor KPU Jakarta, Jumat (24/7), mengatakan, saat ini pihaknya sedang melihat hasil pemantauan di tingkat TPS dan membahas persoalan tersebut. Bahan-bahan hasil pemantauan akan disampaikan oleh KPU setempat.

“Jadi artinya, kami akan ben­tuk tim advokasi yang orang-orangnya itu dari KPU dan KPU provinsi. Tadi sudah kami kumpulkan. Kebetulan ada sarjana-sarjana hukum yang jadi anggota KPU,” kata Hafiz.

Beberapa provinsi menyatakan sudah menyiapkan bahan untuk melawan gugatan dua pasangan capres-cawapres tersebut. Tiga daerah yang menyatakan siap, yaitu Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Di bagian lain, Ketua Tim Hukum dan Advokasi Mega­wati-Prabowo, Gayus Lum­buun, menambahkan, setidaknya ada tiga kemungkinan yang bisa muncul dari gugatan ke MK. Dengan bukti-bukti yang kuat, MK bisa menegaskan pilpres cacat hukum yang dengan demikian hasilnya pun batal demi hukum.

Konsekuensinya bisa saja MK meminta pelaksanaan pilpres ulang atau perhitungan suara ulang yang berkonsekuensi pada berubahnya perolehan suara masing-masing pasangan calon, atau meminta pilpres putaran kedua. Gayus Lumbuun yakin bukti yang diajukan timnya untuk menggugat ke MK sangat kuat dan sangat banyak.

Ia menegaskan, dengan berbagai macam pelanggaran UU selama pilpres, KPU tidak boleh menetapkan dulu hasil pilpres. Sebaliknya, KPU harus mengklarifikasi berbagai temuan pelanggaran masing-masing calon. Apalagi, bawaslu dan Komnas HAM pun menegaskan bahwa pemilu penuh dengan berbagai kecurangan yang masif dan sistematis.

Anggota Tim Kuasa Hukum Mega-Prabowo, Mahen­daradata, menambahkan, MK harus jadi penyelamat bagi jalannya demokrasi di negeri ini. Karenanya, MK tidak boleh menjadi loket klarifikasi kemenangan pasangan calon tertentu saja. “Kami mengharapkan MK bekerja profesional serta ingin menegakkan demokrasi dan aturan di negeri ini,” ucap Mahendaradata.

Ketentuan UU

Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, penetapan hasil pilpres harus dihadiri pengawas dan pasangan capres-cawapres peserta Pilpres 2009. Jika tidak, KPU dinilai melanggar ketentuan UU 42 Tahun 2008 dan membuat rekapitulasi hasil pilpres menjadi tidak sah.

“Jika KPU keukeuh melakukan penetapan dan pengumuman rekapitulasi tanpa dihadiri pasangan capres atau pengawas, hasil tersebut bisa digugat kembali baik ke Mahkamah Agung atau ke Mahkamah Konstitusi,” katanya dalam diskusi bertajuk “Menjelang Penetapan Hasil Pilpres” di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (24/7).

Apabila ada halangan dari pasangan calon untuk menghadiri pengumuman hasil rekapitulasi suara, hal itu sebenarnya bisa tetap dilaksanakan asalkan pasangan calon mengutus saksi dengan melampirkan surat keterangan bahwa saksi tersebut sah
sebagai perwakilan dari pasangan calon yang tidak bisa hadir. Jika saksi sudah lengkap dan pengawas sudah ada, baru KPU bisa menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara pilpres.

Untuk itu, Ray meminta KPU tidak terburu-buru menetapkan hasil rekapitulasi suara Pilpres 2009 dan memberikan penjelasan tentang prosedur perwakilan saksi tersebut kepada pasangan capres-cawapres.

Berdasarkan UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, KPU masih memiliki waktu hingga 7 Agustus 2009 untuk menetapkan hasil rekapitulasi suara pilpres. Oleh karena itu, Ray kembali mengingatkan KPU agar tidak terburu-buru dan mengikuti prosedur penetapan hasil suara sebagaimana tercantum dalam UU.(wishnugroho akbar/inno jemabut)

Bawaslu: KPU Jeblok

MATANEWS.COM



Bambang Eka dan Ray Rangkuti saat diskusi di Gedung DPD /matanews.mo


Bawaslu: KPU Jeblok


Headlines | Fri, Jul 24, 2009 at 15:08 | Jakarta, matanews.com


Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyelenggarakan pemilihan presiden jeblok dimata Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan LSM Lingkar Madani. Bahkan dalam skala angka 1-10, KPU paling maksimal diberi angka lima.

Demikian mengemuka dalam diskusi “Menjelang Penetapan Hasil Pilpres” di Gedung DPD, Jumat (24/7).

Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani menyatakan bisa dipahami kalau dua pasangan capres dan cawapres mewacanakan untuk tidak menandatangani hasil akhir rekapitulasi. Ray menyebut tidak ada upaya KPU mengumumkan jumlah DPT yang sebenarnya.

“KPU harus bisa menjelaskan perubahan DPT, kalau tidak angka rekapitulasi yang akan diumumkan itu bisa tidak dianggap. Dalam skala angka 1-10 kinerja KPU dibawah angka lima. Jadi KPU ibarat sekolah tidak naik kelas,” tegas Ray.

Bambang Eka Cahyawidodo, anggota Bawaslu mengatakan Bawaslu sudah mengingatkan persoalan DPT sejak awal pemilu legislatif. Nyatanya, soal DPT, KPU tidak terbuka ke publik termasuk ke Bawaslu. Bahkan Bawaslu baru mendapat satu hari sebelum hari H pilpres padahal sudah diminta sejak 29 Mei. Angkanya pun ternyata berubah-ubah. “Saya beri angka lima saja untuk KPU,” kata Bambang.

Menurut Ray legitimasi pilpres secara politik tidak ada apalagi kalau dua pasangan capres tidak tandatangan. Secara hukum pun pelaksanaan pilpres bisa digugat terus.

“Saya menyayangkan kalau besok tetap KPU memaksakan penetapan pilpres. Jadualnya 27 Juli mengapa buru-buru kalau waktu masih tersedia. Seharusnya KPU memanfaatkan waktu untuk menyiapkan argumentasi kuat kepada dua capres, bukan jawaban yang bisa dinilai berkilah,” kata Ray.

Bambang menyebut legitimasi politik dengan sikap menolak tanda tangan, meskipun dari segi hukum meskipun berita acara penghitungan tidak ditandatangani tetap bisa diputuskan menjadi hasil pilpres. “Secara hukum tak ada masalah, tapi secara politik akseptabilitas menjadi persoalan dan menggangu meskipun tidak seserius yang dibayangkan orang,” kata Bambang.

Repotnya, kata Ray, KPU bisa memberi celah yang bisa digugat ke MK dan MA. Lebih buruk lagi kalau lembaga itu menganulir hasil KPU. (*MO)

KPU Diminta Tetap Hitung Hasil Pilpres, 27 Juli

BERITA BARU.COM


KPU Diminta Tetap Hitung Hasil Pilpres, 27 Juli

Nazir Amin


Rabu, 22/07/2009 22:14 WIB



Jakarta, beritabaru.com - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti meminta rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperpendek jadwal penetapan penghitungan pemilihan presiden/wakil presiden (pilpres) dipertimbangkan lagi dengan cermat. KPU ingin mempercepat penetapan penghitungan dari 27 Juli, menjadi 25 Juli 2009.

"Keterburu-buruan dalam penetapan penghitungan hasil pilpres akan potensial menghilangkan keakuratan. Kami minta tetap saja penetapan dilakukan sesuai jadwal semula, 27 Juli. Bahkan jika 30 Juli pun belum terlambat," kata Ray Rangkuti, di Jakarta, Rabu (22/7).

Bagi Ray, ada baiknya KPU tetap dengan jadwal 27 Juli, guna memberi kesempatan adanya perdebatan memadai dalam upaya mencari kebenaran materiil. Selasa lalu, LIMA melaporkan indikasi sembilan pelanggaran Pemilu 2009 ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Ray mengakui, tak ada peraturan yang menentukan bahwa tanpa tanda tangan para saksi, rekap tak sah. Tapi bagaimanapun juga KPU layak mencegah jangan sampai hal ini terjadi.

"Sebab ini akan menurunkan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, beri ruang yang cukup untuk debat penghitungan dengan leluasa," katanya. (*).

Pengumuman Hasil Pilpres Jangan Dipercepat

RADAR CIREBON

Sabtu, 25 Juli 2009


Pengumuman Hasil Pilpres Jangan Dipercepat


JAKARTA - Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menyarankan pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) jangan tergesa-gesa menetapkan hasil pemilihan presiden mengingat relatif banyaknya masalah yang muncul dalam pilpres sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari
beberapa pasangan calon dan tim sukses.

”Saya sarankan jangan buru-buru menetapkan hasil pilpres, akan lebih baik jika dijelaskan duhulu argumentasinya ke berbagai pihak yang merasa tidak puas terhadap proses dan hasil pilpres ke pasangan-pasangan calon serta tim suksesnya,” saran Ray Rangkuti, dalam acara talk show yang diselenggarakan DPD RI bekerjasama dengan salah satu radioswasta bertema ‘Menjelang Penetapan Hasil Pilpres’ di Gedung DPR,
Senayan, Jumat (24/7).

Mengacu pada Undang-Undang Pilpres, penetapan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dilaksanakan dalam sidang pleno KPU dengan menghadirkan para saksi pasangan calon dan bawaslu. “Jika KPU memaksakan penetapannya besok (sabtu, 25 Juli) sementara para saksi dari 2 pasangan capres dan cawapres tidak hadir, menurut saya kalau dikaitkan dengan undang-undangnya, itu tidak sah,” kata Ray.

Dia juga mengingatkan, penetapan dapat dilakukan sesuai jadwal pertama KPU di tanggal 27 Juli 2009 atau sesuai dengan UU Pilpres yaitu selama-lamanya 30 hari setelah penyelenggaraan pilpres tepatnya 7 Agustus 2009. “Yang penting sekarang menyiapkan seperangkat argumentasi hukum dan aturan main serta jawabannya tidak berkilah kepada dua calon yang merasa tidak puas mumpung waktu masih ada,” tegas Ray.

Ray Rangkuti juga mengungkap catatannya terhadap proses pilpres. “Ada 9 temuan yang menyebabkan pilpres berjalan penuh ketidakjelasan, antara lain soal netralitas KPU yang sangat diragukan, jumlah pemilih tidak jelas, soal otoritas pemerintah, dan tim sukses serta memobilisasi dana,” ujarnya.

Pendapat yang sama juga disampaikan Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo. “Sebaiknya KPU bekerja sesuai dengan batas waktu yang diatur oleh undangundang. Jangan buru-buru karena bisa mengundang konflik dan multitafsir,” sarannya, sembari memberi nilai 5 bagi KPU. Artinya masih tidak naik kelas. (fas/jpnn)

Pengumuman Hasil Pilpres Jangan Dipercepat

JPNN


Jum'at, 24 Juli 2009 , 15:56:00


Pengumuman Hasil Pilpres Jangan Dipercepat


JAKARTA - Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menyarankan pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) jangan tergesa-gesa menetapkan hasil pemilihan presiden mengingat relatif banyaknya masalah yang muncul dalam pilpres sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pasangan calon dan tim sukses.

"Saya sarankan jangan buru-buru menetapkan hasil pilpres, akan lebih baik jika dijelaskan duhulu argumentasinya ke berbagai pihak yang merasa tidak puas terhadap proses dan hasil pilpres ke pasangan-pasangan calon serta tim suksesnya," saran Ray Rangkuti, dalam acara talk show yang diselenggarakan DPD RI bekerjasama dengan salah satu radio swasta bertema 'Menjelang Penetapan Hasil Pilpres' di Gedung DPR, Senayan, Jumat (24/7).

Mengacu pada Undang-Undang Pilpres, penetapan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dilaksanakan dalam sidang pleno KPU dengan menghadirkan para saksi pasangan calon dan bawaslu. "Jika KPU memaksakan penetapannya besok (sabtu, 25 JUli) sementara para saksi dari 2 pasangan capres dan cawapres tidak hadir, menurut saya kalau dikaitkan dengan undang-undangnya, itu tidak sah," kata Ray.

Dia juga mengingatkan, penetapan dapat dilakukan sesuai jadwal pertama KPU di tanggal 27 Juli 2009 atau sesuai dengan UU Pilpres yaitu selama-lamanya 30 hari setelah penyelenggaraan pilpres tepatnya 7 Agustus 2009. "Yang penting sekarang menyiapkan seperangkat argumentasi hukum dan aturan main serta jawabannya tidak berkilah kepada dua calon yang merasa tidak puas mumpung waktu masih ada," tegas Ray.

Ray Rangkuti juga mengungkap catatannya terhadap proses pilpres. "Ada 9 temuan yang menyebabkan pilpres berjalan penuh ketidakjelasan, antara lain soal netralitas KPU yang sangat diragukan, jumlah pemilih tidak jelas, soal otoritas pemerintah, dan tim sukses serta memobilisasi dana," ujarnya.

Pendapat yang sama juga disampaikan Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo. "Sebaiknya KPU bekerja sesuai dengan batas waktu yang diatur oleh undang-undang. Jangan buru-buru karena bisa mengundang konflik dan multi-tafsir," sarannya, sembari memberi nilai 5 bagi KPU. Artinya masih tidak naik kelas. (fas/JPNN)

Pemilu 2009 Dinilai Mundur

PIKIRAN RAKYAT

Sabtu, 25 Juli 2009


Pemilu 2009 Dinilai Mundur


JAKARTA, (PR).-


Pelaksanaan Pemilu 2009, baik pileg maupun pilpres, dianggap sebagai langkah mundur Komisi Pemilihan Umum (KPU). Indikasi kemunduran itu terlihat dari karut- marutnya masalah daftar pemilih tetap (DPT), logistik, sosialisasi pilpres yang ngawur, berubah-ubahnya caleg terpilih, dan jadwal yang tidak tepat.

Demikian dikemukakan Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, anggota Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo, dan anggota DPD RI M. Nasir dalam dialog "Menjelang Penetapan Hasil Pilpres oleh KPU" di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Jumat (24/7).

"Saya memberikan nilai di bawah lima untuk kinerja KPU. Di bawah lima, ya 1, 2, 3, atau 4, itu sudah tidak naik kelas," kata Ray.

Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo juga memberikan nilai KPU dengan predikat "tinggal kelas".

Bambang mencatat setidaknya ada tiga permasalahan utama yang mengakibatkan KPU mendapatkan "nilai merah", yakni ketidakterbukaan KPU terkait DPT, kerja sama KPU dengan IFES dan Telkomsel, serta adanya dua saksi pasangan calon yang tidak mau menandatangani hasil rekapitulasi pilpres.

"Untuk yang ketiga, ini serius. Meski secara hukum tidak ada yang dilanggar, secara prinsip legitimasi, jadi persoalan," kata Bambang.

Jangan tergesa-gesa

Khusus soal pilpres, Ray menyatakan, KPU tidak perlu tergesa-gesa menetapkan hasilnya karena masih banyak permasalahan yang mengakibatkan ketidakpuasan beberapa pasangan calon. "Jadi, tidak usah buru-buru besok (Sabtu, 25/7) dipaksakan penetapan pilpres. Lebih baik jelaskan dulu argumentasinya ke pasangan Jk-Wiranto dan Mega-Pro," ujarnya.

Sesuai UU Pilpres, penetapan hasil pilpres dilakukan dalam pleno dan dihadiri saksi pasangan calon dan Bawaslu. "Kalau dipaksakan penetapannya oleh KPU dan tidak dihadiri dua pasangan kandidat, menurut UU, itu tidak sah," kata Ray.

Oleh karena itu, dia menyarankan penetapan hasil pilpres dilakukan sesuai jadwal pertama KPU, yakni 27 Juli 2009, atau sesuai dengan UU Pilpres yaitu maksimal tiga puluh hari setelah penyelenggaraan pilpres, yaitu 7 Agustus 2009.

Bahkan, Bambang secara tegas meminta KPU tidak gegabah dalam merilis hasil pilpres pada Sabtu (25/7) karena penetapan itu dinilai terlalu cepat, padahal masih banyak keberatan dari berbagai pihak. (A-109)***

Pemilu 2014 Harus Lebih Sempurna

SUARA KARYA


PEMBELAJARAN DEMOKRASI
Pemilu 2014 Harus Lebih Sempurna


Sabtu, 25 Juli 2009


JAKARTA (Suara Karya): Pemilihan umum (pemilu) yang sudah digelar Komis Pemilihan Umum (KPU) dinilai bisa menjadi tolok ukur bagi bangsa ini untuk lebih menyempurnakan sistem pesta demokrasi pada tahun 2014.

Karena itu, berbagai kelemahan pelaksanaan pemilu baik pileg maupun pilpres harus diperbaiki, baik dari masalah daftar pemilih tetap (DPT), logistik, maupun sosialisasi.

Demikian disampaikan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo dan anggota DPD M Nasir, dalam dialog bertema Menjelang Penetapan Hasil Pilpres oleh KPU, di Gedung DPD/MPR Jakarta, Jumat (24/7). "Saya memberikan nilai di bawah lima untuk kinerja KPU. Di bawah lima, ya 1, 2, 3, atau 4, itu sudah tidak naik kelas," ujar Ray.

Sependapat dengan Ray, anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo juga memberikan nilai KPU dengan predikat "tinggal kelas". "Kalau saya lebih moderate di atas Ray. Ray di bawah lima, saya lima saja," tandas Bambang yang turut menyatakan nilai tersebut mengakibatkan KPU tidak "naik kelas".

Bambang mencatat, setidaknya terdapat 3 permasalahan utama yang mengakibatkan KPU mendapatkan nilai merah. Permasalahan tersebut yaitu ketidakterbukaan KPU terkait DPT, kerja sama KPU dengan IFES dan Telkomsel, serta adanya 2 saksi pasangan calon yang tidak berkenan menandatangani hasil rekapitulasi pilpres.

"Untuk yang ketiga yang juga serius, protes-protes banyak terakumulasi dalam rekapitulasi kemarein dan 2 pasangan calon nggak tanda tangan. Walau secara hukum nggak ada yang dilanggar, secara prinsip legitimasi hasil yang jadi persoalan," ujar Bambang.

Sementara itu, anggota DPD M Nasir, memberikan nilai 6 untuk kinerja KPU dalam pilpres ini. "Kalau saya menilai pemilu legislatif itu merah, kalau pilpres mungkin enam. Titik penilaiannya itu dari penyelenggaranya sendiri," kata Nasir.

Hasil Pilpres

Yang pasti, tutur Ray Rangkuti, KPU tidak perlu tergesa-gesa menetapkan hasil pilpres. Hal ini disebabkan masih banyaknya permasalahan dalam pilpres yang mengakibatkan ketidakpuasan beberapa pasangan calon. "Jadi, tidak usah buru-buru memaksakan penetapan pilpres. Lebih baik jelaskan dulu argumentasinya," ujar Ray Rangkuti.

Menyinggung jalannya pilpres yang telah berlangsung, Ray mencatat setidaknya terdapat 9 hal yang menyebabkan pilpres berjalan penuh ketidakjelasan. "Antara lain KPU diragukan netralitasnya, jumlah pemilih nggak jelas, otoritas pemerintah dan tim sukses dalam memobilisasi dana untuk iklan dan lain-lain," tutur Ray Rangkuti. (Rully)

Bawaslu: Penetapan Hasil Pilpres Sah Sekalipun Para Saksi tak Hadir

PELITA

Sabtu, 25 Juli 2009

Bawaslu: Penetapan Hasil Pilpres Sah Sekalipun Para Saksi tak Hadir



(Politik dan Keamanan]


Jakarta, Pelita

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bambang Eka Cahya Widodo mengatakan, tidak ada alasan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pilpres 8 Juli lalu, karena prosesnya sudah selesai.

Secara hukum tidak masalah KPU menetapkan hasil rekapitulasi Pilpres, meskipun saksi dari pasangan capres-cawapres tidak hadir ataupun tidak menandatangani rekapitulasi suara Pilpres, ujar Bambang Eka Cahya Widodo usai diskusi bertajuk Menjelang Penetapan Hasil Pilpres di Press Room Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Senayan Jakarta, Jumat (24/7).

Bambang menegaskan kalau KPU tidak menetapkan hasil Pilpres, KPU bisa dipidana. Ia menjelaskan, keberatan saksi itu agak sulit diterima jika tidak disertai bukti-bukti yang jelas. Oleh karena itu, tidak cukup beralasan kalau ada yang mengatakan rekapitulasi itu bermasalah, karena prosesnya memang sudah berjalan.

Menanggapi permintaan menunda penetapan hasil Pilpres, menurut Bambang, bisa saja dilakukan oleh KPU, namun harus dijelaskan apa alasannya. Selain itu, KPU juga harus mengatur mekanisme penundaan itu dalam rapat pleno terbuka. Mekanisme penundaan harus diatur, misalnya berapa lama penetapan itu ditunda. Apakah itu ditunda berapa menit, berapa jam atau berapa hari, kata dia.

Menurut dia, mekanisme penundaan itu harus dijelaskan, apakah penundaan itu terkait ketidakhadiran saksi atau saksi tidak mau menandatangani hasil Pilpres. Ia menambahkan kalau alasannya saksinya tidak hadir, dan KPU sudah menunda untuk menunggu kehadiran saksi, tapi ternyata saksi tetap tidak datang maka KPU tetap sah menetapkan hasil Pilpres. KPU tidak bisa memaksa para saksi untuk harus hadir saat penetapan, katanya.

Ia berpendapat ketidakhadiran saksi pada saat penetapan hasil Pilpres itu tidak masalah secara hukum. Mungkin secara politik orang mempersoalkan karena dianggap tidak mendapatkan legitimasi politik atau tidak akseptabel, katanya.

Sebenarnya kata dia, dalam UU itu disebutkan bahwa paling penetapan hasil Pilpres 30 hari setelah waktu pemungutan suara. Namun karena proses penghitungan dan rekapitulasi suara Pilpres ini relatif lebih cepat, sehingga tidak masalah kalau penetapannya juga lebih cepat. Kalau proses rekapitulasi lebih cepat dan sudah selesai, maka tidak ada alasan juga untuk menunda penetapan hasil Pilpres, kata Bambang.

Sedangkan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menganggap, proses penetapan hasil Pilpres bermasalah secara hukum maupun politik, apabila para saksi tidak hadir saat penetapan hasil Pilpres. Untuk itu, Ray meminta KPU menunda penetapan hasil Pilpres sambil memberikan penjelasan kepada pihak-pihak yang merasa keberatan.

Sementara anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) M Natsir berharap agar proses rekapitulasi dan penetapan hasil Pilpres berjalan secara demokratis dan transparan.
Bila ada masalah, menurut saya, Presiden (SBY) yang juga Capres terpilih bisa ikut turut memberi penjelasan dan menyelesaikan persoalan yang ada, kata dia. (kh)

“Soal penolakan penandatanganan itu jangan dianggap remeh."

VIVANEWS.COM


KPU DimintaTunda Pengumuman Hasil Pilpres
“Soal penolakan penandatanganan itu jangan dianggap remeh."


Jum'at, 24 Juli 2009, 13:16 WIB


Siswanto, Anggi Kusumadewi


VIVAnews – Komisi Pemilihan Umum diimbau menunda penetapan hasil Pemilihan Presiden pada Sabtu 25 Juli 2009. Sebab, saksi dari dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden menolak menandatangani hasil rekapitulasi suara pemilihan.

Hal itu dikemukakan Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, dalam tentang Penetapan Hasil Pemilihan Presiden di gedung Parlemen, Senayan, Jumat 24 Juli 2009. Lingkar Madani adalah organisasi non pemerintah yang resmi ikut memantau pelaksanaan Pemilu.

Menurut dia, penolakan penandatanganan sertifikasi hasil penghitungan resmi KPU oleh saksi pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto akan membuka peluang permasalahan hukum, terutama bagi pasangan terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.

Sebab, kata Ray, dalam Undang-undang Pemilihan Presiden penetapan hasil rekapitulasi baru dapat dikatakan lengkap dan aman jika dihadiri dan ditandatangani oleh semua saksi.

Itulah sebabnya, Ray mengusulkan kepada KPU agar mengundur waktu penetapan sampai 27 Juli. Apalagi, katanya, UU memberikan peluang bagi komisi ini untuk menetapkan rekapitulasi sampai tanggal itu, bahkan sampai 7 Agustus atau sebulan setelah pelaksanaan Pemilihan Presiden.

“Soal penolakan penandatanganan itu jangan dianggap remeh,” katanya.

Ray memaknai penolakan penandatanganan oleh saksi-saksi dari dua pasangan kandidat itu sebagai upaya perlawanan untuk terus mempersoalkan hasil Pemilihan Presiden.

Tapi, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary punya argumentasi untuk menjelaskan alasan pengumuman tetap akan dilaksanakan besok.

“Soal tidak mau tanda tangan itu tidak usah dibesar-besarkan. Sebab, itu tidak akan mengurangi keabsahan,” katanya.

Artinya, bagi mereka yang tidak puas dengan hasil Pemilihan Presiden, sudah disediakan jalur untuk menyelesaikannya, yaitu melalui sidang di Mahkamah Konstitusi.

Selama ini, tim pemenangan pasangan Megawati sangat kritis terhadap proses Pemilihan Presiden. Mereka berupaya mengungkap berbagai indikasi kecurangan dan pelanggaran selama pemilihan.

Salah satu bentuk protes itu ialah, ketika rekapitulasi suara dilaksanakan, mereka menolak menghadirkan saksi. Bahkan mereka tidak mau mengakui rekapitulasi itu.

Tim JK-Wiranto juga kritis. Mereka juga sepakat dengan tim Mega-Prabowo untuk memperkarakan hasil Pemilihan Presiden. Bahkan, dalam rekapitulasi kemarin, saksi dari JK-Wiranto menyatakan walk out.

Lalu, mereka melayangkan protes kepada KPU agar menghentikan rekapitulasi.
• VIVAnews

KPU Jangan Buru-buru Tetapkan Hasil Pilpres

KOMPAS.COM


Diskusi Menjelang Penetapan Hasil Pilpres di DPD RI, Jakarta



KPU Jangan Buru-buru Tetapkan Hasil Pilpres


Mardanih


Jumat, 24 Juli 2009 | 13:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) diingatkan untuk tidak terburu buru menetapkan hasil Pilpres 2009. KPU semestinya terlebih dahulu menjelaskan seluruh proses pelaksanaan pilpres kepada tim sukses pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, yang telah merasa dirugikan oleh KPU.

"Kita ingatkan (KPU) enggak usah buru-buru tetapkan (hasil pilpres) besok. Berikan dulu jawaban ke pasangan Mega-Pro dan JK-Win. Kan menurut jadwal (penetapan hasil pilpres) tanggal 27 Juli artinya, ia (KPU) masih punya waktu sampai tanggal 7 Agustus. Saya sangat menyayangkan kalau KPU menetapkan hasil pilpres besok," kata Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, dalam diskusi "Menjelang Penetapan Hasil Pilpres" di DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (24/7).

Turut hadir menjadi pembicara dalam acara tersebut Anggota DPD RI M Nasir dan Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo. KPU berencana akan menetapkan hasil pilpres, Sabtu (25/7) besok.

Berdasarkan jadwal penetapan hasil pilpres oleh KPU, semestinya penetapan hasil pilpres dilakukan pada 27 Juli 2009, dan berdasarkan Undang-Undang Pemilu, penetapan hasil pilpres paling lambat 30 hari pascapemungutan suara, atau 7 Agustus mendatang.

Jika KPU bersikeras menetapkan hasil pilpres esok hari, Ray mengaku khawatir KPU akan menciptakan suatu celah yang dapat membuat presiden terpilih senantiasa digugat legitimasi keterpilihannya oleh dua kandidat capres-cawapres yang lain. Pasalnya dalam UU Pemilu, penetapan hasil pilpres harus dihadiri oleh para saksi dari masing masing capres-cawapres.

"Kalau mereka (capres-cawapres) enggak mau tanda tangan hasil enggak apa-apa karena di undang-undang enggak ada ketentuannya, tapi kalau mereka enggak datang saat penetapan itu yang bahaya, karena di undang-undang menyatakan, penetapan baru sah kalau dihadiri oleh para saksi capres-cawapres," ujarnya.

Selain itu, Ray juga menilai, semenjak pemilu legislatif hingga pilpres, KPU tidak pernah dapat menyelesaikan masalah. KPU dinilainya hanya menyisakan masalah. "Dari tahapan demi tahapan pemilu, KPU enggak pernah menyelesaikan masalah, tapi menyisakan masalah," ujarnya.

C10-09