Jumat, 31 Juli 2009

Aktivis Pro Demokrasi Pertanyakan Keabsahan Pemilu 2009

ANTARA

Kamis, 30 Agustus 2009


Aktivis Pro Demokrasi Pertanyakan Keabsahan Pemilu 2009



Jakarta (ANTARA News) - Para aktivis pro demokrasi mengecam keras Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, karena gagal mengungkap jumlah suara yang tidak sah di dua pesta demokrasi itu, sekaligus mempertanyakan keabsahan pemilu 2009 ini.

"Sesungguhnya ada sembilan poin yang terangkat di publik yang mempertanyakan keabsahan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) kali ini. Yang paling utama dan pertama, ialah, tentang lembaga penyelenggara itu sendiri, yakni menyangkut kredibilitas dan netralitasnya," kata Ray Rangkuti, di Jakarta, Kamis, ketika tampil sebagai pembicara pertama pada forum para aktivis pro demokrasi tersebut.

Selain Ray Rangkuti, forum yang berlangsung di ruang terbuka di Sekretariat Bersama (Sekber) Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat itu menampilkan Fadjroel Rachman, Indra Piliang, Fadli Zon dengan moderator mantan jurnalis yang kini jadi politisi, yakni DP Yoedha.

Di samping kredibilitas dan netralitas Komisi Pemilihan Umum (KPU), berdasarkan kajiannya Ray Rangkuti mengangkat masalah keberpihakan pemerintah selaku masalah kedua yang sangat mencolok untuk dikritisi lebih lanjut.

"Kemudian, ada juga masalah pengabaian pengaduan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh lembaga penegak hukum. Ini menyakitkan demokrasi. Padahal, kalau kasusnya menyangkut Tim calon presiden (Capres) tertentu, atau keluarganya, langsung ditanggapi secara cepat, tidak sampai satu kali 24 jam," katanya di hadapan para aktivis berbagai latar yang datang memenuhi halaman lokasi tempat terjadinya penyerbuan brutal (atau aksi) 27 Juli 1996 tersebut.

Habibie dan Megawati

Forum para aktivis pro demokrasi itu kemudian memberikan apresiasi kepada dua Presiden RI di era reformasi yang memberikan kontribusi sangat signifikan bagi perkembangan demokrasi dan keadilan.

"Presiden BJ Habibie di tahun 1999 mewariskan sebuah Pemilu paling demokratis dan mendapat banyak pujian internasional. Kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri di tahun 2004 sanggup menggelar Pileg dan Pilpres yang paling damai, dan karenanya mendapat acungan jempol mantan Presiden AS, Jimmy Carter ketika itu, dengan mengatakan, Indonesia patut menjadi acuan dunia demokrasi dalam menggelar pemilu," kata Ray Rangkuti.

Sebaliknya, apa yang dapat kita warisi pada Pileg dan Pilpres 2009 ini, menurutnya, sebuah pemilu paling kacau dengan berbagai masalah sangat tidak terbuka bahkan sulit untuk diutak-atik secara hukum.

"Dapat kami katakan, ini merupakan pemilu dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) paling tidak jelas. Mungkin sebaiknya kita belajar pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang jauh-jauh hari, atau berbulan-bulan sebelumnya, DPT-nya sudah dipampang di berbagai gang dan lorong serta tempat-tempat ibadah maupun sekolah," katanya.

Lalu, lanjutnya, ketika terjadi protes di sana-sini, muncul berbagai pernyataan yang menjurus pada penyudutan terhadap dua capres-cawapres, yakni Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto.

"Misalnya saja tindakan kedua pasangan capres-cawapres mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan pilpres, dianggap takut kalah. Lalu direkayasalah survei publik yang seolah-olah mengaminkan pilpres sekarang berjalan jujur. Tak sampai di sana, diangkat lagi sebuah slogan di masa depan agar menggunakan politik akal sehat. Kalau mau pakai akal sehat, jangan merasa terusiklah dengan proses hukum demi mendapat keadilan sekaligus menentang kejahatan pemilu," kata Ray Rangkuti lagi.

KPU Tidak Terbuka

Situasi makin runyam, demikian Ray Rangkuti yang pada 1999 hingga 2004 masih sebagai salah satu aktivis Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) ini, yakni ketika KPU berpenampilan seperti robot dengan perilaku sangat tidak terbuka.

"Salah satu indikasinya, ialah, bahwa yang diungkap ke publik hanya total suara sah dan perolehan tiap partai pada pileg dan total perolehan suara sah para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pilpres," ujar Ray Rangkuti, salah satu pembicara pada forum yang digelar di tempat terbuka oleh Sekretariat Bersama Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), di Jakarta, Kamis.

Selain ketidakterbukaan tentang jumlah suara tidak sah, demikian Ray Rangkuti yang tampil sebagai pembicara pertama dalam forum tersebut, juga berbagai sikap tidak transparan lainnya terus terakumulasi dari hari ke hari.

Karena itulah, sehingga Fadjroel Rachman mengatakan, jika dulu Bung Karno pernah menulis buku `Di Bawah Bendera Revolusi` yang memang diakuinya membawa bangsa ini ke alam kemerdekaan, ternyata kini NKRI berada `di bawah banyak teka-teki`.

"Teka-teki itu ada di bidang hukum, politik dan demokrasi. Akibatnya, Pemilu 2009 ini juga penuh dengan teka-teki, bukan cuma soal apakah itu absah atau tidak. Banyak hal yang patut diungkap, misalnya mengapa prediksi-prediksi oleh tim `incumbent` yang dipublikasikan ke berbagai media massa sama persis dengan kenyataan," katanya dengan menunjuk prediksi perolehan 20 persen di pileg dan 60 persen di pilpres.

Semua ini, menurut Fadjroel Rachman, harus terus mendapat perhatian serius dan upaya maksimal membongkarnya, agar bangsa ini benar-benar hidup dalam alam demokrasi yang jujur, santun serta gemar dengan cara-cara berdasar akal sehat, tidak penuh `teka-teki`. (*)

Tidak ada komentar: