Kamis, 19 Februari 2009

KPU Persulit Urusan yang Harusnya Mudah

KOMPAS.COM

KPU Persulit Urusan yang Harusnya Mudah

Rabu, 18 Februari 2009 | 20:47 WIB

JAKARTA, RABU — Wacana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk kembali ke nomor urut dinilai sangat tidak dapat diterima. Alasan KPU hal itu merupakan hasil kesepakatan dengan Komisi II DPR juga tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk tidak segera menetapkan aturan terkait suara terbanyak.

Dalam konteks tersebut, KPU dinilai mempersulit apa yang seharusnya mudah dan terang benderang. Penilaian itu disampaikan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, Rabu (18/2), kepada Kompas.

”Soal kemungkinan akan ada gugatan dari partai-partai politik, hal itu hanyalah asumsi KPU yang berlebihan. Faktanya, tidak satu pun terdengar parpol akan melakukan gugatan jika kebijakan suara terbanyak diterapkan,” ujar Ray.

Tambah lagi, menurut Ray, Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri beberapa waktu lalu juga telah tiga kali menyatakan regulasi KPU sudah cukup untuk mengatur penetapan suara terbanyak tanpa perlu ada peraturan pengganti undang-undang (Perpu) lagi.

Sementara itu, pada kesempatan terpisah, Koordinator Nasional Komite Pemilihan Indonesia Jeirry Sumampow menyatakan, banyaknya proses pelaksanaan tahapan pemilihan umum yang dilaksanakan sudah tidak lagi sesuai dengan regulasi yang ada.

Kondisi itu menunjukkan, KPU cenderung bekerja di luar ketentuan UU dan bahkan dengan sengaja melanggar ketentuan yang ada.

Ada banyak ketentuan dalam UU yang dinilainya telah dengan sengaja dilanggar oleh KPU untuk melegitimasi ketidakmampuan KPU sendiri dalam melaksanakan proses tahapan tersebut secara baik dan maksimal.

”Karena ketidakmampuan KPU itulah makanya sering KPU membuat pemerintah dan KPU terpaksa harus mengeluarkan Perpu. Tujuannya agar kesalahan yang dilakukan punya landasan hukum. Contoh, soal ketidakpastian angka daftar Pemilih Tetap (DPT) dan keinginan KPU menggunakan pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008, yang sudah dibatalkan MK,” ujar Jeirry.

Kondisi-kondisi seperti itu lah yang menunjukkan KPU tidak paham soal kerangka regulasi pemilu. Menurut Jeirry, pola pikir yang ”menggampangkan semua persoalan” seperti itu sudah menjadi mainstream berpikir KPU sekarang, yang menyebabkan komisi itu tidak ragu-ragu lagi untuk melanggar aturan.

”Jika kondisinya seperti itu, Pemilu 2009 bakal berada dalam situasi rawan dan berbahaya karena dia rawan digugat dan bukan tidak mungkin bakal memicu konflik. Banyaknya tahapan pemilu yang dilakukan secara ilegal bakal membuat pemilu kehilangan legitimasi, baik secara hukum maupun moral,” ujar Jeirry.


DWA

Tidak ada komentar: