SUARA KARYA
PELANGGARAN PEMILU
Forum Penyelamat Demokrasi
Akan Gugat KPU
Selasa, 14 Juli 2009
JAKARTA (Suara Karya): Buruknya kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ditandai banyaknya pelanggaran dan kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009 tidak bisa dibiarkan karena akan merusak proses demokratisasi yang bemartabat. Sejumlah tokoh yang tergabung dalam Forum Penyelamat Demokrasi (FPD) berencana menggugat KPU untuk bertanggung jawab karena melanggar hukum.
Pernyataan itu disampaikan Koordinator Forum Penyelamat Demokrasi, Ray Rangkuti, di Jakarta, Senin (13/7). Anggota forum antara lain Chalid Muhammad, Yudi Latif, Fadjrul Rahman, Ismet Hasan Putro, Effendi Ghazali, Romo Benny Susetyo, Berry Nahdian Forqan, Zainal Arifin Mochtar, Herdi Sahsasad, Hilmar Farid, Ridaya Laode Engkowe, Riza Damanik, Airlangga Pribadi Kusman, Joko Susanto, Listtiyono Santoso, Novri Susan, faishal Aminudin, Dimas Ok Nugraha, dan Mradipta Kantjasungkana.
Yudi Latif mengatakan, gugatan hukum kepada KPU yang tengah dirancang bukan untuk mendelegitimasi pemilu. "Kami berpikir harus ada tindakan atas pelanggaran yang dilakukan KPU agar tidak menjadi preseden buruk bagi penyelenggara pemilu berikutnya. KPU yang buruk, maka input demokrasi buruk. Tidak boleh pelanggaran oleh KPU ini gratisan. Harus dibawa pada otoritas hukum," kata Yudi.
Saat ini, kata Yudi, pihaknya tengah melakukan kajian secara hukum atas sejumlah pelanggaran oleh KPU, di antaranya penetapan daftar pemilih tetap (DPT). Meskipun selama ini KPU terkesan "selamat" dari tindak pelanggaran yang dilakukan, Yudi berpendapat harus ditempuh upaya hukum.
"Mungkin KPU punya backing politik, tapi backing politik harus dikalahkan oleh ketentuan-ketentuan hukum. Tak ada yang kebal hukum," ujarnya.
Ray Rangkuti menjelaskan, ada 9 jenis pelanggaran dalam pemilu yang tidak bisa dibiarkan dan secara langsung atau tidak langsung menjadi tanggung jawab KPU.
Pertama, KPU diragukan kompetensinya, kenetralannya dan tanggung jawabnya yang mendorong adanya kecurangan dan penghilangan hak pilih. Kedua, DPT tidak pernah dinyatakan dan ditetapkan KPU secara pasti.
"Ketiga, pelanggaran otoritas pemerintah ditemukan dalam bentuk mobilisasi sumber daya serta penggiringan pemilih pada calon tertentu. Keempat, timses memanipulasi sumber dan jumlah pendanaan serta melanggar aturan kampanye," katanya.
Pelanggaran kelima, lembaga yudisial cenderung mengabaikan pengaduan dari lembaga pengawasan. Keenam, media massa cenderung tidak memberi akses setara bagi setiap kontestan.
"Ketujuh, lembaga riset dan penyiaran mengabaikan rasionalitas dan kemaslahatan publik dengan melanggar kaidah ilmiah atau etika penyiaran hasil survei dan hitung cepat," paparnya.
Ray melanjutkan, catatan kedelapan, keterlibatan lembaga asing pada sektor strategis yang berpotensi memanipulasi hasil pemilu. Dan kesembilan, kepala pemerintahan tidak menunjukkan tanggung jawab optimal dalam mengupayakan pemilu yang bermutu, jujur, dan adil.
Di tempat yang sama, Ismed Hasan Putro menilai, Pemilu 2009 berlangsung penuh kecurangan. Kandidat yang saat ini dinyatakan menang pun diprediksi akan otoriter bak Soeharto.
"Pemilu ini mengingatkan zaman Soeharto di mana Golkar selalu menang mutlak. Saya membayangkan bagaimana presiden yang telah dinyatakan terpilih ini dari proses pemilu yang otoriter," ujarnya.
Menurut Ketua Masyarakat Profesional Madani ini, masyarakat harus siap menerima bentuk pemerintahan otoriter lima tahun ke depan. Presiden terpilih melalui pemilu yang curang seperti saat ini akan berisiko terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Ismed mengatakan, FPD adalah orang-orang yang coba mengawal demokrasi beradab tetap ada di Indonesia. "Saya risau, praktik kecurangan itu tak terbendung lagi. Ini telah membuktikan siapa yang mengeroyok dan siapa yang dikeroyok. Siapa yang menzalimi dan siapa yang terzalimi," katanya.
Dalam kesempatan terpisah, KPU membantah adanya intervensi asing dalam proses tabulasi penghitungan suara Pilpres 2009.
Hal ini terkait dengan laporan yang dilakukan sejumlah pihak mengenai intervensi asing, yakni The International Foundation for Electoral Systems (IFES) dalam memberi hibah sistem penghitungan menggunakan mekanisme pesan singkat (short message service atau SMS).
"Kami tidak menerima cash money, hanya menggunakan alat yang mereka berikan. IFES yang membayar langsung ke pihak provider bersangkutan untuk penggunaan sistem SMS itu," kata anggota KPU Andi Nurpati.
Dia menjelaskan, dalam penggunaan SMS itu, KPU memanfaatkan alat yang telah disediakan IFES. Seluruh komponen, mulai dari perangkat telepon genggam yang digunakan hingga biaya pengirimannya ditanggung IFES. Andi menegaskan, pihaknya tidak pernah menerima uang tunai dari pihak mana pun dalam penyelenggaraan pemilu, kecuali dari anggaran pemerintah. (Tri Handayani/Rully)
Senin, 13 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar