Kamis, 26 Februari 2009

Sultan HB X Ideal Dampingi JK

PILPRES 2009

Sultan HB X Ideal Dampingi JK


Kamis, 26 Februari 2009


JAKARTA (Suara Karya): Calon presiden (capres) Partai Golkar HM Jusuf Kalla (JK) harus mempersiapkan figur calon wakil presiden (cawapres) yang mewakili suku Jawa, representasi Islam, dan diterima oleh kalangan militer agar bisa menang dalam pemilihan presiden (pilpres) mendatang.

Demikian kesimpulan pendapat pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Arbi Sanit, Presiden Tata Kawasan Ti-mur Indonesia (Tata KTI) Zainal Bintang, Direktur Eksekutif Lingkar Masyarakat Madani (Lima) Ray Rangkuti, dan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego, yang diwawancarai secara terpisah di Jakarta, Rabu 25/2).

Menurut Zainal, meski sudah ada prediksi dari lembaga survei, saat ini belum bisa dipastikan siapa capres yang bisa dikatakan sebagai kandidat pemenang, termasuk nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Kemenangan itu salah satunya tergantung taktik strategi pemenangan, termasuk di dalamnya bagaimana memilih pasangan wakilnya," katanya.

Zainal yang juga fungsionaris DPP Partai Golkar itu menambahkan, untuk memilih pasangan wakil presiden, perlu mengakomodasi variabel-variabel yang berlaku di pasar, dalam hal ini sosok figur seperti apa yang diinginkan oleh para pemilih.

"Variabel-variabel yang berlaku saat ini adalah sosok pemimpin yang berasal dari kalangan Islam dan berlatar belakang suku Jawa. Tapi jangan lupa, masih ada juga masyarakat kita yang masih memiliki kepercayaan terhadap figur militer," ujarnya.

Untuk memenuhi variabel pemilih dari kalangan Islam dan Jawa, ada nama Hidayat Nur Wahid. Sedangkan untuk variabel dari figur militer, menurut Zainal, ada nama mantan Panglima TNI Jenderal (Pur) Endriartono Sutarto sebagai calon wakil presiden Partai Golkar untuk mendampingi HM Jusuf Kalla.

Sementara Indria Samego mengatakan, saat ini mayoritas masyarakat Indonesia tidak lagi melihat figur capres dari latar belakang suku Jawa atau non-Jawa.

"Sekarang itu ada perubahan di mana orang tidak lagi mempermasalahkan soal Jawa atau non-Jawa. Soal pencalonan Pak Jusuf Kalla sebagai capres, saya kira itu tidak ada masalah," kata Indria usai menjadi pembicara dalam acara rountable discussion bertajuk "Implementasi Indeks Kepemimpinan Nasional (IKNI)" yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

Tapi, soal figur cawapres, Indria mengatakan Jusuf Kalla perlu mempertimbangkan latar belakang suku Jawa untuk menjadi wakilnya nanti. Yang paling pas wakilnya adalah figur Islam, Jawa dan diterima oleh militer. Artinya, walaupun sipil tapi dia (cawapres-Red) harus bisa diterima oleh militer.

Sementara itu, Arbi Sanit beranggapan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X dinilai sebagai tokoh yang ideal bila disandingkan dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar HM Jusuf Kalla dalam Pilpres 2009 ini. Sebab, Sultan memiliki dukungan dari masyarakat Jawa dan non-Jawa.

Menurut Arbi Sanit, dalam situasi seperti ini, capres mana pun yang bergandengan dengan Sultan Hamengku Buwono, dia akan menang. Sebab, saat ini Sultan memiliki kekuatan dukungan yang signifikan, baik dari dalam Partai Golkar maupun dari luar Partai Golkar.

Tentang tradisi sabdo pandito ratu yang dianut Kraton, kata Arbi, mestinya tidak menjadi harga mati bagi Sultan. Sebab Pemilu 2009 ini merupakan pemilu terakhir bagi Sultan jika ia ingin menjadi calon wakil presiden. Karena itu, Sultan tidak boleh terikat pada tradisi yang akan mengikat dan menghilangkan kesempatan satu-satunya ini.

"Sekarang ini nama Sultan sedang melambung dan usianya pun sudah 65. Kalau menunggu lima tahun lagi, maka usianya 70, saya kira sulit bagi dia untuk mendapatkan dukungan seperti sekarang ini. Saya kira tidak ada masalah Sultan menjadi wapres, ini kan warisan dari ayahnya yang juga pernah jadi wapres," ujarnya.

Arbi juga mengatakan, kalau Jusuf Kalla tidak mengambil Sultan sebagai capresnya, suara Partai Golkar akan terpecah karena partai lain pasti akan mengambilnya.

"Sultan dan JK ini sudah cocok. Jadi, JK jangan disandingkan dengan Hidayat Nur Wahid, tidak cocok. Yang satu nasionalis, yang lainnya fundamentalis. Ini akan berbenturan. Dan jangan juga Sultan disandingkan dengan calon militer," katanya.

Meski demikian, Arbi Sanit tetap melihat kemungkinan Jusuf Kalla masih akan menerima pinangan SBY untuk dijadikan wapresnya. Hal itu akan terjadi bila hasil pemilu tidak mencapai target. Misalnya partai besar seperti Partai Golkar tidak bisa mendapat 20 persen suara.

Sementara itu, Ray Rangkuti juga melihat Sultan sebagai pasangan yang ideal buat Jusuf Kalla. Menurut Ray, jika Jusuf Kalla berpasangan dengan Sultan, maka Partai Golkar akan solid dan suara tidak akan terbuang ke calon lain yang berpasangan dengan kader Partai Golkar.

"Banyak sekali manfaatnya bila Jusuf Kalla berpasangan dengan Sultan. Pertama, kalau pemerintahannya dipimpin oleh Partai Golkar, maka pemerintahan ke depan akan kuat. Di sisi lain, partai ini akan tetap solid, karena calon presiden dan wapresnya sama-sama kader Partai Golkar," kata Ray.

Ray juga mengatakan, Sultan akan menjadi barang dagangan yang laku dijual. Dengan demikian, peluang pasangan Jusuf Kalla-Sultan ini sangat tinggi dan kemungkinan menangnya pun besar.

Di tempat terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida mengatakan, perlu penelitian yang komprehensif untuk menjawab apakah saat ini masyarakat Indonesia yang tidak lagi mempermasalahkan latar belakang suku dalam memilih pemimpinnya. (M Kardeni/Kartoyo DS)

Tidak ada komentar: