Sabtu, 24 Januari 2009

KPU Dianggap Nekat

REPUBLIKA

Sabtu, 24 Januari 2009

KPU Dianggap Nekat
Kursi ketiga caleg perempuan disarankan diatur internal parpol saja.


JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai bertindak nekat kalau menerapkan kursi ketiga hanya berdasarkan peraturan KPU. Langkah KPU akan memunculkan kontroversi yang akan mengganggu kinerja mereka untuk menyelesaikan persiapan pemilu.

''Keputusan tersebut jelas akan mengundang berbagai kontroversi dan perdebatan. Bahkan, mungkin akan mengundang gugatan kepada Mahkamah Agung (MA),'' kata Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, kepada Republika, Jumat (23/1).

Kesepakatan KPU dalam rapat pleno atas ketentuan kursi ketiga bagi caleg perempuan merupakan suatu keputusan yang sangat nekat. Apalagi, kalau KPU benar-benar menerapkannya tanpa payung hukum peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

''Sekalipun niat KPU ini amat mulia, tetapi mestinya cara yang ditempuh tidak dengan jalan nekat-nekatan,'' kata Ray.

Dipaparkannya, ketentuan Pasal 53 dan 55 ayat (2) Undang-Undang No 10 Tahun 2008 hanya berkenaan dengan penyertaan perempuan dalam pencalegan, bukan dalam kemenangan. Tidak tepat bila KPU memaknai itu untuk ketetapan pemenangan perempuan.

Tata cara penetapan kemenangan calon terpilih, menurut Ray, mutlak harus diatur oleh undang-undang. Tidak bisa diatur dengan ketentuan di bawahnya. ''Penetapan calon terpilih harus diatur denmgan undang-undang, bukan peraturan KPU,'' paparnya.

Kenekatan KPU, kata dia, akan memberi efek kemungkinan adanya intervensi langsung KPU. Padahal, sebagai penyelenggara pemilu, KPU punya kewenangan yang ditentukan dan dibatasi undang-undang.

Ray khawatir bahwa langkah seperti ini akan menggejala bila tak ada satu ketentuan tegas terhadap kenekatan KPU ini. Lebih dari itu, tindakan KPU dapat menimbulkan kekisruhan sistem ketatanegaraan.

Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay, menyarankan ketentuan afirmasi perempuan dikembalikan saja ke parpol. Jika diserahkan ke parpol, menurut Hadar, akan bisa meminimalisasi konflik.

''Selain itu, bisa menunjukkan parpol mana saja yang memiliki komitmen terhadap keterwakilan perempuan,'' kata Hadar. Parpol memiliki kewenangan untuk membuat kesepakatan dengan calegnya dalam menempatkan caleg terpilih.

Dicontohkannya, parpol bisa membuat komitmen dengan calegnya untuk memberikan persentase suara kepada caleg perempuan. Caranya, dengan membuat kesepakatan bahwa 10 hingga 20 persen suara diberikan untuk caleg perempuan.

Pengaturan afirmasi perempuan tetap harus berpegang kepada prinsip suara terbanyak. Parpol tetap berwenang untuk menarik caleg terpilih, asalkan ada kesediaan caleg itu untuk mengundurkan diri. Kesediaan itu muncul jika parpol dan caleg membuat komitmen.

Berdasarkan Pasal 218 Undang-Undang Pemilu, caleg yang meraih suara terbanyak tidak bisa ditetapkan sebagai caleg terpilih jika yang bersangkutan meninggal dunia, tidak lagi memenuhi syarat sebagai caleg terpilih, mengundurkan diri, dan tersangkut kasus pidana pemilu. ''Caleg terpilih laki-laki yang berada di urutan ketiga harus mengundurkan diri atas kesepakatan dengan parpol,'' katanya.

Siap bahas
Mantan wakil ketua Pansus RUU Pemilu, Yasonna H Laoly (Fraksi PDIP), mengatakan, usulan Hadar Gumay tetap akan menimbulkan konflik. Menurutnya, sulit dicapai kesepakatan di tingkat parpol untuk memberikan kursi ketiga bagi perempuan.

Laoly mengatakan, DPR siap untuk mempercepat pembahasan perppu bersama pemerintah. Karena itu, lanjutnya, KPU sebaiknya tetap menunggu keputusan atas usulan dikeluarkannya perppu kursi ketiga. ''Bisa celaka jika penetapan (caleg terpilih) diatur oleh peraturan KPU,'' ungkap dia. dwo/ikh

Tidak ada komentar: