Selasa, 30 Juni 2009

Aktivis 1998 di Persimpangan Jalan?


INILAH.COM


30/06/09 15:14


Aktivis 1998 di Persimpangan Jalan?


R Ferdian Andi R


Ray Rangkuti
[inilah.com /Raya Abdullah]


INILAH.COM, Jakarta – Pilpres 2009 dikhawatirkan akan memecah keutuhan para aktivis 1998. Di era reformasi dulu mereka bersepakat menggulingkan Soeharto, namun kini mereka terkotak-kotak ke dalam tiga kelompok. Aktivis 1998 seolah berada di persimpangan jalan. Mengapa?


Awal pekan ini publik dikejutkan dengan iklan politik di media cetak nasional. Materi iklan itu cukup provokatif. Iklan yang mengatasnamakan 'Gerakan 98 untuk SBY-Boediono' ini berjudul 'Mengapa Kami Titipkan Reformasi kepada Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Bapak Demokrasi Indonesia?'


Batang tubuh iklan tersebut intinya menekankan pilihan politik mereka pada figur SBY-Boediono. Alasan mereka, periode 2009-2014 merupakan periode terakhir bagi SBY untuk menduduki kursi RI-1. Para aktivis 1998 tersebut berkepentingan dengan regenerasi.


Dalam iklan tersebut tertulis sederet nama antara lain, Ahmad Rizal, Agust Budi Prasetyohandi, Arief Rahman, Boyke Novrizan, Bernard Haloho, Sarbini, dan Wahab Talohu. Mereka mengatasnamakan diri sebagai Gerakan '98 untuk SBY-Boediono.


Menurut Sarbini, aktivis 1998 yang juga kader Partai Demokrat, alasan pihaknya memberikan dukungan ke pasangan SBY-Boediono adalah karena secara konstitusional era SBY akan berakhir pada 2014 mendatang.


"Secara konstitusional, SBY akan selesai pada 2014. Kita melihat ada keinginan masyarakat Indonesia mengenai adanya regenerasi kepemimpinan politik. Nah, SBY memegang komitmen itu," ujarnya kepada INILAH.COM, Senin (29/6) di Jakarta.


Terkait dengan pemberian gelar Bapak Demokrasi bagi SBY, bekas Ketua BEM Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Jakarta itu menegaskan, hal tersebut dilakukan karena SBY mampu menjaga transisi demokrasi sehingga sistem demoktrasi berjalan dengan baik. "Dampaknya, transisi demokrasi berjalan dengan baik, maka ekonomi menjadi stabil," tandasnya.


Terkait dengan isu neoliberal yang menerpa figur Boediono, Sarbini menandaskan, tidak ada satu pun pihak yang bisa melarang paham seseorang untuk berpikir kanan, kiri, atau tengah. Menurut bekas Koordinator Forum Komunikasi Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) tersebut, yang terpenting adalah setiap paham tidak bertentangan dengan konstitusi.


"Isu neolib itu isu elit. Yang terpenting bagaimana bisa menjalankan konstitusi secara benar," ujarnya.


Ia juga membantah tudingan bahwa aktivis 1998 terpecah belah terkait pilihan politik dalam Pilpres 2009 ini. Menurut dia, yang terpenting semua elemen aktivis 1998 tetap mengawal agenda bersama saat reformasi. "Mengawal agenda tidak mesti bersama-sama (satu gerbong, red)," elaknya.


Pendapat senada juga muncul dari Ray Rangkuti, aktivis 1998 dari IAIN Syairf Hidayatullah Jakarta. Menurut dia, sah-sah saja bagi para aktivis politik melakukan klaim mengatasnamakan aktivis 1998. "Yang terpenting, aktivis 1998 tidak dibaca tunggal," kata Ray yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) ini.


Kendati demikian, Ray berbeda pandangan terkait alasan rekannya yang tergabung dalam 'Gerakan 98 untuk SBY-Boediono'. Periode 2009-2014 tak hanya merupakan periode terakhir bagi SBY, tapi juga JK dan Mega. "Karena secara natural, seluruh capres akan berakhir pada 2014, kecuali Prabowo Subianto. Jadi alasan teman-teman tidak tepat 100%," katanya.


Menurut Ray, pada dasarnya dua poin penting yang disepakati oleh para aktivis 1998 yaitu tentang kepemimpinan kaum muda dan paham ekonomi antineoliberal. Menurut dia, tidak jadi soal, jika cara baca rekan-rekannya yang melihat Boediono merupakan sosok yang antineolib.


"Namun, siapa saja pilihan politiknya, harsu berdasarkan bacaan jangka panjang dan harus membebaskan diri dari kepentingan pragmatisme diri sendiri," pesannya.


Langkah aktivis 1998 juga menggejala di kalangan aktivis organisasi mahasiswa ekstrakampus. Seperti beberapa bekas pimpinan organisasi ekstrakampus Relawan Indonesia Muda (RIM) yang secara terang-terangan mendukung duet SBY-Boediono.


Ijtihad politik para aktivis mahasiswa merupakan hal yang sah dalam konteks demokrasi. Tak jarang, atas nama demokrasi pula, para aktivis tersebut terjebak pada kepentingan sesaat yang pragmatis. Tapi, inilah realita politik kita. [P1]

Tidak ada komentar: