Minggu, 15 Maret 2009

Parpol Jangan Tunggangi Kegiatan Pejabat

SINAR HARAPAN

Parpol Jangan Tunggangi Kegiatan Pejabat


Oleh
Inno Jemabut

Jakarta – Kelemahan aturan yang membatasi penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan negara yang bebas dari kepentingan pribadi, kelompok, atau partai politik (parpol), banyak dimanfaatkan pejabat negara saat ini.

Banyak menteri di kabinet yang menjadi kader parpol, berkunjung ke daerah memanfaatkan anggaran negara.

Modus yang paling sering digunakan adalah kunjungan kenegaraan dilakukan siang hari, sementara malam harinya untuk kegiatan temu kader partai atau konsolidasi partai untuk pemenangan pemilu. Padahal, untuk sampai ke daerah, anggota kabinet atau anggota DPR tersebut menggunakan anggaran negara.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, Jumat (27/2) pagi, mengatakan, apa yang dilakukan pejabat negara seperti ini menunjukkan etika politik yang dimiliki politisi Indonesia saat ini masih sangat rendah.

Padahal, menggunakan uang negara tidak sesuai dengan peruntukannya merupakan jenis tindak pidana korupsi. Pada Rabu (25/2) lalu, misalnya, pimpinan parpol sudah menandatangani pakta antikorupsi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disaksikan Ketua KPK Antasari Azhar. “Sekarang banyak yang memanfaatkan kesempatan dari ketidaktegasan aturan,” ucap Ray Rangkuti.

Anggota Komisi II DPR Saifullah Mas'hum (FKB) mengaku, kearifan sejumlah pejabat untuk tidak menggunakan kelemahan aturan bagi keuntungan pribadi memang masih rendah. “Memang, harus ada kearifan yang tinggi untuk tidak berlaku seperti itu. Tapi, sekarang rasanya sulit. Kita hanya berharap hal itu ke depan dibenahi,” kata Saifullah Mas'hum.

Ia menjelaskan, dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu, memang hanya disebutkan agar kampanye parpol tidak menggunakan fasilitas negara, serta jika menjalankan tugas partai harus mengambil cuti di luar hari kerja.

“Masalah pembagian waktu seperti itu tidak disebutkan,” ucap Saifullah. Pejabat negara yang juga kader parpol dipandang menikmati situasi tanpa ketegasan aturan tersebut. “Apalagi seperti DPR yang tidak jelas statusnya, apakah sebagai pejabat negara atau bukan. Dalam aturan kita, pejabat negara itu, presiden, wakil presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. DPR itu apa?” tegas Ray Rangkuti.

Saifullah Mas'hum mengatakan, saat ini masalah seperti ini sulit dibenahi. Dalam UU Susduk MPR/DPR/DPD dan DPRD sekalipun, tidak pernah ditegaskan, jika ada anggota DPR yang tidak ikut sidang apakah harus dilakukan pemotongan gaji. DPR sendiri beranggapan bahwa DPR bukan seperti pegawai sekretariat jenderal DPR. Akibatnya, tak ada sanksi apa pun yang jadi pembeda antara anggota yang selalu ikut berbagai jenis rapat DPR, dengan yang tidak sama sekali.

Kelemahan aturan yang banyak dimanfaatkan tersebut juga mengakibatkan pelayanan publik di berbagai kantor departemen menjelang pemilu, memburuk. Para menteri lebih sering mengurus partai daripada memberi pelayanan.

“Memang, kepentingan negara harus tetap diutamakan, tapi itu kan hanya imbauan. Aturan main tidak jelas. Kalau ada aturan kan ada sanksi,” ucap Saifullah Mas'hum.
Ray Rangkuti mengatakan, apa yang dilakukan politisi di institusi negara dalam keadaan seperti ini menunjukkan bahwa kesadaran antikorupsi dan keinginan memberikan pelayanan publik yang baik, masih sangat rendah.

“Masyarakat tidak dapat berharap banyak dari pemilu kalau sekarang saja politisi kita seperti ini,” tambah Ray Rangkuti. n



Copyright © Sinar Harapan 2008

Tidak ada komentar: