Kamis, 22 Oktober 2009

SBY Fokus Membangun

SUARA PEMBARUAN

13 Oktober 2009


SBY Fokus Membangun


Calon Menhut Zulkifli Hasan Sudah Dipanggil


[JAKARTA] Langkah presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merangkul lawan-lawan politik, seperti Golkar dan PDI-P, dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II disambut positif. Langkah itu merupakan upaya membangun kebersamaan dan menjamin pemerintahan mendatang bisa bekerja maksimal untuk menyejahterakan rakyat.

Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun SP, Senin (12/10) dan Selasa (13/10), dari Sekjen DPP PPP Irgan Chaerul Mahfis, Ketua DPP Partai Golkar, Fadel Muhammad, pengamat politik Charta Politika, Karel Susetyo, pengamat politik dari Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Muhadjir Effendy.

Sementara itu, suasana di kediaman pribadi SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, sepanjang Selasa (13/10) pagi hingga siang, tampak sepi. Tidak ada pejabat negara yang datang ke Cikeas karena agenda SBY di Kantor Presiden adalah mempelajari bahan-bahan untuk fit and proper test calon menteri KIB II. Pemantauan SP, SBY meninggalkan Puri Cikeas pukul 10.35 WIB.

Hingga hari ini, SBY dikabarkan telah memanggil sejumlah calon menteri, antara lain Djoko Suyanto dan Zulkifli Hasan. Sumber SP di DPP PAN menyebutkan Zulkifli telah menerima panggilan untuk menjadi salah satu menteri KIB II. "Dengan demikian PAN sudah pasti memperoleh jatah dua menteri pada kabinet mendatang, karena Hatta Rajasa juga dipastikan masuk kabinet. Zulkifli disiapkan untuk memimpin Departemen Kehutanan," ujarnya.

Irgan mengatakan, keinginan SBY merangkul semua kelompok dalam kabinet mencerminkan keinginan untuk membangun kebersamaan dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal itu sangat positif, karena tak ada pihak yang merasa ditinggalkan. Dengan demikian, pihak-pihak yang selama hanya mengkritik pemerintah, diberi kesempatan ikut menjalankannya.

"Jadi ada tanggung jawab bersama. Pemerintahan dijalankan secara tanggung renteng," katanya.

Partai Golkar pun menyambut positif. Fadel Muhammad menyatakan langkah merangkul semua pihak adalah budaya politik Indonesia yang sebenarnya. "Saya melihat apa yang dilakukan Pak SBY dengan merangkul semua pihak adalah hal positif untuk membangun bangsa. Pak SBY berkeinginan agar pemerintahannya kuat, sehingga pembangunan negara ini bisa berjalan lancar," ujarnya.

Fadel menyatakan tidak sependapat dengan kalangan yang menyebutkan langkah tersebut mengancam demokrasi. "Tujuan demokrasi adalah untuk kepentingan rakyat. Karena itu, saya tidak setuju dengan istilah oposisi. Yang benar adalah kita harus tetap kritis," katanya.

Sedangkan, Karel Susetyo menganggap keinginan SBY merangkul semua pihak dalam kabinet merupakan hal lumrah. Hal itu menunjukkan sikap yang tidak mengenal oposisi dan keinginan membangun pemerintahan yang stabil. "Ini hal yang lumrah dalam sistem presidensial. Artinya, ada pihak-pihak nonparpol dan parpol nonkoalisi yang akan dirangkul SBY dalam jajaran eksekutif," tuturnya.

Jika ada kekhawatiran terhadap kekuasaan terpusat atau ilusi ketakutan masyarakat terhadap presiden yang otoriter, kata Karel, hal itu sangat berlebihan. Sebab, oposisi yang terbentuk sekalipun tidak akan mampu menandingi suara dukungan parpol koalisi di parlemen.

Senada dengannya, Sri Budi Eko Wardani berpendapat langkah SBY merupakan konsekuensi dari sistem presidensial dengan multipartai. "Jadi, presiden harus mempertimbangkan dukungan politik di DPR, sekalipun penyusunan kabinet adalah hak presiden," tegasnya.

Muhadjir Effendy mengatakan upaya merangkul semua kekuatan parpol bertujuan mempercepat aplikasi ide-ide pembangunan dalam lima tahun ke depan dan pemerintah tidak dihadapkan pada konflik politik yang sebenarnya tidak perlu terjadi.


Sulit Dikontrol

Sebaliknya, sejumlah pakar politik dan aktivis mengkhawatirkan langkah SBY yang merangkul hampir semua parpol membuat pemerintah sulit dikontrol dan mengancam pembangunan demokrasi. Parlemen tidak bisa menjalankan fungsi pengawasan secara maksimal karena kolega mereka ikut menjalankan roda pemerintahan. Selain itu, agenda kerja pemerintahan dikhawatirkan tidak berjalan mulus karena para menteri membawa konsep dan mengedepankan platform masing-masing parpol.

Pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli menyatakan pemerintahan yang mengikutsertakan hampir semua parpol bisa terjebak dalam otoritarianisme karena sulit dikontrol. Parpol yang seharusnya berada di parlemen dan mengontrol pemerintah, tak lagi bisa diharapkan memainkan peran itu karena ikut masuk pemerintahan.

Dengan begitu, katanya, sistem check and balance sulit terwujud. Kondisi ini dikhawatirkan bisa memunculkan kembali aksi-aksi parlemen jalanan seperti masa menjelang reformasi. "Ini karena parlemen yang sebenarnya tak bisa lagi menjalankan fungsinya, sehingga rakyat terpaksa menempuh jalan sendiri untuk memperjuangkan hak-haknya.

Menurutnya, parpol yang tidak ikut mengusung pasangan SBY-Boediono sebaiknya tak perlu masuk kabinet. Parpol tersebut hendaknya memosisikan diri di parlemen sebagai pengontrol kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan kehendak rakyat.

Senada dengannya, pakar politik dari Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf menyatakan keinginan SBY merangkul semua parpol dalam kabinet mendatang bisa mengancam pembangunan demokrasi. Dalam demokrasi, ada pihak yang menang dan kalah. Pihak yang menang tentu akan memimpin pemerintahan. Jika pihak yang menang merangkul semua pihak untuk menjalankan roda pemerintahan, bisa dipastikan pemerintahan tidak akan berjalan efektif. "Kehadiran kelompok oposisi sangat penting untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Saya kira, kalau ada partai yang memang sudah beroposisi dengan pemerintah, seperti PDI-P, sebaiknya tetap dipertahankan," katanya.

Sedangkan, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan ancaman terhadap demokrasi akan semakin parah apabila pemerintah juga memberangus kelompok masyarakat sipil sebagai kekuatan oposisi ekstraparlementer. "Jangankan lima tahun ke depan, sekarang saja sangat sulit membangun oposisi. Oposisi yang diperankan kelompok masyarakat sipil, terutama lembaga swadaya masyarakat, gampang sekali dikriminalisasi oleh pemerintah," katanya. [EMS/J-11/M-16/070/C-4/ L-10/ W-12/A-21]

Tidak ada komentar: