Jumat, 06 Februari 2009

Mencoba Meretas Caleg Berkualitas


Jitet



KOMPAS

Kamis, 5 Pebruari 2009

Mencoba Meretas Caleg Berkualitas


TINGGAL sekitar dua bulan lagi waktu yang tersisa bagi rakyat untuk menimbang-nimbang siapa yang layak dan pantas mewakilinya di DPR, DPD, dan DPRD. Siapa yang berhak menyandang sebutan wakil rakyat yang terhormat.

Perkara ini tentu tak mudah. Pasalnya, yang mencalonkan diri banyak, sedangkan kursi tersedia sedikit. Ada 11.301 orang yang mencalonkan diri dan yang tersedia hanya 560 kursi. Sampai kini Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga belum memublikasikan rekam jejak caleg.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti dan Direktur Eksekutif CIRUS Surveyors Group Andrinof A Chaniago mencoba menjawab persoalan itu. Minggu (1/2), mereka menggelar uji publik bagi caleg, khususnya yang berlatar belakang aktivis. Acara tak digelar di hotel bintang lima, tetapi di sebuah rumah makan sederhana.

Caleg yang diuji umumnya belum pernah menjadi anggota DPR. Mereka adalah Ahmad Wakil Kamal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Budiman Sudjatmiko (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Iwan Dwi Laksono (Partai Kebangkitan Bangsa), Nova Rianti Yusuf (Partai Demokrat), dan Asep Supriyatna (Partai Amanat Nasional). Ada pula yang masih menjabat, yaitu Rama Pratama (Partai Keadilan Sejahtera).

Penguji, selain Andrinof, ada juga Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad. Hadir juga sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), LSM peduli masyarakat miskin, dan pers.

”Kita perlu memerhatikan caleg unggul. Dengan cara seperti ini, kampanye tak terfokus pada uang. Kita juga mendorong caleg idealis yang miskin. Mudah-mudahan cara ini bisa diadopsi di banyak daerah,” papar Ray lagi.

Menakar komitmen

Cara yang tepat untuk menilai seorang politisi memang tidak cukup dari mendengar kata-kata atau janji yang diucapkannya, tetapi mengingat sejauh mana tindakan yang dilakukannya. Namun, uji publik seperti ini paling tidak dapat menakar sejauh mana komitmen mereka.

Dari uji publik itu, Ridaya Laodengkowe, selaku moderator, paling tidak mampu mendorong caleg mengungkapkan apa yang akan dikerjakan nanti. Komitmen mereka dapat diukur dan ditagih nanti.

Sebagai seorang pendiri Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Iwan berniat mencabut semua undang-undang (UU) yang menghilangkan proses kemandirian, seperti UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara atau UU Badan Hukum Pendidikan.

Kamal mempunyai komitmen sama. ”Nanti tidak ada lagi UU yang memihak kepentingan asing,” kata mantan advokat itu.

Nova mempunyai target yang lebih spesifik. Sebagai seorang psikiater, dia berniat membuat UU yang terkait dengan kesehatan. Dia juga akan mengawal anggaran kesehatan yang sangat besar jumlahnya agar sampai ke rakyat miskin.

Sebagai aktivis 1998 yang menentang rezim Soeharto, Budiman bahkan telah menyusun matriks agenda perubahan nasional di legislatif berdasarkan Trisakti, yaitu berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian secara budaya.

Adapun Rama, yang sudah merasakan sebagai anggota DPR, berniat mempersatukan aktivis di DPR. ”Lawan kita itu bukan dari partai lain, tetapi juga dari partai sendiri yang tidak setuju ide progresif,” tegasnya.

Dari forum ini juga bisa dilihat sejauh mana niat caleg untuk transparan dalam hal keuangan ataupun keberaniannya melawan hegemoni partai. Hal itu dibuktikan dengan keberaniannya mengkritik elite partainya masing-masing.

Mengenai dana kampanye, Nova, meski ragu-ragu, akhirnya mengakui sudah menghabiskan uang Rp 100 juta-Rp 150 juta.

Budiman lebih terang-terangan. Dia mengaku menghabiskan Rp 150 juta untuk kampanye. Bahkan, dua bulan ini tidak bisa membiayai anaknya di playgroup. Dia juga terpaksa mengontrak rumah. Hal itu dilakukan semata-mata untuk memperjuangkan idealismenya. Anggota DPR adalah jabatan publik karena itu ia pun menghimpun dana publik dan diumumkan secara terbuka.

Asep mengaku menghabiskan Rp 75 juta untuk kampanye. Tetapi, dia juga sudah habis-habisan. Kini, modal tabungannya tinggal tersisa Rp 30 juta. ”Mau nyicil apartemen bersubsidi tidak jadi,” paparnya.

Biaya yang dikeluarkan Kamal lebih kecil. Dia mengaku menghabiskan Rp 50 juta. Dia pun berkomitmen setelah menjadi anggota DPR akan tetap menjadi orang yang sederhana. ”Jangan khawatir saya menjadi caleg yang hedonis,” tegasnya.

Iwan mengaku baru mengeluarkan Rp 7 juta untuk kampanye. ”Itu pun Rp 3 juta dari ibu. Kalau dibilang bonek (bondo nekat), saya bonek,” ucapnya. Namun, dia tidak pesimistis karena yakin rakyat di sekitarnya tahu komitmennya memperjuangkan rakyat, salah satunya mengadvokasi korban Lapindo.

Sikap Rama lain lagi. Dia justru tidak sependapat kalau aktivis harus kompetisi dalam kemiskinan. ”Bukan kaya atau miskin, tetapi yang penting dari mana dapat hartanya,” katanya. Namun, ia tidak menyebutkan biaya kampanye yang dihabiskan dan kekayaannya saat ini. (Sutta Dharmasaputra)

Tidak ada komentar: