Rabu, 22 April 2009

Ray Rangkuti; Ancaman Boikot Pemilu Serius


INILAH.COM

Wawancara
22/04/2009 - 11:01


Ray Rangkuti
Ancaman Boikot Pemilu Serius!


R Ferdian Andi R

Ray Rangkuti


(inilah.com/ Raya Abdullah)INILAH.COM, Jakarta – Sejumlah partai politik mengancam akan memboikot pelaksanaan Pemilihan Presiden 2009. Kelompok parpol yang tergabung dalam Koalisi Teuku Umar itu menuntut perombakan KPU serta pelibatan pemantau asing untuk mengawasi proses pemilu.


Menanggapi fenomena itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai, ancaman partai politik untuk tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif cukup serius. “Ancaman itu bukan main-main. Pemerintah harus cepat merespons,” tegas Ray kepada INILAH.COM, Selasa (21/4) di Jakarta.


Apa yang membuat Ray Rangkuti yakin benar atas keseriusan ancaman tersebut? Berikut ini wawancara lengkapnya:


Bagaimana komentar Anda atas ancaman boikot kalangan partai politik terhadap Pemilihan Presiden Juli 2009?

Itu bukan boikot, tapi itu lebih berupa tuntutan persyaratan. Jelas sekali partai politik itu mengatakan mereka akan partisipasi dalam pemilu presiden, jika ada syarat-syarat. Jadi boikot itu sama sekali bukan dalam artian tidak turut serta. Partai politik ini memberi catatan.


Apakah ancaman ini sifatnya main-main?

Saya kira ini ancaman yang bukan main-main. Kalau ancaman ini dilakukan oleh partai politik, maka demokrasi kita adalah taruhannya. Ini pertama kali terjadi dalam sejarah, partai politik menyatakan tidak mau terlibat dalam proses politik yaitu pemilu presiden. Itu juga menjadi catatan buruk bagi SBY, karena Presiden SBY adalah presiden keempat pasca reformasi yang paling tidak siap melaksanakan pemilu yang demokratis.


Bagaimana dengan aturan perundang-undangan, jika kelak hanya ada sepasang calon presiden-wakil presiden?

Tidak bisa hanya satu calon presiden. Meskipun tidak disebutkan dalam UUD 1945 bahwa minimal dua pasang capres, tapi dalam pemilu calon tunggal tidak dimungkinkan, karena tidak ada unsur kompetisi. Kalau Cuma calon tunggal, tinggal disurvei saja, tidak perlu pemilu. Memang di konstitusi tidak ada redaksi soal keharusan minimal dua calon pasang, namun dalam pemilu itu dengan sendirinya minimal dua calon presiden.


Bagaimana KPU dan pemerintah merespons persyaratan yang diajukan oleh partai politik tersebut seperti KPU haru mundur?

Persyaratannya kan jelas, mereka meminta KPU mundur. Menurut saya KPU pasti tidak mau, karena kalau mundur, mereka seolah-olah bersalah. Pasti mereka akan bertahan. Sekarang tinggal bangsa ini saja memilih, apakah mau mempertahankan demokrasi yang dibuat KPU saat ini dengan kualitas seperti ini atau tidak berspekulasi dengan tidak mempertahankan KPU.


Bagaimana jika benar-benar KPU tidak mau mundur?

Itu kan asumsinya, anggota KPU tidak mau mundur. Tinggal bangsa ini memilih, melaksanakan pilpres dengan kualitas pemilu yang terjadi seperti pemilu legislatif di mana wasit (KPU) dinilai tidak adil atau kita menggantikan mereka, dengan cara meminta presiden memberhentikan mereka. Satu-satunya cara, presiden mengeluarkan Perppu tentang pemberhentian anggota KPU; dan memilih anggota KPU yang independen, yang sifatnya ad hoc.


Bukankah persoalan utamanya pada DPT yang bermasalah?

Tidak hanya DPT, tapi soal sosialisasi, pembuatan regulasi, hingga persoalan IT. Persoalannya, bagaimana dengan pemilu presiden Juli mendatang? Pilpres dengan kapasitas KPU seperti saat ini atau Pilpres tidak perlu buru-buru, yang penting pemilunya bersih.

Kalau saya, pemilu yang bersih. Sedangkan pemilihan presiden dengan berbagai cara bisa diciptakan. Kalau hanya tujuan kita mencari presiden semata, bikin saja survey. Ketahuan, siapa presiden yang dikehendaki publik. Karena kita memilih demokrasi, titik poinnya bukan presiden, tapi menjamin warga negara mempunyai hak pilih.


Bagaimana dengan ikhtiar yang dilakukan KPU saat ini seperti pendataan DPS untuk Pilpres?

Mereka sudah un-trust di mata publik. Kalau KPU mau memperbaiki kinerja, membuat IT lebih baik adalah upaya yang cukup bagus. Namun nyatanya IT bermasalah. Masa hingga saat ini penghitungan perolehan suara belum sampai 10%. Saya melihat beban pekerjaan ini 10, namun kadar KPU hanya di bawah lima. Kalau dipaksakan, akan terjadi seperti pemilu legislatif kemarin.


Apa yang harusnya dilakukan oleh pemerintah?

Saya kira melihat seruan itu, jangan dengan sinisme. Saat ini tren yang muncul yang penting pemilu ada, bukan bagaimana proses pemilunya. Kondisi ini berlangsung sejak pilkada. Jadi orang mengejar pemilihan kepala daerah dan pemilihan presidennya, bukan proses pemilunya. Kalau ini dibiarkan terus menerus, maka kualitas demokrasi kita akan merosot. Masa ada 20 juta pemilih tidak mendapat hak memilihnya dibiarkan, ini kan gila! [P1]

Tidak ada komentar: