Senin, 11 Mei 2009

PDIP Dinilai Telah "Kehabisan Peluru"

SUARA KARYA

KOALISI

PDIP Dinilai Telah "Kehabisan Peluru"


Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima).


Senin, 11 Mei 2009


JAKARTA (Suara Karya): Rencana PDIP berkoalisi dengan Partai Demokrat merupakan pertanda bahwa mereka telah "kehabisan peluru", di samping bosan berperan sebagai oposisi selama lima tahun terakhir.

Padahal rencana itu sendiri potensial merusak proses check and balances sehingga bisa berdampak mengganggu keseimbangan kekuasaan yang lazim dalam sistem demokrasi yang sehat.

Demikian rangkuman pendapat pengamat politik Charta Politika Bima Arya Sugiarto, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, pengamat politik Andrinof Chaniago, dan pengamat politik Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Herdi Sahrasad. Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, kemarin, terkait rencana koalisi PDIP-Demokrat.

PDIP sendiri tidak tegas-tagas mengakui soal rencana koalisi ini. Sementara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui PDIP-Demokrat sedang membangun komunikasi politik.

Menurut Ray, jika PDIP memutuskan bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, maka mereka akan mengalami "mati suri". "Langkah ini juga akan menjerumuskan PDIP dalam Pemilu 2014," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu.

Ray berpandangan, PDIP seharusnya tidak seperti "kehabisan peluru" untuk bertempur dalam pilpres. Sebab, PDIP memiliki persyaratan maju ke pilpres karena memiliki 93 kursi di DPR (16,61 persen).

"Jadi, tinggal menambah dukungan sedikit lagi, sebagaimana Partai Golkar dan Hanura, PDIP bisa mengajukan sendiri pasangan capres-cawapres," kata Ray.

Dia juga menyebutkan, pemilih PDIP pada pemilu lalu tentu berharap partai "moncong putih" mengusung capres sendiri pada Pilpres 2009. Karena itu, mereka niscaya kecewa jika akhirnya PDIP ternyata bergabung dengan Demokrat. "Berarti PDIP mengkhianati pemilih dan membelokkan janji-janji kampanye mereka," kata Ray.

Karena itu, tutur Ray, sebaiknya PDIP tetap mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri, terlepas apakah tokoh yang diajukan itu Megawati atau tokoh lain. Dia menilai, koalisi PDIP dan Demokrat akan menguntungkan pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto. Sebab, suara pemilih yang kecewa terhadap langkah PDIP berkoalisi dengan Demokrat kemungkinan mengalir ke pasangan JK-Wiranto.

Menurut Ray, koalisi PDIP-Demokrat juga bisa membuat orang tidak percaya lagi kepada PDIP setelah selama ini PDIP begitu lantang menyatakan kontra terhadap berbagai kebijakan SBY. "Koalisi PDIP-Demokrat juga tanpa sadar bisa menjatuhkan klan elite politik yang dibangun PDIP, karena setiap elite politik terbangun di atas basis klan mereka," ujarnya.

Ray menyebutkan, orang memilih PDIP karena menginginkan perubahan dengan tidak memilih SBY di pilpres. Sementara jika PDIP berkoalisi dengan Demokrat, maka harapan tentang perubahan itu menjadi terkubur.

Pendapat senada dikemukakan Herdi Sahrasad. Dia mengatakan, jika Megawati dan PDIP merapat ke Demokrat, itu menjadi "tragedi politik". "Tidak akan ada lagi kekuatan oposisi dalam arena politik Indonesia setelah pilpres nanti," katanya.

Menurut Herdi, sebaiknya PDIP mengusung capres-cawapres sendiri berhadapan dengan pasangan yang diajukan Demokrat. Mengingat peluang Megawati sendiri untuk menang tidak terlalu besar, katanya, PDIP dapat mengusung tokoh lain -- semisal Prabowo Subianto berduet dengan Rizal Ramli -- maju ke arena pilpres. "Mega sebaiknya mengambil posisi sebagai Ibu Bangsa sekaligus Ibu Perubahan," katanya.

Sementara Bima Arya menilai, komunikasi politik yang antara PDIP dan Demokrat belakangan bisa berdampak menghilangkan tradisi oposisi. "PDIP selama ini adalah partai oposisi. Mereka juga telah membangun komunikasi politik dengan partai lain yang selama ini berseberangan dengan Demokrat," katanya.

Menurut Bima, komunikasi poolitik antara PDIP dan Demokrat membuat peta politik jadi berubah. Partai-partai lain yang telah melakukan komunikasi dengan Partai Demokrat kemungkinan menarik komitmen dukungan masing-masing.

Bima memprediksi, komunikasi politik yang dilakukan PDIP belakangan ini hanya untuk menaikkan nilai tawar dalam berhadapan dengan partai lain yang telah menjalin komunikasi politik dengan mereka. Selama ini PDIP telah melakukan komunikasi politik dengan Partai Gerindra, bahkan membangun koalisi besar yang melibatkan Partai Golkar serta Partai Hanura.

Di lain pihak, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Hadi Utomo membantah isu yang menyebutkan terjadinya pertemuan SBY dengan para tokoh PDIP seperti Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) Taufiq Kiemas, Puan Maharani, serta Tjahjo Kumolo.

Tetapi SBY sendiri dalam acara syukuran kemengan Partai Demokrat, semalam, mengakui bahwa PDIP-Demokrat sedang melakukan komunikasi politik dalam rangka pilpres.

Partai Demokrat baru mendapatkan tambahan dukungan dari PPP. Dalam rapat konsultasi antara DPP dan DPW, Ketua Umum DPP PPP mengumumkan partainya mencalonkan SBY dalam Pilpres 2009.

Partai Demokrat baru akan mendeklarasikan pasangan capres dan cawapresnya pada 15 Mei 2009 di Bandung, Jawa Barat.

Sementara itu, dukungan terhadap Agung Laksono untuk menjadi cawapres pendamping SBY terus bergulir. Salah satunya dari Board of Analyst for President (BoAP).

Seperti diungkapkan Ketua Umum BoAP Soediyanto, sosok Agung sangat layak dilamar SBY. "Agung punya loyalitas yang tidak perlu diragukan. Saya jamin Agung lebih dari tokoh lain yang namanya disebut-sebut cocok mendampingi SBY," ujarnya.

Menurut Soediyanto, selama menjadi Ketua DPR, Agung sudah menunjukkan komitmen mendukung pemerintah. Demikian pula ketika reformasi bergulir, Agung termasuk salah satu deklaratornya. (Rully/Feber S/Tri Handayani/Antara/Yudhiarma)

Tidak ada komentar: