Rabu, 22 April 2009

Prasangka di seputar real count

BISNIS INDONESIA

Selasa, 21/04/2009 09:35 WIB

Prasangka di seputar real count

oleh : Anugerah Perkasa

Kekecewaan muncul dari politisi Partai Demokrat Sutan Bathogana. Itu akibat lambannya perhitungan Pusat Tabulasi Nasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.

Selasa pekan lalu, adalah hari pertama dia mendatangi pusat perhitungan itu. Mukanya tak lepas dari layar monitor, dikerubungi empat orang rekannya.

"Ini lamban sekali, padahal sekarang zaman yang serbacepat," ujarnya pada saya. "Mungkin ini yang bikin calon legislatif pada stres."

Bathogana memang mencalonkan dirinya kembali sebagai legislator pada pemilu kali ini setelah pekerjaan itu dijalaninya sejak 2004. Dia, seperti lainnya, tengah menunggu hasil perhitungan suara yang dilakukan KPU, selaku penyelenggara pemilu.

Walaupun, sedikitnya lima lembaga survei telah melakukan perhitungan cepat atau quick count dan punya hasil relatif sama: Partai Demokrat adalah pemenangnya, yakni lebih 20%. Disusul dengan PDI Perjuangan dan Partai Golkar yang masing-masing mendapat sekitar 14% suara.

Hasil ini tak jauh berbeda dengan Pusat Tabulasi Nasional yang dibuka pada 9 April hingga 20 April 2009. Kini, suara yang telah masuk berkisar 11 juta lebih dari sekitar 171 juta pemilih dengan hasil: Partai Demokrat tetap yang teratas. Perhitungan oleh KPU sering disebut dengan real count, karena cara perhitungan dilakukan secara manual dari daerah ke Jakarta.

Pusat perhitungan suara terletak di ballroom Flores, Hotel Borobudur. Saya melihat sedikitnya enam petugas polisi yang berjaga di depan pintu masuk.

Semua komputer berjumlah 28 unit: 14 untuk calon legislatif serta perwakilan partai politik dan sisanya untuk publik, termasuk media.

Ada 180 kursi yang dibuat menghadap dua layar raksasa. Di depannya ada podium untuk pidato dan panggung untuk berdiskusi. Saya melihat orang-orang mengobrol di barisan partai politik, tetapi matanya tak lepas dari layar monitor. Ada yang tertawa. Ada yang mengeluh.

"Update-nya lama sekali," gumamnya.

Keluhan itu memang tak hanya muncul dari para calon legislator, tetapi para pemantau penyelenggara pemilu. Saya menemui Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, yang menyatakan hal serupa. Dia sudah tiga kali mendatangi pusat perhitungan suara itu dan tak menemukan perubahan.

Jeirry berpendapat lebih baik pusat perhitungan suara itu ditutup saja, karena tak memberikan manfaat. Perkembangan data yang lamban dan dicurigai terjadi manipulasi data. Pusat Tabulasi Nasional juga tidak buka sehari penuh, tetapi dari pukul 10.00-22.00.

"Manipulasi data?" tanya saya.

"Ya itu bisa saja terjadi. Data tetap bisa diotak-atik. Ini kekhawatiran saja," kata Jeirry

"Indikasinya?"

"Perhitungan suara di daerah, bisa dipermainkan," Jeirry menjelaskan.

Kekacauan data

Jauh hari sebelum pemilu legislatif digelar, pemberitaan media menyoroti kekacauan logistik. Mulai dari kekurangan kotak suara, pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT) hingga tak tersedianya tempat pemungutan suara di rumah sakit. Seminggu setelah pemungutan suara dilakukan, kritik diarahkan ke masalah penghitungan suara oleh KPU.

Selain lambat, kekacauan data juga terjadi. Sejumlah situs berita menyiarkan lonjakan suara yang diperoleh Mohammad Jafar Hafsah, calon legislator dari Sulawesi Selatan.

Jafar mendapat lebih 100 juta suara, padahal saat itu perhitungan nasional berkisar di bawah 10 juta suara. Kekacauan ini ditanggapi dingin oleh anggota KPU Abdul Aziz, yang membawahi masalah teknologi informasi.

"Itu error. Kalau memang melonjak, akan diikuti grafik yang tinggi. Tapi itu kan tidak ada," ujarnya.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari bahkan mengatakan pihaknya tak memaksakan perolehan suara mencapai 100% hingga 20 April atau hari ini adalah terakhir perhitungan manual.

Padahal, selama seminggu lebih surat suara yang masuk hanya mencapai 11 juta lebih atau hanya berkisar 6,4% dari total jenderal 171 juta pemilih. Ini barulah satu soal!

Dari Kecamatan Kabanjahe, Sumatra Utara, mencuat kekacauan perhitungan suara terjadi karena saksi partai politik keberatan atas penghitungan oleh panitia pemilu kecamatan.

Dari Bogor, Jawa Barat terjadi adu mulut soal prosedur pencontrengan. Di Banyuwangi, Jawa Timur, sejumlah aktivis partai politik meminta perhitungan ulang karena perhitungan suara bermasalah. Dan di Jakarta, banyak surat suara tertukar antardaerah pemilihan.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti menilai proses kekacauan data di daerah menyebabkan informasi di Pusat Tabulasi Nasional patut dicurigai keabsahannya. Selain soal perdebatan menghitung, pembacaan data pun menjadi alasan.

"Kertas direkomendasikan memakai 70 gram, tapi ada yang hanya memakai 60 gram. Akhirnya data tak bisa terbaca baik," ujarnya. "Ini berpengaruh pada hasil."

Ray juga melihat kekacauan data yang akhirnya melonjakkan suara Mohammad Jafar Hafsah adalah persoalan serius. Ini adalah bukti kekacauan penyelenggaraan pemilu.

Dirinya mencurigai data yang masuk ke Pusat Tabulasi Nasional tak diverifikasi padahal kasus pelanggaran di daerah terjadi secara masif. Soal pemborosan, lanjutnya, tak usah ditanya. Proyek penyediaan server itu menghabiskan anggaran Rp1,8 miliar, tetapi tidak berjalan baik.

Kekacuaan perhitungan suara adalah satu dari sekian dugaan pelanggaran yang terjadi oleh KPU. Yang menyebalkan, KPU selalu membenamkan opini bahwa semuanya berjalan "baik-baik saja." Nyatanya, media menguak kelemahan penyelenggaran pemilu kali ini demikian besar. Artinya, banyak yang tidak "baik-baik" saja.

"Fakta-fakta itu seharusnya membuat komisioner KPU mundur," papar Ray.

"Mundur. Mengapa?"

"Mereka enak sekali kalau gitu sebagai pejabat negara. Sudah boros, tidak efektif, membohongi orang pula." (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar: