Senin, 06 Juli 2009

Selama Masa Kampanye Pilpres

TIMOR EXPRES

PEMILU 2009


Senin, 06 Jul 2009, | 5


Selama Masa Kampanye Pilpres
Bawaslu Rilis Data Pelanggaran


JAKARTA, Timex--Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membeber seluruh pelanggaran selama masa kampanye yang berjumlah 128 kasus. Di antara jumlah itu, 49 kasus masuk pelanggaran pidana.
Sembilan laporan dikategorikan kasus penghinaan, termasuk penghasutan dan mengadu domba perseorangan atau masyarakat."Dan, tiga kasus lain adalah penghinaan bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

"Sekarang muncul 12 kasus," kata Wirdyaningsih dalam keterangan pers di gedung Bawaslu, Jakarta, Minggu (5/7). Dia tidak menyebutkan di mana saja kasus penghasutan itu terjadi. Namun, motifnya ialah menghasut dengan memberikan selebaran gelap. Dia mencontohkan, kasus yang terjadi kepada Herawati, istri cawapres Boediono, pasangan capres Susilo Bambang Yudhoyono.

Wirdyaningsih menyatakan, kasus yang masuk pasal pidana penghinaan adalah terkait pernyataan berbau SARA oleh Andi Mallarangeng, anggota tim sukses capres SBY-Boediono. Pernyataan yang disampaikan di Sulawesi Selatan itu kini tengah masuk agenda penyelidikan panwas provinsi. "Sekarang sedang diusut," katanya.

Di luar hal itu, kasus pelanggaran kampanye terbanyak terjadi di Provinsi DKI Jakarta dengan 46 pelanggaran pemilu. "Di antara jumlah itu, 19 kasus adalah pelanggaran pidana," kata Wirdyaningsih.

Kasus pelanggaran terbanyak berikutnya terjadi di Jawa Timur dengan 25 kasus. Di antaranya, enam pelanggaran pidana pemilu. Pelanggaran kampanye terbanyak ketiga adalah di Jawa Barat dengan sembilan laporan. Yakni, empat pelanggaran pidana dan lima kasus adalah pelanggaran administrasi.

Namun, tidak semua pelanggaran pidana pemilu yang ditangani Bawaslu tersebut mulus hingga vonis di pengadilan. "Penyelidikan dugaan kampanye di luar jadwal dengan terlapor pasangan SBY-Boediono dihentikan oleh kepolisian pada 19 Juni 2009," katanya. Padahal, kata dia, Bawaslu merasa telah menyertakan bukti awal yang cukup.

Wirdyaningsih juga mendapat informasi dari media tentang penghentian serupa atas kasus pejabat BUMN yang terlibat dalam kampanye. Selain terhenti di kepolisian, laporan yang ditangani Bawaslu tidak bisa diteruskan ke polisi karena masalah teknis. "Beberapa laporan tidak ditindaklanjuti karena terlapornya tidak jelas. Kami masih menunggu surat resmi penghentian kasus BUMN," katanya.

Beberapa contoh pelanggaran lain adalah munculnya spanduk gelap yang dilaporkan Jaringan Nusantara dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tidak diproses karena terlapornya tidak jelas. "Termasuk laporan perusakan spanduk milik pasangan JK-Wiranto yang merasa dirugikan, terlapornya juga tidak jelas sehingga tidak ditindaklanjuti," tutur Wirdyaningsih.

Kasus yang ditindaklanjuti atas laporan langsung yang diterima Bawaslu adalah laporan tim kampanye SBY-Boediono atas dugaan penyebaran selebaran bernuansa SARA. "Tindak lanjut yang kami lakukan adalah klarifikasi kepada tim kampanye JK-Win," tandasnya.

KPU Mainkan Teror Politik

Inisiatif Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary menemui Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar Jumat lalu terkait dengan potensi gangguan pada hari H pemungutan suara pilpres menuai kritik. Langkah ketua KPU itu dianggap sudah keluar dari norma demokrasi dan acuan di UU Pilpres.

"Kalau urusan pengamanan pemilu, KPU seharusnya berkoordinasi dengan polisi. UU mengatur begitu," kata Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti di Restoran Omah Sendok, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (5/7). Dia mengimbau agar BIN menolak bila KPU meminta BIN untuk terlibat aktif dalam pengamanan pilpres.

Menurut dia, BIN yang menjalankan fungsi "mata-mata" bersifat independen. Institusi tersebut langsung berada di bawah presiden. Karena itu, BIN hanya menerima instruksi langsung dari presiden. "Kalau nanti ini menjadi preseden, Komnas HAM atau KPK minta jasa BIN dengan alasan berbagi informasi kan repot," tegas mantan aktivis mahasiswa itu.

Ray menilai, pertemuan ketua KPU dengan kepala BIN lebih terasa sebagai politik teror terhadap proses demokrasi yang sedang tumbuh. "Apalagi masih ada kengerian terhadap peran BIN semasa Orba," tegasnya.

Jubir Blok Perubahan Adhie Massardi mengatakan, KPU seharusnya membersihkan daftar pemilih tetap (DPT) dari data-data pemilih ganda. Bukan melindungi diri dengan kawat berduri dan sekarang meminta "perlindungan" BIN.

Menurut Adhie, suatu institusi demokrasi yang mengundang keterlibatan BIN merupakan kesalahan besar. Tanpa dimintai tolong sekalipun, ungkap dia, BIN tentunya akan ikut mengamankan agenda politik dalam negeri sesuai batas kewenangan yang diatur undang-undang. "BIN sebaiknya mengingatkan KPU agar jangan dipakai sebagai pemadam kebakaran," ujarnya. (bay/agm/pri/jpnn)

Tidak ada komentar: