Selasa, 31 Maret 2009

KPI Hanya Awasi Subntansi

KENDARI POS

KPI Hanya Awasi Subntansi

Jum`at, 13 Maret 2009 08:32:48 -

Jakarta, KP
Serbuan iklan politik di televisi dan radio terancam tidak terkontrol. Setiap partai politik (parpol) yang punya banyak uang memiliki peluang untuk memasang iklan sebanyak-banyaknya bahkan tanpa batas.

Penyebabnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mendapat amanat dari UU Pemilu No 10/2008 untuk mengawasi iklan parpol di televisi dan radio menolak all-out mengawasi iklan-iklan kampanye tersebut. KPI hanya bersedia mengawasi substansi alias materi iklan. Untuk jumlah spot (frekuensi) dan durasi iklan tidak ada pembatasan. "Ini konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal 98 ayat 2, 3, 4 dan pasal 99 UU Pemilu," kata Koordinator Pengawasan Kampanye Pemilu KPI Muhammad Izzul Muslimin kepada Jawa Pos kemarin (12/3).

Awalnya kedua pasal itu memberikan wewenang kepada KPI dan Dewan Pers untuk mengawasi iklan pemilu. Sekaligus memberi sanksi, mulai teguran tertulis sampai penghentian izin penyiaran atau izin penerbitan (pemberedelan), bila terjadi pelanggaran.

Pasca keluarnya putusan MK pada 24 Februari, belakangan KPI membuat surat edaran No 01-KPI/02/2009 yang ditujukan kepada semua pimpinan televisi dan radio serta ketua-ketua asosiasi penyiaran. Isinya, KPI tetap melakukan pengawasan sesuai amanat pasal 98 ayat 1 UU Pemilu yang tidak ikut dibatalkan MK. Namun, pengawasan itu mengacu pada UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. "Karena UU Penyiaran tidak mengatur frekuensi dan durasi iklan pemilu, kami tidak bisa melakukan pembatasan," tegas Izzul. Padahal, UU Pemilu sebenarnya telah membuat pembatasan terhadap iklan politik.

Menurut Izzul, dengan pembatalan pasal 98 dan 99 UU Pemilu yang memberi kewenangan kepada KPI untuk menjatuhkan sanksi kepada lembaga penyiaran yang melanggar plus bentuk-bentuk sanksinya, pelanggaran spot dan durasi dalam iklan politik tidak lagi memiliki ancaman sanksi. "Ada ketentuan, tapi tidak ada sanksi, sama saja tidak ada aturan. Jadi, kalaupun ada pelanggaran, hanya persoalan etis," cetusnya.

Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menilai, KPI terlalu sempit memaknai putusan MK. Menurut dia, MK hanya membatalkan pasal 99 dan sebagian besar isi pasal 98. Pasal-pasal lain yang berkaitan dengan pengaturan iklan kampanye pemilu di UU Pemilu tidak diutak-atik.

Artinya, kata Ray, KPI harus tetap melakukan fungsi pengawasan terhadap spot dan durasi iklan politik. Mekanisme sanksinya mengacu pada UU Penyiaran. "Aneh KPI ini," sesal pemilik nama asli Ahmad Fauzi itu.(pri/agm)

Tidak ada komentar: