Rabu, 24 Juni 2009

Debat Capres Kurang Menarik, Tidak Menawarkan Sesuatu yang Baru

JAWA POS


Rabu, 24 Juni 2009


Debat Capres Kurang Menarik, Tidak Menawarkan Sesuatu yang Baru


JAKARTA - Kualitas debat cawapres yang dihelat kali pertama tadi malam tak jauh berbeda dengan debat capres sebelumnya. Meski lebih hidup, keduanya kurang menarik ditonton dan tidak menawarkan sesuatu yang baru. Yang membuat sedikit punya gereget, acara yang disiarkan langsung beberapa televisi swasta dari hall Senayan City mulai pukul 19.00 itu diwarnai aksi panggung cawapres.

Salah satunya, aksi cawapres Prabowo Subianto yang mendapatkan giliran tampil pertama. Ketika sedang menyampaikan pokok-pokok pikirannya, cawapres yang mendampingi Megawati Soekarnoputri teDrsebut tiba-tiba mengeluarkan selembar uang Rp 20 ribu dari kantongnya. Waktu itu, mantan Danjen Kopassus tersebut berbicara soal kemiskinan.

Dia menyebut, masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dengan pendapatan di bawah Rp 20 ribu per hari. ''Berdasar standar Bank Dunia, hampir 50 persen penduduk Indonesia, yakni 115 juta orang, hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 20 ribu per hari. Kalau di sini (Senayan City), mungkin itu tak cukup untuk membeli secangkir kopi,'' kata Prabowo seraya menunjukkan lembaran uang Rp 20 ribu.

Secara keseluruhan, Prabowo relatif konsisten dengan visi dan misinya sejak awal. Sementara itu, cawapres pasangan SBY, Boediono, meski terkadang normatif, bisa menampilkan jawaban yang bervariasi. Cawapres pasangan Jusuf Kalla, Wiranto, adalah yang paling konsisten menanggapi jawaban Boediono.

Misalnya, saat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat yang menjadi moderator mengajukan pertanyaan terkait posisi agama dengan negara. Boediono yang mendapatkan kesempatan pertama menyatakan, agama harus ditempatkan di posisi sakral. "Tidak bisa dijadikan satu secara politis. Pemerintah harus menyediakan aturan yang menjamin setiap pihak tidak mengganggu kebebasan agama orang lain," kata Boediono.

Wiranto langsung menanggapi pernyataan Boediono. "Jawaban Pak Boediono itu bagus, tapi terlalu normatif," katanya. Menurut dia, agama memang harus disakralkan. Namun, substansi agama bisa dimasukkan secara politis. "Maksudnya, politik demi kesejahteraan, substansi agama bisa dimasukkan," ujarnya. Jawaban Prabowo seragam dengan Boediono.

Terkait konsistensi Prabowo, itu muncul di setiap jawaban yang disampaikan. Prabowo selalu menggambarkan adanya kesalahan sistemik di pemerintahan. Itu yang pertama harus diubah. Setelah pemerintahan ditata ulang, baru bidang lain bisa muncul perubahan. "Sistem harus dikoreksi. Barulah yang lain berjalan," kata Prabowo.

Meski debat sedikit lebih hidup, Direktur Eksekutif Cetro Hadar Navis Gumay menilai tetap saja ada kekurangan. Dia menyatakan, jeda iklan dalam debat cawapres terlalu sering. Padahal, debat pilpres menggunakan APBN. "Iklan itu cukup di awal dan akhir demi memperkuat substansi debatnya," jelas Hadar.

Manfaatkan Jeda

Seringnya jeda iklan benar-benar dimanfaatkan tiga cawapres. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo selalu mendapat wejangan dari sang adik, Hashim Djojohadikusumo dan Sekjen Gerindra Ahmad Muzani. Walaupun jarak dari penonton ke hall Senayan City cukup jauh, Hashim kerap berbicara dengan berbisik. Satu hal yang tak pernah lepas dari Prabowo saat jeda adalah sepotong tisu. Beberapa kali dia mengusap mukanya dengan tisu meski tidak berkeringat sama sekali.

Berbeda lagi dengan Boediono. Man­tan gubernur BI itu selalu men­dapat dukungan dari anggo­ta tim sukses SBY-Boediono, Choel Malarangeng. Salah seorang perumus pencitraan SBY-Boediono itu selalu menyelipkan krepekan. Mungkin maksudnya sebagai panduan. Namun, dalam setiap sesi Boediono kerap tidak menggunakan contekan itu. Boe­diono sendiri adalah cawapres yang paling berkeringat. Dalam beberapa sesi, jawabannya memang kerap "diserang" Wiranto. Pantas saja, saat jeda Boediono paling kerap di-make-up ulang.

Bagaimana Wiranto? Cawapres yang satu ini didukung Johan Si­lalahi, salah satu pendukung tim sukses JK-Wiranto. Uniknya, Wiranto adalah yang paling kerap minum. Suguhan kopi, teh, dan air putih paling sering diminumnya.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Harris mengatakan, secara umum setiap cawapres memiliki kekuatan di tema-tema tertentu. Ada yang kuat di tema ekonomi, tapi lemah di tema lain. ''Kekuatannya tidak merata di semua tema,'' ujarnya kepada Jawa Pos tadi malam.

Prabowo, misalnya. Kata Syamsuddin, dia kuat di topik bencana dan kecelakaan transportasi. Prabowo mengatakan bahwa kecelakaan tersebut menjadi bukti ketidakmampuan pemerintah. ''Paling tidak, Prabowo lebih jelas daripada calon lain. Dia menjelaskan bagaimana membenahinya secara sistematis. Ini berkaitan dengan kapasitas negara yang gagal mengelola,'' katanya.

Begitu juga Wiranto. Mantan Panglima ABRI itu agak lebih baik di topik penanganan konflik. Yakni, menyelesaikan kebutuhan dasar rakyat terlebih dahulu karena dianggap sebagai akar masalah. ''Yang lain tidak terlalu konkret,'' katanya.

Wiranto juga tampil prima di topik agama dan negara. Dia lebih me­mosisikan agama sebagai fungsi etik agar kehidupan politik memiliki nilai moral. ''Prabowo dan Boe­diono sendiri justru kabur dalam memosisikan agama,'' katanya.

Secara umum, setiap cawapres me­miliki kecenderungan tertentu dalam menyikapi kasus. Boediono, misalnya. Dia selalu menyikapi persoalan dari kacamata ekonomi. Sedangkan Prabowo memang menjanjikan perubahan. Namun, bagaimana semua itu dicapai tidak dijelaskan.

Wiranto pun setali tiga uang. Dia bagus hanya pada tema-tema ter­tentu. Selain tema yang dia kua­sai, jawabannya cenderung mengambang. Di sisi lain, Syam­sud­din menilai debat cawapres tadi malam tidak menawarkan sesuatu yang baru. Tema debat pun klise. ''Temanya masak Jati Diri Bangsa. Itu kan tidak jelas arahnya ke mana,'' katanya.

Direktur Lingkar Madani (Lima) untuk Indonesia Ray Rangkuti menyesalkan semakin banyaknya iklan yang mewarnai debat cawapres. Menurut catatan lembaganya, dalam setiap jeda setidaknya muncul 5-7 iklan niaga dan iklan pasangan capres-cawapres sampai 4 kali. (bay/pri/oki/kum)

Tidak ada komentar: