INILAH.COM
01/07/09 19:44
Atas Nama Demokrasi, Tunda Pilpres!
R Ferdian Andi R
INILAH.COM, Jakarta – Munculnya wacana penundaan pemilu presiden karena kacaunya Daftar Pemilih Tetap (DPT) kini mengundang reaksi beragam. Ada kekhawatiran KPU tetap memaksakan pelaksanaan pilpres dengan DPT bermasalah. Ini sama saja dengan mengabaikan hak asasi warga negara.
Desakan penundaan pilpres akibat DPT yang masih bermasalah muncul pertama kali dari Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Menurut dia, daripada pilpres tetap berlangsung dengan DPT yang bermasalah, lebih baik pelaksanaannya ditunda.
“Seandainya masalah DPT belum selesai, saya berpendapat pilpres ditunda saja,” kata Din dalam jumpa pers di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (30/6).
Memaksakan pelaksanaan pilpres dengan DPT bermasalah, menurut Din, sama saja dengan menciderai demokrasi. Selain itu dikhawatirkan akan memancing konflik horizontal. “Saya membayangkan konflik horizontal akan mudah terjadi seperti di Iran,” katanya.
Din menyebutkan saat pemilu legislatif lalu terdapat sebanyak 20 juta pemilih yang tidak bisa menyalurkan haknya. Namun dalam menyusun DPT Pilpres 2009 ini, KPU hanya menambah 5 juta pemilih saja.
Kekhawatiran Din bukan tanpa dasar. Temuan Pemuda Pancasila Jawa Timur yang menunjukkan adanya sekitar 2,2 juta pemilih fiktif di provinsi itu menjadi sinyal betapa DPT yang telah diumumkan oleh KPU pada akhir Mei lalu, masih belum sempurna.
Dalam kondisi DPT seperti ini, Din menyarankan agar KPU segera menjemput bola. Para pemilih yang belum terdaftar harus segera didatangi dan dimasukkan dalam DPT. “Kalau itu tidak bisa dilakukan, maka buat saja aturan yang memperbolehkan dengan KTP untuk bisa memilih,” usulnya.
Temuan serupa soal DPT bermasalah juga muncul dari Panitia Khusus DPT DPR RI Eva Kusuma Sundari. Menurut dia, saat ini terdapat sebanyak 49 juta pemilih yang belum terdaftar di DPT.
“Temuan kita di daerah menginformasikan bahwa verifikasi data yang memadai belum terjadi. Belum ada perubahan signifikan antara DPT pilpres dan pileg,” kata Eva di gedung DPR, Rabu (1/7). Kondisi ini, menurut Eva, tersebar hampir di seluruh provinsi.
Terkait dengan persoalan DPT, Eva mengaku telah mengingatkan KPU. Namun KPU tak bereaksi atas temuan tersebut. Politisi PDIP ini berjanji, setelah usai masa reses DPR, pansus DPT akan memanggil penanggung jawab DPT, serta para korban DPT.
“Kami akan memanggil para korban DPT dan birokrat lokal serta penanggung jawab utama DPT, yakni Depdagri dan KPU,” katanya.
Merespons wacana penundaan pilpres itu, Ketua KPU A Hafiz Anshary menolak keras. Ia menegaskan pihaknya tidak akan menunda hajatan demokrasi lima tahunan tersebut. Karena, menurut Hafiz, DPT tidak ada yang bermasalah.
“Tidak ada pilpres ditunda. DPT semua sudah benar. Pak Din enggak benar itu. Semua sudah siap kok,” tandas Hafiz, di KPU, Rabu (1/7).
Hafiz meyakinkan persoalan DPT tidak ada masalah. Menurut dia, dugaan adanya 121 nama ganda pada draf daftar pemilih di Kediri, Jawa Timur, yang diberikan oleh sebuah partai ternyata tidak benar. Menurut Hafiz, draf tersebut setelah disandingkan dengan DPT yang dimiliki oleh KPU Provinsi Jawa Timur. Nama ganda itu ternyata tidak tercantum pada DPT resmi.
Selain menilai DPT tidak ada masalah, gurubesar IAIN Antasari Banjarmasin tersebut menegaskan, jika pilpres ditunda akan berpengaruh pada tahapan pemilu 2009, seperti penetapan capres-cawapres terpilih pada 6 Oktober 2009 serta pelantikan capres-cawapres pada 20 Oktober 2009. “Jika ditunda, tentu akan berakibat buruk,” tandasnya.
Menurut Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, sikap KPU yang tidak merespons laporan soal DPT fiktif berakibat tidak adanya punishment saat pemilu legislatif lalu denganhilangnya 20 juta pemilih. “Laporan soal DPT fiktif dianggap angin lalu, toh tidak memberi dampak apa pun karena tidak ada punishment,” katanya.
Dengan membiarkan sinyalemen DPT fiktif ini, bisa juga berarti KPU akan mengulang kesalahan dalam pemilu legislatif lalu. Karena kekacauan DPT, tak kurang dari 20 juta pemilih kehilangan hak. Sikap KPU yang ingin menegakkan prosedur dan tahapan pemilu dengan mengabaikan substansi demokrasi dikhawatirkan akan membunuh masa depan demokrasi di Indonesia. [P1]
Kamis, 02 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar