Senin, 08 Juni 2009

Kampanye Hitam Marak

SUARA PEMBARUAN


08 Mei 2009



Kampanye Hitam Marak
Kampanye Negatif Lazim dalam Berdemokrasi


[JAKARTA] Memasuki masa kampanye Pilpres 2009, gejala maraknya kampanye hitam makin marak untuk melemahkan citra pasangan capres-cawapres tertentu. Kampanye model itu umumnya tidak berbasis pada data dan bertolak belakang dengan fakta yang sesungguhnya.

Untuk itu, tim sukses dan simpatisan kandidat capres-cawapres harus mampu mengontrol diri dan mengedepankan kampanye yang beretika.

Sejalan dengan itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga diminta untuk bekerja optimal menggunakan kewenangannya agar segala bentuk pelanggaran diberi sanksi yang tegas.

Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi, di Jakarta, Senin (8/6) menjelaskan, maraknya kampanye hitam sudah terjadi sejak dua pemilu pada era re- formasi.

Pada Pemilu 1999, Megawati Soekarnoputri yang dijagokan menjadi capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pernah diisukan sembahyang di pura. Lantas pada Pilpres 2004, istri Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diisukan non- Muslim.

"Gejala yang sama juga muncul menjelang Pilpres 2009. Istri Boediono (cawapres pendamping SBY) juga diisukan penganut Katolik. Semua isu yang dikaitkan dengan persoalan agama itu kenyataannya bertolak belakang dari fakta. Ini semua 'kampanye hitam' dan yang harus dihindari," tegasnya.

Dia menambahkan, publik harus menyadari perbedaan antara kampanye hitam dan kampanye negatif. "Kampanye negatif masih dimungkinkan. Sebab, sumber isu dan datanya bisa dipertanggungjawabkan. Diharapkan publik memercayainya, sehingga menaikkan elektabilitas satu kandidat, dan melemahkan kandidat lainnya," jelasnya.


Wajar

Senada dengan itu, pakar marketing politik yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Firmanzah menilai, kampanye negatif masih wajar, dan tidak sejahat kampanye hitam yang cenderung membunuh karakter lawan politik. Menurutnya, kampanye negatif bergerak di wilayah abu-abu, dalam kapasitas memengaruhi wilayah opini publik. Sedangkan kampanye hitam merujuk adanya perubahan sikap bahkan penarikan dukungan pemilihan dari satu calon ke calon lainnya.

"Kampanye negatif masih bisa diterima sepanjang di-manage agar tidak mengarah ke 'kampanye hitam'. Itu sah dalam demokrasi. Masing-masing pihak harus melengkapi serangan itu dengan data dan biarlah masyarakat yang melihat mana yang benar atau tidak," jelasnya.

Firmanzah mencontohkan, hasil survei yang menempatkan kandidat tertentu hanya memperoleh dukungan minim, masuk kategori kampanye negatif. "Demikian pula sindiran mengenai bisnis pejabat dan isu neoliberalisme, merupakan kampanye negatif. Pernyataan dan datanya masih bisa diperdebatkan," ungkapnya.

Sedangkan bentuk kampanye hitam, menjurus pada fitnah. "Seperti dulu SBY diisukan telah menikah sebelum masuk pendidikan militer," ungkapnya.

Dia menambahkan, kampanye negatif punya pengaruh kecil terhadap opini pemilih. Sebab, beragam isu tersebut, tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan utama pemilih.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti juga sependapat, kampanye negatif merupakan hal yang lumrah dan sah.

"Kampanye negatif itu menjelaskan sisi negatif dari sisi lawan politiknya, dengan didukung oleh data dan fakta yang ada. Negatif dalam negara demokrasi adalah hal yang positif, karena masyarakat lebih mengerti kelemahan masing-masing kandidat. Dengan kata lain, negatif bagi salah satu kandidat, tapi positif bagi masyarakat," jelasnya.

Sebaliknya kampanye hitam itu mengungkapkan hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. "Contohnya pernyataan bahwa Arab tidak pernah berjasa bagi Indonesia," katanya.


Kampanye Dialogis

Ray menambahkan, saat ini strategi atau model kampanye yang sedang dijalankan para kandidat capres-cawapres dan tim suksesnya, lebih ke arah ideologis.

"Masing-masing kandidat berbeda ideologinya. Model ini jelas lebih berbobot karena memudahkan masyarakat untuk melihat jalannya pemerintahan selama lima tahun mendatang," ucapnya.

Menurut dia, strategi kampanye yang harus dikembangkan agar bisa menarik banyak pemilih adalah apa yang akan dilakukan lima tahun memerintah. "Sehingga, masyarakat dapat menilai mana yang benar-benar bekerja lebih serius untuk mewujudkan perubahan untuk Indonesia," katanya.

Sementara itu, Firmanzah menilai, perang isu yang dilontarkan tim sukses capres-cawapres, umumnya masih dalam tataran konflik antarelite. "Harapannya, pihak yang dilemahkan akan mengalami kekurangan dukungan," jelasnya.Dia mencontohkan, isu neoliberal yang diembuskan mampu mendekatkan pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto, dan memosisikan pasangan SBY-Boediono sebagai lawan bersama.

Sedangkan Burhanuddin Muhtadi melihat, karakter pemilih di Indonesia masih melodramatik. "Perang pencitraan ini terus mengalir tanpa kontrol. Biasanya, pasangan yang terus dihujani isu oleh lawan politiknya, justru diberi simpati pemilih sebagai orang yang teraniaya," ujarnya. [LOV/R-15]

Tidak ada komentar: