Senin, 13 Juli 2009

IFES Ciderai Keabsahan Pilpres?

INILAH.COM

13/07/09 15:57


IFES Ciderai Keabsahan Pilpres?


Ahluwalia



INILAH.COM, Jakarta – Sorotan publik terhadap keterlibatan International Foundation for Electoral System (IFES) dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2009 semakin tajam. Meski KPU hanya mengakuinya sebagai pelanggaran etik, namun keterlibatan konsultan politik dari AS itu telah mengganggu kemandirian bangsa Indonesia dan merusak keabsahan pemilu.

Bukan hanya itu. Penyelenggaraan pemilu saat ini juga menuai kritik tajam dan dinilai buruk serta jauh dari kesempurnaan. Sejumlah inteligensia, aktivis, analis politik, dan pengamat pemilu yang tergabung dalam Forum Penyelamat Demokrasi menyatakan keprihatinan mereka atas berbagai penyimpangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2009. Berbagai bentuk pelanggaran dan indikasi manipulasi dikhawatirkan berpotensi menghancurkan tatanan dan prinsip demokrasi.

Dalam jumpa pers Maklumat Penyelamatan Demokrasi bertema Jangan Rampas Demokrasi Kami, di Jakarta, Senin (13/7), forum itu menilai pemilu menjadi tak bermutu dan tak abash, akibat buruknya kinerja KPU serta lemahnya tanggung jawab pemerintah. Padahal, pemilu menjadi indikator apakah demokrasi di suatu negara bergerak maju atau mundur.

Apa yang terjadi pada Pemilu 2009 ini menunjukkan bahwa demokrasi mengalami kemunduran. “Sungguh demokrasi dan pemilu kita semakin mundur,” kata Yudi Latif PhD, Direktur Reform Institute yang juga menjadi anggota forum tersebut.

Ia menilai, kinerja KPU kali ini tidak lebih baik daripada kinerja anggota KPU periode sebelumnya. “Tidak jelasnya penetapan DPT merupakan ketidakberesan yang cukup serius dari kinerja KPU,” kata Yudi.

Kompetensi dan netralitas lembaga penyelenggara pemilu juga dianggap memberikan kontribusi pada kecurangan pemilu dan penghilangan hak pilih rakyat. Dalam maklumat tersebut, beberapa poin lain yang menjadi dasar keprihatinan, di antaranya adalah pelanggaran otoritas pemerintah dalam bentuk mobilisasi sumberdaya, lembaga yudisial yang cenderung mengabaikan pengaduan dari lembaga pengawasan, dan keterlibatan lembaga asing pada sektor strategis yang berpotensi memanipulasi hasil pemilu.

Selain Yudi, sejumlah pengamat dan tokoh yang tergabung dalam forum ini, di antaranya adalah Ray Rangkuti, Chalid Muhammad, Airlangga Pribadi, Dimas Nugoro, Fadjrul Rachman, Ismed Hasan Putro, dan Romo Benny Susetyo.

Mengenai keterlibatan IFES, sejauh ini reaksi publik pun sangat kritis. Mereka mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menelusuri keterlibatan konsultan politik dari AS itu.

Bawaslu menyatakan sudah melakukan penelusuran keterlibatan IFES dalam penyelenggaraan tabulasi nasional melalui sistem pesan singkat (SMS) yang digelar KPU. Karena itu, Bawaslu harus segera meminta klarifikasi dari IFES maupun KPU.

“Kami mencoba mengontak langsung IFES, soal seberapa besar perannya. Ini memang belum diplenokan, tetapi berilah kesempatan kepada kami untuk menelusuri di sana,” kata Wahidah Suaib dari Bawaslu.

Sebagaimana diketahui, tabulasi elektronik ini menuai sejumlah kritik dari berbagai pihak, karena dinilai gagal. Bahkan, kubu Mega-Prabowo juga melaporkannya ke Bawaslu, karena adanya pelibatan pihak asing, yakni IFES, dalam tabulasi nasional tersebut.

Menurut Wahidah, dalam menerima bantuan dari luar, baik berupa uang tunai, manfaat, kegiatan, konsultan, maupun perangkat, KPU harus tetap menjadi decision maker. Para operator di lapangan juga tetap orang-orang yang harus direkrut oleh KPU.

“Seharusnya dari KPU, bukan dari IFES. Itu kan agar mereka tidak mendistorsi. Kalau IFES yang menjalankan semuanya, berarti KPU kurang hati-hati. Ini ‘kan suatu negara,” tuturnya.

Meski masalah ini tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana ataupun administrasi, namun pelanggaran ini telah merusak reputasi dan keabasahan pemilu. Sebab, dalam UU Pilpres No 42/2008 pasal 248 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem penghitungan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden, dipidana dengan penjara 5-10 tahun dan denda paling sedikit Rp 2,5 miliar-Rp 5 miliar.

Apa yang dimaksudkan undang-undang itu adalah perbuatan mendistorsi dalam penghitungan manual. “ Ini karena UU tidak mengenal sistem penghitungan cepat,” ungkap Wahidah. Sehingga pelanggaran IFES pun hanya pelanggaran kode etik saja.

“Dengan pemeikiran seperti itu, maka semua persoalan pemilu ini akhirnya hanya sekadar formalitas, termasuk fungsi Bawaslu, kepolisian, Mahkamah Konstitusi, dan seterusnya. Formalitas belaka,” kata Ray Rangkuti, Direktur LIMA. [P1]

Tidak ada komentar: