Rabu, 24 Juni 2009

Debat Cawapres Lebih Substantif

SINAR HARAPAN

Rabu, 24 Juni 2009 13:33


Debat Cawapres Lebih Substantif

OLEH: ROMAULI



Jakarta – Debat calon wakil presiden (cawapres), Selasa (23/6) malam, dinilai lebih baik dan lebih substantif dibandingkan dengan debat calon presiden (capres) pada 18 Juni 2009.



ANTARA/Ismar Patrizki


Pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana kepada SH, Rabu (24/6), mengatakan, secara keseluruhan debat yang dipandu Prof Dr Komarudin Hidayat ini lebih bagus karena lebih substanstif, lebih bermutu, dan aturannya lebih longgar. Misalnya, batasan memberi tepuk tangan tidak lagi saat setiap para cawapres menjelaskan dan memaparkan programnya. Namun, saat cawapres nomor urut 3 Wiranto menyerang dan membantah dengan pedas penjelasan cawapres nomor urut 2 Boediono, tepuk tangan memenuhi ruang debat di studio SCTV Hall Senayan City.

Selain itu, dari sisi artikulasi, pengertian debat sudah mucul. Perdebatan mulai terlihat dari upaya menyerang pasangan cawapres. Misalnya, dalam pertanyaan yang dilontarkan moderator tentang agama, dengan bantahannya yang cukup pedas, Wiranto mengatakan bahwa Boediono jangan hanya bersikap normatif.
Dia memperkirakan debat cawapres itu mampu mempengaruhi pemilih. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari hasil polling SMS yang dilakukan stasiun televisi Metro TV. Meski itu bukan gambaran realitas, paling tidak suara dukungan bagi cawapres ini mengalami perubahan.

“Sedikit banyak hal itu bisa mempengaruhi. Saya perhatikan polling SMS, meski itu tidak mewakili suara rakyat. Sebelum debat cawapres, polling SMS bagi Prabowo 24 persen, namun begitu debat, suaranya perlahan-lahan naik dan meningkat tajam menjadi 31,69 persen. Berbeda dengan Boediono yang turun dari 52 persen menjadi 44 persen. Sementara itu, Wiranto tidak banyak berubah dan konstan sebanyak 24 persen,” kata Tjipta.

Dari sisi performa, Prabowo dinilai lebih bagus dan mantap. Suaranya keras dan tegas selama debat. Pemaparannya juga cukup jelas, mulai dari visi dan misi kenapa bangsa ini menjadi terpuruk, yang menurutnya, kuncinya karena sumber daya alam yang dikuasai asing.

Sementara itu, sikap Boediono yang canggung di depan publik menurutnya wajar, karena Boediono selama ini dikenal sebagai ekonom, seorang dosen sehingga dimaklumi saat Boediono grogi dihadapkan pada persoalan yang jauh dari bidangnya seperti isu politik dan agama.

Sementara Wiranto, menurut Tjipta berpenampilan paling jelek. “Yang paling jelek itu Wiranto, dia mengambang dan tidak jelas,” kata Tjipta.

Jika menyangkut agama, menurut Tjipta, ketiga cawapres ini memberikan jawaban yang kurang bagus, ketiganya dinilai kurang menguasai persoalan terkait agama. Masing-masing dominan dengan kemampuan di bidangnya. Penjelasan Wiranto hanya kuat pada pertanyaan tentang konflik bahwa persoalan tersebut harus diselesaikan dengan bertindak tegas. Nah, penjelasan tentang konflik ini seharusnya dimanfaatkan Boediono untuk meminta penjelasan lebih lanjut dari Wiranto tentang penjelasannya saat mengatasi konflik.

“Padahal ketika Wiranto menjelaskan tentang konflik sektarian, itu bisa menjadi kesempatan untuk menyerang. Pada tataran implementasi Wiranto memang lemah,” ujar Tjipta.

Lebih Longgar

Tjipta berharap, ke depan, KPU harus didesak memperlonggar aturan debat. Moderator sebaiknya diberi keleluasaan memandu debat dan jangan terlalu dibatasi dengan aturan. KPU sebaiknya tidak perlu mengkhawatirkan bahwa debat akan terjadi di luar kendali. “Kalau sudah lepas kendali dan panas, moderator bisa mengintervensi. Janganlah terlalu takut debat ini keluar kendali, ini penting bagi rakyat. Debat ini untuk melihat apakah ucapan para calon itu logis atau tidak. Kita akan tahu saat adu argumentasi langsung,” katanya.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti dalam keterangan persnya mengatakan bahwa perdebatan tadi malam juga tidak lebih mengecewakan. Format debat tidak berkembang, isu dan definisi pembangunan jati diri bangsa tidak jelas. Dari balik kaca televisi, iklan banyak disuguhkan. Setidaknya tiap jeda ada 5 hingga 7 iklan niaga.

Iklan capres-cawapres paling banyak empat kali. Iklan capres terbanyak adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, lalu Megawati Seokarnoputri-Prabowo Subianto, dan ketiga iklan Jusuf Kalla-Wiranto.

“Iklan ini berlebihan. KPU wajib menjelaskan kontrak mereka dengan pihak televisi. Bawaslu sebaiknya meninjau kontrak tersebut. Ke mana dana negara dan dana pemasukan iklan,” katanya.

Tidak ada komentar: