Rabu, 17 Juni 2009

Daftar Kecemasan Pemilu 2009

PERSPEKTIF BARU






Ray Rangkuti


Daftar Kecemasan Pemilu 2009


Edisi 681 | 06 Apr 2009 |


Perspektif baru saat ini menghadirkan seorang tamu yang aktif melakukan pemantauan pemilu, sejak Pemilu 2004 lalu. Dia adalah Ray Rangkuti, sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA), sebuah lembaga pemantauan Pemilu.


Pemilu kurang dua minggu lagi namun, masih banyak persoalan seputar persiapan Pemilu 2009 yang terpantau di media massa. Sebenarnya jika dibandingkan dengan Pemilu 2004 lalu, bisa dibilang persiapan Pemilu tahun 2009 ini lebih panjang, setidaknya setengah tahun jauh lebih awal dari Pemilu 2004 lalu. Menurut Ray Rangkuti, dengan berbagai persiapan yang sebenarnya lebih pada penambahan beragam kekurangan baik itu logistik, pemutakhiran daftar pemilih, dan menambah atau merevisi peraturan yang sesuai, seharusnya persiapan pelaksanaan Pemilu 2009 jauh lebih baik dari 2004. Namun tampaknya pelaksanaan Pemilu yang seharusnya dapat jauh lebih baik dari 2004 itu besar kemungkinannya tidak tercapai, bahkan mungkin juga di bawah standar minimal kita.


Ray Rangkuti juga menilai aspek Jujur Adil (Jurdil) dan Transparansi yang sesuai standarnya tidak terpenuhi juga, meskipun tentu saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa mengatakan bahwa ada transparansinya. Sebagai contoh hampir semua peraturan-peraturan yang berkaitan dan diperlukan publik tidak tersedia di website KPU. Yang menarik sampai sekarang soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) masih menjadi persoalan besar. Permasalahan sederhana saja, banyak masyarakat tidak mengetahui kemana mengakses data tentang daftar pemilih, yang seharusnya dapat dilihat di website KPU.


Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Ray Rangkuti.



Berbicara masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sebetulnya dimana letak permasalahannya? Anda mengatakan bahwa seharusnya ini tidak perlu terjadi karena mereka harusnya mempunyai data-data tersebut di website KPU?


Justru mereka tidak punya. Itu yang kita sayangkan. Kenapa perdebatan soal DPT ini terus mencuat sampai sekarang, karena daftar pemilih tambahan yang direvisi paska keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2009 itu.


Tentang apa Perpu No. 1 Tahun 2009 itu?


Ada perbaikan. Jadikan begini riwayat DPT ini, tanggal 24 Oktober mestinya ditetapkan, namun KPU tidak bisa menetapkan karena belum mencakup Papua dan luar negeri. Akhirnya ditambah waktu sebulan menjadi tanggal 24 November. Nah tanggal 24 November ini dengan terpaksa KPU menetapkan DPT yang sudah mencakup Papua dengan luar negeri masuk. Di tengah-tengah itu, KPU gelisah karena menurut pandangan mereka DPT ini sendiri masih banyak bolong-bolongnya. Akhirnya, mereka berinisiatif meminta Perpu kepada Presiden agar DPT yang ditetapkan per tanggal 24 November itu bisa direvisi. Presiden akhirnya mengeluarkan Perpu bersamaan dengan pengeluaran Perpu soal penandaan yang berisi bahwa penandaan satu kali atau berkali-kali itu boleh, tidak hanya sekali. Berdasarkan Perpu tersebut, ada kesempatan dua minggu bagi KPU untuk merevisi, dengan catatan tidak ada pendaftaran baru, tinggal merevisi yang ada. Yang istilahnya pemilih siluman dibuang, asumsinya yang tidak benar datanya dibuang. Yang sudah waktunya harus tercatat dimasukkan sebagai pemilih tapi tidak membuka pendaftaran baru.


Maksudnya tidak membuka pendaftaran baru itu apa?


Artinya orang yang belum terdaftar di daftar baru tidak ada. Yang direvisi itu yang sudah tercatat di daftar yang per tanggal 24 Oktober. Nah begitu perjalannya, kita menganggap semua pekerjaan KPU beres-beres saja, muncul kasus Jawa Timur. Di mana mantan Kapolda Jawa Timur itu mengundurkan diri dari institusi kepolisian. Itukan bukan perkara remeh-temeh artinya, itu perkara besar. Kalau dia misalnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kapolda mungkin kita bisa paham, namun pengunduran ini langsung dari institusi kepolisian.Nah semua orang jadi bertanya-tanya ada apa? Nah mulailah muncul beragam evaluasi dan melihat secara detail DPT yang ada ini. Dari evaluasi tersebut, terlihat memang banyak"pemilih silumannya". Nah begitu muncul kasus Jawa Timur Panwas juga bekerja, mulai mereka merevisi kembali, melihat kembali DPT-DPT itu, mulai bermunculan dimana-mana. Dan boleh dibilang di Jawa ini semuanya bermasalah. Kemudian kita dengar juga dari beberapa tempat di Sulawesi, DPT juga bermasalah, karenanya kemudian timbul pertanyaan, loh ini kerja KPU bagaimana, sudah tiga kali diberi kesempatan untuk revisi namun mengapa hasilnya masih begini-begini. Menurut kita, pokok persoalannya adalah KPU sampai sekarang tidak mau memberikan DPT kepada partai politik dan tidak tersedianya data di website KPU. Disinilah sebetulnya awal kisruh DPT ini terjadi yang mengakibatkan partai politik itu protes kemudian isu muncul PEMILU diundur dan sebagainya.


Bung Ray, rasanya kita agak sesak ya dengan kondisi yang mencemaskan ini dengan melihat DPT-DPT "siluman" ini. Bagaimana Anda melihat situasinya sekarang ini, Apa yang dilakukan misalnya parpol-parpol, kemudian dari KPU sendiri?


Jadi begini, memang sudah tidak mungkin melakukan perubahan DPT. Karena pertama, DPT ini sudah 2 kali kita melakukan perubahannya. Pertama, pada tanggal 24 oktober ke 24 November itu saja sudah ada perubahan dan 24 November hingga tanggal keluarnya perpu dan DPT setelah Perpu. Jadi kalau terus diubah-ubah DPT ini namanya bukan lagi daftar pemilih tetap tapi daftar pemilih tanggung, tanggung untuk direvisi, tanggung untuk segalanya. Kira-kira setelah kasus Jawa Timur itu muncul, saya menyatakan ada solusinya kok, tapi memang KPU harus berani . Pertama adalah segera serahkan salinan daftar pemilih terakhir pasca revisi setelah dikeluarkannya perpu itu kepada seluruh partai politik, karena memang itu kewajiban KPU. KPU wajib memberikan salinan itu keseluruh partai politik.


Sebetulnya keberatan KPU itu apa sih?


Itu yang kita tidak paham. Disinilah kemudian, muncul asumsi-asumsi yang makin menambah tidak karu-karuan karena berkali-kali partai politik meminta DPT yang terakhir pasca revisi itu, KPU tetap enggan untuk memberikan itu ke partai politik. Yang ada adalah janji.


Tapi sebetulnya apakah ada aturan yang memperbolehkan parpol untuk meminta daftar DPT?

Bukan lagi boleh, undang-undang mewajibkan KPU. Jadi sebetulnya kewajibannya di KPU. Karena itu berkali-kali partai politik meminta DPT ini. Saya mengatakan, KPU tidak perlu memberikan DPT langsung ke parpol, namun tampilkan saja data itu di website KPU, namun hingga kini data itu belum muncul.


Jadi apa yang bisa dilakukan? Akhirnya muncul isu yang berkembang-kembang. Saran saya saat itu, berikan segera DPT ke parpol dan beri kesempatan bagi parpol untuk mengevaluasi, misalnya 3 hari waktu evaluasi saya rasa cukup. Sehingga partai politik tinggal menindaklanjuti data tersebut sesuai mekanisme yang mereka tetapkan, misalnya, sepuluh partai mengirim orang 10 untuk semua sama-sama melihat DPT ini benar atau tidak. Setelah waktu evaluasi partai politik selesai, akan meninggalkan dua kemungkinannya, pertama partai politik mengatakan DPT tidak terlalu parah, sehingga perdebatan DPT dapat diakhiri. Atau kesimpulan kedua, bahwa DPT ini bermasalah. Karena itu diberikan kesempatan kepada KPU kembali untuk melakukan perbaikan DPT itu. Apa perbaikannya? Bukan lagi-lagi menambah DPT, perbaikan DPT adalah menghilangkan seluruh pemilih yang dianggap "siluman" itu.


Apakah saran itu mudah dilakukan atau tidak?

Mudah sebenarnya, karena DPT dilacak dan dibantu oleh data-data dari partai. Misalnya kalau kita lihat dalam kasus Jawa Timur itu, dalam satu daerah pemilihan (Dapil), bahkan dalam satu Tempat Pemungutan Suara (TPS), itu ada seratusan orang yang Nomor Induk Kependudukan (NIK) nya sama, kan sudah tak mungkin. Tinggal kita lihat kebenarannya siapa diantara mereka yang benar sebagai pemilik NIK itu. Atau dalam satu TPS itu terdapat ratusan nama yang sama dan juga memilki alamat yang sama, tinggal kita verifikasi siapa diantara mereka yang benar valid datanya. Yang benar dan valid kita simpan datanya dan lainnya kita buang, kita anggap tidak ada. Termasuk misalnya anak-anak yang usianya masih 15 tahun, ada juga yang baru berumur 3 tahun telah didaftarkan sebagai pemilih, data-data seperti itulah yang perlu dibuang dari DPT. Jadi sebenarnyasimpel. Setelah proses itu dilakukan itu, stop, tidak ada lagi perdebatan soal DPT. Kita dapat melanjutkan ke proses Pemilu selanjutnya dan kita sambut apapun keputusan nanti hasil Pemilu, itulah yang terjadi. Penyerahan data DPT dari KPU kepada Parpol juga saya maksudkan untuk mendapatkan komitmen parpol. Komitmennya apa? Saya berikan DPT, Anda bisa evaluasi, kalau Anda koreksi, akan kami koreksi, tapi setelah ini kita punya komitmen tidak perlu ada perdebatan soal DPT. Sayangnya, hal tersebut tidak dilaksanakan KPU, bahkan memberikan salinan DPT pun sampai sekarang mereka tidak mau.

Jadi menurut Anda sampai hari solusi masalah DPT belum ada?

Tidak ada dengan sendirinya, karena KPU tidak pernah mau membuka akses terhadap permasalahan itu. Jadi, KPU selalu mengatakan, "datanglah ke KPU dan bawa catatan Anda". Sementara data tersebut semestinya berdasarkan dari data DPT terakhir dari KPU.

Kalau misalkan kita berada dalam situasi yang mandek seperti ini, apakah ada pihak atau institusi yang berwenang untuk memfasilitasi dialog, karena menurut Anda belum ada langkah solutif yang dilakukan KPU?


Ya, karena itu berarti kita melaksanakan Pemilu berdasarkan bermacam-macam asumsi. Yang saya khawatirkan, hasil Pemilu justru disikapi negatif nantinya. Nah, itu yang pertama. Yang kedua, kita punya tabiat menyelesaikan persoalan diakhir proses, bukan segera menyelesaikannya. Jadi, artinya begini, kalau ternyata Pemilu dilaksanakan dengan kondisi begini, banyak terdapat ketidakjelasan, maka akan memunculkan dua asumsi, pertama, parpol akan mempersoalkan ketidakjelasan Pemilu di akhir proses atau asumi kedua, publik akan dengan sendirinya melihat ketidakjelasan proses pelaksanaan Pemilu ini, misalnya jika terjadi kericuhan-kericuhan di TPS, karena pemilih yang memilih bukan warga yang dikenal di lingkungan TPS.

Inikan hanya salah satu dari daftar kecemasan kita dan saya pikir kita memang harus dibuat cemas karena ini bukan hanya sekedar daftar pemilih tetap ya, tapi ini ada kaitannya dengan soal demokrasi kita.

Saya setuju. Makanya sejak bulan lalu saya mengatakan marilah sama-sama mengatakan bahwa Pemilu 2009 ini kita hadapi dengan kondisi darurat. Kenapa, agar masyarakat mengetahui bahwa persiapan Pemilu tidak ideal. Kalau terjadi sesuatu yang kita anggap tidak ideal itu, mereka jangan marah-marah. Saya terus terang khawatir karena kita lihat kampanye partai politik sekarang sudah mengatakan tidak boleh menerima, jangan menerima kalau DPTnya salah. Misalnya, ada kalimat-kalimat orasi kampanye "Apakah kalian mau kalau ternyata pemilih yang datang ke TPS itu, ternyata bukan pemilih yang terdaftar? Tidakk." Jadi kewaspadaan masyarakat sudah mulai ditingkatkan agar tidak begitu saja menerima proses pelaksanaan pemungutan suara dengan kondisi daftar pemilih yang kacau balau. Orasi-orasi yang dapat memancing seperti itu harus ada yang meredam. Meredamnya dengan cara mengingatkan bahwa pelaksanaan Pemilu kita kali ini tidak ideal, karena keterbatasan kemampuan KPU, namun ketidakidealan tersebut sebaiknya jangan disikapi dengan kekerasan dalam penyelesaian masalah.


Tadi kita bicara ini adalah salah satu kecemasan kita, dari pengamatan Anda dan kawan-kawan di LIMA apa saja selain persoalan ini?


Selain permasalahan DPT, ada juga persoalan logistik. Boleh dibilang di bidang logistik ini, permasalahan khususnya pada surat suara yang bermasalah. Hampir 50% surat suara masuk dalam kategori rusak Dan pendefinisian surat suara rusak oleh KPU selalu berubah-ubah. Perubahan definisi ini boleh saja dilakukan KPU, namun apakah perubahan definisi itu nanti bisa diterima oleh masyarakat luas? Contohnya saja, surat suara sobek saat ini diperbolehkan oleh KPU. Apakah permasalahan surat suara itu telah tersosilisasikan dengan baik?


Itu dia masalahnya, KPU itu melakukan perubahan definisi kategori surat suara di tengah jalan dan tidak tersosialisasi. Jadi KPU berkeyakinan bahwa petugas KPPS akan mampu menghadapi masyarakat. Nanti dia tinggal baca ini lho, surat edaran KPU bahwa surat suara seperti ini sah. Namun pada prakteknya nanti belum tentu akan diterima masyarakat. Ada surat suara yang sudah robek, ada yang sudah tercontreng, ada yang gambar partai politiknya buram, ada yang namanya di tempel stiker. Baru kali ini surat suara dalam Pemilu ada penempelan stiker pada daftar nama. Sekarang terdapat kesan tidak ada masalah, tidak ada calon legislatif (caleg) yang marah, mungkin karena orang belum lihat surat suaranya. Nanti surat suara sudah terbuka mungkin ada caleg yang bereaksi "lho kok nama saya dicantumkan diatas stiker , saya tidak terima".


Apalagi kalau kalah ya, itu bisa dijadikan alasan ya?


Ya, di Depok misalnya, surat suara sudah bertebaran. Dan yang berterabaran itu Surat suara asli, setidaknya ketahuan ada 2 lembar yang sudah berada ditangan masyarakat. Kalau ini tidak dapat diselesaikan segera oleh KPU, maka hal ini yang bisa menjadi potensi kericuhan di TPS. Dengan semua ini saya melihat setidaknya ada 16 kerawanan yang mungkin akan terjadi di hari H dan paska hari H pelaksanaan Pemilu. Satu, pemungutan suara nampaknya akan berlangsung sampai malam. Karena kira-kira satu TPS memuat 300 orang, diperlukanwaktu 3 menit perorang, bisa lebih. Kedua, proses penghitungan suara mungkin akan berlangsung sampai pagi. Ketiga, banyaknya pemilih yang tidak terdaftar tadi. Keempat, surat suara yang rusak dipakai lagi. Kelima, surat suara tambahan kurang. Harus diingat, sekarang kita hitung kalau per-pemilih kita TPSnya 300 dikali 2% itu itu hanya 6 surat suara tambahan. Asumsinya dengan tingkat kecerdasan masyarakat untuk menggunakan surat suara model sekarang, akan banyak pemilih yang minta ganti surat suara saat pemilihan. Jadi 6 surat suara tambahan itu akan hilang, dan pemilih yang memerlukan penggantian surat suara sesudahnya tidak akan dapat terakomodasi, sehingga akan memunculkan protes. Keenam, surat undangan sudah sampai, tapi nama di TPS tidak terdaftar. Dia dapat surat undangannya tapi nama tidak ada di TPS sehingga hilang.


Harusnya itu jangka waktu pendistribusian surat undangan berapa lama?


Kalau menurut saya, kalau DPT sudah begini kacaunya, KPU masih bisa memperbaiki dengan cara yang tadi, segera sebarkan surat undangan untuk pemilih itu. Disitu dia identifikasi pemilih disitu. Ketujuh, surat undangan tidak ada tapi namanya ada di DPT, sebaliknya dari yang tadi. Kedelapan, jumlah pemilih melebihi ketentuan undang-undang, kita sudah menemukan di Jawa Tengah, ternyata pemilihnya lebih 42 dari ketentuan undang-undang. Kesembilan, surat suara terlambat datang.. Kesepuluh, peralatan Pemilu kurang (alat-alat seperti tinta, amplop, formulir, alat penanda). Kesebelas, perbedaan persepsi tentang penandaan sah surat suara, apakah itu tanda contreng, bulat, atau tanda kali. Efeknya adalah perbedaan persepsi tentang suara sah dengan sendirinya. Keduabelas, protes akan muncul, karena banyaknya protes mungkin akan diabaikan oleh petugas. Kalau diabaikan akan menambah persoalan, terdapat akumulasi protes dan bisa meledak. Ada perasaan kecewa dari parpol yang kalah. Penyelenggara tidak JURDIL, diindikasikan akan terjadi jual-beli suara, penggelembungan suara, dsb. Setidaknya ada 16 masalah menurut saya yang akan kita temukan di TPS yang penting untuk diantisipasi.


Anda sendiri melihat persoalan ini dilapangan, kira-kira apa solusinya?


Saya mengatakan dari jauh-jauh hari, kita sebut ini Pemilu dalam kondisi darurat,


Ini pernah terjadi di tahun 2004?


Tidak pernah separah ini, baru kali ini surat suara ada stikersepanjang sejarah Indonesia merdeka. Setahu saya bahkan pada Pemilu tahun 1999 yang teknologinya belum secanggih sekarangnama orang pun tidak pakai stiker. Kenapa kita sebut darurat, untuk mengingatkan masyarakat, bahwa memang kita kecewa sekali bahwa pelaksana Pemilu 2009 yang jauh dari ideal. Oleh karena itu, kita akan datang ke TPS mempergunakan hak pilih kita dengan asumsi yang macam-macam. Namun tetap kita harus pegang satu hal, kita tidak boleh melakukan kekerasan. Manakala kita datang ke TPS, misalnya surat undangan sudah ditangan, tiba-tiba di TPS nama kita tidak ada, sudahlah. Atau tiba-tiba para Caleg, atau pendukung Caleg mendapatkan nama Caleg dicantumkan diatas stiker, sudahlah jangan protes. Kalaupun mau protes dengan tidak pergunakan kekerasan pergunakan jalur hukum, kita harus kampanye ini kepada masyarakat.


Apa yang harus dilakukan Pemerintah?


Kalau mau jujur, DPT ini awalnya di pemerintah yang sekarang, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Saya ingat lagi tahun 2004, DPT sudah dibuat lagi databasenya oleh KPU, hingga dihabiskan dana sebesar 200 miliar. Hampir 200 miliar digelontorkan perbaikan database DPT. Asumsinya sekarang, mestinya, KPU tinggal klik saja, mana yang usia sudah 17 tahun, mana yang sudah meninggal. Sayangnya paska PEMILU tahun 2004, DPT ini diserahkan kepada Depdagri plus alokasi tambahan dana sebesar 1 triliun untuk memperbaharui DPT itu, yang terjadi malah kembali kejaman seolah belum ada internet, database macam-macam. Mereka memproses DPT itu dengan teknologi yang sangat sederhana, dengan aplikasi data Excel. Data Excell ini yang diberikan kepada KPU, dan KPU harus berjuang untuk menseleksi seluruh database ini.


Apa yang harus dilakukan pemerintah?


Saya pikir, mereka harus bertanggung jawab juga. Dengan cara minta maaf kepada masyarakat dan mengakui bahwa sumber masalah DPT itu awalnya ditangan Pemerintah.

Tidak ada komentar: