Kamis, 22 Oktober 2009

Pejabat, antara Tim Sukses dan Layanan Publik

PRAKARSA

Pejabat, antara Tim Sukses dan Layanan Publik

Tanggal : 09 Jun 2009
Sumber : Sinar Harapan


Prakarsa Rakyat, Senin, 08 Juni 2009 13:14


Jakarta - Menjelang pelaksanaan pemilu presiden (pilpres) ratusan kepala daerah dan sejumlah anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) menjadi tim sukses pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres).

Mensesneg Hatta Rajasa, Menteri Pemberdayaan Daerah Tertinggal Lukman Edy, Menteri Pariwisata Jero Wacik, Menteri Kehutanan MS Kaban, Menteri Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi menjadi tim sukses pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Kepala Bappenas Paskah Suzetta, Menteri Hukum dan HAM (Menhukham) Andi Mattalatta, serta Menko Kesra Aburizal Bakrie menjadi tim sukses pasangan Jusuf Kalla-Wiranto. Hanya pasangan Megawati-Prabowo yang tidak memiliki tim sukses dari anggota KIB. Namun, Megawati telah memilih tim suksesnya dari kepala daerah yang telah diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Jusuf Kalla juga telah melantik puluhan kepala daerah yang merupakan kader Partai Golkar untuk menjadi tim suksesnya, demikian halnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono, telah melantik kepala daerah dari Partai Demokrat dan sejumlah partai lain untuk menjadi tim suksesnya.

Mengapa capres mengambil tim sukses dari pejabat publik yang tugas utamanya memberi pelayanan publik? Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti berpendapat, ada dua keuntungan dasar dari pilihan tersebut. Pertama, kepala daerah atau menteri memiliki efek dari jabatannya di mata masyarakat karena dianggap mampu menggerakkan struktur birokrasi untuk menggalang dukungan.

Kedua, pejabat publik memiliki sumber dana yang cukup untuk membantu kampanye, atau paling tidak bisa mengerahkan kekuatan finansial yang ada di daerah masing-masing. �Kalau menteri atau kepala daerah yang minta dana ke pengusaha-pengusaha, apa pengusaha berani menolak? Ada praktik jual-belinya di sini. Kalau jadi, pengusaha yang jadi penyandang dana itu kan dapat sejumlah proyek,� kata Ray Rangkuti.

Makin banyaknya pejabat publik yang jadi tim sukses atau tim kampanye pasangan capres, dipastikan akan menyebabkan pemberian pelayanan publik terbengkalai. Peluang penyalahgunaan jabatan, pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan capres tertentu sangat besar dan terbuka lebar. Banyak waktu dari kepala daerah atau menteri yang digunakan untuk memenangkan jagonya daripada untuk memberi pelayanan publik. Namun, pejabat publik di Indonesia selalu punya alasan untuk berkelit karena mampu membagi waktu kerja dengan baik.

Ketua Tim Sukses Jusuf Kalla-Wiranto, Fahmi Idris, saat ditanya caranya membagi waktu menjelaskan, lebih banyak menggunakan waktu malam hari. Ketua Tim Sukses Yudhoyono-Boediono, Hatta Radjasa, memiliki keuntungan tersendiri. Selain karena kantor yang berdekatan, sehari-harinya dirinya memang berada di sekitar Yudhoyono selaku presiden. Jadi, batas waktu bagi keduanya untuk berdiskusi guna memenangkan pilpres dan menjalankan tugas negara, sangat tipis.

Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, persoalannya bukan mereka bisa jadi tim sukses atau tidak, tetapi bagaimana mereka membedakan sedang menjalankan tugas memberi pelayanan publik dan sedang berkampanye untuk calonnya masing-masing.

�Apakah mereka tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politik. Praktiknya nyata, tapi kelihatannya begitu tipis antara pemanfaatan fasilitas negara atau tidak sehingga pemantau mengalami kesulitan,� kata Sebastian Salang.

Beri Telandan


Pejabat publik seharusnya memiliki etika, dan capres harus tahu diri dalam menunjuk tim sukses jika tujuannya untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Capres semestinya memelopori cara memberi pelayanan publik yang baik, tidak sebaliknya, memanfaatkan fasilitas publik untuk memanuhi ambisi kekuasaan pribadi.

Menurut Ray Rangkuti, Hatta Radjasa dan Fahmi Idris sehurusnya mengundurkan diri dari jabatan masing-masing jika sudah menjadi ketua tim sukses.

Koordinator Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) Ajeng Kesuma Ningrum mengatakan, adanya kepala daerah atau menteri yang menjadi tim sukses mengambarkan semua calon yang muncul saat ini tidak memiliki niat untuk memperbaiki pelayanan publik ke depan. Semua capres memanfaatkan kelemahan aturan karena belum ada UU Administrasi Pemerintahan. Permintaan waktu cuti untuk kampanye, dalam praktik hanya formalitas, sebab sesungguhnya lebih banyak waktu di luar jadwal cuti yang juga digunakan untuk kepentingan politik masing-masing.

�Ini persoalan klasik kalau ada agenda politik, tetapi kesannya tidak ada yang mau mengantisipasi. Sekarang bukannya capres yang memberi contoh, tetapi malah memperparah keadaan,� kata Ajeng.

Padahal, salah satu ukuran kemajuan suatu negara adalah tingkat kepuasan terhadapa layanan publik yang disediakan. Makin baik pelayanan publik diberikan kepada masyarakat, makin maju negara tersebut.

Pelayanan publik yang bermutu harus konsisten dari hari ke hari, bergerak naik secara dialektis. Jika tingkat pelayanan publik terus bergerak naik, bisa dipastikan persoalan korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan penyalahgunaan fasilitas negara oleh pejabat publik dengan mudah teratasi.

Sebaliknya, jika pelayanan publik tidak bergerak dialektis apalagi terus memburuk, sepandai-pandainya suatu rezim pemerintahan membungkus kebusukannya�dengan mengatakan tingkat korupsi rendah, tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara dan abuse of power berkurang�suatu waktu kebobrokan akan terungkap.

Jika melihat kondisi menjelang pilpres seperti sekarang, sangat sulit mengatakan negara ini sudah bergerak maju. Alih-alih memberi contoh memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat, pejabat publik seperti menteri dan kepala daerah malah mempertontonkan kelakukan memanfaatkan fasilitas negara sebanyak mungkin untuk kepentingan pribadi.

(inno jemabut)

Tidak ada komentar: