KOMPAS.COM
Dipertanyakan, Asing Kuasai Data Strategis Pilpres 2009
Rabu, 15 Juli 2009 | 21:05 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, mempertanyakan bagaimana bisa data strategis seputar proses dan hasil pemilihan umum presiden (Pilpres) 2009 kemarin bisa sepenuhnya dikuasai dan dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing macam IFES. Namun begitu, Ikrar mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai pihak yang seharusnya memiliki otoritas menyelenggarakan pilpres, untuk segera membuka kontrak kerja mereka dengan IFES sebenarnya.
Penegasan tersebut disampaikan Ikrar, Rabu (15/7), menanggapi persoalan seputar keterlibatan IFES dalam proses tabulasi elektronik berbasis layanan pesan singkat (SMS) di KPU, yang belakangan memicu kontroversi. "Memang benar sejak Pemilu 1999 keberadaan dan keterlibatan LSM asing itu sudah ada. Bahkan dia ikut membantu KPU saat proses debat calon presiden-wakil presiden di Pilpres 2004. Cuma sepertinya keterlibatan dan peran mereka kemarin itu kok tidak sedahsyat dalam Pemilu 2009 sekarang," ujar Ikrar.
Keterlibatan IFES yang sedemikian mendalam di proses Pilpres 2009, menurut Ikrar, dapat menimbulkan kecurigaan dari banyak kalangan, proses pemilu di Indonesia saat ini telah banyak diintervensi kepentingan asing apalagi jika sampai ada institusi asing bisa memperoleh data strategis macam itu dengan mudahnya. "Apakah memang sudah sebegitu lemahnya KPU sampai-sampai mereka bisa didikte institusi asing. Memang sah-sah saja negara asing memberi dana secara institusional ke Indonesia, namun tetap jangan sampai hal itu dimanfaatkan seolah untuk 'membeli' data rahasia," ujar Ikrar.
Senada dengan Ikrar, dosen mata kuliah Sosiologi Korupsi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta George Yunus Aditjondro, seusai berbicara dalam talkshow bertema "Kecurangan Pilpres 2009?" di Jakarta menegaskan, IFES merupakan bagian dari upaya asing mengintervensi kehidupan politik di Indonesia. Hal itu, menurutnya, tampak dari keberadaan IFES, yang sebetulnya didanai USAID dari pemerintah AS.
Fakta tersebut, menurut George, sangatlah fatal apalagi kemudian data hasil pemilu sepenuhnya langsung dikelola dan divalidasi oleh IFES tanpa melibatkan KPU secara aktif. "Sangat ironis karena KPU, yang diketuai seorang profesor, hanya bertindak sekadar seperti layar monitor yang menayangkan saja data hasil 'olahan' IFES tanpa bisa apa pun. Perlu diketahui, IFES memang punya spesialisasi menggelar berbagai kegiatannya di banyak negara eks komunis dan eks otoriter," ujar George.
Sementara dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak terjebak sekadar mengajukan pertanyaan seputar masalah formal dan administratif dalam menangani persoalan IFES tersebut. Ray meminta Bawaslu berani menggelar investigasi lengkap, yang bukan tidak mungkin dapat mengungkap kemungkinan adanya pelanggaran pidana pemilu dalam pola dan hasil kerja sama antara KPU dan IFES tersebut. Dia mengaku yakin hal itu bisa dilakukan.
"Dalam Pasal 248 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan jelas menyebutkan setiap orang bisa dipidana jika dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil pilpres," ujar Ray.
Hukuman pidana yang dapat dijatuhkan pun menurutnya terbilang berat, yaitu paling singkat 60 bulan dan paling lama 120 bulan, atau denda paling sedikit Rp 2,5 miliar dan paling banyak Rp 5 miliar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar