Jumat, 23 Januari 2009

Pengamat: KPU Nekat Terapkan "Zipper System

KOMPAS.COM

Pengamat: KPU Nekat Terapkan "Zipper System"

Jumat, 23 Januari 2009 | 20:18 WIB

JAKARTA, JUMAT — Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap sedang melakukan perbuatan nekat, terkait kesepakatan dalam rapat pleno tentang ketentuan zipper system. Keputusan tersebut menetapkan setiap tiga kursi DPR/DPRD yang diperoleh suatu partai politik di sebuah daerah pemilihan (dapil) akan diberikan kepada perempuan yang akan ditetapkan dengan peraturan KPU.

"Keputusan itu jelas akan mengundang berbagai kontroversi dan perdebatan. Bahkan, mungkin akan mengundang gugatan kepada Mahkamah Agung (MA). Dengan begitu, kontroversi ini setidaknya akan melahirkan kesibukan baru KPU, yang kini sudah tersedot perhatian dan konsentrasinya dalam melaksanakan teknis pemilu," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, Jumat (23/1).

Kenekatan pandangan KPU ini, lanjut Ray, didasarkan pada tafsiran mereka atas prinsip affirmatife action bagi 30 persen kursi di DPR dalam UU No 10 Tahun 2008. Kenyataannya, MK tidak membatalkan Pasal 53 UU No 10 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dan Pasal 55 Ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 tentang di dalam daftar bakal calon, dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.

Atas dasar inilah, KPU dianggap nekat menetapkan sistem baru, memberi satu kursi kepada calon perempuan dari 3 kursi yang diperoleh parpol dalam satu dapil.

"Sekalipun niat KPU ini amat mulia, tetapi mestinya cara yang ditempuh tidak dengan jalan nekat-nekatan. Sebab, tafsiran KPU atas Pasal 53 dan 55 Ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 tidak dengan sendirinya memberi kewenangan bagi mereka mengubah sistem pemenangan calon terpilih. Bila kembali dibaca secara teliti, Pasal 53 dan 55 Ayat (2) hanya mengatur tentang keharusan partai politik untuk memuat 30 persen dari caleg mereka di setiap dapil merupakan wakil dari perempuan yang disusun dalam bentuk setiap tiga calon harus terdapat satu di antaranya adalah perempuan," ujar Ray.

"Jelas, pengaturan ini hanya berkenaan dengan penyertaan perempuan dalam pencalegan bukan dalam kemenangan. Jadi agak membingungkan bila KPU langsung melompat pada ketetapan pemenangan perempuan. Jika dilihat dalam susunan UU, tata cara penetapan kemenangan calon terpilih mutlak harus diatur oleh UU, bukan oleh ketentuan di bawahnya. Dengan begitu, tata cara penetapan calon terpilih mestinya harus diatur oleh UU bukan oleh peraturan KPU," sambung Ray lagi.

Sementara pengaturan yang diperkenankan dibuat oleh KPU, imbuhnya, sebagaimana tercantum dalam UU No 22 Tahun 2007 tentang Parpol, hanyalah pengaturan terkait dengan penyusun, penetapan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 8 Ayat 1c), mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan (Pasal 8 Ayat 1d), menerbitkan Keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya (Pasal 8 Ayat 1 j) atau menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap partai politik (Pasal 8 Ayat 1 k).

Bila ada peraturan yang dibuat oleh KPU yang terkait dengan subtansi UU, lazimnya langsung dinyatakan oleh UU bahwa untuk seterusnya hal yang dimaksud akan diatur di dalam peraturan KPU (lihat misalnya Pasal 210 UU No 10 Tahun 2008).

"Kenekatan KPU ini secara langsung akan memberi efek dimungkinkannya adanya intervensi langsung KPU sebagai penyelenggara pemilu dengan kewenangan yang ditentukan dan terbatas terhadap pembentukan sistem pemilu yang sudah semestinya ditetapkan dalam UU. Kenekatan ini jelas akan menggejala bila tak ada satu ketentuan tegas. Menimbulkan kekisruhan sistem ketatanegaraan kita di mana materi subtansi UU dapat diatur hanya melalui ketetapan KPU. Suasana akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan sistem pemilu," paparnya.

Sebab, dalam perjalanannya UU Pemilu telah mengalami berbagai koreksi baik akibat keputusan MK, keluarnya Perppu dan Perpres, dan kini pengaturan subtansi UU oleh KPU. Jelas kekacauan seperti ini memperlihatkan karut-marut sistem ketatanegaraan kita.

Dengan seluruh dasar pertimbangan tersebut, maka LIMA Nasional menolak dengan tegas kesepakatan KPU untuk menerbitkan ketentuan penerapan metode bahwa setiap 3 kursi perolehan parpol dalam dapil, satu di antaranya diserahkan kepada perempuan.


Rachmat Hidayat
Sumber : Persda Network

Tidak ada komentar: