Jumat, 31 Juli 2009

KPU Merusak Negara Hukum

SINAR HARAPAN


Jumat, 31 Juli 2009 15:15


KPU Merusak Negara Hukum


OLEH: TUTUT HERLINA/INNO JEMABUT



Jakarta – Sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) tentang penghitungan suara tahap II dinilai merusak citra negara hukum yang telah menjadi konsensus seluruh bangsa.

Detail Cetak

Bahkan, sikap KPU tersebut akan menjadi preseden buruk bagi pertumbuhan demokrasi dalam waktu yang panjang.

Hal itu disampaikan pengamat hukum tata negara A Irman Putra Sidin ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (31/7). “Sikap KPU yang tidak mau melaksanakan putusan itu sangat memalukan dan merusak negara hukum. Tidak ada lembaga negara di republik ini bahkan presiden yang memiliki tentara sekalipun berani mengatakan menolak melaksanakan putusan pengadilan,” katanya.

Irman menjelaskan, putusan MA sejatinya memiliki implikasi yang lebih dahsyat dibandingkan dengan keputusan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MA membuat produk hukum batal demi hukum. Artinya, seluruh produk aturan yang terkait dengan putusan itu rontok atau tidak berlaku. Apabila dalam waktu tiga bulan putusan tersebut dijalankan, secara otomatis akan berlaku dengan sendirinya. Dengan demikian, surat keputusan (SK) KPU yang bertentangan dengan putusan MA dalam waktu tiga bulan ke depan juga tidak berlaku.


Sifat ini berbeda dengan putusan uji materi di MK. Keputusan MK membuat produk hukum tidak mengikat. Artinya, keputusan MK tersebut tidak berlaku surut. Karena itu, menurutnya, KPU sebaiknya melaksanakan putusan MA. Jika dalam pelaksanaannya tersebut ternyata menimbulkan implikasi perubahan perolehan suara kursi parpol, maka parpol yang dirugikan mengajukan gugatan ke MK.

“Di situ baru masuk gugatan sengketa hasil pemilu. Gugatan ini bisa berlaku ke belakang. Tapi, kalau melakukan uji materi, putusannya tidak berlaku ke belakang. Dia baru bisa dilaksanakan setelah ada putusan. Selain itu, pihak yang dirugikan belum ada,” paparnya.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menambahkan, KPU melakukan pembangkangan terhadap negara apabila tidak melaksanakan putusan MA. "MA adalah lembaga tinggi negara. Berarti, keputusannya adalah produk negara. Siapapun yang membangkang terhadap keputusan itu, berarti dia telah membangkang kepada ngara," ujarnya.

Sementara itu, anggota KPU I Gusti Putu Artha secara terpisah mengatakan, putusan MA tidak berlaku surut. Karena itu pelantikan anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota tetap bisa dilaksanakan dengan mengacu pada penetapan calon terpilih sesuai dengan peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009. “Putusan MA itu tampaknya tidak berlaku surut, artinya seluruh produk kita (KPU) menyangkut surat keputusan penetapan calon terpilih masih berlaku sampai 90 hari atau sampai kami melakukan revisi,” ujar Putu Artha.

Dia mengacu pada Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2004 yang mengatakan apabila dalam waktu 90 hari pejabat tata usaha negara tidak melaksanakan putusan MA, maka demi hukum peraturan yang lama otomatis tidak berlaku. “Berdasarkan hal itu, kesimpulannya peraturan kami belum batal, masih berlaku dan merupakan hukum positif,” imbuhnya.

Karena itu Putu mempersilakan sejumlah daerah menyelenggaran pelantikan Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota terpilih dengan mengacu pada Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009.

Keputusan MA tentang penetapan suara terpilih tahap kedua menimbulkan kontroversi. Jika dilaksanakan, keputusan tersebut akan membongkar komposisi anggota DPR, DPRD terpilih yang penetapannya mengacu pada Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan telah melakukan pertemuan intensif dengan MA untuk membahas pelaksanaan putusan tersebut. Namun, KPU masih akan melakukan rapat pleno untuk membahas. “Intinya ada beberapa kesamaan pandangan mengenai putusan MA, namun belum kita ekspos sekarang,” ujarnya. Abdul Hafiz menjelaskan KPU tidak bisa mengabaikan keputusan MA.

Bentuk Koalisi

Terkait dengan putusan MA itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kamis (30/7), mengajukan gugatan uji materi Pasal 205 Ayat (4) UU No 10/2008. Ketua Fraksi PPP DPR, Lukman Hakim Sjaifuddin mengatakan, pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD, Pasal 1 Ayat (3) UUD, Pasal 22 huruf (e) dan Pasal 28. Karena itu, Pasal 205 Ayat (4) tersebut harus dibatalkan.

“Kursi itu merupakan cerminan suara rakyat. Dengan putusan MA ini terjadi representasi ganda. Suara rakyat dihitung dua kali. Ini bertentangan dengan konstitusi,” katanya.

(vidi vici/ninuk cucu suwanti)

Tidak ada komentar: