Selasa, 26 Mei 2009

Awasi Capres-Cawapres Gunakan Fasilitas Negara

SINAR HARAPAN

Selasa, 26 Mei 2009 13:28

Awasi Capres-Cawapres Gunakan Fasilitas Negara


OLEH: VIDI VICI



Jakarta – Pengawasan penggunaan fasilitas negara pada kampanye Pemilu Presiden (Pilpres) 2009, harus lebih serius.



Pasalnya, ketiga pasang calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mempunyai kekuatan yang sama besar jika ingin melakukan pelanggaran penggunaan fasilitas negara dalam kampanye.
Koordinator Nasional Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, dua capres, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla merupakan incumbent, karena itu sangat dekat dengan fasilitas negara. Potensi pelanggaran cukup besar jika tidak diawasi secara serius.
“Baik Yudhoyono maupun Jusuf Kalla bisa saja memanfaatkan kunjungan-kunjungan kenegaraan untuk berkampanye,” kata Ray Rangkuti kepada SH di Jakarta, Selasa (26/5).



Menurutnya, capres Partai Demokrat Yudhoyono bisa juga memanfaatkan jaringan birokrasi, seperti Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menneg PAN), Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Keuangan untuk memfasilitasi kampanye.

“Apalagi banyak orang-orang Partai Demokrat di pemerintahan,” katanya.
Sementara itu, pasangan Kalla-Wiranto dan Megawati-Prabowo juga bisa mengambil keuntungan dari birokrasi di daerah. Sebab, sebagian besar kepala daerah di Indonesia berasal dari Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Bisa jadi dalam kegiatan kepemerintahan dan birokrasi disisipkan kegiatan-kegiatan kepartaian”, ujar Ray.
Yang juga dikhawatirkan Ray adalah soal netralitas TNI. Sebab, tidak bisa dipungkiri ada tiga jenderal purnawirawan berpengaruh yang bertarung dalam pilpres. “Kita tidak bisa memandang fenomena ini secara naif,” ujarnya.

Pengaturan soal penggunaan fasilitas negara ini, kata Ray, sebenarnya sudah cukup tegas dalam Undang-Undang (UU) Pilpres. Namun kemungkinan tidak akan aplikatif, karena fatsun demokrasi masih rendah.

Keterlibatan Birokrat

“Dengan persaingan ketat, setiap ada peluang menguntungkan cenderung akan dimanfaatkan meski itu melanggar,” ujar Ray. Apalagi, katanya, berkaca pada pemilu legislatif lalu, pengawasan terhadap pelanggaran ini masih sangat rendah. “Bahkan, kita tidak pernah mendengar adanya sanksi tegas dari KPU menyangkut pelanggaran penggunaan fasilitas negara,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay mengatakan, kemungkinan besar pelanggaran penggunaan fasilitas negara yang terjadi adalah soal keterlibatan orang-orang di birokrasi. Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, katanya, harus tegas menjatuhkan sanksi kepada pegawai-pegawai negeri sipil yang terbukti menggalang dukungan atau menggunakan wewenangnya untuk menguntungkan kandidat tertentu.

“Menneg PAN harus bisa mengawasi dan mengontrol aparatnya,” kata Hadar.
Selain itu, menurut Hadar, panita pengawas pemilu, harus lebih menyederhanakan proses pelaporan dari masyarakat. Jangan menyulitkan masyarakat yang membuat laporan pelanggaran. Bila perlu, panwas “menjemput bola” dengan turun langsung untuk mengecek kebenaran laporan dari masyarakat.
Hadar juga mengritik manuver sejumlah calon kontestan pilpres yang sudah melakukan kampanye akhir-akhir ini. “Mereka harusnya fair. Bila belum ditetapkan KPU, jangan dulu kampanye di mana-mana, ada yang mengunjungi pasar dan sebagainya,” terangnya.

Sementara itu, pengamat politik Universitas Indonesia Andrinof Chaniago menyatakan, seharusnya pengawasan terhadap pilpres bisa lebih baik dibanding pemilu legislatif lalu. Sebab berbeda pada pilpres, kontestan yang diawasi tidak banyak.

“Kalau pada pemilu legislatif, kan lembaga pengawas harus mengawasi banyak kontestan. Seharusnya, di pilpres dengan kontestan lebih sedikit pengawasan bisa dilakukan lebih maksimal dan fokus,” ujarnya.
Selain itu, lembaga pengawas juga tidak hanya melihat sebatas penggunaan fasilitas fisik, tetapi juga menyangkut keikutsertaan aparat birokrasi dan staf-staf di pemerintahan yang harusnya bersikap netral. n

Tidak ada komentar: