Sabtu, 18 April 2009

KPU ‘Baru’ Diminta Gelar Pemilu Khusus

HUKUM ONLINE.COM



Sabtu, 18 April 2009



Berita

KPU ‘Baru’ Diminta Gelar Pemilu Khusus

[18/4/09]


“Ini menarik, ini cuma ada tidak ketentuan hukumnya? Kesulitannya kita bergerak dibatasi undang-undang. Kalau pemerintah mengeluarkan perpu kami siap melaksanakan.”


Sedianya, Abdul Hafiz Anshary dan enam Komisioner KPU lainnya menjabat hingga 2012 nanti. Tetapi, baru berjalan dua tahun, posisi mereka mulai digoyang. Gara-garanya, kekisruhan daftar pemilih tetap (DPT) yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu legislatif yang digelar 9 April lalu. Hafiz dkk didesak mundur dari jabatannya karena dinilai gagal menyelenggarakan pemilu dengan benar. Desakan ini pertama kali disuarakan oleh Pokja Pemantau Penyelenggaraan Pemilu.



Desakan yang sama juga disuarakan Dewan Perubahan Nasional (DPN). “Tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan mereka (Komisioner KPU), mereka sudah cacat moral dan juga cacat konstitusional,” ujar salah seorang perwakilan DPN Ray Rangkuti, ketika melakukan audiensi dengan Komnas HAM, Jumat (17/4). Menurut Ray, KPU harus bertanggung jawab atas kekacauan DPT yang mengakibatkan banyak warga negara kehilangan hak pilihnya.



“Mereka (Komisioner KPU) bisa diberhentikan atau mundur, tetapi agar tidak bertele-tele harus mengikuti prosedur tertentu, dan agar lebih bermoral lebih baik mereka mundur saja,” ujarnya.



Ray memaparkan setidaknya ada dua cacat dan satu kelemahan dalam penyelenggaran pemilu legislatif. Pertama, cacat teknis manajemen terkait buruknya penyusunan DPT serta kacaunya logistik surat suara. Termasuk kasus tertukarnya surat suara yang kemudian tetap disahkan KPU. Kedua, cacat determinasi politik yang terlihat sejak pembahasan RUU Pemilu Legislatif, dimana pemerintah mengusulkan data DPT bersumber dari Departemen Dalam Negeri. Masalah kemudian muncul karena tidak ada proses pembersihan data.



Terakhir, ada kelengahan partai politik peserta Pemilu 2009, yang tak melakukan pengecekan terhadap data DPT sejak dini, padahal waktu yang tersedia cukup panjang. “Dengan fakta-fakta di atas, DPN menilai pemilu legislatif mempunyai cacat yang serius,” Ray menambahkan.



Chalid Muhammad, juga perwakilan DPN, mengatakan cacat pemilu legislatif berupa hilangnya hak pilih warga negara tidak bisa diabaikan begitu saja oleh negara. Ia menyayangkan pernyataan KPU dan sejumlah pejabat pemerintah, termasuk Presiden SBY, yang dengan mudahnya mengatakan DPT hanya akan diperbaiki untuk ajang pemilihan presiden mendatang.



Kamis malam (16/4), Presiden SBY memang menyampaikan pidato kenegaraan khusus menyikapi perkembangan pemilu. Dalam pidatonya, SBY tegas mengakui adanya permasalahan DPT dalam pemilu legislatif. Namun, SBY meminta segenap kalangan tidak berkutat pada masalah yang ada. Yang harus dipikirkan, menurutnya, adalah bagaimana mencegah masalah yang sama terjadi lagi. Sebagai Kepala Pemerintahan, SBY menyatakan tidak akan turut campur karena KPU kini lebih bersifat independen sebagai penanggungjawab utama penyelenggaraan pemilu.



“Dalam hal ini, karena kewajiban kita adalah untuk mencari solusi, dan bukan hanya berkutat pada masalah, saya berharap KPU dan KPUD seraya terus menjelaskan kepada peserta Pemilu dan masyarakat mengapa hal ini terjadi, juga dengan intensif segera melakukan pemutakhiran Data Pemilih, agar DPT untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden betul-betul tepat dan akurat,” himbau SBY yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.



Pemilu khusus

Mengomentari pidato presiden, Chalid menegaskan persoalan hilang hak pilih rakyat dengan jumlah cukup besar, tidak dapat dipandang sebagai kesalahan teknis semata. Negara, lanjutnya, bertanggung jawab untuk segera melakukan reparasi atas pelanggaran hak rakyat untuk memilih atau dihilangkan hak pilihnya. Soal cara, DPN menggagas digelarnya ”Pemilu Khusus”.



Ray menjelaskan usulan pemilu khusus didasari pertimbangan bahwa UU Pemilu Legislatif tidak menyediakan mekanisme apa yang digunakan jika terjadi permasalahan DPT seperti sekarang ini. Dalam undang-undang, istilah yang dikenal hanya pemilu ulang, pemilu susulan, atau pemilu lanjutan.



“Jika tidak ada pengaturannya dalam undang-undang, kami mendesak agar presiden menerbitkan perpu yang mengatur mengenai hal ini (pemilu khusus),” sambung Chalid. Perpu dipandang menjadi pilihan taktis dengan mempertimbangkan mepetnya waktu menjelang pemilu presiden dan wakil presiden.



Chalid mengatakan pemilu khusus dan mundurnya Komisioner KPU merupakan satu ‘paket’ yang diusung DPN. Artinya, jika dilakukan pemilu khusus, maka penyelenggaranya bukan lagi Abdul Hafiz Anshary dkk. Lalu siapa penyelenggara? Chalid berkilah itu menjadi urusan pemerintah. Hanya saja, ia mengusulkan pemilu khusus sebaiknya dilaksanakan oleh KPU yang ‘baru’. “Tidak mungkin, pemilu khusus dilaksanakan oleh KPU yang sekarang,” tukasnya.



Untuk meneruskan tuntutan mereka, selain akan menyampaikan langsung kepada pemerintah, DPN juga berharap Komnas HAM berkenan memfasilitasi. Chalid memandang Komnas HAM berkepentingan dan berwenang mendesak pemerintah untuk segera merehabilitasi hak konstitusi warga negara yang dihilangkan dalam pemilu legislatif. Komnas HAM seharusnya menjadi jembatan bagi warga negara yang ingin hak politiknya terpenuhi.



Investigasi Komnas HAM

Di luar itu, Komnas HAM juga diminta untuk segera melakukan investigasi terkait pelanggaran terhadap hak politik warga negara. Menurut Thamrin Amal Tamagola, Sosiolog yang juga pendukung DPN, Komnas HAM harus melakukan investigasi untuk mengetahui apakah hilangnya hak politik banyak warga negara terjadi semata-mata karena keteledoran, penyesatan sistematis, atau ada upaya Depdagri menjebak KPU dengan memberikan data kependudukan yang cacat.



Wakil Ketua Komnas HAM bidang Internal M Ridla Saleh mengakui Komnas HAM memang banyak menerima pengaduan terkait hilangnya hak politik warga negara. Merespon masalah ini, Komnas HAM pun telah membentuk tim terdiri dari delapan Komisioner untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemilu. Tim sedianya akan fokus pada daerah-daerah rentan seperti daerah perbatasan atau daerah konflik.



“Tim masih bekerja mengumpulkan data-data sekaligus membuka pos pengaduan bagi warga negara yang kehilangan hak politiknya,” ujar Ridla. Pasang target, Komnas HAM berharap tim bisa merampungkan hasil investigasi sebelum KPU menetapkan hasil akhir pemilu legislatif, 9-15 Mei nanti.



Ditemui terpisah, Ketua Abdul Hafiz Anshary secara khusus menanggapi desakan pemilu khusus. Menurut Hafiz, pada prinsipnya KPU tidak menginginkan ada hak politik warga negara yang hilang. “Ini menarik, ini cuma ada tidak ketentuan hukumnya? Kesulitannya kita bergerak dibatasi undang-undang. Kalau pemerintah mengeluarkan perpu kami siap melaksanakan,” tegasnya.



Kembali ke BPS

Dalam forum terpisah, Calon legislatif dari PDIP Hamid Basyaib memandang ada perubahan yang mendasar penyusunan DPT antara pemilu 2004 dengan pemilu 2009. Menurut Hamid, DPT pada pemilu 2004 lalu menggunakan cara yang lebih baik dari pemilu sekarang. Pemilu kala itu, pemutakhiran data dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan sekarang dilakukan oleh Depdagri.



“Untuk itu saya usulkan agar pemutakhiran data dikembalikan lagi ke BPS, karena jauh lebih independen seperti tahun 2004 lalu, bukan Depdagri seperti sekarang,” katanya.



Pengamat Politik Unversitas Paramadina Ihsan Ali Fauzi mengatakan dikembalikannya pemutakhiran data ke BPS bisa dijadikan salah satu jalan keluar KPU terkait persoalan DPT. “Untuk itu KPU bersama-sama Depdagri dan BPS membicarakan hal ini dan mencari jalan keluarnya,” ujar Ihsan.

(Rzk/Sam/Fat)

Tidak ada komentar: