Rabu, 28 Januari 2009

Aroma Suap di Balik Fatwa MUI

Politik
27/01/2009 - 13:44

Aroma Suap di Balik Fatwa MUI

R Ferdian Andi R


INILAH.COM, Jakarta – Fatwa haram Majelis Ulama Indonesia menuai kontroversi. Ada rumor, fatwa wajib memilih pemimpin ideal atas pesanan pihak tertentu. MUI membantahnya. Mereka menegaskan tak ada suap dalam fatwa tersebut.

Rumor yang berkembang membuat MUI seperti bermain api dalam mengeluaran fatwa soal Pemilu. Fatwa yang dihasilkan dari kesepakatan ulama di Padang Panjang, Sumatera Barat, itu tercium memiliki aroma suap.

Suap? Betulkah MUI bisa disuap? Tak ada yang pasti. Tapi, rilis hasil survei Transperanscy International Indonesia (TII) menyebutkan MUI berada di 10 besar indeks suap terhadap 15 institusi publik.

Mantan Ketua Majelis Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin membantah tudingan itu. Dia menegaskan, pihaknya sama sekali tidak menerima suap dari siapapun atas munculnya fatwa atas kewajiban memilih pemimpin yang ideal.

“Siapa yang menyuap? Kalaupun potensi suap, itu dari partai Islam yang katanya diuntungkan dari fatwa MUI. Tapi mana ada partai Islam yang banyak duit, yang banyak duit justru di partai sekuler,” katanya kepada INILAH.COM, Selasa (27/1) menjawab tudingan fatwa MUI terkait dengan pesanan oleh pihak tertentu.

Ma’ruf Amin yang saat ini juga menjabat sebagai Rois Mustasyar DPP PKNU ini menegaskan, munculnya fatwa wajib memilih pemimpin ideal dilandasai atas pro-kontra yang muncul di tengah masyarakat. “Kami tidak ujug-ujug mengeluarkan fatwa, tapi karena adanya wacana publik yang berkembang. Semua kelompok hadir, baik partai politik maupun ormas. Bahkan ulama bukan dari partai Islam juga sepakat,” tandas Ma’ruf.

Fatwa MUI terkait pemilu, memang relatif menggunakan bahasa moderat. Tak ada satupun kalimat yang menegaskan bahwa memilih untuk menjadi golongan putih berstatus hukum haram. Namun, fatwa MUI menyebutkan, memilih pemimpin yang muslim, jujur, amanah, cerdas, dan memperjuangkan aspirasi umat Islam, adalah wajib.

Selain itu, MUI juga menyebutkan, jika memilih yang tidak seperti kriteria tersebut atau tidak memilih sama sekali, padahal pemimpin seperti itu ada, makanya hukum haram. Artinya, memilih menjadi golongan putih pun, bisa masuk pagar haram.

Penegasan serupa disampaikan Wakil Sekertaris Komisi Fatwa MUI Asroun Niam Sholeh. Menurut dia, fatwa MUI sama sekali tidak terjebak pada wilayah politik praktis. Justru sebaliknya, imbuh alumnus MAPK Jember ini, fatwa MUI sebagai implementasi dari tanggung jawab politik keulamaan. “Secara umum tidak ada perdebatan, karena pembahasan fatwa MUI terkait pemilu tidak menjurus politicking,” katanya di Padang, Selasa (27/1).

Fatwa MUI ini seperti memiliki dua mata pisau. Di satu sisi, pihak tertentu merasa terbantu dengan fatwa MUI. Namun di sisi lain, beberapa pihak menilai fatwa MUI justru menjadi masalah baru di tengah apatisme publik terhadap proses pemilu.

Ketua KPU A Hafiz Anshary menyambut positif munculnya fatwa MUI terkait dengan memilih pemimpin yang ideal. Menurut dia, fatwa MUI dapat menggerakkan masyarakat untuk sadar hukum. “Mudah-mudahan angka golput menurun,” katanya, Selasa (27/1). Dia mengaku hingga saat ini KPU belum memplenokan fatwa MUI untuk menjadi instrumen sosialisasi pemilu.

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menilai, hakikatnya fatwa wajib memilih dan anjuran golput, dua-duanya tidak memiliki makna penting dan tidak diperlukan. Namun, imbuh mantan anggota KPU ini, fatwa wajib memilih jauh lebih bertanggung jawab daripada anjuran golput.

Respon lainnya muncul dari Dierketur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti. Menurut dia, fatwa MUI tentang wajib memilih dalam pemilu sama saja mempertentangkan ajaran Islam dengan demokrasi yang dianut di Indonesia. “Kami menolak keras fatwa MUI. Ini memperhadapkan ajaran Islam dengan demokrasi yang kita anut,” cetus alumnus IAIN Syarfi Hidayatullah Jakarta ini.

Hal senada disampaikan oleh Derketur Eksekutif Center for Elecetroal Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay. Menurut dia, posisi orang tidak memilih dalam pemilu memiliki banyak sebab. Yang terbesar karena persoalan teknis-administrasi. “Fatwa ini akan menjadi masalah di lapangan. Orang yang ingin mematuhi fatwa ini akan memaksa petugas KPPS. Padahal namanya tidak masuk di Daftar Pemilih Tetap (DPT),” tegasnya seraya mengingatkan, memilih dalam pemilu adalah menyangkut kesadaran politik, bukan dengan cara pemaksaan. [I4]

Tidak ada komentar: