Jumat, 10 Juli 2009

Mengawal "Suara Tuhan"Kamis

KOMPAS


PEMILU PRESIDEN


Mengawal "Suara Tuhan"Kamis

9 Juli 2009 | 03:56 WIB



Pemilihan umum adalah serangkaian proses untuk memberikan legitimasi kepada mereka yang terpilih. Suara rakyat terkonversi menjadi mandat, amanat kepada mereka yang terpilih. Suara rakyat sekaligus piutang yang bisa kapan saja ditagihkan. Ada sederet syarat ketat untuk bisa sampai pada penilaian bahwa pemilu telah berlangsung ”jujur dan adil”.

Apakah seluruh proses dimaksudkan hanya untuk mengejar ketentuan Pasal 6A Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945? Yaitu, bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden?

Merujuk pada International Electoral Standards, Guidelines for Reviewing the Legal Framework of Elections (2002), tercantum 15 aspek pemilu demokratis yang dikenal secara internasional. Pemenuhan aspek itulah yang menjadi acuan demokratis atau tidaknya pemilu. Standar internasional yang merupakan syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin pemilu berjalan demokratis.

Misalnya, untuk soal pendaftaran pemilih. Wajib ada daftar pemilih yang transparan dan akurat, bisa melindungi hak warga negara yang memenuhi syarat untuk mendaftar. Juga mesti dicegah adanya pendaftaran calon pemilih secara tak sah.

Hak pilih seseorang dicederai jika kerangka hukum yang ada mempersulit seseorang mendaftarkan diri untuk memberikan suara. Hak rakyat juga dilanggar apabila kerangka hukum gagal menjamin akurasi daftar pemilih atau memudahkan pemberian suara secara curang.

Dari daftar pemilih

Merujuk data Komisi Pemilihan Umum per 8 Juni 2009, untuk Pemilu Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) 2009 tercatat total keseluruhan pemilih tetap sebanyak 176.367.056 orang, terdiri atas 175.233.318. pemilih di dalam negeri dan 1.133.738 pemilih di luar negeri. KPU juga menyebutkan, dalam pemutakhiran data pemilih pilpres digunakan aplikasi DPTools untuk mengidentifikasi adanya nama ganda atau penduduk yang berusia di bawah 17 tahun dan belum menikah. Penerapan aplikasi itu dilakukan oleh KPU kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Tak ayal jika berdasarkan itu, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR pada Rabu (1/7) tetap yakin bahwa tidak ada masalah dengan daftar pemilih tetap (DPT). Proses ”pembersihan” nama bermasalah dalam daftar pemilih sudah dilakukan.

Bahkan, Hafiz seolah menantang dengan meminta siapa pun untuk memperlihatkan data siapa saja rakyat yang mempunyai hak pilih, tetapi belum terdaftar. KPU siap menerimanya.

Faktanya kemudian, kekisruhan soal DPT tidak kunjung tuntas. Ujungnya, Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 pada 6 Juli 2009, menyatakan, setiap warga negara yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) yang masih berlaku atau paspor yang masih berlaku bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.

Memang, ketentuan itu masih bersyarat karena mengharuskan KTP disertai pula dengan kartu keluarga (KK) atau sejenisnya. Kondisi tersebut hanya dapat diterapkan di tempat pemungutan suara yang berada di RT/RW yang sesuai dengan alamat yang tertera dalam KTP. Penggunaan hak pilih dengan KTP ini pun dilakukan sejam sebelum selesainya pemungutan suara di tempat pemungutan suara.

Sementara itu, penyisiran DPT oleh KPU dengan dibantu tim kampanye calon presiden dan calon wapres Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan M Jusuf Kalla-Wiranto menemukan data ganda sekitar 11,21 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap di 70 kabupaten/kota di Pulau Jawa. Temuan itu berupa nomor induk kependudukan (NIK) yang sama berjumlah 5,89 juta; NIK dan nama sama sebanyak 2,79 juta; kemudian NIK, nama, dan tanggal lahir sama sebanyak 1,39 juta; serta NIK, nama, tanggal lahir, dan alamat sama sebanyak 1,148 juta pemilih. Waktu yang mepet membuat penyisiran tidak bisa dilakukan di semua wilayah Indonesia. Padahal, temuan selama penyisiran tersebut menunjukkan bahwa tidak ada satu pun DPT pada setiap kabupaten/kota yang bersih.

Apa pun, pemungutan dan penghitungan suara tetap berlangsung pada 8 Juli 2009. Cakupan wilayah pemungutan suara meliputi 471 kabupaten/kota melibatkan 6.473 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 76.632 Petugas Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, serta berlangsung di 450.129 tempat pemungutan suara.

Sampai ke rekapitulasi

Ujung akhir proses ini, untuk dapat disebut sebagai pemilu demokratis, penghitungan suara mesti digelar secara adil, jujur, dan terbuka. Kerangka hukum harus memastikan agar semua suara dihitung dan direkapitulasi secara akurat. Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wapres, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara wajib mengumumkan formulir asli C-1 berupa salinan hasil penghitungan suara di TPS.

Dalam sejumlah persidangan perselisihan hasil Pemilu Legislatif 2009 di MK lalu, terlihat proses ini tidak berjalan optimal. Butuh perjuangan panjang untuk mendapatkan hasil pemilu yang merujuk pada data penghitungan suara di TPS.

Seturut dengan hal itu, Komisi II DPR meminta agar pengumuman dilakukan di seluruh TPS dan juga di kantor desa/kelurahan di seluruh Indonesia sampai dengan ditetapkannya suara secara nasional sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Perlu ditunggu juga janji penerbitan surat edaran bersama antara KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum untuk memastikan bahwa formulir C-1 dapat diterima peserta pemilu dan diumumkan kepada publik. Transparansi data merupakan aspek penting yang amat ditekankan terkait dengan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

Rekapitulasi akhir penghitungan suara, yaitu hasil Pemilu Presiden dan Wapres 2009, rencananya ditetapkan pada 27 Juli mendatang. Selepas pemungutan dan penghitungan suara di TPS, proses masih belum berhenti. Masih ada rangkaian tahapan yang mesti dijalankan.

Sepanjang proses itu pulalah manipulasi tetap amat mungkin terjadi. Meminjam pernyataan Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti, jangan sampai saat ada yang merayakan kemenangan, masih ada yang mempertanyakan keabsahan.

Apa pun, akhirnua vox populi, vox dei. Suara rakyat, suara Tuhan. Jadi, apa enaknya memenangi kompetisi jikalau ”suara Tuhan” pun mesti dicuri? (sidik pramono)

Tidak ada komentar: