Minggu, 28 Desember 2008

Abaikan golput haram

Pemilu - pemilihan legislatif

Okezone

LIMA Desak MUI Abaikan Usul Fatwa Golput Haram
Senin, 15 Desember 2008 - 06:00 wib
Dian Widiyanarko - Sindo



JAKARTA - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai tidak perlu ada fatwa mengharamkan golput. Lontaran Ray merespons usulan agar ada fatwa tersebut untuk meningkatkan partisipasi dalam Pemilu 2009.

"MUI sebaiknya mengabaikan permintaan tersebut," kata Ray di Jakarta, Minggu (14/12/2008).

Ray menyatakan usulan tersebut tidak logis dan terdengar aneh. Bahkan hal itu menunjukkan ketidaktahuan Hidayat Nur Wahid, yang mengeluarkan pernyataan tersebut, akan hakekat demokrasi dan pemilu.

Selain itu, lanjut Ray, fatwa golput haram bisa menunculkan kekhawatiran adanya campur tangan agama dalam demokrasi. Karena itu sebaiknya golput dibiarkan saja. "Bukan saja karena itu hak, tapi juga karena itu suatu kritik," tandasnya. (ful)

Undangan Evaluasi Akhir Tahun 2008

UNDANGAN





Pergerakan Kaum Muda Indonesia (PKMI) dan Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Nasional mengundang kawan-kawan ikut serta dalam diskusi evaluasi akhir tahun 2008,

pada :



Hari/tanggal : Senen, 29 Desember 2008

Jam : 10.00-13.00

Tempat : R.M Koetaradja, Depan Hotel Oasis Amir, Senen, Cempaka Putih, Jakpus

Tema : "Evaluasi menyeluruh Indonesia di Tahun 2008 dan Prospek 2009"



Bersama :



1. Chalid Muhammad (mantan Direktur Walhi), "Politik Lingkungan Indonesia 2008"



2. Usman Hamid (KONTRAS), " Pelaksanaan dan perlindungan HAM di 2008"



3. Yudi Latief (Dir. Reform Institut), " Politik Indonesia 2008 dan Jelang pemilu 2009"



4. Iman Sugema (ekonom), " Morat-marit ekonomi 2008 akankah berlangsung di 2009?"



5. Siti Maemunah (Jatam), " Politik energi dan tambang Indonesia 2008"



6. Hilmar Farid (budayawan), " Kondisi sosial-budaya Indonesia 2008"

7. Riza Manik (pakar kelautan, " Laut Indonesia di 2008"





Atas perhatian dan partisipasinya, kami ucapkan banyak terima kasih.





Jakarta, 23 Desember 2008





Ray Rangkuti

Dir LIMA Nasional dan Penggagas PKMI

Ubah gaya model kampanye di suara terbanyak

BERITA UTAMA

27 Desember 2008
UU Pemilu Tak Perlu Direvisi

* Ferry: Cukup dengan Peraturan KPU


JAKARTA - Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tidak perlu diubah menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penggunaan suara terbanyak untuk menentukan calon anggota legislatif (caleg) terpilih. Pemerintah juga tidak perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu).

”Cukup dengan Peraturan KPU. Karena Pasal 214 yang dibatalkan adalah tentang penentuan calon terpilih, sehingga tidak memerlukan pengaturan karena semuanya sudah cukup jelas,” kata mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, kemarin.

Dia menjelaskan, Pasal 214 tersebut hanya mengatur tentang penentuan calon terpilih, setelah tahap penentuan perolehan kursi masing-masing partai. Diharapkan, dalam Peraturan KPU nanti juga memuat beberapa yang sifatnya antisipatif.

”Misalnya bagaimana menentukan jika terdapat calon dengan suara yang sama persis. Hal yang juga penting adalah dalam RUU Susduk, pengaturan pergantian antar-waktu (PAW), penentuannya harus berdasar suara terbanyak,” tambahnya.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti melihat, akibat langsung dari putusan MK justru mengingatkan para caleg mengubah gaya kampanyenya. Dari gaya kampanye penonjolan parpol dan ”kampanye kosong” menuju kampanye individual dan substantif.

Sebab, kata dia, caleg sebagai indvidu harus lebih terlihat daripada parpol. ”Lebih dari itu, isi kampanye juga tidak boleh kosong, seperti ucapan selamat hari raya, mohon doa restu, dan sebagainya. Kampanye harus ke arah pemaparan visi dan misi serta program,” katanya.

Dengan demikian, lanjutnya, pemilih memiliki alasan kuat, rasional, dan objektif untuk memilih caleg. Keuntungan lain bagi caleg adalah dapat menjadi khas di antara pesaing. ”Baik secara internal parpol maupun antar-parpol,” tandasnya.


Di tempat terpisah, Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mempertanyakan apakah MK mempunyai kewenangan untuk menentukan sistem pemilu. ”Dengan demikian menurut saya keputusan itu sudah menjungkirbalikkan mekanisme sistem proporsional dalam pemilu sebagaimana UU yang sudah diputuskan,” katanya.

Dia menjelaskan, keputusan DPR dan pemerintah yang menentukan UU pemilu dan parpol belum ditetapkan dalam sistem distrik murni di mana ada kedaulatan rakyat pemilih dan kedaulatan partai yang menetapkan calegnya.
”Harusnya keduanya dihormati. Bukan masalah kami takut dengan menggunakan suara terbanyak. Ketentuan bertahap sebagaimana diatur UU kan sudah maju dengan 30 persen suara minimal,” ujarnya.

Dia mempersoalkan MK dan KPU yang bisa menafsirkan setiap ayat dan pasal maka tidak pernah bisa selesai. UU tersebut satu paket dengan UU yang lain. ”Paket UU Pemilu, Parpol, Pilpres, dan Susduk.”

Karena itu PDI-P akan secepatnya mengambil sikap mencermati keputusan MK tersebut. ”Putusan MK terhadap salah satu pasal dalam UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Legislatif menyangkut penentuan suara terbanyak dengan mengesampingkan nomor urut yang ditentukan oleh parpol merupakan putusan melampaui kewenangan yang diberikan UU,” kata Tjahjo.

Menurutnya, kedudukan MK tidak bertindak untuk keadilan atau court of justice, melainkan salah satunya untuk memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan adanya pertentangan antara norma dalam sebuah UU dengan UUD atau sebagai court of law.

”Tidak tepat putusan itu apabila kita memperhatikan UUD 45 pada pasal 22 E (3) yang menyebutkan untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol dengan sistemnya termasuk nomor urut ditentukan batasan persentasenya sendiri kecuali untuk memilih anggota DPD yang bersifat perseorangan tanpa keterlibatan parpol.”
Celah Hukum
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay berpendapat, putusan MK itu masih menyisakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan caleg dan partai politik.

Dikatakan, celah hukum tersebut adalah aturan yang tertuang dalam Bab XV Pasal 218 ayat (3) UU No 10 Tahun 2008 tentang penggantian calon terpilih, di mana disebutkan bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten dapat diganti dengan calon dari daftar calon tetap partai politik peserta pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan parpol yang bersangkutan.

”Jadi, aturan ini jelas menyebutkan bahwa urusan penetapan calon pengganti merupakan kewenangan mutlak dari parpol. Inilah celah hukum yang bisa dilakukan untuk mengakali suara terbanyak melalui penggantian caleg terpilih dan PAW,” katanya di Jakarta, kemarin.

Namun, lanjut Hadar, untuk melakukan hal tersebut tentu harus memenuhi syarat-syarat seperti caleg peraih suara terbanyak meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak memenuhi syarat menjadi caleg karena tersangkut tindak pidana pemilu.

Menurut dia, yang paling mengkhawatirkan adalah bila di lingkup internal parpol terdapat kesepakatan kuota perolehan suara dalam pembagian kursi legislatif. Artinya, ada batas persentase perolehan suara yang harus dipenuhi caleg peraih suara terbanyak, dan bila tidak memenuhi maka kursi tersebut akan diserahkan pada caleg pengganti berdasarkan nomor urut.

”Karena penggantian caleg terpilih dan PAW wewenang mutlak parpol, maka tidak ada pihak yang bisa memengaruhi termasuk pimpinan DPR dan KPU yang hanya bertugas melakukan verifikasi atas prosedur PAW,” ujarnya.

Meskipun demikian, KPU dapat melakukan antisipasi dengan mengeluarkan peraturan KPU tentang penggantian caleg terpilih dengan menegaskan bahwa penggantian caleg terpilih dan PAW harus tetap berdasarkan perolehan suara terbanyak. Konsekuensinya, akan ada parpol yang tidak menerima karena tugas KPU memang hanya mematuhi UU, bukan mengatur parpol.

”Tapi nanti akan terbuka dan ketahuan sendiri mana parpol yang akal-akalan atau ngotot mempertahankan nomor urut karena ada kepentingan yang terganggu,” tandas Hadar.

Hal berbeda disampaikan pakar hukum tata negara Prof Muladi. Menurut dia, tidak ada celah hukum yang dapat memberi peluang caleg dan parpol untuk memanipulasi penentuan caleg terpilih.

Menurutnya, manipulasi penentuan caleg terpilih untuk mengakomodasi nomor urut akan melanggar hukum dan caleg yang meraih suara terbanyak dapat melakukan gugatan karena memiliki dasar hukum kuat dan konstitusional. ”Jadi, putusan MK dapat dijadikan perlindungan bagi caleg yang meraih suara terbanyak, dan partai tidak bisa mengatur hal tersebut karena pasti akan kalah bila di pengadilan,” katanya.(J22,H28,di-49)
© 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved

Gaya Kampanye perlu dirubah

JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan, pasca putusan MK gaya kampanye harus diubah.


Pemilu - pemilihan legislatif

Okezone.com


Gaya Kampanye Perlu Diubah
Jum'at, 26 Desember 2008 - 22:08 wib
Dian Widiyanarko - Sindo

Dia menyarankan agar para caleg untuk mulai mengubah gaya kampanye mereka dengan meninggalkan gaya kampanye penonjolan parpol dan kampanye kosong. "Menuju kampanye individual dan substantif," kata Ray, di Jakarta, Jumat (26/12/2008).

Ray mengatakan para caleg sebagai individual harus lebih terlihat dari pada parpol. Lebih dari itu, isi kampanye juga tak boleh kosong seperti ucapan selamat hari tertentu atau mohon doa restu dan sebagainya.

Harus diubah ke arah pemaparan visi misi dan program. "Dengan begitu pemilih memiliki alasan kuat rasional objektif untuk memilih calon," ujarnya.

Selain itu, hal tersebut juga dapat membuat kontrak politik berjalan dan dapat meminimalisasi politik uang. Jika caleg melakukan hal itu juga akan mendapat keuntungan. "Keuntungan bagi caleg adalah dapat menjadi khas di antara para pesaing. Baik secara internal parpol atau antar parpol," jelasnya. (ram)

Putusan MK Dinila Kurangi Konflik

Putusan MK Dinilai Kurangi Konflik
Rabu, 24 Desember 2008, 12:27 WIB

Vivanews.com

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan suara calon legislatif dipilih berdasarkan pada perolehan suara dinilai akan mengurangi konflik.

"Keputusan yang diambil oleh MK saya rasa akan mengurangi konflik berkepanjangan di dalam tubuh partai politik, karena ada parpol yang akomodir peraturan UU dan ada parpol yang terapkan aturan suara terbanyak," ujar Ray Rangkuti Direktur Eksekutif LIMA kepada Berita8.com, Rabu (23/12).

Namun keputusan yang diambil oleh MK itu, kata Rangkuti, pastinya menimbulkan permasalahan baru yakni DPR harus segera merevisi UU pemilu dan ini tentunya secara teknis akan bermasalah.

"Dengan waktu yang hampir mendekati masa pemilu legislatif sekitar 3 bulan, apa sanggup pihak DPR menyelesaikan hal itu," ujarnya.

Sedangkan saat ini para anggota dewan sudah memasuki masa reses dan pada bulan Januari hingga Maret mereka tentunya akan melakukan sosialisasi.(Dng)

Putusan MK picu jual beli suara

Pemilu 2009
24/12/2008 - 18:09
Putusan MK Picu Jual-Beli Suara?

INILAH.COM, Jakarta - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengkhawatirkan terjadinya praktik jual-beli suara pada Pemilu 2009, sebagai dampak putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

"Kemungkinan praktik jual beli suara akan semakin besar, khususnya oleh para calon anggota legislatif (caleg) yang merasa tidak populer," kata Ray di sela-sela diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan di Jakarta, Rabu (24/12).

Karena itu, kata Ray Rangkuti, Badan Pengawas Pemilu dan jajarannya hingga ke bawah serta masyarakat luas perlu mewaspadai dan mengawsi kemungkinan terjadinya praktik-praktik jual beli suara tersebut.

"Tempat yang rawan terjadinya jual beli suara adalah di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)," katanya tanpa menyebut alasannya.

Sebelumnya, Selasa (23/12), MK memutuskan membatalkan pasal 214 UU 10/2008, dengan demikian calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak dan bukannya berdasarkan nomor urut.

Pasal 214 dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Pasal 214 tersebut mengatur tentang penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD berdasarkan perolehan bilangan pembagi pemilih (BPP) sekurang-kurangnya 30 persen dan sesuai nomor urut.

Penetapan caleg berdasarkan nomor urut ini dinilai melanggar hak rakyat dalam menentukan pilihannya.

Ray Rangkuti mengatakan, putusan MK itu positif untuk mencegah keributan yang mungkin terjadi di partai politik akibat persoalan nomor urut.

"Kalau sudah ada ketetapan ini (putusan MK), maka semua harus diakhiri. Meskipun persoalan mana yang lebih baik, apakah nomor urut atau suara terbanyak, secara teori masih bisa diperdebatkan," katanya.

Akan tetapi, ia juga menduga bahwa putusan MK itu belum bisa serta merta dilaksanakan begitu saja, karena masih terkait dengan aturan-aturan lain yang belum tersentuh.

Ia mencontohkan, suara pemilih yang mencentang atau mencoblos tanda gambar partai nantinya akan dimasukkan kemana. "Jadi, masih perlu aturan-aturan lain sebagai tindak lanjut putusan MK itu. [*/P1]

Keputusan MK tambal sulam


Caleg Suara Terbanyak
Ray Rangkuti: Keputusan MK Tambal Sulam
Reza Yunanto - detikNews


Jakarta - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan suara terbanyak untuk menentukan anggota legislatif terpilih, dinilai rancu. Keputusan tersebut dinilai tambal sulam.

Demikian diungkapkan pengamat politik dan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti usai diskusi 'Rapor Merah SBY-JK, saatnya ganti rezim?' di Gedung Intiland Tower, Jl Jend Sudirman, Jakarta, Rabu (24/12/2008).

Menurut Ray, keputusan MK tersebut sebenarnya secara teori sah-sah saja. Namun, keputusan itu memperlihatkan MK terkesan tambal sulam.

"Itu kan kesannya tambal sulam. Membuang peraturan yang tidak sreg, lalu diganti yang baru," ujarnya

Ray menambahkan, jika mengacu pada sistem pemilu yang dipakai selama ini, Indonesia menganut sistem proporsional. Dalam sistem tersebut, lanjutnya, dipersyaratkan adanya peran parpol yang efektif.

Namun, jika MK menerapkan aturan suara terbanyak, hal itu cenderung mengarah pada sitem distrik dengan perwakilan suara mayoritas. Dalam sistem ini partai menjadi tidak begitu penting peranannya.

"Jadinya rancu. Jika memakai suara tebanyak, apa gunanya partai," terangnya lagi.

Ray juga mengingatkan, jika MK mengubah aturan soal suara terbanyak dalam menentukan anggota legislatif terpilih, maka pasal-pasal lain terkait soal penghitungan suara juga harus diubah.

"Kalau yang dicontreng tanda partai saja, lalu suara itu untuk siapa? Berdasarkan Undang-undang masuk hitungan nomor urut. Nah ini kan rancu!," tandasnya.
(Rez/nwk)

Kamis, 04 Desember 2008

Memantau launching tim pelangi Sri Sultan

Di hotel Four Season, tim sukses Sri Sultan yang tergabung dalam Tim Pelangi pada Kamis 4 desember 2008, jam 10.00-12.00 mengumumkan diri. Ada bung Sukardi Rinakit, Garin Nugroho dan Franki Sahilatua. Amat mudah mengenali tim ini. Sebab, pita merah putih yang mengait di tangan kanan mereka menjadi simbol pembeda antara tamu biasa dan tim pelangi. Sekalipun, di ahir acara, moderator meminta seluruh hadirin untuk mengenakan pita merah tersebut sebagai tanda penghormatan atas pluralisme bangsa. Tentu banyak yang mengenakanannya.

Motto bangsa untuk semua, memang mengena. Mungkin ini kaitannya dengan ancaman terhadap pluralisme bangsa yang akhir-akhir ini terasa makin sempit. Dan oleh karena itu, tamu yang hadir juga beragam. Setidaknya ada Tokoh partai, tokoh pers, beberapa teman kaum muda, dan lainnya.

Dalam sessi tanya jawab terakhir, kebetulan bung Sukardi memberi kesempatan saya untuk bertanya. Pertanyaannya sederhana dan sedikit 'tak guna'. Apakah nama Sri Sultan Hamengkubuwono X itu nama asli atau hanya gelar kerajaannya? Jika ya, bagaimana kita memanggilnya? Sultan sajakah, sri sultan, pak sri, pak sultan, pak hamengkubuwono, tuan calon presiden sultan, dan sebagainya? Tetapi jika tidak siapakah nama aslinya, mengapa tak sering dimunculkan atau dipopulerkan, dan mengapa lebih mengutamakan penamaan dengan sri sultan, dan sebagainya?

Namanya juga pertanyaan sederhana, jawabannya juga lumayan sederhana alias sederhana tepai dengan penjelasan yang amat panjang.

Tapi apapun, calon presiden baru, selalu memunculkan kesadaran bahwa pada dasarnya Indonesia yang kita cintai ini tak pernah kering dari calon pemimpin.

TOLAK NPWP, Parpol tak ingin Transparan

Oke Zone.com

Tolak NPWP, Parpol Tak Ingin Transparan

Rabu, 3 Desember 2008 - 04:14 wib
Dian Widiyanarko - Sindo

JAKARTA - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan, penolakan dan keengganan parpol untuk menerima ketentuan NPWP didasari ketiadaa minat partai dalam transparansi pengelolaan dana mereka.

"Juga adanya kemungkinan penggunaan dana ilegal, serta tidak adanya kemauan untuk mendorong penggunaan dana yang tertib," kata Ray, di Jakarta, Selasa (2/12/2008).

Ray mengatakan, meskipun penolakan itu sejatinya tidak membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun hal itu menunjukkan bahwa sulit didapatkan parpol yang benar-benar berkomitmen untuk menggunakan dana yang dapat dipertanggungjawabkan.

"Masyarakat sebaiknya menandai parpol yang menolak dan memasukkan ke parpol yang tak layak dipilih," tegasnya.

Seperti diberitakan, beberapa parpol menolak kebijakan KPU yang mewajibkan penyumbang dana kampanye diatas Rp20 juta, untuk menyertakan NPWP.

Beberapa pengamat beranggapan, hal ini wajar mengingat kebijakan KPU tersebut akan berdampak signifikan pada jumlah penerimaan parpol untuk dana kampanye. (ded)


Besok, Jumat 5 Desember 2008, jam 14.00, LIMA akan mengadukan adanya pelanggaran UU terkait dengan masa bakti PPK/PPS. Dalam undang-undang, PPK/PPS wajib untuk menerima dan menindak lanjuti adanya pelanggaran pelaksanaan kampanye.

Acara ini akan dilaksanakan di kantor Bawaslu, Gedung Juang, Jakarta Pusat.

KPU Plesiran lagi ke LN

Rabu, 03 Desember 2008 19:48 WIB

KPU Pelesiran, Pembuatan Aturan Pemilu Terkendala

Penulis : Kennorton Hutasoit


JAKARTA--MI: Pembentukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkendala karena tiga anggota komisi pergi ke luar negeri. Sesuai agenda KPU sedikitnya 10 peraturan lagi harus diselesaikan pada Desember ini.

Anggota KPU yang pergi ke luar negeri adalah Abdul Aziz dan Sri Nuryanti ke Paris (Prancis) dan Andi Nurpati ke Srilangka. Tiga anggota KPU itu baru pulang minggu depan. Sedangkan anggota KPU I Gusti Putu Artha pergi ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

UU No 22/2008 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan Pasal 34 ayat (1) menyebutkan rapa pleno KPU sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya lima orang anggota KPU yang dibuktikan dengan daftar hadir.

“Ya, sekarang ini ada tiga orang yang di luar negeri. Tapi sama saja, walaupun ada yang nggak ke luar negeri tapi kalau nggak di tempat (kantor KPU) sama saja,” kata anggota KPU Syamsulbahri di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (3/12).

Syamsulbahri mengatakan keberangkatan tiga anggota KPU merupakan keberangkatan yang terakhir ke luar negeri. “Setahu saya ini yang terakhir ke luar negeri. Tapi, persisnya nggak tahu ya. Yang jelas saya tidak ada jadwal lagi ke luar negeri lagi,” katanya.

Peraturan yang belum diselesaikan KPU antara lain peraturan tentang pemantau, tentang pelanggaran administrasi pemilu, tentang rekapitulasi penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU, tentang pemungutan dan rekapitulasi di TPSLN dan PPLN, tentang jumlah kursi, calon terpilih dan pengganti calon terpilih, tentang pelaporan dana kampanye peserta pemilu, dan tentang partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2009.

Direktur Nasional Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai KPU tidak bisa mengubah perilaku yang buruk sekalipun dikritik berbagai pihak. Bila dikiritik, ujar Ray, KPU malah menuduh para kritikus sebagai kelompok yang melemahkan lembaga otoritas pemilu.

“Ke mana-mana KPU berteriak butuh dukungan moral, tapi bagaimana kita mendukung bila perilaku mereka merusak seluruh kepercayaan kita pada mereka? KPU lemah karena perilaku mereka sendiri,” ujar Ray.

Menurut Ray pemilu terancam nasibnya karena KPU sendiri. “Jelas alasan mereka ke luar negeri karena masalah sepele dan itu mengalahkan hal-hal yang substantif dan mendesak bagi peningkatan kualitas pemilu. Memang anggota KPU sudah layak diganti. Demokrasi kita terancam karena watak ugalan-ugalan KPU,” tuding Ray.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nur Hidayat Sardini menyesalkan sikap KPU yang tak kunjung menyelesaikan peraturan tata cara penanganan pelanggaran administrasi pemilu dan tata cara pemantauan. “KPU sudah membuat agenda menyelesaikan sejumlah peraturan, tapi peraturan penanganan pelanggaran administrasi pemilu dan tata cara pemantauan tak kunjung selesai. Padahal, pemantauan dan pengawasan itu sesuai tahapan yang berlangsung. Pelanggaran pemilu sangat kuat terutama pelanggaran administrasi,” cetus Hidayat dengan nada kesal. (KN/OL-03)

Kamis, 27 November 2008

Sayangkan Pencatuman Gelar di DCS

Sabtu , 11 Oktober 2008 , 12:02:30 wib Ray Rangkuti Sayangkan Pencatuman Gelar di DCS

Rachmat Hidayat

JAKARTA, TRIBUN - Lingkar Madani Indonesia (LIMA) menyayangkan pengumuman Daftar Calon Sementara (DCS) yang mencantumkan gelar akademik maupun gelar kemiliteran bagi para calon wakil rakyat. Direktur Eksekutif LIMA Ray Rangkuti, Sabtu (11/10), menyatakan, pencantuman gelar itu disandang bukan dimaksudkan untuk tujuan semena-mena.

"Maraknya penggunaan gelar akademik dan militer dalam DCS merupakan sesuatu yang sangat ironis. Hakekatnya, gelar akademik disandang demi kepentingan akademik. Begitu juga dengan gelar kemiliteran. Penggunaan dua gelar ini sudah semestinya tidak dilakukan secara semena-mena," ujar Ray Rangkuti seperti dilansir Persda Network.

Pada dasarnya, kata Ray, dua dunia tersebut harus independen dari kegiatan-kegiatan politik atau dibawa-bawa demi kepentingan politik. Perdebatan tentang apakah gelar akademik dapat dimuat di surat suara atau tidak telah lama muncul. Setidaknya sejak pemilu 2004 yang lalu.

"KPU dapat kembali melihat wacana tersebut dan menjadikannya sebagai dasar untuk membuat kebijakan bahwa penggunaan gelar akademik dan militer tidak dapat diberlakukan di dalam surat suara. Dengan begitu, sekalipun Parpol emoh untuk mencabut penggunaan dua gelar tersebut, KPU dapat melakukannya melalui ketentuan dan peraturan KPU tentang format surat suara pemilu legislatif 2009," imbuhnya.

LIMA Nasional menemukan seluruh parpol memperkenankan para DCS mereka mempergunakan gelar akademik sebagai bagian indentitas diri berbaur dengan deretan DCS yang sama sekali tidak mempergunakan gelar tersebut. Begitu juga dengan gelar kemiliteran.

Setidaknya LIMA Nasional menemukannya di Parpol HANURA (3 orang), PKPI (3 orang), Barisan Nasional (3 orang), Demokrat (2 orang), PAN (1 orang), PKB (1 orang).Menyimak dan menyikapi DCS yang telah diumumkan, Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Nasional memberikan pandangannya; menyayangkan formulasi DCS yang telah diumumkan KPU. Pengumuamn DCS sebatas nama, dapil dan parpol sangat tidak membantu masyarakat untuk segera melakukan pengecekan atas puluhan ribu nama yang ada.

"Lebih-lebih pemuatan foto tak disertakan dalam DCS. Setidaknya KPU menyertakan tanggal, bulan dan tahun kelahiran serta alamat terakhir dari para caleg. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat melakukan pengecekan tentang kebenaran identitas tersebut," ungkapnya.

"Nama yang serupa sama seringkali merepotkan untuk dilakukan pengecekan. Pemuatan identitas tersebut, akan membuat halaman DCS bertambah. Dengan sendirinya pembiayaan akan bertambah. Tetapi, dana yang keluar akan sebanding dengan kemampuan dan kemudahan masyarakat untuk melakukan pengecekan akan keabsahan administratif DCS," ungkapnya lagi.

Fakta sebenarnya, pengumuman DCS telah memancing partisipasi masyarakat untuk melakukan pengaduan dan hal ini sangat membantu KPUdalam melakukan ferivikasi administratif DCS. LIMA Nasional menyayangkan keterbatasan penggunaan media sosialisasi yang dilakukan oleh KPU. Dengan hanya terbit sekali dan dalam media nasional, tentu sangat membuat masyarakat yang tidak dapat mengakses data tersebut kesulitan melakukan pengecekan.

"Semestinya, keterbatasan media ini dapat disiasati KPU dengan cara menyebarkan foto copi DCS melalui KPU Daerah Kabetapan/Kota. Dengan begitu, DCS menjadi sangat dekat dengan basis pemilih. Sebab, seluruh dapil DCS pada hakekatnya ada di Kabupaten/Kota," kata Ray.

"Agar KPU membuat kebijakan yang tegas soal pemuatan ketentuan pasal 55 ayat (2) tentang ketentuan memuat dalam tiga orang terdapat satu orang perempuan bakal calon," imbuhnya.

LIMA Nasional juga menemukan beberapa parpol tidak melaksanakan ketentuan tersebut. Misalnya Partai Bulan Bintang, PDI-P. Sejatinya, DCS telah dibuat dengan format sesuai ketentuan pasal 55 auat (2) tersebut. KPU harus meminta Parpol tersebut untuk menyusun ulang DCS sesuai pasal 55 ayat (2) untuk ditetapkan menjadi DCT. (*)

LIMA Nasional tolak Desk Pemilu

15/10/2008 21:03
Ray Rangkuti: Desk Pemilu Nggak Jelas
Samsul Hidayat

Ray Rangkuti(inilah.com/Abdul Rauf)

INILAH.COM, Jakarta - Departemen Dalam Negeri telah membentuk Desk Pemilu 2009 yang dimaksudkan untuk mewadahi tugas-tugas yang tidak dilaksanakan KPU dan Panwaslu. Namun, pembentukan desk pemilu tersebut dinilai tidak mempunyai fungsi yang jelas.

“Kami menolak keras pembentukan Desk Pemilu 2009 bentukan Departemen Dalam Negeri, fantastis untuk sebuah desk yang tak jelas tujuan, kerja, dan fungsinya” kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti dalam siaran pers yang disampaikan kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (15/10).

Seandainyapun Desk Pemilu 2009 harus ada, kata Ray, seharusnya berada di bawah koordinasi Departemen Keuangan, bukan di bawah Depdagri. Dengan begitu, akan terdapat jalinan yang memudahkan penyelenggara pemilu melakukan koordinasi pendanaan pemilu.

Namun, apabila maksud pendirian desk ini guna mewadahi tugas-tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu, maka dapat dimaknai pemerintah tidak memiliki kepercayaan kepada penyelenggara pemilu. Sebab, lembaga ini independen dan wajib dijaga independensinya.

“Ini memposisikan penyelenggara pemilu sebagai lembaga yang seolah-olah dapat diintervensi pemerintah. Sikap ini harus ditolak,” ujarnya.

Desk Pemilu, dalam pandangannya, cenderung menodai independensi KPU dan memberi kesan adanya keterlibatan pemerintah melalui Depdagri dalam pelaksanaan pemilu. “Kami meminta Presiden untuk segera membatalkan rencana pendirian desk pemilu ini,” pungkasnya. [R2]

KPU Tidak Beriwibawa

Pernyataan Sikap Lingkar Madani

Pernyataan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary membenarkan lima hal:
1. Lemahnya posisi KPU di depan anggota KPU Daerah (KPUD) menunjukkan bahwa KPU kurang berwibawa.

2. Lemahnya kontrol dan komunikasi antara KPU dan KPUD dan seringnya KPU ke luar negeri berimplikasi pada buruknya kinerja KPU tertama terkait daftar calon tetap (DCT) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

3.Mestinya ada sanksi bagi pelanggar (ada yang salah dalam data tapi tanpa pelaku).

4. Ada disorientasi program, dan

5. Pelemahan KPU justru datang dari KPU sendiri,,bukan dari luar.

Pernyataan Resmi

Ray Rangkuti

Direktur Nasional Lingkar Madani (Lima)

KPU Dinilai Langgar UU Terkait Penetapan Pemilih Pemilu 2009

PERNYATAAN SIKAP
LINGKAR MADANI UNTUK INDONESIA
TENTANG PENETAPAN ULANG DPT


Sebagaimana dijanjikan oleh KPU, besok (24 Nopember 2008) merupakan hari penetapan
ulang jumlah daftar pemilih tetap (DPT) untuk pemilu 2009 yang akan datang.
Penetapan ini merupakan penetapan kedua setelah penetapan yang sama dilakukan pada
tanggal 30 Oktober 2008 yang lalu. Hanya saja, karena pada tanggal tersebut data
pemilih dari Papua Barat dan Luar negeri belum masuk, maka penetapan DPT secara
menyeluruh tak dapat dilaksanakan.

Sebagaimana diketahui, jumlah pemilih yang telah dinyatakan sebagai pemilih tetap
pertanggal 30 Oktober 2008 adalah 170.022.239. Dan tentunya jumlah ini di luar
pemilih dari Papua Barat dan Luar Negeri.

Hanya saja, dalam dua hari ini, KPU mewacanakan kemunginan akan juga melakukan
revisi atas hasil DPT pertanggal 30 Oktober 2008 yang lalu. Sebab, menurut ketua KPU
Abdul Hafiz Anshary, ada kemungkinan beberapa daerah yang DPTnya telah ditetapkan
pada tanggal 30 Oktober 2008 akan direvisi.

Menanggapi hal ini, Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) menyatakan sikap sebagai
berikut :

1. Menolak dengan tegas adanya perubahan atas jumlah DPT pertanggal 30 Oktober
2008 yang lalu. Rencana KPU untuk melakukan perubahan atas DPT pertanggal 30 Oktober
2008 sama sekali tidak berdasar bahkan cenderung bertentangan dengan UU.
2. LIMA sama sekali tidak menemukan adanya celah peraturan yang memperkenankan
KPU melakukan perubahan DPT di tengah jalan. Ketentuan yang ada hanyalah
diakomodirnya pemilih tambahan mendaftarkan dirinya ke TPS yang lain paling lambat
tiga hari sebelum hari H pemilu dilaksanakan (pasal 40 ayat (1) UU No 10/2008).
Pemilih tambahan adalah mereka yang telah dinyatakan sebagai pemilih tetap di suatu
TPS tertentu (pasal 40 ayat (2) UU No 10/2008).
3. Permakluman masyarakat atas kinerja KPU yang sepenggal atas penetapan DPT
tertanggal 30 Oktober 2008 yang lalu sebaiknya tidak ditambahi KPU dengan
kontroversi baru berupa perubahan jumlah keseluruhan DPT yang ada. Adalah penting
untuk memahami pengertian perbedaan antara perubahan DPT yang ada dengan penambahan
jumlah DPT atas dua daerah yang belum dihitung. Perlakuan pertama merupakan
pengingkaran atas DPT yang sebelumnya dan karenanya DPT yang dimaksud dapat
dinyatakan disusun dengan berbagai kelemahan dan ketidaktelitian, sementara
perlakuan kedua menyatakan bahwa DPT yang pertama tidak memiliki masalah apapun
kecuali karena adanya dua daerah yang memang belum ditetapkan DPT nya, dalam hal ini
adalah Papau Barat dan Luar Negeri.
4. Dengan begitu, jumalah DPT yang sesungguhnya adalah hasil DPT pertanggal 30
Oktober 2008 yakni 170.022.239 ditambah dengan jumlah DPT Papua Barat dan DPT Luar
Negeri. Penambahan jumlah DPT di luar ketentuan ini sudah selayaknya mendapat
pertanyaan keabsahan keseluruhan DPT yang ada.
5. Sudah sebaiknya KPU tidak mengundang kontroversi pelaksanaan yang terus
menerus. Selain senantiasa tidak tepat waktu dalam pelaksanaan, KPU juga terkesan
memperlakukan tahapan pelaksanaan pemilu dengan ketentuan yang dapat berubah-ubah di
tengah jalan. DPT yang sudah dinyatakan final misalnya masih dapat dirubah oleh
karena alasan adanya daerah yang melakukan perubahan DPT. Bukankah sudah semestinya
jika DPT telah ditetapkan maka keseluruhan masyarakat yang tidak terdata tak dapat
ditetapkan sebagai pemilih untuk pemilu 2008. Tindakan KPU seperti ini akan
cenderung merupakan perlakuan sewenang-wenang atas pelaksanaan tahapan pemilu. Tak
ada kepastian jadwal, kepastian peraturan dan dengan sendirinya kepastian hukum
pelaksanaan pemilu. Jelas perlakuan seperti ini bertentang dengan asas penyelenggara
pemilu berupa adanya kepastian hukum, tertib penyelenggara pemilu, professionalitas
(pasal 2 huruf d, e dan I UU No 22/2007). Perlakuan ini juga
menimbulkan ketidakadilan bagi daerah lain yang besar kemungkinan mengalami
persoalan yang sama, yakni adanya jumlah pemilih massal yang tak terdata dalam DPT.


Demikianlah pernyataan sikap ini kami buat. Atas perhatian dan partisipasinya, kami
ucapkan banyak terima kasih.

Jakarta, 23 Nopember 2004


Ray Rangkuti
Direktur LIMA Nasional