Jumat, 23 Oktober 2009

Pengamat: SBY Lecehkan PAN, PKS, PKB dan PPP

HARIAN PELITA

Pengamat: SBY Lecehkan PAN, PKS, PKB dan PPP


Jakarta, Pelita

Pertemuan para pimpinan partai politik koalisi dengan Wakil Presiden Boediono di Bravo Media Centre (BMC), Jakarta, Kamis (15/10) malam, dinilai pengamat politik Ray Rangkuti sebagai bentuk pelecehan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada pimpinan partai politik itu.

Bayangkan pimpinan partai itu mau saja ditemukan SBY dengan wakilnya. Sebagai pimpinan partai, posisi mereka sejajar dengan SBY. Ini sebuah pelecehan. Kalau saya jadi mereka, tentu saya tidak mau, ujar Ray Rangkuty dalam Dialog Demokrasi di Press Room DPR/MPR Senayan Jakarta, Jumat (16/10).

Menurut Ray, pertemuan malam itu sebagai bentuk dari wujud kekuasaan SBY mengontrol politik dan pemerintahan ke depan. Kalau kepalanya saja sudah dicocok hidungnya, maka sudah tentu bawahan dari partai itu akan mengekor semua, tegas dia.

Ditambahkan Ray, pertemuan yang membahas kontrak politik dengan partai politik adalah hal baru yang tidak benar. Tidak ada istilah kontrak politik. Kalau koalisi politik itu baru benar. Kontrak politik tadi malam jelas membawa arah yang tidak benar pada politik dan pemerintahan ke depan, tutur dia.

Pimpinan partai yang hadir malam itu antara lain Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dan Presiden PKS Tifatul Sembiring.

Sementara Ketua DPP Partai Golkar yang juga Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengaku bangga dengan Ketua Umum Aburizal Bakrie yang tidak ikut-ikutan hadir pada pertemuan tersebut. Golkar tidak dilecehkan karena Pak Ical tidak datang, kata dia.

Mengutip istilah Schumpeter dan Larry Diamond, kata Ray lagi, demokrasi yang ada saat ini hanyalah demokrasi prosedural, demokrasi kosong. Demokrasi prosedural itu ditandai oleh pertama, tiga kali Pemilu pasca reformasi, Pemilu 2009 merupakan Pemilu yang terburuk, tidak layak.

Kedua, penegakan hukum mulai dipermainkan, ditandai dengan adanya dua kasus terakhir yang telah mencederai proses pemberantasan korupsi sebagai proses-proses menuju demokrasi.

Ketiga, korupsi menjadi semakin dimanjakan, terlihat dari adanya dinamika yang cukup tinggi ketika pembahasan soal penentuan ketua komisi-komisi yang basah di DPR.

Keempat, adanya oposisi yang basa-basi yang membuat tidak adanya ketegasan pihak oposisi soal bank century, kriminalisasi ICW maupun KPK.

Dan yang kelima, semakin lemahnya visi anggota DPR, karena 70 persen dari anggotanya adalah orang baru yang tidak terbiasa berbicara dengan data dan fakta ketika menghadapi mitra kerjanya.

Sementara itu, Syarifuddin Sidding Sekretaris Fraksi Partai Hanura menyatakan bahwa partainya di DPR tidak pada posisi berkoalisi atau oposisi terhadap pemerintahan secara institusi, tapi oposisi secara kebijakan.
Secara institusi Hanura juga memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk bersikap, asalkan masih dalam ukuran kritisisme.

Hal senada juga disampaikan anggota DPD Bambang Soeroso, posisinya sebetulnya tidak pada posisi berkoalisi dengan pihak manapun, kecuali oposisi pada setiap kebijakan yang tidak memihak pada kepentingan rakyat. (kh/cr-15)

Tidak ada komentar: