PELITA
KPU Bantah tak Independen dan Terima Dana Asing
Selasa, 14 Juli 2009
Jakarta, Pelita
Komisi Pemilihan Umum (KPU) membantah telah menerima imbalan dari The Internasional Foundation for Electoral Systems (IFFES) terkait dengan proyek pengadaan tabulasi nasional SMS Pilpres. Disamping itu, KPU juga membantah telah bertindak tidak independen dalam menyelenggarakan Pemilu.
KPU hanya mendapatkan manfaatnya saja seperti dari IFFES. Untuk penghitungan melalui SMS ini, mereka membayarkan langsung ke Telkomsel. Jadi tidak ada hubungannya dengan kami, kata anggota KPU Andi Nurpati, di Gedung KPU, Jakarta, Senin (13/7).
Lebih lanjut Andi menegaskan, KPU tidak pernah mendapatkan uang tunai dari pihak mana pun kecuali APBN. Khususnya, dalam proses pengadaan tabulasi nasional SMS Pilpres yang secara tiba-tiba di tutup KPU tersebut IFFES dinilai membayarkan langsung biaya penghitungan suara melalui SMS kepada Telkomsel.
Ditambahkannaya, dalam menyelenggarakan Pemilu, bukan hanya KPU yang difasilitasi lembaga asing. Akan tetapi juga Bawaslu yang merupakan lembaga pengawas pemilu.
Di sisi lain, lanjut Andi, Ifes bukanlah satu-satunya lembaga yang memfasilitasi KPU. Namun ada juga lembaga asing lain yakni UNDP yang membantu dalam proses sosialisasi pemilu.
Jadi menurut saya kalau lembaga asing mengintervensi KPU tidak bisa dikatakan bahwa KPU lantas tidak independen. Kami sudah memiliki kesepakatan yang sesuai atau berpedoman pada UU, tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah pihak termasuk kalangan LSM mencurigai adanya kejanggalan dibalik kerjasama antara KPU dengan lembaga asing dalam hal tabulasi nasional SMS Pilpres. Karena itu, Bawaslu pun diminta menyelidiki netralitas dan independensi KPU.
Bawaslu sebagai lembaga pengawas harus menyelidiki KPU untuk mengetahui apakah ada pelanggaran pidana atau kode etik, kata Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (KPI) Jeirry Sumampou kepada Pelita, di Jakarta, Minggu (12/7).
Menurut dia, sejak awal KPU memang tidak serius dalam menyelenggarakan Pemilu legislatif maupun Pilpres. Sebab, tindakan yang sama (menutup tabulasi suara) juga pernah dilakukan pada penghitungan IT Pileg 2009.
Jadi memang KPU tidak serius mempersiapkan. Yang penting penghitungan itu ada meski akhirnya bermasalah, katanya.
Ditanya apakah pihaknya melihat ada kejanggalan terhadap pelaksanaan rekapitulasi SMS Pilpres, Jeirry pun sependapat dengan hal tersebut.
Misalnya saja terlihat dari kerjasama antara KPU dengan Iffes yang memang ada kejanggalan. IFFES sudah tahu kalau waktu pelaksanaan Pilpres sudah mepet, lalu kenapa mereka menyetujui kerjasama. Ada apa ini, apakah memang dilakukan sengaja untuk melaksanakan proyek atau ada motif lain, paparnya.
Sementara terkait dengan pelaksanaan Pilpres 8 Juli lalu, sejumlah pengamat politik dan pemilu yang tergabung dalam Forum Penyelamat Demokrasi meragukan kenetralan dan kompetensi KPU. Hal itu terkait banyaknya berbagai kecurangan dalam pemilu di berbagai daerah, baik itu Pemilu legislatif maupun Pilpres.
Atas hal itu, Forum Penyelamat Demokrasi pun mengancam untuk menggugat KPU ke pengadilan. Kami bersepakat akan menggugat KPU ke penggadilan. Tapi untuk materi gugatannya sendiri akan dibicarakan dengan teman-teman yang lain, kata Juru Bicara Forum Penyelamat Demokrasi Yudi Latief. Hadir memberikan keterangan, Direktur Lima Ray Rangkuti, Chalid Muhammad, pengamat komunikasi politik Effendy Ghazali dan Sekretaris Jenderal Komite Bangkit Indonesia Adhie Masardi.
Di tempat terpisah, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Jakarta (PBHI Jakarta) berharap KPU dan Bawaslu diberikan sanksi atas pelanggaran Pemilu yang dilakukan kedua institusi tersebut.
Harapan PBHI agar KPU dan Bawaslu diberikan sanksi tersebut terkait dengan judicial review UU No10/2008 pasal 247 ayat (4) mengenai batas waktu dan pelapor pelanggaran pemilu yang diajukan PBHI, yang kini dalam proses persidangan.
Dengan judicial review ini, siapa saja bisa melaporkan KPU dan Bawaslu ke kepolisian untuk dimintai pertanggungjawabannya karena gagal mensukseskan Pemilu, ujar advokasi PBHI, Supriyadi Sebayang, seusai sidang perdana kasusnya di MK.
Selain itu, PBHI juga mengajukan judicial review pendukung pasal tersebut, yaitu pasal 253 ayat (1) UU No 10/2008 yang menjelaskan bahwa yang menyampaikan laporan pelanggaran Pileg kepada kepolisian hanya Bawaslu.
Dengan dihapusnya pasal 253 ayat (1) Bawaslu dan KPU bisa dilaporkan ke Polisi. Kalau Bawaslu dan KPU yang salah siapa yang bisa menuntut, kemana? tegas advokasi PBHI lainnya, Nanang Sentosa.(ay)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar