Jumat, 31 Juli 2009

NKRI Berada 'di Bawah Banyak Teka-teki'

SURABAYA POST

Nasional


NKRI Berada 'di Bawah Banyak Teka-teki'



Jumat, 31 Juli 2009 | 11:21 WIB

JAKARTA-Para aktivis pro demokrasi mengecam keras Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, karena gagal mengungkap jumlah suara yang tidak sah di dua pesta demokrasi itu, sekaligus mempertanyakan keabsahan pemilu 2009.

"Ada sembilan poin yang terangkat di publik yang mempertanyakan keabsahan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) kali ini. Yang paling utama dan pertama ialah, tentang lembaga penyelenggara itu sendiri, yakni menyangkut kredibilitas dan netralitasnya," kata Ray Rangkuti, di Jakarta, Kamis (30/7), ketika tampil sebagai pembicara pertama pada forum para aktivis pro demokrasi tersebut.

Selain Ray Rangkuti, forum yang berlangsung di ruang terbuka di Sekber Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat itu menampilkan Fadjroel Rachman, Indra Piliang, Fadli Zon dengan moderator mantan jurnalis yang kini jadi politisi, DP Yoedha.

Forum para aktivis pro demokrasi itu memberikan apresiasi kepada dua Presiden RI di era reformasi yang memberikan kontribusi sangat signifikan bagi perkembangan demokrasi dan keadilan.

"Presiden BJ Habibie pada 1999 mewariskan Pemilu paling demokratis dan mendapat banyak pujian internasional. Kemudian, Presiden Megawati pada 2004 sanggup menggelar Pileg dan Pilpres yang paling damai, yang mendapat acungan jempol mantan Presiden AS, Jimmy Carter, dengan mengatakan Indonesia patut menjadi acuan dunia demokrasi dalam menggelar pemilu," kata Ray Rangkuti.

Sebaliknya yang kita warisi pada Pileg dan Pilpres 2009, menurutnya, adalah pemilu paling kacau dengan berbagai masalah sangat tidak terbuka bahkan sulit untuk diutak-atik secara hukum.

Ketika terjadi protes di sana-sini, muncul berbagai pernyataan yang menjurus pada penyudutan terhadap dua capres-cawapres, yakni Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto.

"Misalnya saja tindakan kedua pasangan capres-cawapres mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan pilpres, dianggap takut kalah. Lalu direkayasalah survei publik yang seolah-olah mengaminkan pilpres sekarang berjalan jujur. Diangkat lagi sebuah slogan di masa depan agar menggunakan politik akal sehat. Kalau mau pakai akal sehat, jangan merasa terusiklah dengan proses hukum demi mendapat keadilan sekaligus menentang kejahatan pemilu," kata Ray Rangkuti lagi.

Ray yang pada 1999-2004 masih sebagai salah satu aktivis Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) ini, menilai situasi ini makin runyam ketika KPU berpenampilan seperti robot dengan perilaku sangat tidak terbuka.

"Salah satu indikasinya, ialah yang diungkap ke publik hanya total suara sah dan perolehan tiap partai pada pileg dan total perolehan suara sah para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pilpres," ujar Ray Rangkuti.

Karena itulah, sehingga Fadjroel Rachman mengatakan, jika dulu Bung Karno pernah menulis buku 'Di Bawah Bendera Revolusi' yang memang diakuinya membawa bangsa ini ke alam kemerdekaan, ternyata kini NKRI berada 'di bawah banyak teka-teki'.

"Teka-teki itu ada di bidang hukum, politik dan demokrasi. Akibatnya, Pemilu 2009 ini juga penuh dengan teka-teki, bukan cuma soal apakah itu absah atau tidak. Banyak hal yang patut diungkap, misalnya mengapa prediksi-prediksi oleh tim 'incumbent' yang dipublikasikan ke berbagai media massa sama persis dengan kenyataan," katanya dengan menunjuk prediksi perolehan 20 persen di pileg dan 60 persen di pilpres.

Semua ini, menurut Fadjroel Rachman, harus terus mendapat perhatian serius dan upaya maksimal membongkarnya, agar bangsa ini benar-benar hidup dalam alam demokrasi yang jujur, santun serta gemar dengan cara-cara berdasar akal sehat, tidak penuh 'teka-teki'. mer, ntr

Tidak ada komentar: