Rabu, 29 April 2009

KPU Bantah Data Temuan PDI-P

KOMPAS

KPU Bantah Data Temuan PDI-P

Jumat, 24 April 2009

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum membantah data yang disampaikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Data yang ditampilkan dalam Tabulasi Nasional Pemilu 2009 oleh KPU adalah data yang sebenarnya.

”Saya heran, angka itu didapatkan dari mana. Angka yang kami tampilkan di tabulasi itu adalah angka yang sebenarnya. Saya berharap media tidak melansir sesuatu yang belum jelas,” kata anggota KPU, Abdul Aziz, menanggapi data PDI-P, Kamis (23/4).

Sebelumnya, PDI-P menemukan data dalam sebuah cakram padat (CD) dari server KPU. Dalam data itu disebutkan suara yang dihimpun server KPU jauh lebih besar dibandingkan suara yang ditampilkan dalam Tabulasi Nasional (Kompas, 22/4).

Menurut Aziz, angka yang ditampilkan di Tabulasi Nasional itu merupakan data sebenarnya yang didapatkan dari daerah. ”Itu adalah riil kami peroleh selama ini,” ujar Aziz.

Secara terpisah, anggota Tim Ahli Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi untuk TI KPU, Oskar Riandi, mengatakan, data yang masuk sebelum proses penayangan Tabulasi Nasional di Hotel Borobudur ditutup berasal dari 130.000-an tempat pemungutan suara (TPS). Namun, saat itu yang ditampilkan di internet hanya sekitar 60.000 TPS.

”Sisa data TPS yang tidak ditampilkan adalah data yang salah. Kesalahan umumnya terjadi karena jumlah pemilih yang terdaftar di TPS lebih kecil dibandingkan jumlah suara sah yang ada,” kata Oskar.

Mengejutkan

Temuan PDI-P soal perbedaan data di tabulasi dan server KPU itu mengejutkan banyak pihak. Dorongan untuk segera diadakan penyelidikan guna mengungkap kemungkinan adanya skandal dalam sistem tabulasi pun menguat.

Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang mendorong adanya penyelidikan secepatnya. ”Jika temuan PDI-P tersebut benar ada, hal itu dapat disebut sebagai skandal,” kata Ray.

Menurut Sebastian, bila betul data yang diungkap itu, sesungguhnya kredibilitas KPU juga telah runtuh. Tabulasi Nasional harus segera dihentikan karena tidak memiliki legitimasi lagi.

Dari Bandung dilaporkan, Dewan Pimpinan Daerah PDI-P Jawa Barat mengumpulkan bukti pelanggaran dalam pemilu legislatif lalu. ”Meski tidak lagi bisa memengaruhi hasil pemilu, hal itu diharapkan bisa menjadi cerminan kualitas Pemilu 2009 yang buruk,” kata Sekretaris DPD PDI-P Jabar Edi Susianto.(REK/SIE/MZW/sut

Tabulasi KPU Gagal

JAWA POS


Selasa, 21 April 2009 , 11:04:00

Tabulasi KPU Gagal
Ditutup dengan Angka 13.165.902 Suara, KPU Berdalih Kesalahan SDM



JAKARTA - Tabulasi suara yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi berakhir semalam. Namun, hingga penutupan, ternyata jumlah suara yang masuk sangat jauh yang diharapkan. Sehingga, bagi sebagian pihak, tabulasi tersebut telah gagal.

“Kami nyatakan tabulasi telah gagal. Karena raihan suaranya hanya sepuluh persen saja. Itu tidak sesuai dengan dana yang mereka kucurkan untuk proyek teknologi yang dianggap canggih tersebut,” ujar Koordinator Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti, Selasa (20/4).

Menurut Ray, KPU harus bertanggung jawab secara moril dan materil. Selain itu, dia juga menyesalkan tidak maksimalnya sistem tabulasi, sebagaimana target yang diinginkan disaat awal pembukaan tabulasi tersebut sebanyak 80 persen.

Berdasarkan data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), alokasi Dipa tabulasi TI pemilu berjumlah Rp 79,8 miliar. Jumlah tersebut terdiri dari tabulasi hasil suara pileg (manual dan elektronik) sebesar Rp 37,8 miliar; penetapan hasil pileg Rp 2,9 miliar; tabulasi hasil suara pileg (manual dan elektronik) sebesar Rp 9,2 miliar.

Menurut Ray, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu melakukan penyelidikan atas kemungkinan adanya pelanggaran administrasi dan pidana. “KPU juga harus menyelidiki sistem tabulasi yang digunakan,” katanya. Penyelidikan itu, lanjutnya, termasuk penyelidikan penggunaan anggaran untuk tabulasi.

Sementara, Anggota KPU Sri Nuryanti menganggap kendala terbesar di dalam tabulasi nasional terletak pada kelemahan Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga mengakibatkan peranti lunak, peranti keras, data, dan prosedur standar operasi tidak berjalan dengan baik.

“Mungkin mereka (penyelenggara pemilu di daerah) juga capek, mungkin ada prioritas lain untuk proses penghitungan manual. Terlebih bimbingan teknis bagi KPU di daerah juga sangat minim,” ujar Sri.

Menurutnya, training yang diberikan hanya satu kali. Hal tersebut tidak sebanding dengan kecanggihan teknologi ICR (intelligent character recognition). Menurut dia, pemberian bimbingan teknis penyelenggaran tabulasi Teknologi Informasi (TI) masih memerlukan pembenahan untuk meminimalisir kekurangan.

Seperti diketahui, pengiriman data suara untuk tabulasi TI menggunakan sistem pemindaian formulir C1 TI dari setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Formulir tersebut dipindai di KPU kabupaten/kota untuk dikirim ke KPU pusat. Gambar hasil pemindaian akan diubah menjadi bentuk teks.

“Ada formulir C1 TI yang tidak diisi di TPS,” kata Yanti. Padahal, lanjut dia, prosedur pengisian formulir C1 TI sama dengan C1 biasa. Akibatnya, data suara dari TPS tersebut tidak terkirim ke pusat tabulasi nasional. Hal itu menyebabkan jumlah suara yang masuk ke tabulasi lambat.

Namun hal tersebut justru dibantah oleh Ray Rangkuti. Menurutnya KPU jangan melempar kelemahan tabulasi TI kepada publik. Alasannya, kata Ray, tabulasi TI itu merupakan inisiatif murni anggota KPU. “Kalau memang bimteknya kurang, kenapa harus disalahkan mereka (petugas KPPS dan PPK),” ujar Ray dengan nada tinggi

“Jadi atas dasar ini, kami juga meminta agar seluruh komisioner KPU mundur dari jabatan. Karena telah terbukti gagal dalam menjalankan kegiatan ini dan kegiatan lain seperti DPT,” pungkas Ray menambahkan.

Sementara hingga memasuki detik-detik terakhir penutupan tabulasi, suara yang masuk ke tabulasi hingga pukul 21.00 semalam baru 13.916.902. Padahal, jumlah pemilih yang tercatat dalam pileg ini sebanyak 171 juta orang. KPU menargetkan suara yang dihitung dalam tabulasi ini sebanyak 80 persen.

Perolehan suara berturut-turut ditempati Partai Demokrat (24.8 persen), Partai Golkar (14,65 persen), PDIP (14,04 persen), PKS (8,22 persen), PAN (6,29 persen), PPP (5,36 persen), PKB (5,08 persen), Gerindra (4,34 persen), Hanura (3,61 persen) dan sepuluh besar terakhir adalah PBB sebanyak 1,86 pesren. (dil)

JK penentu pilpres dua putaran

INILAH.COM

JK penentu pilpres dua putaran

Wednesday, 29 April 2009 00:00 WIB


AHLUWALIA

Eloknya, Pemilihan Presiden bisa diikuti tiga paket capres-cawapres. Dengan begitu, persaingan akan lebih seimbang. Tapi, semuanya tergantung pada maju-tidaknya Jusuf Kalla sebagai calon presiden dari Golkar.

Untuk demokrasi yang lebih baik, dominasi Susilo Bambang Yudhoyono perlu mendapatkan kompetitor yang seimbang. Faktor krusial yang menentukan adalah majunya Kalla. Bisa saja, dia maju dan berduet dengan Wiranto, mantan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI. Apapun, rakyat Indonesia perlu berterima kasih kepada Kalla karena tekad dan keberaniannya.

Budiarto Shambazy, pengajar FISIP Universitas Indonesia, melihat Kalla akan menjadi faktor penentu yang membuat nyaris tak mungkin Pilpres berlangsung hanya satu putaran. Artinya, jika tiga paket capres-cawapres terjadi, sangat memungkinkan terjadinya persebaran suara dan tak ada yang dominan, menang sekali bertanding.

"JK adalah pekerja keras. Sosok yang bekerja keras itu justru sering dilupakan banyak orang. JK adalah wapres terbaik yang pro-rakyat dan dinilai positif oleh pasar. Dengan tekad dan keberaniannya maju jadi capres, JK akan membuat pilpres berjalan dua putaran. Publik harus mengapresiasi JK yang bertekad maju capres. Menang-kalah bukanlah persoalan utama,'' kata Budi yang juga wartawan senior harian Kompas itu.

Budi melontarkan pokok pikirannya dalam diskusi Forum Inteligensia Bebas, Selasa (28/4) di Jakarta. Kecuali Budi, pembicara lainnya adalah Jeffrey Winters (Indonesianis Northwestern University, AS), Umar S Bakry (Direktur LSN), Herdi Sahrasad (Associate Director The Media Institute dan PSIK Universitas Paramadina), M Fadjroel Rachman (aktivis politik), dan Ray Rangkuti (Direktur Lima).

Dalam Pilpres nanti, SBY mungkin berduet dengan kader Golkar (Akbar Tandjung-Aburizal Bakrie-Surya Paloh) atau dengan Gubernur BI Budiono. Bisa pula calon Partai Demokrat bersama Mensesneg Hatta Radjasa atau mantan Ketua Mahkamah Konsitutusi, Jimly Asshidiqie.

Winters melihat ada tiga paket capres-cawapres yang bakal maju. Boleh jadi, mereka adalah Jusuf Kalla-Wiranto, SBY-Budiono dan Prabowo-Rizal Ramli (RR). Kans Prabowo-RR bisa terbuka jika Megawati Soekarnoputri memilih sebagai king maker sebagai bentuk kesadaran dan kedewasaannya dalam berpolitik.

"Jika Prabowo-RR maju, keduanya sosok baru dan merupakan ‘new hope' untuk menghadapi situasi ‘no hope'," kata Winters.

Duet Prabowo-RR sangat tergantung dari kesediaan Megawati untuk mengajukan pemimpin alternatif itu, yang merupakan sosok baru dalam kontestasi pilpres. "Dari Blok Teuku Umar itu, jika Megawati-Prabowo diusung, maka kans nya kecil sekali untuk bisa mengalahkan SBY. Mega tidak melambangkan harapan," katanya.

Dalam hal ini, imbuh Umar S Bakry, Prabowo-Rizal Ramli bisa menjadi pilihan alternatif dari Megawati sebab keduanya adalah bagian integral dari Blok Teuku Umar.

"Saya kira akan ada dua putaran dan di situ faktor JK sangat menentukan. Kita bersyukur JK maju jadi capres sehingga ada peluang bagi perubahan karena SBY mesti melalui dua putaran. Adalah mungkin, pesaing SBY dalam putaran kedua nanti bisa saja menang," kata Budi Shambazy.

Ketiga paket capres-cawapres itu, kata Fadjroel Rachman, bakal terseleksi dan baru head to head pada putaran kedua. Dan ini membuka peluang bagi beragam kemungkinan.

Jika DPT bisa diperbaiki secara optimal, dengan pilpres yang jurdil dan damai, kemudian lawan politik SBY ternyata calon yang sepadan, maka pertarungan pilpres ini akan memberikan pembelajaran politik yang baik dan menarik bagi publik. "Demokrasi di Indonesia harus maju, dan jangan pernah kembali ke Orde Baru yang antidemokrasi itu," tutur Winters.
(amr/inilah)

Kisruh Pemilu Ancam Citra Demokrasi Indonesia

RAKYAT MERDEKA ONLINE

Kisruh Pemilu Ancam Citra Demokrasi Indonesia

Selasa, 21 April 2009, 21:30:49 WIB


Laporan: Widya Victoria


Jakarta, RMonline. Sampai saat ini, tidak satupun lembaga internasional yang mengakui pemilu legislatif 2009 di Indonesia berjalan jujur dan adil.

Demikian diungkapkan mantan calon presiden independen Fadjroel Rahman kepada RMonline, Selasa (21/4).

Menurutnya, kondisi ini berbeda dengan pemilu 2004 yang mendapat pengakuan dunia internasional

“Ini tentunya sangat mempengaruhi citra dia (Susilo Bambang Yudhoyono) di dunia internasional,” ujar Fadjroel.

Bahkan, tambah Fadjroel, pemilihan legislatif 2009 mirip Pilkada di Jawa Timur beberapa waktu lalu yang berbuntut mundurnya Irjen Pol Herman Surjadi Sumawiredja sebagai Kapolda Jawa Timur.

“Kalau ini mirip dengan Jawa Timur, Pilkada problemnya juga datang dari KPU nya sebagai penyelenggara. Akibatnya pemilu cacat,” ulas Fadjroel.

Hal demikian juga akan terjadi pada pemilihan presiden mendatang. KPU yang tidak profesional pada legislatif ini akan menjadi pelaksana penyelenggara, terangnya.

Untuk itu, dirinya bersama dewan perubahan nasional termasuk didalamnya Ketua Lingkar Madani, Ray Rangkuti menginginkan pergantian anggota KPU.

“Ini menyangkut kepercayaan baik oleh publik nasional maupun internasional,” tegasnya. [wid]

Mega Lebih Baik Jadi "King Maker"

GATRA

NASIONAL

--------------------------------------------------------------------------------

Diskusi Politik

Mega Lebih Baik Jadi "King Maker"

Jakarta, 28 April 2009 16:36

Sejumlah pengamat politik menyarankan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri lebih baik menjadi "king maker" daripada maju sebagai calon presiden, karena peluangnya untuk mengalahkan Susilo Bambang Yudhoyono dinilai sangat kecil.

Demikian pembicaraan yang mengemuka dalam diskusi bertajuk "Menakar Para Kompetitor SBY" yang digelar Forum Intelegensia Bebas di Jakarta, Selasa (28/4).

Diskusi menampilkan pembicara Direktur Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Herdi Sharasad, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional Umar S Bakry, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, Indonesianis dari Universitas Northwestern AS Jeffrey Winters, dosen FISIP UI Budiarto Shambazy,dan aktivis M Fadjroel Rachman.

"Kalau Megawati punya kalkulasi rasional, tak mungkin melawan SBY. Megawati sebaiknya menjadi `king maker`," kata Herdi.

Dikatakannya, pada Pilpres 2004 Megawati dikalahkan SBY, padahal saat itu ia dalam posisi `incumbent`, apalagi sekarang. Lebih-lebih perolehan suara PDIP pada Pemilu 2009 juga merosot.

Umar Bakry juga berpendapat sama. Menurut dia, Pilpres 2009 tidak akan menarik jika SBY tidak memiliki lawan setara. Megawati dan Jusuf Kalla menurutnya belumlah lawan sepadan SBY.

Umar dan Herdi sependapat bahwa tokoh alternatif justru lebih memiliki peluang untuk mengalahkan SBY, misalnya Prabowo Subianto dan Rizal Ramli, apalagi jika kedua tokoh itu digabungkan.

Menurut Umar, pasangan Prabowo-Rizal atau Rizal-Prabowo memiliki modal untuk melawan SBY selain memenuhi komposisi sipil-militer, Jawa-Luar Jawa, yakni pendatang baru dalam kontestasi pilpres, memiliki arah kebijakan ekonomi dan kepribadian yang bertolak belakang dengan SBY.

"Pemilih yang tidak suka personality dan kebijakan ekonomi SBY, pasti akan memilih pasangan ini," kata Umar.

Pendapat senada dikemukakan Winters. Menurut dia, jika PDIP mau mengajukan pasangan Prabowo-Rizal Ramli maka peta pertarungan akan berubah.

"Jika Mega menjadi `king maker` bagi munculnya Prabowo-Rizal, ini akan mengubah peta pertarungan, dan sungguh itu kejutan yang menyolok," katanya.

Terkait kemungkinan Megawati menggandeng Prabowo sebagai cawapres, Budiarto menilai peluang untuk mengalahkan SBY tetap kecil.

"Mega posisinya underdog dan Prabowo, sebagai calon wakil presiden, hanya bisa menghangatkan pertarungan saja," katanya.
[TMA, Ant]
--------------------------------------------------------------------------------
URL: http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=125514

Duet JK-Prabowo atau

SUARA KARYA

KOALISI

Duet JK-Prabowo atau
JK-Wiranto Bisa Kalahkan SBY


Rabu, 29 April 2009

JAKARTA (Suara Karya): Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri lebih baik menjadi king maker daripada maju sebagai calon presiden (capres) karena peluangnya untuk mengalahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat kecil. Untuk mengalahkan SBY, komposisi duet capres dan cawapres Jusuf Kalla (JK) - Prabowo atau JK-Wiranto dinilai paling ideal.

Penilaian ini disampaikan Indonesianis dari North Western University Jeffrey Winters, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional (LSN) Umar S Bakrie dan staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI Iberamsyah di Jakarta, Selasa (28/4) dalam diskusi bertajuk "Menakar Para Kompetitor SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)".

Menurut Fajroel, tokoh yang pantas dan bisa mengimbangi elektabilitas SBY adalah Jusuf Kalla (JK)-Prabowo Subianto atau JK-Wiranto maupun Prabowo - Rizal Ramli. Sosok Prabowo atau Wiranto sebagai (mantan) prajurit TNI bila disandingkan dengan JK yang mengusung ekonomi kerakyatan akan menjadi lawan tanding yang sepadan bagi SBY.

"Rumusan ini akan menjadi kejutan yang signifikan dan prospektif. Dan inilah satu-satunya cara mengatasinya," katanya.

Sejauh ini, Partai Demokrat dan PDIP sudah hampir dipastikan akan bertarung pada pemilu presiden 2009. Tinggal Partai Golkar, apakah akan maju mengusung calon presiden Jusuf Kalla sesuai hasil Rapimnasus Golkar atau akan berubah strategi. Peluang terbesar adalah membentuk koalisi yang tidak pernah diperhitungkan SBY, yakni Golkar-PDIP didukung Hanura dan Gerindra. "Koalisi dengan calon-calon pemimpin alternatif akan menjadi pertarungan sepadan dan berimbang," katanya.

Percaya Diri


Umar mengatakan, elektabilitas Megawati Soekarnoputri sampai sejauh ini belum menunjukan peningkatan dan masih jauh dibanding Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei menyatakan akan memilih SBY apabila pemilu presiden dilakukan sekarang ini juga atau dalam waktu dekat. Rata-rata perolehan suara SBY 30 persen hingga 35 persen dari hasil survei di 33 provinsi dengan sistem penyebaran angket secara acak.

"Megawati disandingkan dengan JK belum bisa mengungguli SBY. Karena itu, perlu ada figur baru yang harus mereka tawarkan untuk mengimbangi popularitas SBY," katanya.

Menurut Ray Rangkuti, terbuka kemungkinan JK akan berduet dengan Wiranto yang akhir-akhir ini makin percaya diri. Namun keduanya harus mewaspadai strategi yang akan dijalankan lawan politik yang bisa memecah belah soliditas Partai Golkar. "Koalisi jumbo bisa mengantisipasi devide it impera lawan politik," kata Ray.

Jeffrey Winters menilai perkembangan demokrasi di Indonesia sepuluh tahun terakhir sejak reformasi mengalami perkembangan signifikan. Pemilihan presiden langsung telah mewadahi dan memotivasi penduduk Indonesia untuk terlibat langsung di dalam demokrasi.

"Demokrasi di Indonesia lebih baik. Sistem demokrasinya sudah rapih dan sangat modern. Lain halnya kalau di Amerika, rakyat tidak punya pilihan selain (Partai) Demokrat dan (Partai) Republik," katanya.

Namun, Jeffrey menyayangkan perkembangan demokrasi di Indonesia tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Kasus-kasus pemilu yang muncul akhir-akhir ini dijadikan senjata untuk melakukan manuver politik. Bahkan di antara elite politik ada yang memiliki rencana memboikot pemilu presiden.

"Jangan matikan demokrasi ini, jangan tutup wadah yang sudah ada. Yang perlu dibenahi adalah orang-orangnya," katanya.

Menurut Jeffrey, perkembangan demokrasi yang tentu memiliki tahapan hingga pada saatnya menjadi demokrasi yang mandiri dengan segudang perubahan. Situasi - situasi yang tidak terduga akan selalu muncul.

"Semuanya berawal dari tidak sempurna. Namun, secara bertahap akan ada kesempurnaan untuk mengarah ke satu perubahan. Dan itu telah dilakukan di Indonesia," katanya.

Pada sisi lain, Jeffrey menyikapi sistem pencalonan presiden dan cawapres yang masih diikat kuat pada kultus dan suku bangsa. "SBY dari Jawa akan lebih ideal kalau dipasangkan dengan cawapres dari luar Jawa. Sultan HB X dari Jawa dianggap lebih ideal kalau dipasangkan dengan Rizal Ramli atau Prabowo-Rizal Ramli dengan simbol Jawa dan luar Jawa," katanya. (Feber Sianturi)

Selasa, 28 April 2009

Etika Elite Parpol Rendah


INILAH.COM


Politik
28/04/2009 - 19:01


Etika Elite Parpol Rendah

Ray Rangkuti
(inilah.com/ Raya Abdullah)INILAH.COM, Jakarta - Elite parpol yang hanya memikirkan kekuasaan dalam berkoalisi amat disayangkan oleh Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti. Menurutnya, perilaku elite saat ini menunjukkan betapa etika politik kelompok elite masih rendah.


"Seolah-olah politik hanya angka-angka," kata alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terlahir dengan nama Ahmad Fauzi itu di sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (28/4).


Ray menyatakan, dalam membangun koalisi terlihat kalangan elite hanya mendasarkan pada kemungkinan meraih kemenangan daripada kepentingan rakyat. Karena hanya mendasarkan koalisi pada angka-angka, lanjutnya, kalkulasinya hanya pada popular atau tidak pasangan yang akan digandeng, pasangan cocok atau tidak.


"Bukan pada apakah koalisi yang dibangun ada manfaatnya bagi rakyat atau tidak," ujarnya.


Bahkan, lanjutnya, 'hiruk-pikuk' koalisi telah menenggelamkan persoalan yang sangat penting terkait pelaksaan pemilu lalu, yakni hilangnya hak pilih jutaan warga negara.


Hal senada dikemukakan Direktur Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia) M Fadjroel Rachman yang menyebut perpolitikan Indonesia mengarah pada machiavellian, yakni politik merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.


"Ini mencemaskan," ujar Fadjroel yang sempat mendeklarasikan diri sebagai calon presiden independen tersebut.


Menurut dia, perilaku politik di negara ini telah mengarah pada apa yang disebut sebagai politik persatean yakni politik tanpa nilai, ideologi, dan paltform. [*/ana]

PKS Punya Agenda Tersembunyi?

INILAH.COM

07/04/09 13:43


PKS Punya Agenda Tersembunyi?

Ahluwalia



INILAH.COM, Jakarta - Seolah abai dan cuek jika pemilu tak jurdil dan kredibel, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak menandatangani itikad baik 15 parpol dalam pertemuan mereka di Jakarta, Senin (6/4). Sikap PKS ini diniai ambivalen, naïf, dan patut dicurigai memiliki agenda tersembunyi. Benarkah?


Menanggapi sikap PKS yang tidak memenuhi undangan pertemuan 15 parpol di Rumah Makan Nyonya Suharti Tendean, Jakarta, itu, para politisi Golkar, PDIP, Gerindra, dan Blok Perubahan, mengkhawatirkan PKS tidak peka dan solider pada kecemasan mengenai kemungkinan pemilu tidak kredibel, karena begitu banyak masalah dan ketidakberesan dalam penyelenggaraan dan pelaksanaannya.


“PKS terlalu percaya diri dan yakin pemilu bersih, sementara berbagai parpol seperti PDIP, Golkar, Gerindra, PAN, PPP, dan PKS sendiri beserta kelompok parpol Blok Perubahan dan parpol lain, sangat mungkin dirugikan karena kelemahan DPT, kertas suara rusak, dan distribusi yang belum beres,’’ ungkap Mulyana W Kusumah, mantan anggota KPU.


Begitu kelewat percaya diri atau sebegitu bodohnyakah, sehingga partai berlambang setangkai padi diapit dua bulan sabit itu tak mau hadir dalam pertemuan 15 parpol tersebut? Ada kesan PKS sudah mempercayai sepenuhnya kepada KPU tentang keamanan dan pelaksanaan pemilu.


PKS bahkan menolak untuk menandatangani kesepakatan tersebut karena tidak setuju dengan pertemuan tersebut. “Karena memang maunya enggak jelas," kata Wakil Sekjen PKS Fahri Hamzah.


Nampaknya Fahri sudah yakin pemilu beres. Sementara hampir semua media massa resah dan cemas atas ketidakberesan DPT, logistik, dan amburadulnya penyelenggaraan pemilu kali ini. Termasuk yang menyangkut hak-hak para TKI di luar negeri, di mana banyak tak terdaftar, juga tidak adanya fasilitas para penyandang cacat dan tunanetra.


Yang lebih konyol lagi adalah pandangan Fahri Hamzah yang meyakini benar bahwa pemilu akan berjalan baik dan bersih. Di era global saat ini, kata Fahri, bila ada kecurangan pasti bisa terlihat dengan jelas. Fahri pasti tidak menyadari kekhawatiran 15 parpol atas berbagai modus operandi distorsi dan kecurangan pemilu yang dilakukan secara sistematis oleh pihak-pihak tertentu, dengan teknologi tinggi dan lika-liku birokrasi.


Forum Rektor Indonesia, Amien Rais, dan Hariman Siregar sudah mengingatkan agar pemilu bersih dilaksanakan, bukan pemilu yang tak jurdil dan sekadar memenangkan kelompok status quo. Bila yang terakhir itu yang terjadi, maka akan merusak kepercayaan rakyat.


Pertemuan 15 parpol dan Blok Perubahan pimpinan Rizal Ramli yang diprakarsai oleh PDIP dan Partai Golkar menghasilkan lima poin kesepakatan. Pertama, keberbedaan parpol tidak melunturkan kebersamaan sebagai sesama komponen bangsa. Kedua, semua kader dan simpatisan parpol wajib ikut mengamankan dan melancarkan pelaksanaan pemungutan suara 9 April 2009.


Ketiga, mendesak pemerintah dan KPU untuk melaksanakan dan menyelenggarakan pemilu secara jurdil dan luber, aman, dan bermartabat. Keempat, seluruh kader dan simpatisan parpol ikut mengawasi pelaksanaan pemungutan suara 9 April 2009. Kelima, demokrasi akan sehat apabila tidak ternodai dan terdistorsi oleh berbagai bentuk kecurangan dalam pemilu.


Jika pemilu tidak kredibel, tentu sangat mahal ongkosnya karena dengan biaya triliunan rupiah dan partisipasi berjuta-juta warga negara, ternyata hasilnya tak sebanding. “Jika pemilu ini tidak jurdil, maka otomatis tidak kredibel. Dan ini yang membuat banyak pihak khawatir akan terjadi kisruh dan keributan politik. Pemerintah SBY dan KPU harus tanggap soal ini,’’ kata Ray Rangkuti, Direktur LIMA dan mantan Sekjen KIPP.


Menurut Ray Rangkuti, alumni Universitas Islam Negeri, Jakarta, sejauh ini dia melihat ada 15 modus kecurangan yang berbahaya bagi pemilu kita. Kelima belas modus itu adalah:

1. Pemungutan suara hingga larut malam.

2. Penghitungan suara dilakukan hingga pagi hari.

3. Banyak pemilih yang tak terdaftar.

4. Surat suara banyak yang rusak, tetapi tetap dipakai lagi.

5. Surat suara tambahan kurang.

6. Surat undangan pemilihan tak sampai tapi nama terdaftar sebagai pemilih.

7. Nama terdaftar sebagai pemilih tapi tak memiliki surat undangan memilih.

8. Jumlah pemilih di TPS lebih dari ketentuan.

9. Logistik pemilu kurang dari yang semestinya (tinta, formulir, bilik suara, alat penanda, berbagai formular, dsb).

10. Perbedaan persepsi tentang penandaan sah surat suara.

11. Perbedaan persepsi tentang sah tidak sahnya surat suara.

12. Penggelembungan hasil suara.

13. Perasaan kecewa pendukung caleg atau parpol.

14. Protes yang diabaikan oleh penyelenggara.

15. Penyelenggara dinilai tidak transparan dan jurdil.


Dengan melihat berbagai kelamahan di atas, wajar jika 15 parpol kemarin bertemu dan menyampaikan deklarasi pernyataan sikap agar pemilu bersih dan damai dilaksanakan KPU dan pemerintah. [P1]

Jumat, 24 April 2009

Dewan Perubahan Nasional desak Pemilu Khusus

METRO TVNEWS.COM

Election Channel / Polkam / Jum'at, 17 April 2009 14:53 WIB


Metrotvnews.com, Jakarta: Dewan Perubahan Nasional mendesak dilakukan pemilu khusus untuk mengakomodir hak pilih warga yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu legislatif lalu. Dewan juga menilai pemilu legislatif 9 April lalu cacat hukum.

Sikap ini disampaikan Dewan Perubahan Nasional dalam audiensi dengan Komnas HAM di Jakarta, Jum'at (17/4). Anggota Dewan Perubahan Nasional yang hadir, antara lain, Oflan Purba, Chalid Muhammad dan Ray Rangkuti.

Agar pemilu khusus dapat dilakukan, Dewan Perubahan Nasional menuntut presiden segera membuat Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk merehabilitasi hak warga yang tidak terdaftar. Berdasarkan data Dewan Perubahan Nasional, sekitar dua juta warga kehilangan hak pilih.

Dewan Perubahan Nasional juga menyatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah gagal melaksanakan tugasnya dan perlu diberhentikan. Kekacauan DPT juga dipandang sebagai tanggung jawab bersama pemerintah, Departemen Dalam Negeri dan KPU.

Cacat pemilu lainnya yang disorot, antara lain, manipulasi rekapitulasi suara serta politik uang. Sedangkan Komnas HAM telah membentuk tim untuk menyelidiki kekisruhan DPT. Diharapkan, sebelum 15 Mei mendatang Komnas HAM telah menyampaikan hasilnya.(DOR)

Karut-marut Pemilu Akan Memancing Pihak Asing

SUARA PEMBARUAN

2009-04-20



Karut-marut Pemilu Akan Memancing Pihak Asing



Sejumlah parpol terus melakukan upaya untuk dapat membuktikan bahwa terjadi kecurangan sistematis pada Pemilu 2009. Kecurigaan adanya kecurangan juga datang dari PDI-P, Gerindra, dan Partai Patriot. Beberapa lembaga swadaya masyarakat juga mempunyai penilaian yang senada bahwa pemilu kali sangat buruk dan banyak kecurangan. Indikasi kecurangan, menurut Badan Pemenang Pemilu PDI-P, banyak terjadi penggelembungan daftar pemilih tetap (DPT). Sementara indikasi lain kecurangan mengacak pada software atau perangkat lunak dengan membidik nomor induk kependudukan dari empat digit di belakang dan merancang program untuk mengubah tahun kelahiran.

Menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, Bappilu PDI-P menyuarakan dan mendesak pemerintah untuk bersikap adil. Pemerintah juga diminta menjauhkan diri dari berbagai bentuk intervensi dalam penyelenggaraan Pemilu 2009.

Sedangkan data di Bawaslu menunjukkan bahwa dua hari setelah pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2009, tercatat 549 laporan dan informasi pelanggaran pidana yang tersebar di 33 provinsi. Dari laporan yang masuk, Bawaslu juga menyatakan bahwa sebagian kasus pelanggaran pemilu di beberapa daerah sudah dalam tahap P-21 (berkas lengkap), siap dilimpahkan ke pengadilan.

Prosesi tahapan pemilu terus berlanjut. Kini, pihak KPU sedang sibuk melakukan rekapitulasi surat suara. Walaupun diterpa isu tidak sedap yang seakan terus memojokkan KPU, namun pihak KPU terus menunjukkan sikap profesionalisme sebagai penyelenggara pemilu. Karena bila penghitungan rekapitulasi suara terganggu dengan hembusan isu, maka jelas akan berakibat publik kecewa, karena sebelumnya telah terjadi kisruh terkait DPT. Sementara dalam tahapan berikutnya KPU juga harus mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Presiden pada 8 Juli 2009.

Semua persoalan memang harus segera dituntaskan kalau ingin pelaksanaan pilpres tidak senasib dengan pemilu legislatif beberapa waktu lalu. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Nasional Lingkar Madani Ray Rangkuti, menyikapi persoalan yang terkait pemilu legislatif perlu penggantian anggota KPU untuk menyelamatkan pemilihan presiden mendatang. Pihaknya juga menilai bahwa pelaksanaan pemilu legislatif cacat hukum dan diminta negara untuk merehabilisasi hak konstitusi warga negara dengan memberikan kesempatan untuk melakukan pemilihan sesuai haknya.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary pernah menyampaikan bahwa masyarakatyang seharusnya proaktif ikut mengecek DPT.

Karut-marut persoalan ini jelas akan dijadikan celah oleh pihak asing untuk ikut bermain mengobok-obok demokrasi yang sedang kita bangun, bahkan mungkin juga dijadikan sebagai peluru untuk mendiskreditkan bangsa ini pada dunia internasional. Karena kita tahu banyak negara yang tidak menghendaki negara kita kokoh. Setiap pelaksanaan pemilu pasti akan menimbulkan ribuan persoalan dengan beragam klasifikasinya. Beberapa kasus dapat diselesaikan secara cepat, namun banyak juga yang penyelesaiannya membutuhkan waktu lebih lama. Saat ini, semua persoalan sudah terbuka ke public. Aparat hukum dan pihak terkait harus mampu menindaklanjutinya.

Dody Candra

Griya Asri, Depok, Jabar

Pengamat Nilai Pileg 2009 Cacat Serius

PELITA

[Politik dan Keamanan]


Pengamat Nilai Pileg 2009 Cacat Serius

Jakarta, Pelita


Dewan Perubahan Nasional menilai pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 yang saat ini memasuki proses penghitungan suara, merupakan Pemilu yang tidak legitimate (sah menurut undang-undang). Seyogyanya, Pemilu yang diharapkan dapat demokratis justru kualitasnya menurun, dan cacat hukum.

Pemilu kali ini merupakan pelaksanaan Pemilu terburuk dari dua pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Kualitas Pemilu 2009 ini menurun, menunjukkan cacat hukum dan kelengahan. Kami menilai Pileg ini cacat serius, tegas Juru Bicara Dewan Perubahan Nasional Chalid Muhammad, saat membacakan pernyataan sikap DPN, di Jakarta, Minggu (12/4).

Turut hadir memberikan keterangan Direktur Lima Nasional Ray Rangkuti, Fadjrul Rahman, Effendi Ghazali, Abdullah (ICW), Edwin (Kontras), Boni Hargen, dan lainnya.
Chalid mengungkapkan ada beberapa kecacatan serius terhadap Pemilu Legislatif yang berlangsung tanggal 9 April lalu. Pertama, cacat teknis manajemen yang menyebabkan hilangnya jutaan hak konstitusional rakyat Indonesia. Ini terkait dengan buruknya penyusunan DPT, serta kacaunya logistik surat suara, termasuk tertukarnya data daftar pilih yang tetap disahkan oleh KPU, jelasnya.

Untuk hal ini, DPN mempertanyakan adanya pemilih yang tidak masuk DPT Pileg 2009 yakni sekitar 10.564.340 orang meski sudah ada tambahan 23.265.401 orang (di atas DPT 2004). Dengan demikian total misteri 33.829.741 orang.

Berdasarkan data yang diolah dari keputusan KPU No 2/SK/KPU/2009 dan hasil quick count sementara DPT pileg 2009 berjumlah 171.265.442. Jika dikurang dengan DPT 2004 yang berjumlah sebesar 148.000.041 orang, maka hasilnya sebanyak 23.265.401 (DPT tambahan).

Jumlah TPS di dalam negeri sebanyak 527.344, ditambah 873 TPS luar negeri hasilnya 528.217 TPS. Jika dalam satu TPS ada 20 orang yang terdaftar di Pileg 2004, tapi tidak terdaftar di 2009 maka jumlahnya sebanyak 10.564.340 (528.217 x 20 orang).
Sedangkan selisih kemenangan peringkat 1 dengan peringkat 2 dan 3 sekitar 7 persen x 70 persen (suara sah)x171.265.442 = 8.392.006 sedangkan publik tahu hanya 30 persen Golput.

Selanjutnya, kata Chalid, pelaksanaan Pileg 2009 juga cacat determinasi politik. Dalam hal ini, pemerintah berkuasa terkesan melakukan pembiaran terhadap kekacauan proses Pemilu yang dianggap melanggar prinsip-prinsip demokrasi serta prinsip Pemilu yang Jurdil.

Hal itu itu terlihat sejak usulan draft UU Parpol, dimana pemerintah mengusulkan data DPT dari Depdagri. Selanjutnya tidak ada proses pembersihan data tersebut oleh KPU bersama Depdagri.

Tidak hanya itu, di dalam Pemilu 2009 juga dianggap terjadi kelengahan Parpol peserta Pemilu dalam melakukan pengecekan terhadap data DPT sejak dini, meski waktu yang tersedia cukup panjang.

Ganti KPU

Terkait hal itu, DPN menghimbau masyarakat untuk melapor ke polisi dan lembaga berwenang jika ada hak pilihnya yang dihilangkan dalam Pemilu 2009. Mendesak negara merehabilitir yang tak punya kesempatan memilih dengam memberi kesempatan untuk melakukan pemilihan sesuai haknya.

Pada kesempatan sama, DPN yang terdiri dari puluhan pengamat politik ini juga mengeluarkan pernyataan terhadap perlunya mempertimbangkan penggantian KPU untuk menyelamatkan Pilpres 2009 dan Pemilu 2014.

KPU sudah tidak kredibel lagi, kita meminta KPU mundur saja, demi sukses Pilpres, ujar Ray Rangkuti.

Menurut Ray, kesalahan KPU sudah sangat parah, berbagai persiapan tidak beres membuat rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi lima tahunan ini.

Selain DPT kacau, logistik Pemilu juga berantakan, sehingga banyak yang tidak memilih dan berbau penggelembungan suara, katanya.

Pendapat senada juga diungkapkan pengamat Pemilu lainnya, Effendi Ghazali, meski pihaknya meragukan KPU bisa diganti. Sulit sekali, karena mereka (Presiden) bisa beralasan hasilnya sudah keluar, dan memandang yang ribut hanya Parpol kecil yang kalah saja, tandasnya. (ay)

Foto Diskusi polri dan cacat pemilu




Diskusi "Ayo tuntaskan cacat dan pidana pemilu", Kamis 23 April 2009, di Rumah Makan Koetaradja, Jalan Senen Raya No 10. Dari kiri; Dwi Ria Latifa (PDI-P), La Ode Husain (anggota Kompolnas), Ray Rangkuti (direktur LIMA Nasional), Wahidah Suaib (anggoa Bawaslu).

Bawaslu Surati Presiden

SUARA PEMBARUAN

2009-04-22


Bawaslu Surati Presiden



[JAKARTA] Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melaporkan dugaan tindak pidana pemilihan umum (pemilu) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebelumnya, laporan Bawaslu itu ditolak Mabes Polri.

Selain presiden, Bawaslu juga menyampaikan surat kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ketua DPR Agung Laksono serta ditembuskan kepada Komisi II dan III DPR.

"Dengan membuat surat ke Presiden, Kompolnas, dan DPR, cukup sudah upaya Bawaslu untuk mengawasi dan mengawal pelanggaran tindak pidana yang terjadi pada Pemilu Legislatif 9 April lalu. Tinggal, masyarakat yang menilai sejauh mana profesionalisme dan tanggung jawab dari pihak-pihak terkait," kata anggota Bawaslu Wirdyaningsih di Jakarta, Selasa (21/4).

Menurutnya, langkah tersebut ditempuh Bawaslu agar ada tindakan dari pihak terkait untuk menyadarkan pihak kepolisian sebagai bagian dari komponen Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) dalam menindaklanjuti laporan tindak pidana pemilu sebagaimana disepakati bersama dalam nota kesepahaman dengan Bawaslu.

Selain itu, lanjutnya, surat resmi kepada Presiden, Kompolnas, dan Ketua DPR juga merupakan tanggung jawab moral Bawaslu untuk mengawasi dan mengawal pelanggaran tindak pidana pemilu oleh KPU, yang dimentahkan oleh kepolisian.

Padahal, Bawaslu sudah mengkaji kasus itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10/2008 tentang Pemilu, meminta pendapat para ahli hukum, dan mengikuti gelar perkara untuk membahas pertimbangan-pertimbangan sehingga KPU diduga melakukan tindak pidana pemilu.

"Apa yang kami lakukan dengan melaporkan KPU ke kepolisian sudah sesuai dengan tugas dan kewenangan yang kami miliki. Ketika laporan kami ditolak, surat resmi kami kirimkan kepada Presiden, Kompolnas, dan DPR sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk mengawal pemilu," ujarnya.

Dia menjelaskan, isi surat kepada Presiden, Kompolnas, dan Ketua DPR itu berisi pernyataan bahwa laporan dugaan tindak pidana pemilu oleh KPU diteruskan ke kepolisian sesuai tugas dan tanggung jawab Bawaslu selaku pengawas Pemilu.

Laporan tersebut, sudah melalui kajian sesuai ketentuan undang-undang dan pendapat para ahli hukum pemilu, disertai poin-poin yang menjadi dasar pertimbangan bahwa KPU diduga telah melakukan tindak pidana pemilu.

Pembiaran

Sementara itu, pengamat hukum Bambang Widjajanto mengatakan, sebenarnya presiden dan DPR bisa mempertanyakan apakah polri betul-betul netral setelah melihat kasus penolakan laporan Bawaslu.

Dia menilai, tanpa surat resmi dari Bawaslu, seharusnya presiden dan DPR mempunyai sikap terhadap masalah ini. Dengan adanya surat resmi yang dikirimkan Bawaslu, Presiden, dan DPR harus ikut turun tangan.

"Kalau tidak ada tindakan apa pun terhadap surat yang dikirimkan Bawaslu, berarti Presiden dan DPR telah melakukan pembiaran terhadap sikap kepolisian yang tidak netral," ujarnya.

Apalagi, lanjutnya, presiden pernah menyatakan tidak akan membiarkan invisible activities (aktivitas tak terlihat) yang dilakukan oleh siapa pun, sehingga menyebabkan pemilu tidak demokratis. Jika tidak ada tindak lanjut dari presiden, tudingan mengenai pemilu tidak berjalan secara demokratis akan dikembalikan kepada presiden, selaku pemimpin negara saat ini yang juga ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Pemilu.

Dia menambahkan, penyidik Polri mempunyai kewajiban untuk menerima laporan dari Bawaslu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan Pasal 8 Nota Kesepahaman antara Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua Bawaslu.

"Tidak ada satu pun kewenangan pun yang diberikan oleh undang-undang kepada penyidik untuk menolak laporan yang secara resmi diajukan Bawaslu. Apalagi, penolakannya tidak melalui surat resmi yang diberikan ke Bawaslu, tetapi hanya melalui omongan dan pernyataan di media massa," ujarnya. [J-9]

Soal Bawaslu, Kompolnas Klarifikasi ke Polri

OKE ZONE.COM

Soal Bawaslu, Kompolnas Klarifikasi ke Polri

Kamis, 23 April 2009 - 13:42 wib

Insaf Albert Tarigan - Okezone TEXT SIZE :


JAKARTA - Buntut penolakan laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dilakukan Mabes Polri mambuat Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) turun tangan. Mereka berencana akan meminta klarifikasi kepada Polri.

"Kami akan meminta kejelasan soal kasus itu," ujar Anggota Kompolnas Lahode Husain dalam acara diskusi pemilu yang diselenggarakan di RM Koetaradja, Jakarta Pusat, Kamis (23/4/2009).

Selain itu, kata dia, pihaknya juga akan mengkaji dan mengeluarkan rekomendasi terkait kinerja kepolisian dalam menangani tindak pidana pemilu. "Dalam kasus lain Polri bisa langsung aktif, mengapa dalam persoalan ini tidak?" tandasnya.

Di tempat yang sama Anggota Bawaslu Wahidah Syuaib menegaskan, pihaknya tidak akan mem-praperadilankan Polri. Pasalnya, Bawaslu tidak ingin terjebak dalam proses hukum yang panjang.

"Kami lebih memilih untuk mengambil jalur formal dengan cara melapor ke Presiden dan DPR," tukasnya.

Sekadar mengingatkan, pada 12 April lalu Polri menolak laporan Bawaslu. Polri meminta agar Bawaslu melengkapi bukti pelanggaran tindak pidana pemilu yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). (teb)

Bawaslu Sebut Polri Punya Standar Ganda

OKE ZONE

Bawaslu Sebut Polri Punya Standar GandaKamis, 23 April 2009 - 13:26


wibInsaf Albert Tarigan - Okezone TEXT SIZE :


JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki standar ganda dalam menangani sederet kasus pemilu. Hal ini terkait ditolaknya laporan Bawaslu oleh Polri beberapa waktu lalu.

Anggota Bawaslu Wahidah Syuaib mengatakan, sikap polisi dinilai berbeda seperti saat menangani ratusan kasus lainnya yang dilaporkan Bawaslu. "Biasanya tidak serumit itu," ujar Wahidah dalam acara seminar di RM Koetaradja, Jakarta, Kamis (23/4/2009).

Menurutnya, penolakan Polri akan laporan Bawaslu tersebut menimbulkan kesan bahwa Polri tidak ingin menerima kasus tersebut dan tidak ingin bola ada di pihak kepolisian.

Lebih lanjut dia mengatakan, awalnya Polri menolak laporan Bawaslu dikarenakan belum diketahuinya unsur kesengajaan oleh KPU. Namun, setelah bukti unsur kesengajaan dilampirkan, Polri meminta barang bukti lainnya.

"Kami khawatir kejadian ini akan berdampak pada Kepolisian di tingkat provinsi dan Panwaslu daerah. Kami juga khawatir ini akan berdampak pada penegakan hukum saat Pilpres nanti," tandasnya.

Sebelumnya, beberapa waktu lalu Mabes Polri menolak laporan Bawaslu ketika melaporkan tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh KPU. Hal ini menuai sorotan dari berbagai pihak yang intinya meragukan profesionalitas Polri. (teb)

Kamis, 23 April 2009

Blok Politik Pengusung Capres Bakal Terganjal 20% Perolehan Suara

PIKIRAN RAKYAT

Blok Politik Pengusung Capres Bakal Terganjal 20% Perolehan Suara

Minggu, 15 Maret 2009 , 17:22:00


PURWOKERTO, (PRLM).- Mantan Ketua MPR Amien Rais memprediksi blok-blok politik pengusung calon presiden menjelang pemilihan presiden (Pilpres) yang tinggal empat bulan lagi bakal terganjal oleh angka 20 persen perolehan suara capres. Blok -blok poltik belakangan ini namanya terus bermunculan ke permukaan sebagai hal yang wajar untuk mencapai sebuah kekuasaan.

Pada Pilpres mendatang hanya akan menyisakan tempat bagi tiga pasangan capres dan cawapres. Karena tidak semua blok politik dari sejumah parpol yang sudah mengusung capres masing-masing, pada pemilu legislatif akan memperoleh jumlah suara signifikan yakni 20 persen di kursi DPR.

"Capresnya mungkin hanya Mega dan SBY sedangkan satu lagi mungkin Yusuf Kalla. Sedangkan capres-capres lain yang kini banyak bermunculan, pengusungnya dari beberapa blok politik akan terhalang aturan 20 persen perolehan suara parpol di kursi DPR," kata Amien Rais di sela-sela Safari Dakwah Islamiyah di Cilongok, Banyumas. Jateng, Minggu (15/3)

Menurut Amien, soal fenomena munculnya blok politik pengusung capres akhir-akhir ini, merupakan hal yang wajar saja. Seperti munculnya capres muda-muda seperti Rizal Ramli, Fajrul Rahman, Ray Rangkuti, Yudi Krisnadi, Marwah Daud dan sebagainya. Capres-capres inilah yang dikatakan Amien bakal sulit muncul bertanding ke pilpres.

Menurutnya, dalam pilpres tidak ada partai tunggal yang bakal memenangi pemilu, harus ada koalisi. Amien mengkritik melihat perkembangan koalisi yang hanya sekadar untuk menambah kekuatan diri dan mengurangi kekuatan lawan.

Oleh karenanya masyarakat berharap adanya tokoh yang memiliki wacana dengan konsep yang relatif konkret dan jelas. (A-99/das)***

Partai Kecil Kumpulkan 18% Suara

SEPUTAR INDONESIA


Partai Kecil Kumpulkan 18% Suara

Friday, 24 April 2009

JAKARTA (SI) – Sebanyak 24 partai politik tidak lolos parliamentary threshold (PT), mengumpulkan sekitar 18% suara hasil pemilu legislatif.


Jumlah suara tersebut menjadi daya tawar partai-partai kecil untuk memberikan dukungan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu Presiden 2009. Sebagaimana aturan UU Pilpres, gabungan parpol bisa mengusung capres- cawapres dengan mengumpulkan suara minimal 25% hasil perolehan suara pemilu secara nasional atau 20% jumlah kursi DPR.

Forum Komunikasi 24 Parpol menyatakan,dengan mengumpulkan suara sebanyak 18%, dukungan koalisi 24 parpol tersebut cukup signifikan dalam pencalonan presiden mendatang. Ke-24 partai yang datang menghadiri pertemuan itu, di antaranya PNBK, PKNU, PPNU, Partai Merdeka, Partai Buruh, PDP, PPD, PPPI, PPPRN, PPI, Patriot,Pelopor,PBR, PNI Marhaenisme, PDS, Barnas, Pakar Pangan,PSI,dan PMB.

Ketua Umum PPD Oesman Sapta mengungkapkan, salah satu kesepakatan dari pertemuan 24 parpol itu adalah membangun satu koalisi kecil.Namun, kalau semua suara digabungkan dari parpol kecil, kendati tidak lolos PT, jumlahnya cukup signifikan. Koalisi ini akan dipergunakan membangun daya tawar parpol kecil agar suaranya tidak diabaikan begitu saja.Sayangnya, Oesman tidak bersedia ke menjelaskan ke mana arah dukungan dari koalisi partai kecil itu.

“Kepada masing-masing blok politik yang akan mengusung capres, koalisi ini akan kami tawarkan sebelum Pemilu Presiden,”ujarnya. Sekretaris Jenderal Partai Buruh Sonny Pudjisasono menerangkan, koalisi ini akan membuka komunikasi dengan partai besar yang memang berpeluang mengusung capres dan cawapres. Misalnya, yang sudah berkomunikasi dengan koalisi partai kecil ini adalah Prabowo Subianto.


Namun, forum komunikasi 24 parpol ini akan mendekati blok Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri.“Kalau Golkar menginginkan syarat pencapresan, dengan bergabung dengan kita, itu pasti menggenapi. Kita menjadi strategis kalau bergabung dalam satu koalisi.Komunikasi dengan kubu SBY juga akan dilakukan,”ungkapnya.

Dalam pertemuan itu, disepakati juga untuk mengirim surat permintaan kepada Presiden SBY agar menunda implementasi aturan PT.Dalam surat yang akan dikirimkan ke SBY, aturan PT diminta diberlakukan pada 2014. “Kita minta Presiden (SBY) mengeluarkan perppu agar aturan PT tidak diberlakukan sekarang,” kata Ketua Umum Partai Patriot Yapto Soerjosoemarno.

Elite Diminta Bersikap Negarawan

Sementara itu,Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta para politisi dan elite partai politik menunjukkan sikap negarawan menghadapi Pemilu Presiden 2009. Hal itu diungkapkan Hidayat menanggapi wacana pemboikotan Pilpres 2009 dari kelompok parpol Teuku Umar dengan tidak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Saya yakin rekan-rekan saya di Teuku Umar juga negarawan yang mengedepankan kepentingan rakyat dan demokrasi Indonesia,” kata Hidayat di Gedung DPR, Jakarta,kemarin. Meski demikian, Hidayat meminta kepada pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merespons tuntutan mereka, terutama soal dugaan manipulasi daftar pemilih tetap (DPT).

Sebab, jika tuntutan kelompok Teuku Umar soal penuntasan dugaan kasus DPT tidak selesai, ancaman mereka tak ikut mencalonkan presiden bisa terwujud. Di tempat terpisah, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan sebuah tragedi nasional jika boikot pilpres dilakukan.

“Untuk pertama kali dalam sejarah pemilu nasional, bahkan sekalipun pemilu di era rezim Orde Baru,”ujarnya. Jika hal itu terjadi,Ray menilai akan berimplikasi sangat serius bagi penataan dan pengelolaan demokrasi di masa yang akan datang.

Partai politik, seperti dinyatakan dalam konstitusi, satu-satunya organisasi yang dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden. Partai politik yang dimaksud bahkan harus mencapai 20% kursi di DPR atau 25% dari suara sah secara nasional. Karena itu,dia meminta desakan kepada pemerintah dan KPU agar menuntaskan kasus DPT agar segera direspons. (fahmi faisa/ dian widiyanarko)

Bawaslu Adukan Polri ke Presiden, DPR, dan Kompolnas

INDO POS


Politika

[ Jum'at, 24 April 2009 ]


Bawaslu Adukan Polri ke Presiden, DPR, dan Kompolnas


Buntut Penolakan Usut Pelanggaran Pidana oleh KPU

JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih tidak terima terhadap sikap Mabes Polri yang menolak laporan pelanggaran pidana oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mereka kemarin mengirimkan surat pengaduan resmi ke presiden, DPR, dan Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) terkait penolakan yang dilakukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) Mabes Polri tersebut.

Dalam surat itu, Bawaslu meminta ketiga institusi tersebut mengambil langkah tegas atas tindakan Polri yang mereka nilai ganjil itu. "Kami berharap surat itu segera direspons," kata Anggota Bawaslu Wahidah Suaib setelah menjadi pembicara diskusi di Rumah Makan Koetaradja, Jakarta Pusat, kemarin.

Dia menyatakan, jalur formal tersebut terpaksa dilakukan karena waktu pilpres sudah semakin mepet. Jika tidak segera ditindaklanjuti, dugaan pelanggaran yang sama akan terulang pada pelaksanaan pilpres. "Kami sempat berpikir untuk mengajukan praperadilan. Tapi, berdasar masukan sejumlah ahli hukum, prosesnya akan cukup panjang," ungkapnya.

Berdasar laporan Bawaslu, KPU diduga melanggar pasal 288 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Itu terjadi setelah KPU tidak melaksanakan pemungutan ulang terhadap sejumlah kasus surat suara tertukar di beberapa daerah. Saat itu, KPU malah mengeluarkan surat edaran (SE) nomor 676 yang menyatakan, surat suara tertukar yang sudah tercontreng dianggap sah. Suara caleg yang telanjur tertandai dihitung untuk suara parpol.

Namun, Bawaslu berpendapat lain. Keluarnya surat itu dinilai sebagai pelanggaran. Menurut mereka, jika ada caleg yang dipilih di dapil lain, ternyata suaranya dimasukkan ke suara partai, itu merupakan perampasan hak suara terbanyak caleg. Mabes Polri menolak pengaduan tersebut. Korps berbaju cokelat itu menganggap laporan Bawaslu salah alamat. Seharusnya, laporan Bawaslu itu diajukan ke pengadilan tinggi tata usaha negara (PTUN).

Di tempat yang sama, anggota Kompolnas Laode Husain mengatakan, dirinya sebenarnya tidak melihat adanya dasar hukum atas penolakan laporan seperti yang dilakukan Polri tersebut. "Segera pertanyakan alasan Polri tersebut," ujarnya.

Menurut dia, sebenarnya laporan Bawaslu bukan hanya memenuhi unsur perdata, namun juga memuat unsur pidana. Sebab, kasus surat suara tertukar itu bukan hanya akan menghilangkan hak memilih, tapi juga menghilangkan hak orang untuk dipilih. Bukti-bukti yang diajukan Bawaslu pun, menurut dia, sudah cukup memenuhi sebagai bukti awal untuk diteruskan. "Karena itu, saya janji, selain bertanya ke Polri, juga akan buat kajian untuk ke presiden," pungkasnya. (dyn/agm)

Bawaslu Surati DPR Soal Penolakan Kasus

REPUBLIKA

Jumat, 24 April 2009 pukul 00:05:00


Bawaslu Surati DPR Soal Penolakan Kasus


JAKARTA -- Imbas penolakan pelaporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh Mabes Polri masih terus bergulir. Bawaslu berniat melayangkan surat ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Anggota Bawaslu, Wahidah Suaib, mengatakan, pihaknya akan mengirim surat ke DPR berkaitan dengan penolakan Sentra Penegakan Hukum Terpadu untuk memproses laporan Bawaslu. ''Hari ini kita kirim surat ke DPR agar ada tindak lanjut dari Komisi III untuk memanggil pihak kepolisian terkait langkah penegakan hukum,'' kata Wahidah, Kamis (23/4).

Surat serupa juga dikirimkan Bawaslu ke presiden dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Bawaslu berharap ada tanggapan dan tindak lanjut dari DPR, presiden, dan Kompolnas.''Yang bisa kami lakukan sekarang yakni menempuh jalur formal. Kami berharap surat kami mendapat respons, karena ini berkaitan dengan penegakan hukum,'' ujarnya.

Sebelumnya, Bawaslu melaporkan KPU ke Sentra Gakumdu perihal surat edaran KPU Nomor 676 Tahun 2009 yang kemudian disempurnakan dengan surat edaran Nomor 684.Salah satu butir dalam surat edaran yang dikirim untuk KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota tersebut yakni dalam hal surat suara yang tertukar antardaerah pemilihan yang terlanjut ditandai, dinyatakan sah dan dihitung sebagai suara partai.

Pemilih yang telanjur menandai surat suara tertukar tersebut pada kolom nama calon anggota legislatif, maka surat suara dinyatakan sah dan suara untuk caleg tersebut dinyatakan sebagai suara untuk partai politik.

Bawaslu menilai, dengan adanya SE ini, KPU dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara peserta pemilu menjadi berkurang.

Namun, Sentra Gakumdu tidak berpendapat sama. SE KPU dinilai sebagai solusi atas kasus tertukarnya surat suara.Wahidah berpendapat telah terjadi perbedaan pemahaman tentang substansi pemilu antara Bawaslu dan Sentra Gakumdu. Ia menyayangkan, kasus yang diajukan Bawaslu yang dilengkapi dengan 37 bukti tersebut tidak diproses.

Menanggapi penolakan laporan Bawaslu oleh Sentra Gakumdu, anggota Kompolnas, Laode Husein, mengatakan, ia tidak melihat dasar hukum yang kuat bagi kepolisian untuk menolak laporan Bawaslu. ''Saya juga menilai tidak ada syarat yang cukup untuk menjadikan SE KPU tersebut sebagai objek tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara,'' katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, Kompolnas akan mengklarifikasi masalah laporan Bawaslu tersebut ke kepolisian. Setelah itu, pihaknya hanya bisa memberikan rekomendasi pada kepolisian. ant

Bawaslu Nilai Polisi Terapkan Standar Ganda

SEPUTAR INDONESIA

Bawaslu Nilai Polisi Terapkan Standar Ganda

Friday, 24 April 2009


JAKARTA (SI) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai kepolisian telah menerapkan standar ganda terkait penolakan laporan dugaan pelanggaran Pemilu 2009.


Anggota Bawaslu Wahidah Suaib mengatakan, kepolisian tidak mempunyai niat baik untuk memproses laporan Bawaslu terkait pelanggaran pidana pemilu saat pemungutan suara. ”Polisi menerapkan standar ganda dalam penanganan prosedur pemilu.Ratusan kasus telah masuk dan prosedurnya tidak serumit ini,” ungkap Wahidah saat diskusi tentang ”Cacat Pemilu”di Jakarta kemarin.

Menurut dia,secara prinsip,kepolisian memang tidak ingin menerima laporan Bawaslu.Padahal,ada 34 bukti yang diserahkan Bawaslu terkait pelanggaran yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut.

Selain itu, pendapat para ahli juga dimunculkan dalam laporan itu. Dia mengaku heran ketika kemudian laporan ditolak, dan polisi meminta bukti surat suara yang tertukar. ”Padahal, mencari bukti adalah tugas penyidik. Di sisi lain,Bawaslu tidak mempunyai kewenangan untuk membawa surat suara yang tertukar, karena itu rahasia negara. Polisilah yang berhak,” ujarnya.

Diketahui sebelumnya, Bawaslu melaporkan KPU ke Mabes Polri. Laporan itu terkait dugaan pelanggaran pidana pemilu yang dilakukan KPU.Pelanggaran itu terkait penerbitan Surat Edaran (SE) KPU No 676 dan 684.SE itu muncul akibat tertukarnya surat suara di beberapa daerah.

Melalui SE itu, KPU menyatakan surat suara yang tertukar tetap dianggap sah. Kebijakan KPU itu berdampak pada tidak bernilainya surat suara. Namun, pihak kepolisian justru menolak laporan Bawaslu tersebut. Alasannya,laporan itu tidak disertai bukti yang cukup. Atas penolakan dan penerapan standar ganda ini,Bawaslu meminta DPR memanggil kepolisian untuk dimintai klarifikasi.

”Kami pagi ini (kemarin) sudah mengirim surat pada Ketua DPR agar penolakan kepolisian ditindaklanjuti. Melalui Komisi II dan Komisi III,kami meminta DPR memanggil kepolisian untuk mempertanggungjawabkan penolakan tersebut,”katanya. Selain itu,ujar Wahidah,Bawaslu juga menyurati presiden dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Dalam surat itu,Bawaslu menjelaskan telah menyelesaikan poin- poin dan kronologi serta kajian hukum yang lengkap terkait pelaporan pada kepolisian. Anggota Kompolnas Laode Husen menyatakan pihaknya akan memanggil kepolisian terkait penolakan laporan Bawaslu.”Saya lihat, tidak ada penjelasan hukum sehingga laporan Bawaslu ditolak. Kami akan meminta klarifikasi,” tandasnya.

Dia juga mengaku heran atas penolakan itu. Apalagi, alasan Kabareskrim Mabes Polri yang menyatakan bahwa laporan itu masuk dalam ranah Pengadilan Tata Usaha Negara. Menurut dia, surat KPU bukan objek yang bisa dimasukkan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).Sesuatu yang diproses dalam PTUN,ujar dia,adalah yang bersifat konkret, individual, dan final.

Padahal,surat edaran KPU tersebut tidak untuk individu tertentu, tapi untuk semua penyelenggara pemilu. Selain itu,jelas dia,surat edaran itu juga bukan sebuah keputusan final.”Itu kanbukan keputusan,hanya surat edaran,”ujarnya.

Juru bicara Dewan Perubahan Nasional Chalid Muhammad mengatakan, yang perlu dilakukan pemerintah dan KPU adalah memberikan hak pada masyarakat yang belum menggunakan hak pilihnya. Karena itu, sudah seharusnya hak dipilih masyarakat juga perlu diperhatikan. ”Kalau nama caleg tidak ada dalam surat suara karena tertukar maka hak dipilihnya hilang, itu harus diperbaiki,”ujarnya. (kholil)

KPU Bantah Data Temuan PDI-P

KOMPAS

KPU Bantah Data Temuan PDI-P

Jumat, 24 April 2009 | 03:26 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum membantah data yang disampaikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Data yang ditampilkan dalam Tabulasi Nasional Pemilu 2009 oleh KPU adalah data yang sebenarnya.

”Saya heran, angka itu didapatkan dari mana. Angka yang kami tampilkan di tabulasi itu adalah angka yang sebenarnya. Saya berharap media tidak melansir sesuatu yang belum jelas,” kata anggota KPU, Abdul Aziz, menanggapi data PDI-P, Kamis (23/4).

Sebelumnya, PDI-P menemukan data dalam sebuah cakram padat (CD) dari server KPU. Dalam data itu disebutkan suara yang dihimpun server KPU jauh lebih besar dibandingkan suara yang ditampilkan dalam Tabulasi Nasional (Kompas, 22/4).

Menurut Aziz, angka yang ditampilkan di Tabulasi Nasional itu merupakan data sebenarnya yang didapatkan dari daerah. ”Itu adalah riil kami peroleh selama ini,” ujar Aziz.

Secara terpisah, anggota Tim Ahli Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi untuk TI KPU, Oskar Riandi, mengatakan, data yang masuk sebelum proses penayangan Tabulasi Nasional di Hotel Borobudur ditutup berasal dari 130.000-an tempat pemungutan suara (TPS). Namun, saat itu yang ditampilkan di internet hanya sekitar 60.000 TPS.

”Sisa data TPS yang tidak ditampilkan adalah data yang salah. Kesalahan umumnya terjadi karena jumlah pemilih yang terdaftar di TPS lebih kecil dibandingkan jumlah suara sah yang ada,” kata Oskar.

Mengejutkan

Temuan PDI-P soal perbedaan data di tabulasi dan server KPU itu mengejutkan banyak pihak. Dorongan untuk segera diadakan penyelidikan guna mengungkap kemungkinan adanya skandal dalam sistem tabulasi pun menguat.

Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang mendorong adanya penyelidikan secepatnya. ”Jika temuan PDI-P tersebut benar ada, hal itu dapat disebut sebagai skandal,” kata Ray.

Menurut Sebastian, bila betul data yang diungkap itu, sesungguhnya kredibilitas KPU juga telah runtuh. Tabulasi Nasional harus segera dihentikan karena tidak memiliki legitimasi lagi.

Dari Bandung dilaporkan, Dewan Pimpinan Daerah PDI-P Jawa Barat mengumpulkan bukti pelanggaran dalam pemilu legislatif lalu. ”Meski tidak lagi bisa memengaruhi hasil pemilu, hal itu diharapkan bisa menjadi cerminan kualitas Pemilu 2009 yang buruk,” kata Sekretaris DPD PDI-P Jabar Edi Susianto.(REK/SIE/MZW/sut)

Komnas HAM Gunakan Dua Pendekatan Investigasi

KOMPAS

Komnas HAM Gunakan Dua Pendekatan Investigasi

Jumat, 24 April 2009 | 03:46 WIB

Jakarta, Kompas - Tim penyelidik dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menggunakan dua metode dalam menginvestigasi hilangnya hak konstitusional warga dalam pemilu lalu.

”Dua metode itu disebut dengan poros hilir dan poros hulu,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh, Kamis (23/4) di Kantor Komnas HAM, Jakarta.

Ridha Saleh menjelaskan, poros hilir terkait regulasi serta struktur kebijakan yang berpengaruh terhadap aspek yang menyebabkan hilangnya hak konstitusional warga. Poros hulu terkait dengan persentase pengaduan, baik dari partai politik, masyarakat, maupun temuan.

Delapan anggota

Ridha menjelaskan, tim yang terdiri dari delapan anggota Komnas HAM ditambah dengan tiga ahli dari luar Komnas HAM tersebut akan dikirim ke berbagai wilayah berbeda yang telah ditetapkan sebagai sampel. Beberapa daerah yang nantinya akan dikunjungi oleh tim tersebut adalah Sampang, Medan, Palu, Poso, dan Lampung.

Tim tersebut mulai terjun ke daerah-daerah itu pada 30 April dan melakukan kegiatan di daerah selama lebih kurang tiga hari. Dalam prosesnya nanti temuan tim di lapangan akan dikonfrontasikan dengan kebijakan-kebijakan tentang pemilu.

Selain itu, dalam proses tersebut direncanakan, tim dari Komnas HAM pada 4 Mei mendatang akan memanggil Komisi Pemilihan Umum, Menteri Dalam Negeri, dan Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan. Diharapkan, pada 7 Mei mendatang tim penyelidik tersebut telah membuat kesimpulan dan rekomendasi atas investigasi yang mereka lakukan.

”Rekomendasi yang dihasilkan mungkin bersifat rehabilitasi. Namun, kami belum dapat memperkirakan apa bentuknya,” kata Ridha Saleh.

Dalam beberapa pengaduan yang telah diterima Komnas HAM terkait dengan hilangnya hak politik warga negara itu, perwakilan warga telah menyampaikan keinginan mereka. Ray Rangkuti yang tergabung dalam Dewan Perubahan Nasional, misalnya, mengharapkan digelarnya pemilu khusus untuk mengakomodasi hak pilih warga yang direhabilitasi.

Dalam kesempatan berbeda, tuntutan serupa juga dikemukakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yang bersama dengan KIPP, PBHI, dan LBH Apik mengajukan gugatan warga negara. Selain tuntutan menggelar pemilu susulan, pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum juga diminta untuk menunda penyelenggaraan pemilihan umum presiden. (jos)

Bawaslu Mengadu ke Presiden

KOMPAS

Bawaslu Mengadu ke Presiden

Jumat, 24 April 2009 | 03:47 WIB


Jakarta, Kompas - Badan Pengawas Pemilihan Umum mengirimkan surat kepada Presiden, DPR, dan Komisi Kepolisian Nasional berkaitan dengan tindakan Polri yang tidak menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran pidana oleh KPU.

Dikhawatirkan sikap Polri tersebut akan menular ke kepolisian daerah.

Anggota Bawaslu, Wahidah Suaib, menyampaikan hal itu ketika menjadi pembicara dalam diskusi ”Ayo Tuntaskan Cacat dan Pidana Pemilu” yang diselenggarakan oleh Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Kamis (23/4).

Diskusi juga menghadirkan anggota Tim Pembela PDI-P Dwi Ria Latifa, anggota Kompolnas Laode Husein, dan anggota Dewan Perubahan Nasional Oslan Purba sebagai pembicara.

”Kami akan mengirimkan surat itu hari ini,” ujar Wahidah.

Wahidah mengatakan, Bawaslu mengharapkan DPR, terutama Komisi II dan Komisi III, segera memanggil Polri untuk meminta keterangan mengenai penolakan laporan Bawaslu.

Sebelumnya, Bawaslu melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan oknum KPU yang mengesahkan surat suara tertukar dengan mengeluarkan Surat KPU Nomor 676/KPU/IV/2009 dan Surat KPU Nomor 684/ KPU/IV/2009. Tertukarnya surat suara itu membuat suara pemilih menjadi tidak berguna dan merugikan calon anggota legislatif di daerah pemilihan tersebut.

”Tindak pidana pemilu ada batas waktunya. Untuk itulah kami menempuh jalur formal, yaitu meminta DPR segera memanggil Polri,” kata Wahidah.

Standar ganda

Menurut Wahidah, polisi telah menggunakan standar ganda dalam menangani tindak pidana pemilu.

Selama ini, lanjutnya, semua tindak pidana pemilu yang disampaikan ke polisi cukup hanya dengan menyerahkan barang bukti dan dua saksi.

Namun, untuk laporan berkaitan dengan surat edaran KPU, lanjut Wahidah, sejak awal polisi sudah mempunyai itikad untuk menolak.

”Kami sudah menyampaikan 34 bukti, lengkap dengan keterangan dari ahli pemilu dan saksi dari para caleg, ditambah lagi ada keterangan klarifikasi dari KPU. Kemudian kami ditanya bukti-bukti surat suara yang tertukar, seharusnya kan polisi yang mencari. Kami itu melaporkan oknum KPU yang mengesahkan surat edaran itu, bukan surat edaran, yang kemudian dikatakan masuk dalam obyek PTUN,” tutur dia.

Wahidah menambahkan, sikap Polri yang menolak laporan Bawaslu dikhawatirkan dapat menular ke lembaga kepolisian di daerah. ”Padahal penanganan tindak pidana pemilu oleh kepolisian daerah sudah cukup bagus. Ada ratusan tindak pidana pemilu yang masih ditangani di kepolisian daerah, puluhan di antaranya sudah divonis,” ungkap Wahidah.

Anggota Kompolnas, Laode Husein, mengatakan, Kompolnas akan menindaklanjuti surat dari Bawaslu. ”Kami akan proaktif menanyakan masalah ini kepada Polri,” katanya.

Laode mengatakan, tidak ada dasar hukum yang kuat bagi Polri untuk menolak laporan Bawaslu. Surat edaran KPU tidak bisa dijadikan obyek dalam gugatan tata usaha negara.

”Kalau ada yang mengajukan gugatan itu ke PTUN, sia-sia. Ini harus diselesaikan sesuai dengan koridor hukum. Sebenarnya bisa saja masuk dalam gugatan perdata karena KPU berpotensi melanggar hukum dan merugikan orang lain,” tuturnya. (SIE)

CAPRES TUNGGAL

SUARA KARYA


CAPRES TUNGGAL
Wacana Perppu Masih Terlalu Dini



Kamis, 23 April 2009


JAKARTA (Suara Karya): Keinginan Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) akibat kekhawatiran terjadinya pemilihan presiden (pilpres) yang hanya akan diikuti satu pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dinilai mengada-ada dan masih terlalu dini.

Demikian disampaikan Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq, dan Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, di Jakarta, Rabu (22/4).

Menurut Priyo, wacana seputar perppu tersebut terlalu dini jika dibahas saat ini. "Sebaiknya jangan hari ini, karena hal itu masih terlalu prematur," katanya.

Hal senada disampaikan Mahfudz. Dia menilai, sebaiknya saat ini KPU jangan memikirkan masalah perppu. Banyak hal, lanjut dia, tentang persiapan penyelenggaraan pilpres yang harus menjadi perhatian utama. Misalnya, masalah daftar pemilih atau logistik.

"Ide mengenai perppu itu masih terlalu prematur. Sebenarnya saya tidak mau melakukan spekulasi akan keputusan itu. Tapi mungkin itu (ide perppu) karena KPU yang terlalu cemas," ujarnya.

Sementara itu, Ray menilai, adanya keingian pemboikotan beberapa partai politik terhadap pilpres mendatang menjadi persoalan baru dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Menurut dia, jika hal itu benar-benar terjadi, maka penegakan konstitusi politik di Indonesia berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan.

"Ini merupakan tragedi nasional karena pertama kali dalam sejarah pemilu nasional, bahkan sekali pun pemilu di era rezim Orde Baru, partai politik dengan jumlah yang sangat massif menyatakan diri tidak terlibat dalam pelaksanaan pemilu nasional," ujarnya.

Tak hanya itu, tutur Ray, persoalan ini dapat pula berimplikasi sangat serius bagi penataan dan pengelolaan demokrasi Indonesia di masa yang akan datang.

Seperti diketahui, sesuai aturannya, partai politik menjadi satu-satunya organisasi yang dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Melihat hal ini, Ray menilai, pemerintah tidak boleh menganggap remeh pernyataan tersebut. Menurut dia, penyelesaian perkara dengan cara-cara enteng, meledek, dan terkesan sambil lalu akan berakibat panjang bagi demokrasi Indonesia.

"Lebih-lebih presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, menyatakan mempertimbangkan untuk mengeluarkan perppu untuk mengantisipasi kemungkinan hanya ada satu calon dalam pemilihan capres dan cawapres pada Pemilu 2009 yang akan datang," ujarnya.

Menurut dia, penerbitan perppu hanya sebagai upaya menyiasati kebuntuan politik menjadikan demokrasi Indonesia semata-mata permainan hukum.

Dia menilai, presiden menarik masalah demokrasi menjadi semata-mata seperangkat peraturan, hukum, dan dengan sendirinya menafikan unsur nilai dan etika dalam politik.

Lebih lanjut dia menambahkan, rencana presiden untuk menerbitkan perppu dengan sendirinya akan mengubah desain sistem pemilu presiden dan wakil presiden yang merupakan hasil kesepakatan seluruh kompenan bangsa ini menjadi semata-mata satu desain sistem pemilu yang coraknya ditentukan oleh presiden secara sepihak.

"Sikap ini menjadi tragedi demokrasi kedua. Karena, esensi penting dari demokrasi adalah kesepakatan-kesepakatan politik yang dicapai melalui proses pelibatan massif warga negara dan dari proses yang didialogkan," ujarnya.

Menurut Ray, perppu tersebut akhirnya hanya akan menjadi tindakan sepihak, tanpa dialog, tanpa partisipasi, dan dengan sendirinya menjadi monolog.

Tentunya, dia melanjutkan, dapat dibayangkan bagaimana lanjutan dari pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden tanpa pelibatan massif warga negara. Yakni, presiden terpilih akan selalu mendapat citra negatif, dicapai dengan cara-cara yang memutar haluan demokrasi, selalu mendapat prasangka, dan tentunya akan berujung pada proses delegitimasi.

Ray menilai, daripada mewacanakan akan mengeluarkan perppu, sebaiknya Presiden lebih bersungguh-sungguh untuk memperhatikan dan menilik alasan-alasan pemboikotan partai politik tersebut.

Hal ini, menurut dia, menjadi sinyal yang sangat jelas akan adanya keengganan dalam berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, dia menambahkan, dapat berdampak pada tidak profesionalnya pemerintah dalam menyelenggarakan dan melaksanakan pemilu.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menjelaskan, pihaknya telah menyiapkan beberapa opsi terkait Undang-Undang Pilpres.

Sampai sejauh ini dia mengungkapkan, telah dilakukan pembicaraan internal KPU mengenai dilakukannya langkah lain jika ditemukan adanya kemungkinan pencalonan tunggal capres dan cawapres.

Namun, Abdul Hafiz tetap berharap kekhawatiran munculnya capres dan cawapres tunggal tidak terjadi sehingga tidak mengganggu jalannya pelaksanaan pilpres mendatang. (Tri Handayani)

Indikasi Capres Tunggal Mengkhawatirkan

REPUBLIKA NEWSROOM

Indikasi Capres Tunggal Mengkhawatirkan
By Republika Newsroom

Kamis, 23 April 2009 pukul 13:16:00 Font Size A A A



JAKARTA - Wacana calon presiden (capres) tunggal dianggap ancaman bagi demokrasi. Penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang (perpu), sebagai antisipasi capres tunggal, akan mengubah desain sistem pilpres yang ada. Perpu terkait pilpres dianggap sama halnya dengan monolog dalam demokrasi. “Esensi penting demokrasi adalah pelibatan rakyat dalam dialog,” tulis Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) dalam siaran persnya Rabu senja kemarin (23/4.

Alih-alih bicara soal perpu, Lima menyeru agar pemerintah, dalam hal ini presiden, agar berfokus pada rencana 22 partai politik untuk absen dari pemilihan presiden mendatang. Direktur Eksekutif Lima, Ray Rangkuti, melalui pernyataan persnya kepada Republika menyayangkan munculnya wacana perpu. Ray berpendapat lebih baik Presiden menelaah alasan ke-22 parpol yang berencana absen dari pilpres mendatang,” paparnya.

Sebab, lanjut Ray, alasan keengganan mereka berpartisipasi amat jelas. Mereka, menurut Lima, menilai penyelenggara pemilu tidak amanah dan tidak professional.

Ray menyayangkan sikap Presiden dan Wapres yang menurutnya justru sibuk dengan pernyataan dan solusi yang jauh dari ujung pangkal persoalan. Tentu, lanjutnya, sikap Presiden mengentalkan dugaan negatif di tengah masyarakat mengenai keterkaitan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Presiden. -c87/ahi

RAY RANGKUTI : Jutaan Surat Suara Rusak Tetap Dipakai



14 April 2009


RAY RANGKUTI : Jutaan Surat Suara Rusak Tetap Dipakai

KurangBagus Meski akhirnya sesuai jadwal, pelaksanaan pemilu legislatif pada Kamis (9/4) ini sejatinya tak layak untuk dilaksanan.


INI terlalu dipaksakan,” ujar mantan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti kepada Moh Anshari dari Indonesia Monitor, Kamis (2/4). Berikut ini wawancara dengan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) itu.



Mengapa dipaksakan?

Pertama, belum ada kepastian soal DPT (daftar pemilih tetap) yang valid. KPU sudah merevisi beberapa kali, tapi tidak diumumkan. Kita nggak mendengar berapa total dari keseluruhan pemilih dalam DPT. Kedua, soal surat suara. Surat suara yang rusak jumlah puluhan juta, tapi karena nampaknya menyulitkan KPU, surat suara rusak itu kayaknya diperbolehkan. Tapi sesuai standar pemilu, surat suara rusak itu nggak benar. Masak kita harus menerima surat suara yang sudah tercoret, tercontreng, dan distempel. Padahal, itu nggak boleh.



Kalau begitu keadaannya, apa bisa dibilang KPU melegalkan praktik kecurangan?

Kalau memang terbukti terjadi kecurangan di berbagai tempat, kita harus meminta pertanggungjawaban KPU. Termasuk, misalnya, kalau nanti masyarakat marah karena mendapatkan namanya sudah distempel pakai stiker. Sangat layak kalau caleg juga marah karena tahu namanya distempel pakai stiker. Mereka bisa menggugat KPU, karena memperlakukan mereka secara tidak adil. Yang lain namanya mentereng tanpa noda, malah sebagian namanya distempel pakai stiker.



Banyak aturan pemilu yang belum dipahami masyarakat, bahkan oleh politisi. Apa ini berpotensi menimbulkan permasalahan di belakang hari?

Ya. Pasti otomatis itu. Misalnya, soal penundaan pemilu. Yang dikatakan boleh itu seperti apa? Sekarang, satu-satunya yang mengerti dan paham aturan pemilu hanya penyelenggara. Padahal, ini sangat berbahaya. Karena nanti akan banyak gugatan dari masyarakat. Mereka berpatokan pada undangundang, padahal kenyataannya berbeda. Setidaknya itu menyulitkan kalau sosialisasi aturan baru itu tidak sampai ke masyarakat luas. Itu akan menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak sehat.



Anda memprediksi KPU akan panen gugatan?

Ya pasti.



Apa ada kemungkinan chaos?

Agak susah memprediksinya. Tapi kita sekarang harus lebih hati-hati.



Kalau terjadi sengketa dan tindak kecurangan, bagaimana penyelesaian yang adil?

Tentu melalui pengadilan. Mereka yang dikecewakan dan merasa diperlakukan tidak adil oleh KPU, mereka bisa melakukan gugatan ke pengadilan. Tapi, sangat tergantung materinya. Kalau materinya berkenaan dengan pidana, tentunya ke polisi. Kalau berkaitan dengan perdata, bisa ke MK dan MA.



Apakah penyelesaian lewat MK bisa dijamin fair?

Itu di luar. Itu soal kemampuan lembaga peradilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan.



Bagaimana sebaiknya sikap elite parpol yang nanti kecewa?

Saya pikir mereka jangan menunggu masalah sampai nanti. Hal-hal yang bisa dipersoalkan dari sekarang, ya mereka harus cepat persoalkan. Kalau hal yang bisa digugat sekarang, gugatlah sekarang. Jangan digugat di akhir. Kebiasaan kita menyelesaikan masalah di akhir itu harus dihindari, karena kenyataannya kalau nanti sudah ditetapkan pasti akan sulit untuk dilakukan pembelaaan.



Dengan banyaknya potensi kecurangan dan sengketa pemilu, bagaimana kinerja Bawaslu saat ini?

Bawaslu sami mawon (sama saja). Tidak ada fungsinya. Saya justru merekomendasikan Bawaslu dibubarkan saja. Ke depan nggak perlu lagi. Coba lihat, Bawaslu hanya sibuk ngurusi yang kecil-kecil, sepele-sepele saja. Nggak ada yang serius. Soal DPT, mereka memersoalkan secara tegas. Kita amat meragukan, apakah Bawaslu masih dianggap perlu lagi.



Bagaimana tanggapan Anda soal sistem undi bagi peserta pemilu yang perolehannya suaranya sama?

Itu nggak benar. Itulah yang saya sebut KPU sekarang kacau. Kalau pakai undian, ya nggak usah pakai pemilu. Pemilu kan harus kompetisi. Ini kok orang menang pakai diundi. ■

Kasus Dugaan Pidana KPU

Minggu, 19 April 2009 16:17 WIB

Kasus Dugaan Pidana KPU

Kepolisian Dinilai Irasional


Penulis : Maya Puspita Sari


JAKARTA--MI: Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Nasional Ray Rangkuti mengatakan, sikap kepolisian yang menolak mentah-mentah laporan Bawaslu yang berisi dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pemilu 9 April lalu dinilai irasional dan terburu-buru.

"Penolakan pihak kepolisian yang amat cepat dan sigap tetapi dengan argumentasi yang justru oleh undang-undang diatur tidak mungkin untuk disertakan oleh pelapor manapun kecuali atas nama atau alat Negara yang dinyatakan legal untuk menghadirkannya, merupakan langkah terburu-buru, irasional, melecehkan hukum dan terlihak panik," ungkap Ray kepada Media Indonesia di Jakarta, Minggu (19/4).

Kesan panik tersebut, lanjut dia, tidak dapat dihindarkan manakala pihak kepolisian berlaku tidak pantas dalam menerima rombongan pihak Bawaslu sehingga ketegangan antara pihak kepolisian yang menerima laporan tersebut dengan rombongan Bawaslu sebagai pihak pelapor pun terjadi.

Sebelumnya, Bawaslu melaporkan KPU ke kepolisian pada Jumat 17 April 2009 dan pada hari yang sama pihak kepolisian menyatakan tidak dapat menerima laporan Bawaslu tersebut. Alasan penolakan kepolisian yang mengemuka atas laporan tersebut adalah karena kurangnya alat bukti berupa surat suara yang tertukar. Satu hal yang memang menurut undang-undang tidak mungkin dapat disertakan.

Ray menuturkan, pada hakikatnya, dengan sejumlah data yang disertakan dalam laporan Bawaslu, maka tidak ada alasan bagi pihak kepolisian untuk menolak dan tidak mengembangkan laporan tersebut.

Menurutnya, data-data yang disertakan oleh Bawaslu telah lebih dari cukup untuk dinyatakan sebagai data awal bagi pengembangan kasus yang dimaksud. Adapun kekurangan data merupakan tugas pihak kepolisian untuk mengembangkan, mencari dan menambahnya.

Hal tersebut sesuai dengan pasal 253 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang menyebutkan dengan tegas bahwa "penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu propinsi, Panwaslu kabupaten/kota."

Ia menambahkan, bila dicermati bunyi pasal yang dimaksud juga menetapkan bahwa pihak kepolisian merupakan penyidik atas satu laporan dari Bawaslu dan jajarannya. Satu tugas yang memang telah melekat dalam fungsi dan tugas pihak kepolisian.

"Sayangnya, alih-alih pihak kepolisian berkenan mengembangkan laporan dan pengaduan tersebut, mereka malah sudah terlebih dahulu menolak laporan yang dimaksud karena alasan data yang kurang lengkap yang justru sesungguhnya data yang dimaksud merupakan kewajiban pihak kepolisian untuk mengembangkannya," cetus Ray.

Ia menyatakan, sikap kepolisian yang dinilai tidak profesional ini bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, sikap polisi yang terlihat tidak profesional juga telah terjadi pada penanganan kasus daftar pemilih tetap (DPT) fiktif di Jawa Timur dan kasus politik uang yang diduga dilakukan oleh caleg Partai Demokrat dari dapil Jatim VII, Edhie Baskoro Yudhoyono.

"Tentu sikap seperti ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus terjadi karena pada ujungnya akan mengancam sikap independensi dan profesionalitas pihak kepolisian. Oleh karenanya, kami meminta agar kepolisian berlaku cermat, professional dan independen dalam penanganan pelaksanaan pemilu 2009, agar kita terhindar dari degradasi nilai-nilai demokrasi," tukas dia.(MS/OL-02)

KPU Busuk ala Franky Sahilatua

DETIK.COM

KPU Busuk ala Franky Sahilatua
detikcom - Kamis, April 23

Ada-ada saja aksi Franky Sahilatua menanggapi pelaksanaan Pemilu 2009. Kali ini musisi tersebut melansir sebuah lagu yang dari judulnya saja sudah terbayang liriknya, yaitu "KPU Busuk".



Berikut lirik lagu terbaru karya Franky;

KPU Busuk
KPU Busuk
KPU Busuk
Busuk, Busuk, Busuk
Siapa yang buat?
Siapa yang buat?
Siapa yang buat?
SYB

Di sela petikan gitarnya Franky menjelas bahwa SYB adalah kependekan dari Siapa Yang Buat. Tepuk tangan dan gelak tawa audiens spontan pecah.

Franky membawakan lagu barunya itu di sela diskusi bertajuk "Ayo Tuntaskan Cacat dan Pidana Pemilu". Acara berlangsung di RM Koetaraja, Jl Senen Raya, Jakarta, Kamis (23/4/2009).

"Ini hanya untuk hiburan saja," ujar Franky sebelum membawakan KPU Busuk.

SBY Klaim KPK Berhasil, Kenapa Tidak Akui KPU Gagal?

DETIK.COM

Kamis, 23/04/2009 18:33 WIB

SBY Klaim KPK Berhasil, Kenapa Tidak Akui KPU Gagal?

M. Rizal Maslan - detikPemilu


dok detikcom
Jakarta - Selama ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu mengklaim keberhasilan pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun dipertanyakan kenapa SBY tidak mengakui kegagalan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penyelenggaraan Pemilu 2009.

"SBY mengklaim berhasil untuk memberantas korupsi melalui KPK, tapi SBY seharusnya mengakui kegagalan dalam penyelengaraan pemilu," kata Sekjen Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan) Jackson Kumaat di sela-sela Forum Parpol di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis
(23/4/2009).

Sebab, menurut Jackson, KPK dan KPU selama ini sama-sama sebagai lembaga independen. "Jadi SBY tidak bisa melepaskan tanggung jawab dengan melimpahkan kesalahan kepada KPU semata," tegasnya.

Sementara itu, Koordinator Lingkar Masyarakat Madani (Lima) Ray Rangkuti menyatakan, daripada Presiden SBY menjadi bulan-bulanan akibat kegagalan pemilu ini, seharusnya membubarkan KPU. Alasannya dengan formasi anggota KPU yang ada sekarang justru mengundang kericuhan yang baru di Pilpres.

"Ya kalau ingin menyelenggarakan Pilpres, SBY harus membubarkan KPU yang ada sekarang ini, baru diganti dengan yang baru," tandas Ray.

Ditolak Polri, Bawaslu Mengadu ke Presiden dan DPR

KOMPAS.COm

Ditolak Polri, Bawaslu Mengadu ke Presiden dan DPR
tur

Kamis, 23 April 2009 | 14:47 WIB


Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik


JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah laporannya ditolak oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) Mabes Polri, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akhirnya mengadukan penolakan tersebut kepada Presiden, DPR RI, dan Komisi Polisi Nasional. Bawaslu meminta ketiga institusi ini untuk mengambil langkah tegas terhadap tindakan Polri yang dinilai ganjil.

"Kami tadi pagi kirim surat ke ketiga institusi tersebut mengenai penolakan Polri terhadap laporan Bawaslu," ujar Anggota Bawaslu, Wahidah Suaib, dalam diskusi terkait gugatan pemilu bertajuk "Ayo Tuntaskan Cacat dan Pidana Pemilu!" di Jakarta, Kamis (23/4).

Secara khusus, Bawaslu meminta DPR RI melalui Komisi II dan Komisi III menggunakan hak pengawasannya untuk memanggil Polri guna menjelaskan penolakan mereka terhadap laporan Bawaslu. "Sedapat mungkin secepatnya karena Polisi hanya punya waktu 14 hari. Kemarin laporannya tanggal 13 April dan ini berarti tinggal tujuh hari lagi," lanjut Wahidah.

Pengaduan tersebut disampaikan menyusul diskusi yang digelar KPU dengan berbagai ahli tata negara dan para pakar serta Kompolnas untuk mempertanyakan kelengkapan laporan Bawaslu. Wahidah mengatakan, keterangan para pakar dan Kompolnas justru menguatkan posisi Bawaslu.

Sementara itu, Anggota Kompolnas Laode Husain mengatakan akan segera mempertanyakan tindakan tersebut kepada Polri. Laode sendiri melihat sebenarnya tidak ada alasan bagi Polri untuk menolak laporan Bawaslu.

Bawaslu Tuding Polri Terapkan Standar Ganda

KOMPAS.COM

Bawaslu Tuding Polri Terapkan Standar Ganda
tur

Kamis, 23 April 2009 | 13:55 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik


JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menuding Polri menerapkan standar ganda dalam menangani sejumlah kasus terkait pemilu, apalagi pasca-penolakan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) di Mabes Polri terhadap laporan Bawaslu mengenai dugaan pelanggaran pidana oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Standar ganda yang dimaksud Bawaslu adalah soal pemenuhan syarat penerusan laporan ke tingkat penyidikan. Sebelumnya, Panwaslu dapat dengan mudah menyampaikan laporan hanya dengan menyertakan kajian permulaan, keterangan dua saksi, dan alat bukti. Namun, hal ini tak dapat ditempuh Bawaslu dalam laporan terkait dugaan pelanggaran pidana oleh KPU.

"Dalam melaporkan pelanggaran biasanya tidak serumit ini. Kami melihat memang ada keganjilan karena pada prinsipnya mereka tidak ingin menerima," ujar Anggota Bawaslu Wahidah Suaib dalam diskusi terkait gugatan pemilu bertajuk "Ayo Tuntaskan Cacat dan Pidana Pemilu!" di Jakarta, Kamis (23/4).

Menurut Bawaslu, dalam laporan tersebut, Bawaslu telah memiliki bukti lengkap meliputi surat pernyataan dirugikan dari pemilih yang tak terdaftar, caleg yang tak tertulis dalam surat suara maupun parpol yang dirugikan, dan keterangan ahli tata negara hingga berjumlah 34 bukti.

Bawaslu akhirnya menilai bahwa Polri memang tidak memiliki kemauan politik untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran ini karena, belum saja menerima laporan, Polri sudah menolaknya.

Polisi Tolak Laporan Bawaslu

DETIK.COM

Kamis, 23/04/2009 13:56 WIB

Polisi Tolak Laporan Bawaslu

Wahidah Suaib: Kasus Sebelumnya Tak Serumit Ini


Novi Christiastuti Adiputri - detikPemilu



Jakarta - Polisi menolak laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai surat suara tertukar yang disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tindakan polisi ini berbeda dengan sebelumnya ketika menangani laporan tindak pidana pemilu.

"Dari kasus sebelumnya, laporan yang diajukan ke Sentra Gakumdu dan masuk ke penyidikan tidak pernah serumit ini," kata anggota Bawaslu Wahidah Suaib dalam diskusi "Gugatan Pemilu, Ayo Tuntaskan Cacat dan Pidana Pemilu" di Rumah Makan Koeta Radja, Jl Senen Raya, Jakarta Pusat, Kamis (23/4/2009).

Wahidah menuturkan, saat melapor pada 17 April yang lalu, Bawaslu membawa 34 bukti berupa pernyataan-pernyataan pihak yang dirugikan seperti pemilih, caleg, dan partai politik. Ada pula keterangan dari ahli-ahli pemilu seputar pengesahan surat suara yang tertukar itu.

Namun, polisi menolaknya dengan alasan berbeda-beda dan tidak jelas. Ketika telah kehabisan argumen, lanjut Wahidah, polisi meminta Bawaslu menunjukkan bukti surat suara tertukar yang telah dicontreng. "Tentu saja itu tidak bisa kami lakukan, karena kerahasiaan surat suara dilindungi UU," jelasnya.

Wahidah kembali menegaskan, polisi tidak mempunyai political will dan telah menetapkan standar ganda dalam kasus pemilu. "Dalam dua kali gelar kasus, sulit untuk mencapai titik temu," pungkasnya.

( irw / iy )

Rabu, 22 April 2009

Prasangka di seputar real count

BISNIS INDONESIA

Selasa, 21/04/2009 09:35 WIB

Prasangka di seputar real count

oleh : Anugerah Perkasa

Kekecewaan muncul dari politisi Partai Demokrat Sutan Bathogana. Itu akibat lambannya perhitungan Pusat Tabulasi Nasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.

Selasa pekan lalu, adalah hari pertama dia mendatangi pusat perhitungan itu. Mukanya tak lepas dari layar monitor, dikerubungi empat orang rekannya.

"Ini lamban sekali, padahal sekarang zaman yang serbacepat," ujarnya pada saya. "Mungkin ini yang bikin calon legislatif pada stres."

Bathogana memang mencalonkan dirinya kembali sebagai legislator pada pemilu kali ini setelah pekerjaan itu dijalaninya sejak 2004. Dia, seperti lainnya, tengah menunggu hasil perhitungan suara yang dilakukan KPU, selaku penyelenggara pemilu.

Walaupun, sedikitnya lima lembaga survei telah melakukan perhitungan cepat atau quick count dan punya hasil relatif sama: Partai Demokrat adalah pemenangnya, yakni lebih 20%. Disusul dengan PDI Perjuangan dan Partai Golkar yang masing-masing mendapat sekitar 14% suara.

Hasil ini tak jauh berbeda dengan Pusat Tabulasi Nasional yang dibuka pada 9 April hingga 20 April 2009. Kini, suara yang telah masuk berkisar 11 juta lebih dari sekitar 171 juta pemilih dengan hasil: Partai Demokrat tetap yang teratas. Perhitungan oleh KPU sering disebut dengan real count, karena cara perhitungan dilakukan secara manual dari daerah ke Jakarta.

Pusat perhitungan suara terletak di ballroom Flores, Hotel Borobudur. Saya melihat sedikitnya enam petugas polisi yang berjaga di depan pintu masuk.

Semua komputer berjumlah 28 unit: 14 untuk calon legislatif serta perwakilan partai politik dan sisanya untuk publik, termasuk media.

Ada 180 kursi yang dibuat menghadap dua layar raksasa. Di depannya ada podium untuk pidato dan panggung untuk berdiskusi. Saya melihat orang-orang mengobrol di barisan partai politik, tetapi matanya tak lepas dari layar monitor. Ada yang tertawa. Ada yang mengeluh.

"Update-nya lama sekali," gumamnya.

Keluhan itu memang tak hanya muncul dari para calon legislator, tetapi para pemantau penyelenggara pemilu. Saya menemui Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, yang menyatakan hal serupa. Dia sudah tiga kali mendatangi pusat perhitungan suara itu dan tak menemukan perubahan.

Jeirry berpendapat lebih baik pusat perhitungan suara itu ditutup saja, karena tak memberikan manfaat. Perkembangan data yang lamban dan dicurigai terjadi manipulasi data. Pusat Tabulasi Nasional juga tidak buka sehari penuh, tetapi dari pukul 10.00-22.00.

"Manipulasi data?" tanya saya.

"Ya itu bisa saja terjadi. Data tetap bisa diotak-atik. Ini kekhawatiran saja," kata Jeirry

"Indikasinya?"

"Perhitungan suara di daerah, bisa dipermainkan," Jeirry menjelaskan.

Kekacauan data

Jauh hari sebelum pemilu legislatif digelar, pemberitaan media menyoroti kekacauan logistik. Mulai dari kekurangan kotak suara, pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT) hingga tak tersedianya tempat pemungutan suara di rumah sakit. Seminggu setelah pemungutan suara dilakukan, kritik diarahkan ke masalah penghitungan suara oleh KPU.

Selain lambat, kekacauan data juga terjadi. Sejumlah situs berita menyiarkan lonjakan suara yang diperoleh Mohammad Jafar Hafsah, calon legislator dari Sulawesi Selatan.

Jafar mendapat lebih 100 juta suara, padahal saat itu perhitungan nasional berkisar di bawah 10 juta suara. Kekacauan ini ditanggapi dingin oleh anggota KPU Abdul Aziz, yang membawahi masalah teknologi informasi.

"Itu error. Kalau memang melonjak, akan diikuti grafik yang tinggi. Tapi itu kan tidak ada," ujarnya.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari bahkan mengatakan pihaknya tak memaksakan perolehan suara mencapai 100% hingga 20 April atau hari ini adalah terakhir perhitungan manual.

Padahal, selama seminggu lebih surat suara yang masuk hanya mencapai 11 juta lebih atau hanya berkisar 6,4% dari total jenderal 171 juta pemilih. Ini barulah satu soal!

Dari Kecamatan Kabanjahe, Sumatra Utara, mencuat kekacauan perhitungan suara terjadi karena saksi partai politik keberatan atas penghitungan oleh panitia pemilu kecamatan.

Dari Bogor, Jawa Barat terjadi adu mulut soal prosedur pencontrengan. Di Banyuwangi, Jawa Timur, sejumlah aktivis partai politik meminta perhitungan ulang karena perhitungan suara bermasalah. Dan di Jakarta, banyak surat suara tertukar antardaerah pemilihan.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti menilai proses kekacauan data di daerah menyebabkan informasi di Pusat Tabulasi Nasional patut dicurigai keabsahannya. Selain soal perdebatan menghitung, pembacaan data pun menjadi alasan.

"Kertas direkomendasikan memakai 70 gram, tapi ada yang hanya memakai 60 gram. Akhirnya data tak bisa terbaca baik," ujarnya. "Ini berpengaruh pada hasil."

Ray juga melihat kekacauan data yang akhirnya melonjakkan suara Mohammad Jafar Hafsah adalah persoalan serius. Ini adalah bukti kekacauan penyelenggaraan pemilu.

Dirinya mencurigai data yang masuk ke Pusat Tabulasi Nasional tak diverifikasi padahal kasus pelanggaran di daerah terjadi secara masif. Soal pemborosan, lanjutnya, tak usah ditanya. Proyek penyediaan server itu menghabiskan anggaran Rp1,8 miliar, tetapi tidak berjalan baik.

Kekacuaan perhitungan suara adalah satu dari sekian dugaan pelanggaran yang terjadi oleh KPU. Yang menyebalkan, KPU selalu membenamkan opini bahwa semuanya berjalan "baik-baik saja." Nyatanya, media menguak kelemahan penyelenggaran pemilu kali ini demikian besar. Artinya, banyak yang tidak "baik-baik" saja.

"Fakta-fakta itu seharusnya membuat komisioner KPU mundur," papar Ray.

"Mundur. Mengapa?"

"Mereka enak sekali kalau gitu sebagai pejabat negara. Sudah boros, tidak efektif, membohongi orang pula." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Ray Rangkuti; Ancaman Boikot Pemilu Serius


INILAH.COM

Wawancara
22/04/2009 - 11:01


Ray Rangkuti
Ancaman Boikot Pemilu Serius!


R Ferdian Andi R

Ray Rangkuti


(inilah.com/ Raya Abdullah)INILAH.COM, Jakarta – Sejumlah partai politik mengancam akan memboikot pelaksanaan Pemilihan Presiden 2009. Kelompok parpol yang tergabung dalam Koalisi Teuku Umar itu menuntut perombakan KPU serta pelibatan pemantau asing untuk mengawasi proses pemilu.


Menanggapi fenomena itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai, ancaman partai politik untuk tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif cukup serius. “Ancaman itu bukan main-main. Pemerintah harus cepat merespons,” tegas Ray kepada INILAH.COM, Selasa (21/4) di Jakarta.


Apa yang membuat Ray Rangkuti yakin benar atas keseriusan ancaman tersebut? Berikut ini wawancara lengkapnya:


Bagaimana komentar Anda atas ancaman boikot kalangan partai politik terhadap Pemilihan Presiden Juli 2009?

Itu bukan boikot, tapi itu lebih berupa tuntutan persyaratan. Jelas sekali partai politik itu mengatakan mereka akan partisipasi dalam pemilu presiden, jika ada syarat-syarat. Jadi boikot itu sama sekali bukan dalam artian tidak turut serta. Partai politik ini memberi catatan.


Apakah ancaman ini sifatnya main-main?

Saya kira ini ancaman yang bukan main-main. Kalau ancaman ini dilakukan oleh partai politik, maka demokrasi kita adalah taruhannya. Ini pertama kali terjadi dalam sejarah, partai politik menyatakan tidak mau terlibat dalam proses politik yaitu pemilu presiden. Itu juga menjadi catatan buruk bagi SBY, karena Presiden SBY adalah presiden keempat pasca reformasi yang paling tidak siap melaksanakan pemilu yang demokratis.


Bagaimana dengan aturan perundang-undangan, jika kelak hanya ada sepasang calon presiden-wakil presiden?

Tidak bisa hanya satu calon presiden. Meskipun tidak disebutkan dalam UUD 1945 bahwa minimal dua pasang capres, tapi dalam pemilu calon tunggal tidak dimungkinkan, karena tidak ada unsur kompetisi. Kalau Cuma calon tunggal, tinggal disurvei saja, tidak perlu pemilu. Memang di konstitusi tidak ada redaksi soal keharusan minimal dua calon pasang, namun dalam pemilu itu dengan sendirinya minimal dua calon presiden.


Bagaimana KPU dan pemerintah merespons persyaratan yang diajukan oleh partai politik tersebut seperti KPU haru mundur?

Persyaratannya kan jelas, mereka meminta KPU mundur. Menurut saya KPU pasti tidak mau, karena kalau mundur, mereka seolah-olah bersalah. Pasti mereka akan bertahan. Sekarang tinggal bangsa ini saja memilih, apakah mau mempertahankan demokrasi yang dibuat KPU saat ini dengan kualitas seperti ini atau tidak berspekulasi dengan tidak mempertahankan KPU.


Bagaimana jika benar-benar KPU tidak mau mundur?

Itu kan asumsinya, anggota KPU tidak mau mundur. Tinggal bangsa ini memilih, melaksanakan pilpres dengan kualitas pemilu yang terjadi seperti pemilu legislatif di mana wasit (KPU) dinilai tidak adil atau kita menggantikan mereka, dengan cara meminta presiden memberhentikan mereka. Satu-satunya cara, presiden mengeluarkan Perppu tentang pemberhentian anggota KPU; dan memilih anggota KPU yang independen, yang sifatnya ad hoc.


Bukankah persoalan utamanya pada DPT yang bermasalah?

Tidak hanya DPT, tapi soal sosialisasi, pembuatan regulasi, hingga persoalan IT. Persoalannya, bagaimana dengan pemilu presiden Juli mendatang? Pilpres dengan kapasitas KPU seperti saat ini atau Pilpres tidak perlu buru-buru, yang penting pemilunya bersih.

Kalau saya, pemilu yang bersih. Sedangkan pemilihan presiden dengan berbagai cara bisa diciptakan. Kalau hanya tujuan kita mencari presiden semata, bikin saja survey. Ketahuan, siapa presiden yang dikehendaki publik. Karena kita memilih demokrasi, titik poinnya bukan presiden, tapi menjamin warga negara mempunyai hak pilih.


Bagaimana dengan ikhtiar yang dilakukan KPU saat ini seperti pendataan DPS untuk Pilpres?

Mereka sudah un-trust di mata publik. Kalau KPU mau memperbaiki kinerja, membuat IT lebih baik adalah upaya yang cukup bagus. Namun nyatanya IT bermasalah. Masa hingga saat ini penghitungan perolehan suara belum sampai 10%. Saya melihat beban pekerjaan ini 10, namun kadar KPU hanya di bawah lima. Kalau dipaksakan, akan terjadi seperti pemilu legislatif kemarin.


Apa yang harusnya dilakukan oleh pemerintah?

Saya kira melihat seruan itu, jangan dengan sinisme. Saat ini tren yang muncul yang penting pemilu ada, bukan bagaimana proses pemilunya. Kondisi ini berlangsung sejak pilkada. Jadi orang mengejar pemilihan kepala daerah dan pemilihan presidennya, bukan proses pemilunya. Kalau ini dibiarkan terus menerus, maka kualitas demokrasi kita akan merosot. Masa ada 20 juta pemilih tidak mendapat hak memilihnya dibiarkan, ini kan gila! [P1]