Senin, 14 September 2009

Sri Mulyani Jangan Bohongi Rakyat

BUMN WACHT


Sri Mulyani Jangan Bohongi Rakyat


Diterbitkan pada 16 Juni 2009 oleh Nurmimi



Pernyataan Pelaksana Tugas Menko Perekonomian – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) tidak besar dan bukan menjadi masalah, dinilai kalangan ekonom yang berseberangan dengannya sebagai kebohongan publik, diimbau agar Sri Mulyani tidak membohongi rakyat. Sebab, pembayaran utang telah menggerus anggaran belanja sosial dan kesehatan. Ini merupakan bencana besar bagi rakyat. Bahkan, Indonesia telah membayar utang luar negeri sejak 2003-2008 untuk pembayaran pokok dan bunga utang sebesar 183,34 miliar dolar AS. Demikian rangkuman pendapat ekonom Tim Indonesia Bangkit (TIB) Binny Buchory, ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Revrisond Baswir, serta pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, yang disampaikan secara terpisah di Jakarta, kemarin. “Ukuran rasio utang terhadap PDB bukan satu-satunya indikator bahwa utang yang ada tidak bermasalah. Jika utang negara tidak dikelola dengan baik, maka justru akan membawa kehancuran masa depan bangsa. Semestinya pemerintah harus mampu memanfaatkan pinjaman untuk meningkatkan kinerja usaha kecil dan menengah yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Tidak justru menambah utang setiap tahunnya untuk program yang tidak jelas,” kata Binny Buchory.         Revrisond Baswir menambahkan, masalah utang luar negeri jangan direduksi menjadi masalah keuangan dan manajemen. Ini karena utang, apalagi dari luar negeri, menjadi masalah ekonomi dan politik. “AS dan Jepang tidak berutang ke Indonesia, tapi Indonesia yang berutang ke kedua negara itu. Jadi jangan bandingkan antara kreditor dan debitor karena statusnya pasti dibedakan,” ucap Revrisond. Lebih jauh dia mengatakan, sebagai debitor, Indonesia didikte untuk “mengimani” neoliberalisme. Bahkan Indonesia juga didikte untuk membuat peraturan dan undang-undang yang melanggar konstitusi, termasuk untuk mengamandemen kontitusi tersebut, yakni UUD 1945. Lebih parah lagi, Indonesia bahkan didikte untuk menempatkan pejabat-pejabat di lingkungan pemerintahan dan BUMN. “Lihat saja yang terjadi di Pertamina, Departemen Keuangan, maupun Departemen Perdagangan. Jangan-jangan juga sedang terjadi untuk calon RI 1 dan RI 2,” tuturnya.
Ichsanudin Noorsy

Ichsanudin Noorsy

Hal senada disampaikan Ichsanuddin Noorsy. Dia menegaskan, setelah mendorong liberalisasi sektor perdagangan dan keuangan, kini mereka (penganut ekonomi neoliberalisme) membela kebijakan itu dengan membandingkan rasio utang luar negeri dengan PDB serta membandingkannya dengan negara-negara lain. Menurut dia, membandingkan utang luar negeri dengan PDB adalah menyesatkan, karena PDB Indonesia berbeda dengan PDB negara lain. Apalagi, sektor-sektor strategis bagi masyarakat memang didorong agar tidak lagi disediakan pemerintah. Dalam hal ini, neoliberal mengharuskan pemerintah cukup menjadi regulator, sedangkan kepemilikan dan pengelolaan berada di tangan swasta. “Indonesia sudah terperangkap dalam perjanjian yang mengharuskan berlakunya pasar bebas,” tuturnya. Oleh karena itu, Noorsy menegaskan, tanpa komitmen pada cita-cita bangsa, keberanian menegakkan harkat dan martabat bangsa serta kecerdasan mengelola dan mengantipasi situasi, maka ketegasan dalam mengambil kebijakan yang benar dan baik sulit untuk dilakukan.Direktur Lingkar

Madani (LIMA) Nasional Ray Rangkuti dalam diskusi bertajuk “Utang Versus Kedaulatan: Tantangan Ekonomi Politik Presiden Sekarang dan Mendatang” menilai, hanya dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang mengarah pada sikap antiutang, yakni Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. Sedangkan pasangan lain, yakni SBY-Boediono, tidak menyinggung komitmen anti terhadap utang luar negeri. Dia menambahkan, dalam sikap antiutang tersebut JK-Wiranto lebih banyak bicara soal ekonomi kemandirian serta pembangunan ekonomi yang berbasiskan potensi sumber daya alam (SDA) nasional. Sementara Mega-Prabowo yang menawarkan perekonomian kerakyatan memberi isyarat akan lebih banyak mengeluarkan uang untuk ekonomi rakyat ketimbang untuk membayar utang. Sedangkan “Pasangan SBY-Boediono justru sama sekali tidak bicara soal itu dalam program (ekonomi Jalan Tengah) mereka,” ujarnya. Soal siapa Cawapres Boediono,
Boediono

Boediono

Ekonom Kwik Kian Gie menantang calon wakil presiden dari Partai Demokrat itu untuk membuktikan bahwa dirinya bukan penganut paham ekonomi neoliberal. Sebab, menurut Kwik Kian Gie, banyak fakta yang menunjukan bahwa Boediono menganut paham tersebut selama mereka berdua menjabat sebagai menteri pada Pemerintahan Megawati Sukarnoputri. Pernyataan Kwik Kian Gie itu disampaikan dalam diskusi politik dengan tema “JK-Win untuk Indonesia Adil dan Sejahtera serta Ekonomi Kemandirian versus Ekonomi Neoliberal di Jakarta, baru-baru ini. Kwik Kian Gie menilai, Indonesia akan terpuruk apabila pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ini terpilih pada pemilu presiden 9 Juli mendatang.

Menurut Kwik, pasangan tersebut terbukti menganut paham neoliberal dengan banyaknya pinjaman dari luar negeri untuk pembiayaan negara, sehingga utang negara bertambah banyak. Indonesia merupakan negara terkaya kedua di dunia dalam hal sumber daya alam. Indonesia sebenarnya tidak perlu mengimpor barang dari luar negeri, termasuk minyak mentah.

Menurut Kwik, Boediono tidak konsisten karena belakangan ini mengaku menjunjung ekonomi kerakyatan, seperti yang diucapkan saat berpidato pada deklarasi SBY Berbudi di Bandung, Jawa Barat.
Rizal Ramli

Rizal Ramli

Pengamat ekonomi, Rizal Ramli mengatakan kinerja bidang ekonomi dalam kurun waktu empat tahun terakhir hanya cari aman. “Jika cari aman saja, hanya akan menghasilkan kinerja ekonomi pas-pasan dan tidak akan membawa Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi,” katanya di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan, konstitusi di Indonesia sangat jelas menggariskan haluan ekonomi negara yang tidak menganut sistem kapitalisme ugal-ugalan.
Namun, tambah dia, konstitusi tersebut justru menekankan pentingnya peranan negara dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dengan melihat “jalan tengah” yang dilaksanakan empat tahun terakhir, kata dia, pemerintah seolah-olah ingin merangkum semua aliran berpikir dalam bidang ekonomi. Rizal mencontohkan, kinerja ekonomi empat tahun terakhir sebenarnya juga menganut jalan neo-liberalisme, yaitu jalan yang sangat menggantungkan diri terhadap pinjaman luar negeri dan keterbukaan yang ugal-ugalan di segala sektor.

“Hal tersebut terbukti dari peningkatan hutang sebesar Rp400 triliun selama empat tahun terakhir, jadi rata-rata Rp100 triliun per tahun,” kata Rizal menjelaskan.
Ia berpendapat, pemerintah masih menggunakan alasan klasik yang digunakan pada pemerintahan orde baru, bahwa utang tidak ada masalah selama digunakan untuk tujuan produktif. Selama 32 tahun orde baru, kata dia, 30 persen dari utang tersebut tidak digunakan untuk tujuan produktif, tetapi justru dikorupsi pejabat dan kroni-kroninya. Rizal menegaskan, hutang negara berbeda dengan utang perusahaan atau pun utang pribadi. Jika perusahaan atau pribadi ingin berutang dari bank, menurut dia, kriteria terpenting adalah kemampuan membayar, karakter peminjam, serta prospek usahanya. Namun, bank tidak akan mengatur secara detail usaha yang dilakukan atau pun kebijakan sosial rumah tangga si peminjam, tambah Rizal.

“Hal itu berbeda dengan pinjaman negara dari lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB dan sebagainya, ujar mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tersebut.

Masing-masing lembaga keuangan tersebut pasti mempunyai kepentingan terhadap negara yang meminjam uang, kata Rizal.

Menurut Rizal, lembaga tersebut memberi pinjaman, biasanya disertai dengan pesanan dan menuntut undang-undang atau pun peraturan pemerintah tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga bidang sosial, dan pasti menguntungkan negara-negara kreditor.
“Sehingga dalam prakteknya, Indonesia ‘menggadaikan’ UU dan peraturan pemerintah kepada negara kreditor untuk ditukar dengan pinjaman,” kata Rizal.

Ia mencontohkan, pinjaman sebesar 300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN, juga UU Migas yang ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari Bank Dunia.

Menurut Rizal, hal tersebut merupakan jalan masuk ke kebijakan ekonomi neo-liberalisme, yang merupakan bentuk lain dari kolonialisme baru.(*/sk)

Tidak ada komentar: