Minggu, 15 Februari 2009

Membongkar Kelemahan Tim Sukses Sultan

INDONESIA MONITOR


20 January 2009

Membongkar Kelemahan Tim Sukses Sultan


KurangBagus Jika tidak ditangani secara serius dan profesional, Sri Sultan Hamengku Buwono X terancam gagal bertarung di Pilpres 2009.



DIREKTUR Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menyimak dengan seksama pemaparan maupun jawaban yang diberikan Sukardi Rinakit, Garin Nugroho, dan Franky Sahilatua saat deklarasi Tim Pelangi Perubahan, tim sukses Sri Sultan, di Hotel Four Seasons, Jakarta, Kamis, 14 Desember 2008.



Di saat Sukardi cs memberikan pemaparan dan jawaban, tiba-tiba Ray berbisik kepada Indonesia Monitor. “Kalau tim suksesnya seperti ini, aku ragu Sultan bisa menang.”



Seperti diketahui, Tim Pelangi Perubahan (TPP) adalah tim sukses Sultan yang beranggotakan tujuh orang. Dahulu, tim ini bernama Tim Siluman. Ada juga yang menyebutnya Seven Samurai.



Di TPP, Sukardi Rinakit didaulat menjadi ketua, sementara Garin Nugroho menjadi manajer strategi kampanye, dan Franky Sahilatua menjadi pengendali kampanye lapangan. Sebenarnya ada juga Moeslim Abdurrahman yang ditugaskan untuk mengawal Partai Republika Nusantara (RepublikaN), seorang rohaniawan, wartawan, dan kalangan profesional. Hanya, dengan alasan strategi, nama mereka sengaja dirahasiakan.



Kini, keraguan Ray terhadap TPP memang mendekati kenyataan. Sultan yang awalnya menjadi harapan, hingga kini belum juga dilirik oleh partai menengah atau partai besar. Padahal, seperti diketahui, untuk dapat maju ke arena pilpres, pasangan capres- cawapres harus didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mendapat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.



Nah, sampai detik ini Sultan hanya didukung oleh Partai RepublikaN, partai baru yang dikomandani Syahrir MS. Jangankan untuk bersaing dengan SBY dan Megawati Soekarnoputri, bersaing dengan Rizal Ramli, dalam hal meraih dukungan parpol, Sultan tak mampu.



Seperti diketahui, Rizal sudah didukung Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (P3I) dan Partai Bintang Reformasi. Bahkan, Rizal pun mulai digadang-gadang oleh Partai Pemuda Indonesia (PPI).



Kontroversi seputar Sultan tak berhenti hingga di situ. Meski sudah mendaftar konvensi capres yang digelar Dewan Integritas Bangsa (DIB) pimpinan Salahuddin Wahid, Sultan kembali membuat blunder. Sebab, dalam putaran pertama konvensi yang digelar di Ruang Utama Monumen Yogya Kembali, Ring Road Utara, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (10/1), Sultan absen.



“Ya, sayang sekali Sultan tidak bisa hadir konvensi DIB. Padahal kan itu kesempatan untuk mengemukakan pandangan-pandangannya, pemikirannya, visi dan misinya mengenai Indonesia ke depan,” kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Harris kepada Indonesia Monitor, Senin (12/1).



Ketidakhadiran Sultan itu membuat kecewa Ketua DIB Salahuddin Wahid. Apalagi, acara tersebut digelar di Yogyakarta. “Saya dihubungi Sukardi Rinakit (ketua TPP) kalau Sultan tidak bisa hadir. Kalau memang tidak bisa hadir kenapa dulu mendaftar?” ujar Gus Solah, sapaan Salahuddin, Sabtu (10/1).



Tapi, Senin (12/1), Gus Solah mengatakan bahwa Sultan dan tim suksesnya akan terus mengikuti konvensi capres DIB. Kegagalan Sri Sultan mengikuti putaran pertama konvensi capres DIB seharusnya tak terjadi jika tim sukses Sultan mampu mengatur jadwal secara profesional.



Sebenarnya, tak cuma kegagalan menghadiri konvensi putaran pertama capres DIB di Yogyakarta yang dianggap sebagai kegagalan tim sukses Sultan. Menurut sumber Indonesia Monitor, di internal tim sukses Sultan bahkan sudah ada wacana untuk menjadikan Sultan hanya sebagai cawapres. Apalagi jika pada kenyataannya nanti Sultan tak bisa mendapatkan dukungan dari partai politik dan gabungan partai politik, sebagai syarat maju pilpres.



Tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat saat Sultan menghadiri acara peluncuran buku Mereka Bicara Mega di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat, 12 Desember 2008. Kabarnya, tim sukses Sultan setengah mati melobi panitia agar Sultan bisa hadir sekaligus berkomunikasi dengan Megawati, kandidat capres dari PDIP. Maka jangan heran jika saat itu Sultan yang semobil dengan Sukardi dan Garin datang lebih awal disbanding Megawati.



“Kalau benar Sultan mau jadi cawapresnya Mega, berarti sama saja dong Sultan dengan yang lainnya, haus kekuasaan,” ujar sumber tersebut.



Tapi, Sultan mengaku hingga kini dirinya belum memastikan skenario menjadi cawapresnya Megawati. “Kemungkinan itu bisa saja, tapi mesti ada pendekatan toh, ada negosiasi,” kata Sultan, Selasa (6/1).



Ray Rangkuti langsung mengeritisi pernyataan Sultan. “Belum apa-apa Sultan sudah siap untuk jadi cawapres. Dalam politik praktis, itu sesuatu yang salah. Dia sudah menurunkan fungsinya, dia harus konsisten dengan ucapan pertamanya.”



Ray kembali menyindir tim sukses Sultan yang dianggapnya belum mampu menanggalkan identitas lama. “Politik praktis itu kan berbeda dengan dunia pengamat atau seniman. Insan politik Indonesia kan harus memiliki kekhasan, kerjanya 24 jam penuh, ada nakal-nakalnya sedikit.”



Tapi, Franky Sahilatua membantah bahwa mereka adalah tim sukses Sultan. “Sebenarnya kami bukan tim sukses. Kami kawannya Sultan aja,” kata Franky kepada Indonesia Monitor, Selasa (6/1).



Franky yang pada Pilpres 2004 menyokong Amien Rais-Siswono Yudo Husodo pun tak menerima kalau dikatakan stagnannya popularitas Sultan akibat ketidakbecusan TPP.



“Nggak penting bagi kami popularitas Sultan. Mau nomor tiga, lima atau tujuh dalam popularitas portofolio itu. Kami yakin keterpilihan itu bukan karena popularitas portofolio,” ujar Franky kepada Indonesia Monitor, Selasa (6/1).



Franky tak setuju jika timnya dinilai gagal menggandeng partai-partai besar, seperti Golkar yang nota bene adalah rumah Sultan. “Nanti kami punya rumus baru.Rumus kami yang baru adalah ’partai baru, napas baru’. Partai-partai besar seperti Golkar tidak menjanjikan perubahan. Golkar selama 40 tahun bukan menjadi party of the change, PDIP juga bukan partai yang besar yang bisa membawa perubahan,” ujar pelantun Perahu Retak itu.



Jika Sultan tak mengandalkan Partai Golkar dan PDIP, seperti yang disampaikan Franky, tugas mengantar Sultan ke Istana kini dipegang Partai RepublikaN. Sanggupkah RepublikaN?



“Saya yakin kok kita bisa lewat, seperti gelas yang kosong, kalau disentuh Sultan akan terisi air sampai penuh bahkan meluber,” kata Sekjen Partai RepublikaN Yus Sudarso.

Tidak ada komentar: