Selasa, 16 Juni 2009

Menyesatkan, Bandingkan Utang dengan PDB

SUARA KARYA

UTANG LUAR NEGERI


Menyesatkan, Bandingkan Utang dengan PDB


Selasa, 16 Juni 2009


JAKARTA (Suara Karya): Pernyataan Pelaksana Tugas Menko Perekonomian/Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) tidak besar dan bukan menjadi masalah, mendapat tanggapan kalangan ekonom.

Kalangan ekonom menyayangkan pernyataan Sri Mulyani tersebut. Sebab, pembayaran utang telah menggerus anggaran belanja sosial dan kesehatan. Ini merupakan bencana besar bagi rakyat. Bahkan, Indonesia telah membayar utang luar negeri sejak 2003-2008 untuk pembayaran pokok dan bunga utang sebesar 183,34 miliar dolar AS.

Demikian rangkuman pendapat ekonom Tim Indonesia Bangkit (TIB) Binny Buchory, ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Revrisond Baswir, serta pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, yang disampaikan secara terpisah kepada Suara Karya di Jakarta, Senin (15/6).

"Ukuran rasio utang terhadap PDB bukan satu-satunya indikator bahwa utang yang ada tidak bermasalah. Jika utang negara tidak dikelola dengan baik, maka justru akan membawa kehancuran masa depan bangsa. Semestinya pemerintah harus mampu memanfaatkan pinjaman untuk meningkatkan kinerja usaha kecil dan menengah yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Tidak justru menambah utang setiap tahunnya untuk program yang tidak jelas," kata Binny Buchory.

Revrisond Baswir menambahkan, masalah utang luar negeri jangan direduksi menjadi masalah keuangan dan manajemen. Ini karena utang, apalagi dari luar negeri, menjadi masalah ekonomi dan politik. "AS dan Jepang tidak berutang ke Indonesia, tapi Indonesia yang berutang ke kedua negara itu. Jadi jangan bandingkan antara kreditor dan debitor karena statusnya pasti dibedakan," ucap Revrisond.

Lebih jauh dia mengatakan, sebagai debitor, Indonesia didikte untuk "mengimani" neoliberalisme. Bahkan Indonesia juga didikte untuk membuat peraturan dan undang-undang yang melanggar konstitusi, termasuk untuk mengamandemen kontitusi tersebut, yakni UUD 1945. Lebih parah lagi, Indonesia bahkan didikte untuk menempatkan pejabat-pejabat di lingkungan pemerintahan dan BUMN. "Lihat saja yang terjadi di Pertamina, Departemen Keuangan, maupun Departemen Perdagangan. Jangan-jangan juga sedang terjadi untuk calon RI 1 dan RI 2," tuturnya.

Hal senada disampaikan Ichsanuddin Noorsy. Dia menegaskan, setelah mendorong liberalisasi sektor perdagangan dan keuangan, kini mereka (penganut ekonomi neoliberalisme) membela kebijakan itu dengan membandingkan rasio utang luar negeri dengan PDB serta membandingkannya dengan negara-negara lain.

Menurut dia, membandingkan utang luar negeri dengan PDB adalah menyesatkan, karena PDB Indonesia berbeda dengan PDB negara lain.

Apalagi, sektor-sektor strategis bagi masyarakat memang didorong agar tidak lagi disediakan pemerintah. Dalam hal ini, neoliberal mengharuskan pemerintah cukup menjadi regulator, sedangkan kepemilikan dan pengelolaan berada di tangan swasta. "Indonesia sudah terperangkap dalam perjanjian yang mengharuskan berlakunya pasar bebas," tuturnya.

Oleh karena itu, Noorsy menegaskan, tanpa komitmen pada cita-cita bangsa, keberanian menegakkan harkat dan martabat bangsa serta kecerdasan mengelola dan mengantipasi situasi, maka ketegasan dalam mengambil kebijakan yang benar dan baik sulit untuk dilakukan.

Direktur Lingkar Madani (LIMA) Nasional Ray Rangkuti dalam diskusi bertajuk "Utang Versus Kedaulatan: Tantangan Ekonomi Politik Presiden Sekarang dan Mendatang" menilai, hanya dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang mengarah pada sikap antiutang, yakni Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. Sedangkan pasangan lain, yakni SBY-Boediono, tidak menyinggung komitmen anti terhadap utang luar negeri.

Dia menambahkan, dalam sikap antiutang tersebut JK-Wiranto lebih banyak bicara soal ekonomi kemandirian serta pembangunan ekonomi yang berbasiskan potensi sumber daya alam (SDA) nasional. Sementara Mega-Prabowo yang menawarkan perekonomian kerakyatan memberi isyarat akan lebih banyak mengeluarkan uang untuk ekonomi rakyat ketimbang untuk membayar utang. Sedangkan "Pasangan SBY-Boediono justru sama sekali tidak bicara soal itu dalam program (ekonomi Jalan Tengah) mereka," ujarnya. (A Choir/Indra)

Tidak ada komentar: