Jumat, 08 Mei 2009

Cawapres Teknokrat Bahayakan Posisi SBY

SUARA PEMBARUAN

Kamis, 7 Mei 2009

Cawapres Teknokrat Bahayakan Posisi SBY


[JAKARTA] Calon wakil presiden (cawapres) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebaiknya bukan dari kalangan teknokrat, melainkan dari partai politik (parpol). Bila SBY mengambil cawapres bukan dari parpol, posisi pemerintahannya jika terpilih kembali akan berbahaya.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya Sugiarto di sela-sela diskusi dengan topik Cawapres SBY: Teknokrat atau Politisi? di kantor Charta Politika, Jakarta, Rabu (6/5).

Dikatakan, lebih baik SBY memilih orang dari partai, karena terlalu riskan bila memilih seorang teknokrat. Sebab, teknokrat tidak akan memperkuat kemenangan SBY dalam pilpres dan tidak memperkuat terbentuknya pemerintahan yang efektif.

"Lihat saja pernyataan teknokrat dan politisi. Teknokrat seperti Sri Mulyani dan Boediono tidak pernah membicarakan persoalan makro politik. Mereka lebih banyak berbicara mengenai persoalan ekonomi. Berbeda dengan politisi, seperti Hatta Rajasa, yang pembicaraannya lebih luas. Bisa bicara politik, ekonomi, dan sebagainya. Bila mencantumkan skor 1-10, saya memberikan nilai delapan kepada Hatta, sedangkan Boediono enam dan Sri Mulyani lima," paparnya.

Kelemahan cawapres teknokrat juga disampaikan peneliti senior dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi. Dia berpendapat, seorang teknokrat belum mampu mengatasi masalah di luar bidangnya. Artinya, teknokrat tidak bisa menghadapi keadaan Indonesia untuk lima tahun ke depan. Seorang teknokrat terlalu spesifik secara teknis dan tidak bisa mensinergikan parlemen.

"Kalau dilihat dari sisi itu, saya menilai Hatta tepat berperan sebagai cawapres SBY. Hatta merupakan pasangan ideal, dalam pengertian calon dwitunggal dalam pilpres mendatang. Sebab, Hatta mampu menyinergikan politisi dengan teknokrat secara seimbang dan miliki kapasitas interdepartemental dalam menyinergikan kabinet. Jadi, nantinya bisa disebut SBY-Hatta, sama seperti Soekarno-Hatta," katanya.

Burhanuddin menilai, Hatta sepi dari publikasi yang negatif, memiliki figur politisi, tapi juga mampu menjadi teknokrat, tidak naif dan lugu. Selain itu juga, punya kemampuan teknis dan melobi, dan berasal dari partai menengah, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN).


Memenuhi Kriteria

Bima Arya menambahkan, sosok Hatta hampir memenuhi seluruh kriteria yang tepat untuk menjadi pasangan yang tepat bagi SBY. "Sebagai pasangan, harus saling memiliki chemistry. Dan, saya pikir, SBY memiliki rasa itu dengan Hatta. Sebab, posisi Mensesneg yang sekarang dipegang Hatta merupakan posisi kunci dan dia tidak pernah berpolemik. Jadi, sejauh ini Hatta ada di posisi yang sangat strategis untuk menjadi cawapres SBY," ujarnya.

Hatta memenuhi kriteria three in one yang dicari SBY, yaitu kebutuhan pemenangan pilpres, kebutuhan pemenangan pemerintahan yang efektif, dan kebutuhan pemenangan suksesi pada 2014. "Hatta memiliki jaringan aktivitis, berasal dari luar Jawa dan yang paling penting dia memiliki kemampuan makro politik dalam mengelola persoalan parlemen," tambahnya.

Berdasarkan data survei, semua calon pasangan SBY, entah dari kalangan parpol maupun profesional tidak akan terlalu banyak mempengaruhi suara SBY. Sebab, elektabilitasnya tetap tinggi, meski dipasangkan dengan siapa pun. Jika ada tiga pasang capres yang maju, SBY bisa meraup suara hingga 66 persen. "Tapi, bagi kalangan menengah, bila SBY salah pilih cawapres, maka akan berpengaruh pada elektabilitasnya," tegasnya.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengemukakan, Hatta memang sudah bekerja lima tahun dengan SBY dan tidak memiliki kesalahan. Selain itu, secara manajerial dan link politiknya juga cukup bagus. Selain itu, dia bukanlah salah satu penganut neoliberalisme, seperti Sri Mulyani dan Boediono.

Sementara itu, dari segi hukum tata negara, Pengamat Hukum Tata Negara Centre for Electoral Reform (Cetro) Refly Harun memaparkan, seorang wapres hanya berperan sebatas pembantu presiden dan tidak boleh melewati wewenangnya. Dengan kata lain, apa yang diingini sang presiden juga merupakan keinginan wakilnya dan keduanya harus sejalan. Jangan seperti keadaan sekarang, wakil ingin menjatuhkan presidennya. [LOV/M-11]

Tidak ada komentar: