Selasa, 21 April 2009

SBY vs Kotak Kosong? Jangan Sampai!

INILAH/COM


Politik
21/04/2009 - 17:43

SBY vs Kotak Kosong? Jangan Sampai!


R Ferdian Andi R


INILAH.COM, Jakarta – Pemilu 2009 menorehkan persoalan yang tidak sederhana. Kisruh pemilu yang tidak diselesaikan dengan baik, memantik reaksi ekstrem berbagai pihak. Salah satunya, muncul wacana memboikot Pemilihan Presiden.

Adalah Ketau Umum DPP Partai Hanura, Wiranto dan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri yang sedang mempertimbangkan untuk memboikot Pilpres, 8 Juli mendatang. “Kami pertimbangkan untuk tidak melakukan partisipasi dalam Pemilu Presiden,” kata Wiranto seusai berkunjung ke rumah Megawati Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, kemarin.

Ancaman untuk tidak berpartisipasi dalam Pilpres bukanlah datang tiba-tiba. Serangkaian ikhtiar partai politik atas proses Pemilu 9 April seperti kisruh daftar pemilih tetap (DPT) seperti menjadi muara munculnya ancaman itu.

Apalagi, dalam merespons serangkaian dugaan kecurangan Pemilu tersebut, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun pemerintah saling lempar tanggung jawab. Di pihak lain, perseteruan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan Kepolisian RI juga muncul akibat tak satu persepsi dalam melihat tindak pidana pemilu.

Ancaman pemboikotan Pilpres yang muncul dari Blok Teuku Umar bukanlah ancaman yang sifatnya main-main. Sebelumnya, pertemuan 15 petinggi partai politik dan tokoh nasional awal pekan lalu di kediaman Megawati, jelas menjadi pemantik ancaman pemboikotan Pilpres.

Dalam kesempatan tersebut, Wiranto juga menyebutkan, pihaknya menuntut agar para pejabat KPU mundur. Mereka mendesak adanya tindakan hukum atas dugaan kecurangan serta melibatkan lembaga internasional dalam pengawasan pemilihan.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti menilai pernyataan Wiranto dan partai politik untuk mempertimbangkan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu presiden adalah pernyataan persyaratan. “Saya kira itu bukan boikot, tapi pernyataan persyaratan,” tegasnya kepada INILAH.COM, Selasa (21/4) di Jakarta.

Ray menilai, ancaman tersebut bukan main-main, apalagi dilakukan oleh partai politik sebagai unsur penting demokrasi di Indonesia. Jika hal tersebut terbukti, Ray menilai akan menjadi catatan terburuk bagi pemerintahan SBY. “Karena demokrasi taruhannya,” tandasnya.

Implikasi dari itu, maka Pilpres tidak akan terslenggara jika hanya SBY sebagai calon presiden alias melawan kotak kosong. Menurut Ray, meski dalam konstitusi tidak tercantum secara jelas ihwal berapa pasang calon presiden yang maju, namun Pilpres dengan sendirinya adalah minimal dua pasang calon. “Kalau hanya satu calon, disurvei saja cukup,” katanya menyindir.

Meurut Ray, sinyalemen ancaman untuk tidak berpartisipasi dalam Pilpres oleh sejumlah partai politik harus direspons oleh pemerintah. Tuntutan partai politik jelas, agar anggota KPU mundur. “Asumsinya tidak mungkin KPU mundur. Namun, presiden bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU,” katanya.

Sementara guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra yang juga Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang menyebutkan upaya pemboikotan Pilpres akan membuat situasi Indonesia makin tidak menentu. “Harus dicermati dengan hati-hati dan mendalam. Itu menghendaki jiwa yang besar. Sebab, jangan sampai mengubah bangsa ini ke dalam krisis,” ujar Yusril.

Yusril menegaskan, jika wacana tersebut benar terlaksana, pemerintah harus mencermati secara serius. Caranya, dengan mengeluarkan Perppu. “Tapi waktunya mepet,” ujarnya. [I4]

Tidak ada komentar: