Minggu, 19 April 2009

Kisruh Lanjutan: Bawaslu Vs Polri


INILAH.COM

Politik
18/04/2009 - 14:32

Kisruh Lanjutan: Bawaslu Vs Polri

Abdullah Mubarok, R Trimutia Hatta & Windi W Ningsih


INILAH.COM, Jakarta - Kekisruhan seputar pelaksanaan pemilu legislatif kian kompleks. Setelah masalah isu kecurangan dan problem DPT, kini masalah lain yang tidak kalah seru muncul. Polri dikabarkan menolak laporan pelanggaran pidana yang disetor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Walah!


Adalah pihak Bawaslu langsung yang membeberkan kabar miris tersebut. Pengawas pesta demokrasi ini mengaku pihak kejaksaan dan Polri yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu menolak laporan pidana yang dilakukan KPU. Alasannya, lemahnya bukti yang disertakan dalam laporan tersebut.


"Kepolisian dan jaksa menolak. Sekarang siapa yang bisa membuktikan? Apa kami harus melanggar hukum dengan membuka segel surat suara," ungkap anggota Bawaslu Wahidah Suaib Wittoeng.


Wahidah menjelaskan pihaknya sudah menyerahkan bukti-bukti terkait pelanggaran pidana yang dilakukan KPU. Bahkan Bawaslu sudah sampai tiga kali melakukan gelar perkara. Tetapi tetap saja pihak kepolisian menyatakan bukti yang diajukan belum cukup untuk menindak KPU. "Kalau surat suara pemilu yang diminta, kami tidak akan menginjak-injak azas penyelenggara pemilu, karena itu impossible," ujarnya.


Menurutnya, tertukarnya surat suara di beberapa daerah itu bukanlah pelanggaran pidana melainkan pelanggaran administrasi. Masalahnya, KPU malah menerbitkan surat edaran No 676/KPU/IV/2009 tanggal 9 April 2009 perihal penegasan hal-hal terkait permasalahan pemungutan dan perhitungan suara serta pengiriman fax ke Bawaslu pada 11 April 2009 berupa surat No 684/KPU/IV/2009 perihal penegasan surat No 676.


Karena itu, Bawaslu berkeyakinan KPU telah melanggar pidana. Apalagi 3 ahli pidana dan pemilu yakni Topo Santoso, Ramlan Surbakti dan Hadar Nafis Gumay mengamini pernyataan itu bahwa tindakan KPU telah memenuhi unsur pasal 288 UU 10/2008 yang menyebabkan suara pemilih yang memilih calon legislatif tidak bernilai karena suara pemilu tersebut menjadi perolehan suara parpol.


Anehnya sikap kejaksaan dan Polri pun membuat peserta dan pengamat pemilu terheran-heran. Insiden ini menimbulkan keraguan atas independensi aparat penegak hukum. "Ini kan suatu hal yang sangat aneh bahwa Bawaslu sebagai lembaga resmi yang terhormat dan bukan LSM, buru-buru sudah ditolak. Harusnya pimpinan Polri itu dapat bersikap arif, bijaksana dan independen," kata Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon.


Tidak hanya itu, kejadian ini juga semakin menguatkan adanya asumsi aparat tidak netral. Terlebih, penolakan itu tidak lama berselang pidato SBY yang meminta semua pihak meringankan tugas KPU. "Memang sulit untuk dibuktikan apakah Polri itu diintervensi atau tidak. Tapi yang jelas tindakan Polri itu telah mengentalkan asumsi publik kalau polisi tidak bisa diharapkan untuk netral," ujar Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Nasional Ray Rangkuti.


Koodinator Nasional Tepi Jeirry Sumampow menambahkan kurangnya bukti yang diajukan tidak bisa dijadikan sebagai alasan penolakkan. Hal itu menunjukkan Polri terkesan kurang paham aturan pemilu. “Polisi minta buktinya seperti kasus pidana biasa saja. Padahal ini kan pidana pemilu. Polisi kurang paham pemilu,” cetus Jeirry.


“Dari sini memperlihatkan adanya kelemahan koordinasi. Dalam arti tidak ada kesepahaman. Polri mau nya ada bukti ini, sedangkan Bawaslu cukup dengan ini. Ke depan kita harus merubah sistem yang ada,” usul dia.


Kubu PDIP sendiri berencana membawa masalah ini ke pembahasan di DPR. Baik Polri maupun Bawaslu akan dimintai penjelasannya oleh komisi terkait. “Beritahu rakyat mengapa Polri menolak kasus itu dan apa argumen Bawaslu atas laporan kasus tersebut. Harus dilakukan secara bersama-sama. Jangan sampai timbul pertanyaan tentang pemilu yang fair,” urai Sekretaris FPDIP Ganjar Pranowo.


Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji enggan berkomentar banyak mengenai insiden ini. Menurutnya, laporan Bawaslu belum sampai ke tangan penyidik. "Itu belum sampai ke saya. Saya tidak mau mendahului sentra Penegakan Hukum Terpadu Laporan itu, kalau belum masuk ke penyidik, belum masuk ke penyidikan. Penyidik baru masuk ke saya," tegas Susno.


Sebagi pihak terlapor, KPU pun santai menanggapi tuduhan Bawaslu. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari mengaku insiden ini hanya merupakan masalah beda interpretasi mengenai surat edaran. "Ini soal interpretasi yang berbeda. Bawaslu berpendapat seharusnya surat edaran itu tidak perlu ada," tandas Hafiz.


Ia berdalih surat tersebut dikeluarkan karena adanya kasus tertukarnya surat suara pemilu di sejumlah daerah. Dalam SE yang baru itu berisi penegasan bahwa surat suara yang tertukar dan terlanjur digunakan tersebut dinyatakan sah kalau mendapatkan persetujuan dari saksi partai politik dan pengawas pemilu. "Tetapi oleh Bawaslu, KPU dianggap menghilangkan suara caleg," katanya.


Namun ketika disinggung soal dugaan pidana, Ketua KPU enggan menjawab. "Itu Bawaslu yang paling tahu," jawabnya singkat.


Insiden tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Salah-salah kejadian serupa akan berulang di Pilpres depan. [L4]

Tidak ada komentar: